Tujuh

277 77 4
                                    

Langit yang tadinya tercoret rona jingga kini telah berganti menjadi kelabu. Biru temaram identik sebagai warna krusial langit pada malam hari. Hari ini telah disepakati untuk berangkat mencari narasumber untuk penugasan—seperti biasa. Janji telah dibuat atas dasar kesepakatan bersama, saat setelah narasumber usai melakukan pekerjaannya.

Lewat pukul tujuh malam, Lia dengan rekan satu kelompoknya telah berada di lokasi penelitian. Sebuah kawasan slum area yang berada tidak jauh dengan perbatasan sub-urban kabupaten sebelah. Banyak rumah-rumah reot yang tersusun dari kardus-kardus bekas dan triplek, sedangkan asbes berkarat yang tampak seperti terkoyak itu dijadikan atap. Penghuninya bukan lain merupakan pengepul sampah, dekat dengan lokasi prostitusi kebanggaan kota.

"Hape lo semua udah ready, kan?"

Rekan-rekan kelompoknya mengangguk, begitupun Lia. Ia telah mengisi penuh baterai ponsel miliknya di perpustakaan tadi saat mencari literatur.

Namun tidak dengan Ben.

Ben menggelengkan kepalanya. Ponselnya dalam keadaan koma sejak tadi dirinya saat dihubungi oleh Nana untuk segera kumpul ke galeri sebelum berangkat menuju lokasi.

"Hape gue lowbat, tinggal sembilan persen. Kalau record bisa, sih. Tapi, gue takut kepotong aja kaya yang kemaren."

Lia mendengus malas. Kebiasaan. Ben tidak henti-hentinya menjadi beban. Tugas mingguan yang lalu, Lia terkendala saat mengerjakan transkrip sebab hasil rekaman Ben yang terpotong dan hanya berhasil merekam satu menit awal dari setengah jam ia mengobrol dengan narasumber. Memang dasar orang koplak.

Sebab enggan mengulang kesalahan yang sama—pun malas juga membuang-buang tenaga untuk meluapkan amarah kepada Ben yang ujungnya sia-sia, Lia pun menyerahkan ponselnya.

"Lo pakai punya gue aja," ucapnya ketus.

Kedua alis Ben tertaut diikuti kerutan pada keningnya yang mengernyit keheranan, "Lah terus? Lo pakai apaan?"

"Gue pinjem punya Nana nanti," jawab Lia dingin. Betulan sudah ia sangat malas dengan Ben.

Tangan Ben terulur meraih ponsel milik Lia. Tidak ada kata sandi yang menyambut layar kunci ponsel Lia, toh tidak ada dokumen terbatas ataupun rahasia negara yang perlu disembunyikan. Mau Ben membuka yang aneh-aneh juga Lia tidak peduli. Fokusnya kini hanya satu: rekaman informasi yang mumpuni.

"Terus ini enaknya gimana? Langsung nyebar aja?"

Nana menganggukkan kepalanya, "Nanti kalau lo pada nemu yang sekiranya bisa diwawancara, nggak apa-apa wawancara aja. Kaya biasanya, accidental."

Segala sesuatunya sudah disepakati, termasuk daftar pertanyaan yang nantinya diajukan kepada sang pemberi informasi. Mereka sepakat untuk menyebar ke rumah-rumah untuk mendatangi sang informan yang telah dimintai kesepakatan beberapa hari sebelumnya.

Terdapat 4 informan—sesuai jumlah anggota kelompok. Namun naasnya, salah satu anggota tidak bisa ikut sebab menghadiri final futsal pekan olahraga tahunan antar prodi.

Lia bersama Nana menghampiri tiga informan, sedangkan Ben berangkat seorang diri. Salah satu diantara responden yang dihampiri oleh Lia dan Nana adalah seorang ibu-ibu yang bekerja sebagai pemulung plastik. Kenampakan yang sama dengan rumah-rumah yang lain, rumah Ibu ini hanya terbentuk dari kerdus-kerdus serta beberapa lembar triplek sebagai atap penghalau hujan dan panas.

Salam keduanya haturkan, sang Ibu rupanya tengah memilah botol-botol plastik di depan rumahnya. Setelah memperkenalkan diri dan berbasa-basi sedikit, keduanya lantas memulai konversasi untuk mencari informasi.

"Kalau boleh tahu, penghasilan harian Ibu Sartemi apakah: lebih dari lima puluh ribu, kurang dari lima puluh ribu, atau pas lima puluh ribu, Bu?"

"Ya, jelas nggak, Mbak. Hahaha... banyak sekali, to, kalau itu. Dapetnya nggak tentu, Mbak. Sehari kadang dapat tujuh ribu, kadang lima belas ribu. Ya.. paling banyak dua puluh ribu."

AMOR TAKSA [Leeknow x Lia]Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt