Tigabelas

212 54 11
                                    

"Mas Ino, kalau dulu nggak pindah jurusan tuh pasti bakalan wara-wiri di rumah sakit ya?"

Ino tertegun, lalu tertawa. Anggukan kepala dilakukan bersamaan, lalu sontak menggelengkan kepalanya sebab salah memberi respon.

Tidak, tidak sama sekali.

Ino tahu bagaimana jurusan yang pernah ditempuhnya satu semester akan menjauhkan dirinya dari keluarganya. Terlebih berada di kota yang ada di provinsi sebelah. Semakin sukar memantau pergerakan Ayah dan Ibunya.

"Emangnya, kenapa Mas Ino pindah?"

"Tapi keren tau, Mas. Aku baru tau ada anak IPS yang keterima di kedokteran. Underlined, di kampus top juga," Lia menggeleng-gelengkan kepalanya takjub.

Ino mengendikkan bahunya, itu tidak lebih dari sebuah tragedi keberuntungan yang terlalu aneh diterima oleh tiap-tiap kepala manusia. Ia hanya memenuhi keinginan sang Ibu. Kalau lulus, ya dilakukan. Kalau tidak, bukan masalah. Toh saat awal masuk SMA, Ino sebenarnya masuk di peminatan IPA. Namun ia tidak suka, terlalu kaku. Lagipula bukan masalah besar selama ada aktivitas yang kerapkali disebut belajar.

"Nggak enak di sana. Nggak ada Jayen, nggak bisa nongkrong."

Alasan yang sebenarnya juga benar. Berkuliah di luar kota bukanlah sesuatu yang baik. Tidak bisa beraksi atau macam-macam sebab bukan kandang. Tidak akan ada rekan yang membantu bila terlibat suatu percekcokan. Yah, walaupun Ino juga malas memancing keributan tapi kadangkala itu muncul sebagai sebuah keahlian. Walau tidak sengaja.

Namun sebenarnya, bukan itu sorot utamanya.

Ino tidak bisa jauh dari kedua orang tuanya yang semakin tua setiap harinya. Banyak alasan-alasan berdasarkan keberadaan keluarganya yang menjadi landasan krusial. Siapa yang mengantar Ibunya? Siapa yang membantu Ayahnya? Siapa yang mengantar kedua orang tuanya bila salah satunya sakit? Siapa yang mengantar mobil sang Ayah ke bengkel? Siapa yang akan mengurus ketiga adiknya: Sooni, Dongi, dan Dori?

Konklusinya: Siapa. Yang. Memenuhi. Kewajiban. Sebagai. Anak.

"Loh, beneran cuma karena nggak bisa nongkrong?" Lia mengernyitkan keningnya, heran. Apakah hanya alasan se-sederhana itu, lalu Ino melepaskan predikat mahasiswa aktif sebuah program studi yang paling diincar?

"Enak banget. Aku kalau jadi Mas, pasti nggak bakalan dibolehin keluar sama orang tuaku."

Jujur, Ino-pun seperti itu. Perlu pergulatan hebat dengan kedua orang tuanya, utamanya dengan pikirannya.

Apakah ia benar berada di jurusan ini? Apa yang akan ia lakukan bila ia pindah? Bagaimana biaya yang sudah dikeluarkan oleh Ayah dan Ibunya di semester pertama?

Banyak sekali yang dipertimbangkan.

Sejujurnya, alasan utama ia pindah adalah: takut mendengar berita kurang baik dari kedua orang tuanya.

Suatu peristiwa yang menjadi ujung tombak keputsannya.

Saat itu, Ino sedang mengikuti perkuliahan blok anatomi. Tidak ada yang aneh, semua berjalan biasa saja. Namun peraturan yang ditetapkan tiap berlangsungnya perkuliahan cukup ketat, yakni menonaktifkan ponsel. Tidak diperkenankan ada suara barang getaran sekalipun yang berpotensi menjadi distraksi.

Namun di benak Ino, itu adalah peraturan paling konyol seantero semesta.

Hal yang terjadi, rekan dekat Ino lupa mematikan ponselnya. Ponselnya berdering, suaranya menggema memenuhi ruangan. Pekik dari dosen─kami memanggilnya dokter, langsung membumbung tinggi hendak melontari omelan. Rekannya itu terburu-buru mematikan ponsel, tanpa melihat siapa pelaku yang mengirimkan panggilan suara. Dimasukkan lagi ke dalam tas, tanpa dimatikan. Mungkin ini memang rencana semesta. Ponsel rekannya kembali berdering. Sungguh, atmosfir ruangan saat itu seperti arena pertarungan yang menunggu nyawa rekannya dieksekusi. Rekannya kesal, meraih ponsel dan melihat siapa nama yang menjadi pelaku bencana ini.

AMOR TAKSA [Leeknow x Lia]Where stories live. Discover now