Enambelas

190 51 6
                                    

Matahari telah tergelincir dari peraduannya. Bentala telah menggelap, tanda waktu memasuki malam. Desa tempat Lia melakukan PKL adalah desa dengan jumlah warga paling sedikit. Maka dari itu, suara jangkrik yang lebih mendominasi daripada hiruk-pikuk warganya sendiri.

Kegiatan pencarian data sudah berakhir sore tadi. Responden yang dibutuhkan sudah mencapai batas perencanaan. Langkah selanjutnya adalah pengolahan data. Koding dan skoring pada gulungan lembar kertas tabulasi yang ditempelkan pada dinding rumah penginapan.

Tidak ada yang tidur, mereka saling bergantian terjaga untuk gotong-royong menyelesaikan pengolahan data sebelum matang guna keperluan analisis saat kembali ke Ibukota nanti.

"No berapa tuh? 36 ya?"

"He'eh, variabel fatalistik."

"Oke.. satu, satu, dua, empat, dua, dua, empat.."

"Bentar pelan-pelan.."

Lia dan Nana sedang berkutat mengisi tabulasi. Sebenarnya lebih mudah menggunakan excel, namun dilarang dan dititahkan untuk belajar menggunakan lembar tabulasi. Beberapa rekannya sudah tertidur sebab kelelahan. Sedang Lia dan Nana, yang memang jagoan begadang itu masih terjaga walau kini sudah pukul satu lebih. Mereka susah tidur bila masih ada tanggungan. Sedang di seberang ruangan, ketua dan wakil kelompoknya sedang menonton televisi. Namun Lia yakin seratus persen bahwa televisi yang menonton rekannya karena mereka tertidur.

"Lo.. ngerasa dingin nggak sih, Li?" Nana berceletuk di tengah-tengah kesibukan mengisi koding.

"Na, tolonglah. Gue nggak suka kalau lo bahas hantu-hantuan." Lia membalas seraya mengerucutkan bibirnya sedih. Ia sangat takut dengan hal-hal berbau seperti itu.

"Enggaak, Li. Beneran dingin. Nih, gue flu."

Lia merasakan hawa di sekitarnya. Memang benar-benar dingin. Lantas ia mengalihkan pandangannya pada beberapa temannya yang tidur di atas lantai hanya beralaskan karpet tipis khas tahlilan.

"Ini temen-temen lo yang tidur di atas karpet nggak disuruh pindah ke kamar aja, Na? Gue takut mereka masuk angin."

"Boleh, Li."

Keduanya, Lia dan Nana, segera mendekati teman-temannya yang sedang terlelap itu. Menggoyangkan tubuh-tubuh yang ada agar terbangun dan pindah ke kamar karena hawa ruang tamu terlampau dingin. Termasuk Ben, yang tidur paling ujung dan dekat dengan pintu kamar mandi juga tangga.

"Ben.." Lia berbisik lirih seraya tangannya menyentuh lengan atas Ben. Ia menggoyangkan tubuh Ben yang sedang meringkuk membelakanginya secara perlahan agar tidak membuatnya bangun terkejut.

Namun tidak ada jawaban. Mata Ben masih terpejam.

"Ben.." Lia mencoba lagi. Namun tidak ada jawaban. Ben tidur seperti orang mabuk.

Namun rupanya tidak. Bibir Ben yang terkatup tiba-tiba bergetar hebat. Tangannya mengepal di depan dadanya pada tubuhnya yang meringkuk seperti janin dan ia menggigil. Lia refleks menyentuhkan punggung tangannya pada kening Ben.

Panas. Sangat panas.

"NANA.. Ben sakit kayanya,"

Mendengar ujaran Lia, Nana langsung bergegas mendekati Ben dan meletakkan punggung tangannya pada kening Ben seperti yang dilakukan Lia tadi. Kini Lia meraih telapak tangan Ben. Dingin, sangat dingin seperti hendak membeku.

"Ini Ben hipotermia kayanya. Bikin dia sadar dulu. Na, ambil selimut, jaket, atau apapun buat naikin suhu badannya. Bangunin si Zaki juga, Na."

Nana mengangguk mendengar instruksi Lia, sedang Lia menggenggam tangan Ben. Menggosoknya dengan cepat untuk melakukan transfer panas tubuhnya pada tubuh Ben seraya bibirnya tidak berhenti memanggil nama laki-laki yang belum sadar itu.

"Ben.."

"Ben.."

"Ben, lo bisa denger gue?"

Lia lantas menegakkan tubuh Ben yang semula rebah meringkuk menjadi duduk. Kepala Ben disandarkan pada pundak Lia lantas tangan Lia menggosok punggung Ben. Tujuannya sama, agar tubuh Ben tidak bersentuhan dengan karpet tipis yang dingin serta masih untuk transfer panas agar suhu tubuh Ben naik.

Nana datang membawa segala kain yang dapat membuntal tubuh Ben untuk memberikan hawa gerah. Lia meraih pemberian Nana itu dan segera melilitkan kain-kain itu pada tubuh Ben yang masih bersandar pada pundaknya, sedang Nana langsung membangunkan rekan-rekannya.

Persekian sekon kemudian teman-temannya telah berkumpul. Lia menitahkan teman-temannya itu agar memindahkan Ben menuju kamar. Tubuh Ben kini telah berbaring di atas kasur. Seluruh ventilasi yang berpotensi mengundang suhu dingin ditutup.

"Lo ada nomer PLK terdekat kan, Li?"

"Ada, Ki. Cuman setau gue PLK sini nggak 24 jam. Mantri terdekat di desa bawah. Puskesmas ada di kecamatan pusat."

Panik. Seluruhnya panik melihat Ben yang tidak kunjung sadar. Zaki dan beberapa rekan lain bergegas untuk mencari bala bantuan kesehatan paling dekat, meninggalkan beberapa rekan saja di rumah untuk menemani Ben.

Tangan Lia tidak berhenti menggosokkan telapak tangan Ben.

Namun, syukurlah. Sudah tidak beku seperti tadi, dan Ben tidak menggigil separah tadi. Lia mendekatkan ujung botol minyak kayu putih yang terbuka pada indra penciuman Ben.

Butuh waktu sepersekian menit hingga akhirnya bala bantuan datang. Mantri memeriksa Ben sedemikan rupa, dan dijatuhi anamnesa bahwa pria itu mutlak terkena hipotermia. Untungnya, belum di titik darurat. Sehingga Mantri tadi hanya menyarankan untuk terus menyalurkan suhu tubuh kepada Ben.

Menuju pukul dua, kelopak mata Ben baru terbuka. Amat buram penglihatannya, seraya retinanya mencoba menyesuaikan cahaya. Ia tidak menggigil lagi, tanda suhunya sudah mulai beranjak mendekati normal. Kedua matanya menatap presensi Lia yang terkantuk-kantuk duduk di sampingnya sambil menggosok telapaknya. Ada sirat kekhawatiran pada siluet kedua maniknya.

"Li..."

Sontak Lia menoleh ke arah suara. Sebuah senyum lantas terbit pada rautnya melihat temannya itu sudah sadar.

"Gimana? Lo masih kerasa dingin?" tanyanya sembari tangannya terulur menyentuh kening Ben.

Ben menganggukkan kepalanya, "Sedikit."

"Lagian, lo tidur deket tangga ama di depan toilet. Gimana nggak masuk angin coba."

Ben hanya tersenyum tipis, "Namanya orang ngantuk, ketiduran."

"Kalo orang pinter tuh tau harusnya tidur di mana. Bangun kek kalau ngerasa kedinginan, terus pindah. Lo bikin temen-temen lo panik."

Lia membenarkan posisi selimut Ben. Ia meraih jaket Zaki yang tersampir pada ujung kasur lantas melilitnya pada tubuh Ben. Kembali Lia memegang telapak Ben untuk menggosok menghangatkannya.

Ben hanya menatap Lia sendu, bahkan malu. Tubuhnya layu hanya karena terkena udara dingin. Laki-laki macam apa selemah itu, pikirnya. Namun di sisi lain, ia tenang merasakan bagaimana gurat pada telapak Lia bersentuhan dengan gurat telapak miliknya.

Ben mengingat kembali bagaimana telapak Lia yang digenggam oleh Ino pada tragedi dimana Lia terjerembab di selokan tatkala melakukan observasi di kampung pemulung beberapa waktu lalu.

"Lo panik juga nggak?"

"Panik lah? Gue PIC-nya kesehatan lo pada ya. Gue pasti jadi ujung tombak yang disalahin kalau lo kenapa-kenapa."

Andai. Andai saja Ben tiba lebih dulu dan dapat mengenggam telapak Lia, lantas mengeluarkannya dari sana. Pasti ini adalah momen kedua untuknya dapat menggenggam tangan perempuan yang kini seringkali berlarian di pikirannya.

Lia.

Kali ini Ben benar-benar memiliki rasa padanya.

"Li.."

"Mm?"

"Kalo gue bilang gue suka sama lo, apa respon lo?"

Lia mendaratkan jitakan singkat pada kepala Ben.

"Lo mabok paracetamol."

***

AMOR TAKSA [Leeknow x Lia]Where stories live. Discover now