Lampiran Spesial: Sisipan Kisah

32 6 3
                                    

(Sisipan Kisah: 01)

Wajah si Nona yang wajahnya lebih suram dari awan kelabu yang mendung itu menguarkan kesedihan dari kejauhan. Ino berjalan setapak dengan ritme cepat, mencari permukaan aspal yang tidak digenangi air sembari menggunakan tasnya untuk menutupi kepalanya dari serangan masif rerintik air hujan. Di sudut pujasera yang lengang, helaan nafas dengan tarikan berat dihembuskan beberapa kali oleh Nona yang baru menyelesaikan satu momen penentuan kelulusan pendidikannya itu. Ia duduk di meja yang ada di balik pilar, sengaja menyembunyikan diri.

Langkah Ino terhenti sejenak, lantas dengan sigap mengambil posisi duduk di hadapan sang Nona yang pandangannya kosong meratapi tumpukan lembar dengan klip berwarna hitam di sudut lembaran itu. Tampak beberapa guratan—atau lebih cocok disebut sebagai coretan dengan pena merah. Ino membasahi bibirnya yang terasa kering—walau sebenarnya telah basah diguyur air hujan.

"Adik Kicil," ujar Ino berhati-hati. Tentulah, panggilan itu berhasil memecahkan atensi Lia dari tumpukan lembar yang dianggapnya sebagai lambang 'kegagalan' itu. Kepalanya mendongak, menampilkan wajahnya yang sendu pada sosok pria yang memanggilnya.

Bibir yang telah dipoles warna ranum itu tidak mengeluarkan sepatah aksara. Sudut-sudutnya lantas terangkat, tersenyum singkat tanpa mampu menyembunyikan kesedihan yang menguar di dalamnya. Senyuman yang selalu menghangatkan Ino, namun kini senyuman itu tidak mampu melingkupi perasaan sedih yang bergejolak di dalam perempuan itu.

Ada beberapa pertanyaan yang mengitari kepala Ino. Pertama, apa yang terjadi? Kedua, apa yang menjadi alasan perempuan di depannya ini sedih? Ketiga, kenapa pula perempuan ini tidak memberitahunya bahwa hari ini adalah hari sidang skripsinya?

"Kenapa?" tanya Ino lirih. Kedua pandangannya yang teduh diarahkan lamat-lamat pada Nona di depannya. Ia mencoba mencari jawaban dari sang Empunya sendiri.

"Lia? Kenapa?" Ino merepetisi.

"Lia, nggak apa-apa?"

Bukannya memberikan jawaban, Lia malah menangis. Air mata yang semula ditahan dalam kubangan matanya itu, kini telah tumpah ruah membasahi pipinya. Ia menangis sesenggukan, pundaknya bergetar, telapak tangannya menutupi wajahnya.

"Aku... aku kalau lagi diem, jangan ditanya kenapa.. Jadi nangis kan aku."

Ino mencoba menyembunyikan kekehannya, "Iya, maaf ya. Enggak tanya lagi, deh. Diem ini, aku diem." Kedua matanya dilemparkan ke arah lain. Walau susah-susah betul untuk Ino menyembunyikan esemnya.

"Aku nggak lulus sidang," jawab Lia lugas.

Arah netra yang menyebar langsung diarahkan Ino kepada Lia. Sebaliknya, pandangan Lia mengarah ke hal lain, menolak menatap kedua netra Ino yang dipenuhi banyak pertanyaan. "Maaf, aku nggak bilang ke Mas Ino kalau hari ini sidang. Aku juga nggak bilang ke siapa-siapa kalau hari ini aku sidang. Aku takut hal kaya gini kejadian." Suaranya terdengar semakin getir.

"Aah, aku malu banget. Bodoh banget," Telapak tangan Lia kini dikatupkan menutupi wajahnya yang menangis. Bukan, bukan menangis merengek. Tangisannya getir, tersedu-sedu meratapi nasib dirinya. Kepalanya penuh, merutuki kebodohannya.

Tanpa Lia tahu, Ino berpindah duduk di sampingnya. Ia mengambil jas almamater Lia yang tergeletak di atas meja setelah digunakan sidang itu, lalu melingkupi kepala dan wajah Lia. Tujuannya, agar si Nona bisa menangis lebih lega. Tangan lelaki itu terjulur, menepuk-tepuk pelan pundak Lia—berharap mampu memberikan ketenangan. Tangannya terus menepuk pelan, sesekali mengusap-usapnya lembut. Tidak ada kata-kata yang keluar dari mulut Ino. Ia membiarkan perempuan yang dipanggilnya 'Adik Kicil' itu menangis memenuhi pujasera yang lengang. Memeluk Lia, adalah sejatinya yang ingin Ino lakukan. Namun, takut. Takut digebuk.

AMOR TAKSA [Leeknow x Lia]Where stories live. Discover now