Duapuluh Tiga

231 51 11
                                    

Lia mengetuk-ketukkan jemarinya di atas tali selempang tas kulit yang menggantung di pundaknya. Kepalanya menengok kanan kiri dan mendapati banyak muda-mudi sedang antri seperti dirinya. Bioskop akhir pekan selalu diminati orang-orang untuk berpacaran.

Malam minggu kali ini, Lia terpaksa menghadiri ajakan Ben pergi menonton bioskop di sebuah pusat perbelanjaan terbesar di kotanya. Lia bukan tipe orang yang senang pergi saat malam Minggu karena akan sangat ramai dan Lia sangat membenci hal itu. Kerumunan orang-orang membuatnya tidak leluasa untuk berjalan ke sana kemari guna menyusuri gerai demi gerai.

Namun, karena Ben terus memaksanya, Lia pun menyetujuinya.

"Lo duduk aja biar gue yang antri, Li."

Lia menggelengkan kepalanya pelan menolak tawaran yang diberikan secara ramah oleh Ben kepadanya, "Nggak ah. Males sendirian."

"Lo mau berdiri berduaan sama gue, kan?"

Lia hanya menatap Ben dengan tatapan datar yang kemudian mengundang permintaan maaf dari Ben walau dengan tawaan pelan.

"Lo mau duduk mana, Li?" tanya Ben saat telah giliran mereka memesan tiket.

Kedua mata Lia mengamati posisi yang masih tersedia dengan seksama. Deret kursi bagian tengah adalah lokasi strategis, tidak terlalu jauh juga tidak terlalu dekat dari layar. Namun naasnya, sudah habis. Lia menghela nafasnya pelan, sudah semakin malas dirinya itu.

"Terserah aja, Ben," ujar Lia pada akhirnya.

Ben tidak tahu apa yang terjadi pada wajah Lia yang tertekuk malas dan memutuskan untuk segera menyelesaikan pemesanan tiket itu. Sebelum Lia mengeluarkan dompetnya, Ben sudah terlebih dahulu membayar. Protes hendak dilayangkan Lia sebelum Ben mengenggam telapak tangannya dan menariknya untuk keluar dari antrian.

"Udah, ayo."

"Iya," jawab Lia singkat sambil melepaskan tangan Ben yang menggenggamnya.

Suara-suara berisi perkataan Sonya beberapa hari yang lalu kembali berputar di kepalanya. Lia masih memikirkan bagaimana cara untuk menyelesaikan perkaranya dengan Ben sebagai langkah paling efektif permasalahan bodoh mengenai hatinya ini.

Hari ini sengaja Lia terima ajakan Ben untuk pergi ke luar bukan tanpa alasan, melainkan untuk mengatakan dan mengakhiri semuanya. Banyak hal yang masih Lia pertimbangkan mengenai apa yang akan dilakukannya. Namun pertanyannya adalah: bagaimana caranya?

"Li?"

"Hah? Oh apa?"

Ben terkekeh pelan, "Lo mau popcorn yang asin atau manis?"

"A—ah itu. Manis."

Lia merutuki dirinya yang malah memikirkan bagaimana cara mematahkan hati orang yang baik hati membelikannya popcorn. Tapi apapun yang akan dilakukan, baik dihentikan maupun dilanjutkan, semuanya tetap saja akan melukai Ben, bukan?

Kudapan beserta minuman yang telah dibeli kemudian berada di genggaman Ben. Lia mengikuti Ben dan berjalan beriringan di sampingnya menuju teater tempat filmnya akan diputar. Helaan nafas berat keluar dari mulutnya. Lia tidak tahu dirinya harus apa.

"Kamu—ah, maksud gue... Lo mau ke toilet dulu, Li?" tanya Ben dengan hangat. Sungguh, sudah hilang sikap usil Ben yang dibenci Lia dulu. Kini berubah menjadi sikap manis yang dapat meluluhkan hati siapapun. Namun tetap, Lia tidak bisa merasakan dadanya bergemuruh karena Ben.

Lia menggelengkan kepalanya pelan. Ben menatap Lia penuh kebingungan. Apakah dirinya baru melakukan kesalahan? Kenapa daritadi puan yang berada di sampingnya menekuk wajah sedari tadi.

AMOR TAKSA [Leeknow x Lia]Where stories live. Discover now