Duapuluh Dua

190 51 2
                                    

Di luar jendela, hujan turun tidak terburu-buru. Tidak ada yang dikejar oleh rintik yang melompat bebas kepada permukaan tanah itu. Petir sesekali menampakkan diri beriringan dengan kilat yang tidak luput memberikan presensi.

Di dalam kamarnya, Lia sedang melakukan konferensi pemecah teka-teki bersama Yesi, Nakia, dan Sonya. Baru saja mereka saling berteriak karena dikejutkan amukan petir, kini sudah mulai melanjutkan kegiatan rumpinya.

Lia sudah menceritakan semua—utamanya tentang Ben kepada teman-temannya itu. Kepalanya yang direbahkan di atas bantal itu tidak berpikir apa-apa, hanya mulutnya yang sibuk mengunyah cemilan kesukaan.

"Ya... lo sendiri ada perasaan ke Ben, nggak?" tanya Sonya yang tengah duduk bersandar di sandaran ranjang Lia.

Lia menggelengkan kepalanya. Tentu tidak ada.

"Menurut gue lo udah bener sih, Li. Kasih dia kesempatan buat deketin lo. Siapa tau, lo akhirnya suka sama dia karena lo ngerti keseriusannya dia ke lo."

Nakia kini memberikan suaranya. Pangkuannya digunakan sebagai tempat merebah kepala Yesika yang mengangguk menyetujui pendapat Nakia.

Lia menghela nafas, "Iya, sih. Cuman kenapa gue harus ngasih kesempatan kalau gue jelas-jelas bakalan nolak dia?"

"Lo—"

"—jangan bilang lo nggak ada niatan move on dari Mas Ino?"

Bibir Lia mengerucut lalu mengerjapkan matanya beberapa kali seraya menganggukkan kepalanya.

"Iya."

Sonya mencebikkan bibirnya malas. Jawaban dan ucapan Lia entah kenapa lantas menyulut emosinya. Teman baiknya satu ini membuatnya gemas dengan 'kebodohan'-nya.

Ya, tentu, katakan bahwa perasaan adalah hak mutlak tiap-tiap pemiliknya, tetapi harusnya diberikan pada sosok yang tepat. Dan naasnya, temannya itu merasa Mas Ino sosok yang tepat, padahal pun... tidak sama sekali.

Selain itu, temannya--Lia, malah menjadikan perasaan orang lain sebagai korban. Lebih tepatnya sebagai cadangan. Sangat tidak manusiawi sekali.

"Lo disuruh deketin Mas Ino, jawabnya nggak mau. Ada yang deketin lo, lo juga nggak mau. Ada yang deketin lo, juga malah lo bolehin tapi lo nggak akan terima dia."

"Ya, masa gue tolak, Nya? Kata lo kan kesempatan milik siapapun. Ya, ya udah. Gue bolehin Ben deketin gue. Tapi bukan berarti gue lantas meng-iya-kan ajakan dia buat jadi pacar, kan?"

"Lo sadar nggak sih kalo lo egois?" tanya Sonya menghunus ucapan tajamnya.

"Kalo lo emang nggak ada niatan mau terima dia, kenapa lo kasih dia kesempatan? Kenapa lo nggak bilang kalau lo udah suka sama orang? Lo sama aja mainin perasaan dia, Amalia. Bukannya daripada diluangkan waktu buat lo yang nggak akan meluangkan perasaan lo ke dia sama sekali, mending dia luangkan waktunya buat orang yang bener-bener mau nerima dia."

Sonya menatap Lia, "Mau lo apa, sih?"

"Udah-udah, kenapa malah berantem—"

"Diem lo, Nakia." Nakia terdiam oleh ucapan Sonya. Ugh, salahnya juga mencoba menghentikan Sonya.

Kerut di kening Lia menandakan kebingungannya. Pertama, kenapa Sonya jadi marah kepadanya. Kedua, kenapa dirinya disalahkan. Ketiga, kenapa Sonya memperdulikan Ben.

"Salah gue di mana sih, Nya? Kok lo malah marah-marah gitu sama gue?"

"Gue marah sama lo karena lo mainin perasaan orang."

Lia mendecak kesal, "Bukannya gue juga nggak punya hak apapun buat berhentiin perasaan Ben ke gue?"

"Lo emang nggak punya hak berhentiin perasaan Ben ke lo, tapi lo punya mulut buat bilang ke Ben kalau lo udah suka sama orang—dan lo nggak ada minat sedikitpun untuk move on dari orang yang lo sukai," ucap Sonya panjang lebar.

AMOR TAKSA [Leeknow x Lia]Unde poveștirile trăiesc. Descoperă acum