Duapuluh Satu

189 51 5
                                    

Siang, tepatnya tengah hari saat matahari gencar-gencarnya memberikan panas adalah waktu di mana kantin fakultas sedang berada di titik tertinggi kunjungan mahasiswa yang sedang berebut untuk memadamkan kelaparan. Makanan berhasil diambil, namun tiada kursi yang bisa diduduki untuk menyantap makanan—itu realitanya. Sebab sudah terbiasa dengan hal seperti ini, Ino akhirnya memutuskan untuk bergabung dengan kawanan Jayen dan Bayu yang memang sudah seperti penghuni abadi kantin fakultas. Ia membawa serta piringnya dan mengambil posisi di kursi yang masih kosong untuk diduduki di antara kawanan rekannya itu.

Belum saja dirinya memegang sendok, satu suapan sudah masuk terlebih dahulu ke dalam mulut Jayen. Ino sudah terbiasa dengan kebiadaban kawan-kawannya itu. Kerupuk miliknya juga dijadikan cemilan bak suguhan yang bebas diambil dan dimakan.

"Brengseknya bocah-bocah ini. Gue belom makan, oi," keluh Ino yang tentu tidak dihiraukan teman-temannya itu.

Perlahan namun pasti, Ino mulai menyendokkan makanannya ke dalam mulutnya. Semangkuk soto ayam dengan kerupuk udang mini yang minta ditambah sambal lebih banyak. Ino memang suka pedas. Baginya, makanan yang tidak pedas itu terlalu hambar untuk dinikmati.

"Lo ketemu Gibran nggak, Nok?"

Ino menggelengkan kepalanya, "Dia kaga masuk di semua matkul hari ini. Titip absen ke gue tadi."

"Oh, lo ambil matkul samaan ama dia? Bisa emang beda angkatan?"

"Enggak, dia yang ngikutin gue biar bisa titip absen. Tentu bisa, kan matkul dia banyak yang ngulang."

Ino meraih es tehnya untuk kemudian diteguknya guna membasahi kerongkongannya yang kering karena panasnya hawa. Ia mengusap peluh yang ada di dahinya sembari terus melanjutkan makan siangnya, sedang Jayen dan Bayu—teman-temannya itu, sibuk mengerjakan makalah yang tidak selesai-selesai.

"Tumben ngerjain tugas?" tanya Ino kepada dua kembara itu.

"Tau nih si Bayu belagu."

Bukannya membalas, Bayu malah melayangkan tatapan sinis pada Jayen.

"Lah orang dia sialan, Nok. Tugas udah gue kerjain, kaga dikumpulin."

"Da apaan? Lo juga, tugas udah gue kerjain malah lupa lo kumpulin."

Ino mengangguk-anggukkan kepalanya. Kedua temannya itu memang sama-sama aneh. Terlebih Bayu yang dulu lebih rajin malah sekarang lupa diri karena keasyikan melakukan tindakan biadab ajaran Jayen.

"Oh ya, nyokap lo gimana, Nok?"

Kemarin sore sang Ibunda terpeleset saat sedang menjemur pakaian. Tidak ada yang parah, hanya saja mengeluhkan punggung dan kaki yang sakit. Untung saja saat itu ada tetangga yang hendak membayar sewa kosan melihat jatuhnya beliau dan kemudian diberi pertolongan.

"Udah diperiksa. Semalem udah gue pijet juga. Cuma tadi pagi jalannya masih ngadingklak."

Anggukan kepala dilakukan Jayen. Baik Jayen maupun Bayu—serta teman-teman Ino yang lain mengenal Ibundanya dengan baik. Tidak hanya Ibunda, Ayahnya juga dikenal baik karena gemar membantu mereparasi barang-barang keperluan koor saat SMA dulu. Keduanya bahkan dianggap orang tua kedua oleh teman-teman Ino, termasuk rumah Ino yang juga sebagai rumah kedua kawan-kawannya itu.

"Oalah ya udah, entar gue ke rumah sama Bayu."

Ino menganggukkan kepalanya, menyetujui itikad temannya itu. Rumahnya akan ramai, tentu Ibunya akan senang.

"Di rumah lo masih ada arena tamiya kan, Nok? Gue pengen main itu."

"Ada. Cuman gue jarang rangkai. Nanti gue panggilin bocil sebelah rumah," jawab Ino santai sembari atensinya masih terfokus pada makan siang miliknya yang mendekati titik penghabisan.

AMOR TAKSA [Leeknow x Lia]Όπου ζουν οι ιστορίες. Ανακάλυψε τώρα