My True Me (END)

By deesar

42.3K 5.8K 11.3K

17+ Setahun yang lalu, Zita tiba-tiba tersadar dan mendapatkan luka panjang dari telapak hingga pergelangan... More

Epitasio
Satu
Dua
Tiga
Empat
Lima
Enam
Tujuh
Delapan
Sembilan
Sepuluh
Sebelas
Dua Belas
Tiga Belas
Empat Belas
Lima Belas
Enam Belas
Tujuh Belas
Delapan Belas
Sembilan Belas
Dua Puluh
Dua Puluh Satu
Dua Puluh Dua
Dua Puluh Tiga
That Night (1)
That Night (2)
That Night (3)
That Night (4)
That Night (5)
That Night (6)
That Night (7)
That Night (8)
That Night (9)
That Night (10)
That Night (11)
That Night (12)
That Night (13)
That Night (14)
That Night (15)
Dua Puluh Empat
Dua Puluh Lima
Dua Puluh Enam
Dua Puluh Tujuh
Dua Puluh Delapan
Dua Puluh Sembilan
Tiga Puluh
Tiga Puluh Satu
Tiga Puluh Dua
Her Past (1)
Her Past (2)
Her Past (3)
Her Past (4)
Her Past (5)
About Him and His Girl
Tiga Puluh Tiga
Tiga Puluh Empat
Tiga Puluh Lima
Tiga Puluh Enam
Tiga Puluh Tujuh
Tiga Puluh Delapan
Tiga Puluh Sembilan
Empat Puluh
Empat Puluh Satu
For Tonight
Empat Puluh Dua
Empat Puluh Tiga
Empat Puluh Empat
Empat Puluh Lima
Empat Puluh Enam
Empat Puluh Tujuh
Empat Puluh Delapan
Empat Puluh Sembilan
Lima Puluh
Lima Puluh Satu
Lima Puluh Dua
Hatred (1)
Hatred (2)
Hatred (3)
Hatred (4)
Hatred (5)
Hatred (6)
Lima Puluh Tiga
Lima Puluh Empat
Lima Puluh Lima
Lima Puluh Enam
Lima Puluh Tujuh
Lima Puluh Delapan
Lima Puluh Sembilan
Enam Puluh
Enam Puluh Dua
Animo
Enam Puluh Tiga
Enam Puluh Empat
Enam Puluh Lima
Enam Puluh Enam
Catastrophe (END)
Extra Part (1)
Extra Part (2)
Extra Part (3)

Enam Puluh Satu

157 8 13
By deesar

Can everyone stop calling me 'Thor'?
So annoying.

I'm Hulk, okay?

Wkwk, gak deng bersyaaanda...

Bebas mau panggil apa or just call me by my name, 'Dee', 'Sar', 'Sayang' (ini khusus kalo ada transferannya aja), atau panggil 'Nyai' juga boleh (NYAI!!!)
Hahahahaha

It's okay, gwenchanaaa...

....

"Yang gue tahu, saat ini ... gue cuma berharap lo selalu ada di dekat gue."

Tak ada yang bisa Mila ucapkan. Bibirnya hanya diam, matanya menatap lurus ke mata coklat terang lelaki di hadapannya.

Setelah beberapa saat hanya ada keheningan, Mila akhirnya bersuara. "Lo tahu, Dip, walau mengelak berkali-kali, gue sadar kalau hidup gue bukan sepenuhnya milik gue. Ini milik Zita. Gue protector, gue yang seharusnya jagain Zita, tapi malam itu, justru gue yang hampir ngebunuh dia. Karena itu, gue pengen ngelepasin semuanya. Rasanya ... gue mau meninggalkan semuanya."

Adifa menatapnya, mendengarkan semua perkatannya.

"Gue bisa aja pergi hari itu," lanjut Mila, "tapi gue merasa Zita masih butuh gue." Mila tersenyum tipis. "Ini hanya soal waktu. Gue nggak mau serakah lagi. Gue nggak mau lo berharap sama seorang Mila yang bisa menghilang sewaktu-waktu. Dan selagi sempat, gue mau bilang terima kasih buat semuanya, Dip. Lo orang pertama yang ... mengharapkan gue. I ... really .... "

Mila tak sanggup melanjutkan kalimatnya. Sibuk mengedip-ngedipkan mata yang mulai kabur digenangi air.

"Sorry ...," ucapnya diiringi tawa hambar sambil mengusap jejak basah di pelupuk mata. "Kayaknya ada yang masuk ke mata gue."

Adifa menahan tangan Mila agar tak terus mengusap matanya. Membuat kedua netra mereka kembali bertemu, saling tatap begitu lekat.

"Gue bener-bener berharap lo nggak pergi ke mana-mana," ujar Adifa. Tangannya bergerak menyentuh pipi Mila, ibu jarinya mengusap sisa air mata yang ada di bawah mata Mila. Pandangannya lantas turun ke bibir Mila yang kemudian disusul helaan napas berat. "Gue merasa berengsek banget sekarang." Pandangan Adifa kembali ke dua manik hazel milik Mila. "Can I?"

Mila memang sudah bilang jika dirinya tak ingin serakah, tapi untuk satu hal yang sedang coba Adifa lakukan sekarang, bolehkah ia menerimanya sebagai hadiah perpisahan?

Tanpa menjawab, Mila memejamkan mata. Tangan Adifa yang berada di pipi beranjak turun ke bawah telinga Mila. Menarik pelan tengkuk gadis itu agar wajah mereka semakin dekat.

Akan tetapi, suara pintu yang terbuka kemudian tertutup, membuat Mila kembali membuka mata. Adifa terdiam di tempat, sadar untuk mengurungkan niatnya. Sejenak, mereka hanya saling pandang dalam jarak dekat, hingga akhirnya Adifa tersenyum. "Ridan datang. He saved you from me." Ibu jari Adifa mengusap pipi Mila tanpa memutuskan kontak mata mereka. "Dia bakal syok kalau lihat kita kayak gini sekarang."

Benar saja, sebelum sempat Adifa menarik badan, Ridan yang baru datang dan melihat posisi wajah keduanya teramat dekat kontan mengumpat. "Holy shit! What the hell are you doing?"

...

Setelah mengabari Ridan, Adifa meletakkan ponselnya ke atas dashboard dan fokus untuk menyetir. Bulir-bulir keringat memenuhi dahinya. Beberapa kali ia menegakkan punggung sambil mengernyit untuk mencari posisi ternyaman agar sakit di dadanya sedikit berkurang.

"Gue aja yang nyetir." Mila yang menyadari hal itu mencoba menawarkan pilihan.

Adifa menggeleng. "Lo bantu cek aja di maps. Siapa tahu ada tempat yang jauh dari penduduk buat berhentiin mobil ini."

Mila mengambil ponsel Adifa, membuka maps sesuai arahannya. Dari fitur street view, Mila menyusuri jalanan yang sedang mereka tuju, mencari tempat aman yang sekiranya jauh dari jangkauan orang. Sayangnya, tak ada tempat yang ia rasa tepat untuk meninggalkan mobil dengan bom yang kekuatan ledakannya masih dipertanyakan.

Waktu berlalu. Suara ponsel berdering menghapus keheningan yang tercipta di dalam sana. Mila reflek menoleh ke suara yang berasal dari belakang. Ia melepas seat belt. Dengan setengah menunduk, ia merangkak pindah ke kursi belakang untuk melihat ke bagasi. Matanya seketika membola saat melihat layar kecil di atas kotak hitam itu menyala, menunjukkan waktu yang menghitung mundur dari menit ketiga puluh.

"Bomnya aktif," ucap Mila.

Adifa melirik jam di head unit. "Masih 40 menit, kenapa udah aktif?"

Pertanyaan Adifa dijawab oleh dering ponsel yang dipegang Mila. Layarnya kembali menunjukkan panggilan dari nomor yang di-private.

"Ah, sorry. Tangan gue tadi licin, jadi nggak sengaja ngaktifin bomnya." Sesaat setelah Mila menjawab telepon, Zivana langsung mengucap penyesalan meski nada suaranya tak sedikit pun menunjukkan hal serupa.

Mila mendengkus. "Lo sengaja, kan?"

Tawa Zivana terdengar renyah seolah pertanyaan Mila adalah candaan. "Mana mungkin. Lo sendiri bisa cek kalau countdown-nya aja di-setting 30 menit. Itu lebih dari cukup buat kalian berhentiin mobilnya dan lari sejauh-jauhnya. Kalau gue emang sengaja, nggak mungkin gue sebaik itu kasih banyak waktu buat kalian menyelamatkan diri."

Jawaban Zivana jelas bukan hal yang bisa langsung Mila percaya. "So? What do you want?"

"Ketebak banget, ya?" Tawa Zivana kembali terdengar. "Then, listen. Seperti lo, yang tahun lalu bisa lolos setelah bunuh Kak Galen, gue pengen tahu apa lo bisa lolos kali ini. It's a game, Mila. Be the winner or the loser."

Mila mengerutkan kening. Matanya melirik layar kecil yang kini menunjukkan sisa waktu 28 menit 45 detik. "Game apa?"

"Mobil kalian nggak bisa melambat di bawah 40 kilometer per jam," papar Zivana. "Semakin kalian melambat, hitungan mundur bomnya bakal semakin cepat. Gue lihat posisi kalian udah deket sama gue. Gimana pemandangannya? Bagus banget, kan? Jalan raya di pinggir tebing dengan view laut lepas. Sayangnya, kalau kalian tinggalin mobil dan biarin bomnya meledak di area itu, getaran dari ledakan bomnya mungkin bakal buat tebingnya longsor dan nutup jalan atau bahkan nimbun rumah-rumah di sekitar. Kecuali, lo nggak masalah kalau harus mengorbankan nyawa orang yang nggak bersalah."

Mata Mila memejam. Ini bukan sekedar game, tapi Zivana sedang menyuruhnya memilih tempat untuk mati.

"Jadi ...." Zivana kembali bersuara. "Apa yang bakal lo lakukan Mila?"

Mila tak menjawab.

"Kalau lo berhasil lolos dari game ini, bukan hanya nyawa lo yang selamat, tapi nyawa orang-orang di rumah sakit juga bakal selamat."

"Maksud lo?" Dahi Mila berkerut dalam.

"Lo nggak berpikir kalau gue cuma masang satu bom aja, kan?" tanya Zivana seakan meledeknya. "Masih ada satu bom lagi yang gue pasang di parkiran rumah sakit. Kalau lo berhasil selamat, bom yang ada di sana nggak akan gue aktifkan hari ini."

"Artinya lo bakal aktifin di hari lain?"

"Itu babak bonus. Kalau lo harus selamat kali ini, lo harus temuin gue. Sen-di-ri-an. Setelah itu, baru kita lihat hasil yang lo dapat."

"Sialan. Apa nyawa orang cuma mainan buat lo?"

"Gue balikin pertanyaan itu ke lo." Suara Zivana terdengar mengeras. "Apa nyawa kakak gue juga mainan buat lo?"

Sambungan diputus sepihak. Membuat Mila mengumpat sambil menggenggam ponsel dengan erat.

"Kenapa?" tanya Adifa yang meliriknya dari kaca depan.

Tanpa menjawab, Mila kembali membuka aplikasi navigasi. Ia melihat titik lokasinya berada saat ini. Jalan raya tepi laut, jalur dari Senggigi ke Lombok Utara. Mila melihat gambar di peta dengan seksama hingga menemukan satu titik, membuka street view untuk melihat lebih detail kondisi area itu, kemudian meyakini jika itu adalah jalan keluar yang bisa ia ambil.

"Jawab gue, Mil," kata Adifa yang tak kunjung mendapatkan jawaban.

Mila menatapnya dari pantulan kaca depan. Mengingat kondisi lelaki itu, ia tak mungkin melibatkannya dalam satu-satunya rencana yang bisa ia dapatkan, tapi ... gimana caranya ngebuat Dipa turun dari mobil?

"Siapa yang telepon? Ada masalah?" tanya Adifa lagi.

"Dip, stop," perintah Mila tiba-tiba. "Berhentiin mobilnya."

"Kenapa?" tanya Adifa sambil menepikan mobil ke tepi jalan.

Setelah mobil berhenti, tangan Mila terangkat ke arah Adifa. Isyarat agar Adifa menunggu dan tidak mengganggunya. Mila kembali menoleh ke belakang, melihat countdown timer yang kini menunjukkan angka 25 menit 34 detik, mencocokkannya dengan jam di pojok atas layar ponsel. Begitu angka berubah menjadi 24, Mila mulai menghitung dalam hati. Tepat di hitungan ke-15, angka kembali berubah, turun ke angka 23.

Satu menitnya sama dengan 15 detik, pikir Mila.

Jarinya kembali menggulir layar membuka maps. Setidaknya--menurut estimasi yang tertera di maps--butuh tiga menit untuk mencapai titik yang ia temukan tadi. Mila melirik countdown timer. Sisa waktunya hanya 22 menit. Matanya lantas memejam, mencoba berpikir berapa waktu yang ia punya jika harus membujuk Adifa turun dari mobil lebih dulu.

Perlahan, rasa panik mulai menguasai. Jantungnya berdegup cepat tanpa terkendali.

I hate mathematics!

Mila mengumpat dalam hati. Pikirannya terlalu kacau untuk diajak berpikir.

Adifa yang melihatnya dalam diam mulai tak sabar. "What are you doing, Mil?"

Tak ada waktu lagi. Mila segera pindah ke kursi depan. Bagaimanapun caranya, ia harus bisa membuat Adifa ke luar dari mobil secepatnya.

Mila menarik napas. Matanya mengunci netra Adifa. "Lo percaya sama gue kan, Dip?"

Adifa mengernyit, lelaki itu terdiam untuk beberapa saat sebelum akhirnya menggeleng. "Terakhir kali gue percaya, lo berbuat nekat. Sekarang, gue nggak mau percaya apa pun yang bakal lo omongin."

"Please ...."

"NGGAK!" bentak Adifa sambil memegangi dadanya. Bentakan yang ia keluarkan jelas memberikan efek rasa sakit di tulang rusuknya. "Apa pun yang ada dalam pikiran lo sekarang, jangan lakukan!"

"Kita nggak punya banyak waktu. Hitungan mundur bomnya jadi semakin cepat kalau mobilnya berhenti."

"Terus kenapa lo malah nyuruh gue berhenti?" Suara Adifa semakin meninggi. Lelaki itu bergerak, berniat kembali melajukan mobil, tapi Mila buru-buru menahannya.

"Listen to me. Kita punya kesempatan buat tinggalin mobilnya dan biarin bomnya meledak di sini, tapi ...." Mila mengedarkan pandangan ke sekitar mereka. Jalan raya dengan beberapa kendaraan yang sesekali melintas, tebing tinggi di sisi kanan, dan beberapa bangunan entah vila atau rumah warga yang berada di sisi kirinya. "Kalau meledak di sini, bomnya bisa makan korban nggak bersalah. I have a plan, tapi gue nggak bisa libatkan lo dengan kondisi lo yang kayak gini. So, please. Kali ini percaya sama gue."

"What's your plan? Nggak perlu mikirin keadaan gue. Kita bisa lakukan bareng--"

Belum sempat Adifa menyelesaikan kalimatnya, Mila lebih dulu mencondongkan tubuh ke arahnya, menghentikan debatan Adifa dengan mempertemukan bibir mereka.

Mata Adifa terbeliak. Di detik pertama, tubuhnya mematung karena terkejut. Namun, di detik berikutnya, ia sadar Mila hanya sedang membuatnya lengah.

Baru saja ia berniat mendorong Mila, gadis itu lebih dulu menarik diri. Melepaskan ciuman dadakannya, menatap netra Adifa lekat seraya berkata, "Sorry."

Pintu mobil seketika terbuka, seat belt yang Adifa kenakan tanpa sadar sudah terlepas. Bersamaan dengan itu, tubuhnya langsung didorong keluar dari mobil. Adifa mengerang. Sakit di rusuknya semakin menjadi saat tubuhnya jatuh membentur aspal.

Menghiraukan Adifa yang tengah tertatih untuk bangkit, Mila segera menutup pintu dan mulai menjalankan mobil, menekan pedal gas hingga kecepatannya naik ke atas 40 kilometer per jam.

Setelah cukup jauh, ia melirik spion samping. Terlihat sebuah mobil berhenti di belakang Adifa yang berdiri di tengah jalan, menghadap ke arahnya sambil memegangi dada kanannya.

"Lo bisa mati kalau ikut rencana ini dalam kondisi kayak gitu," gumam Mila.

Pandangan Mila beralih pada jam yang tertera di head unit. Jika dihitung sejak mobil berhenti sampai mobil berjalan kembali, ia menghabiskan waktu lima menit. Itu artinya sebanyak 20 menit--waktu yang bom itu berikan--terbuang sia-sia.

"24 dikurangi 20 ...." Mila mendesis, menyadari waktunya hanya tersisa 4 menit.

Mila fokus ke depan. Kakinya menekan pedal gas. Tujuannya sekarang adalah rest area yang berjarak beberapa ratus meter di depan, di tikungan tajam yang kini terlihat di ujung pandangan matanya. Cukup melewati satu tikungan dan semuanya akan selesai.

Kelokan di depannya semakin dekat, tapi Mila tak sedikit pun mengurangi laju mobilnya. Mila melirik spion, tak ada kendaraan lain selain satu motor yang berada jauh di belakangnya.

Aman.

Satu tarikan napas, diikuti embusan napas panjang.

Here we go, Mila.

Mata Mila menatap lurus. Tangannya mengerat pada kemudi mobil. Jantungnya berdegup kencang. Sudah tidak ada jalan baginya untuk mundur.

Tepat di jalur yang berbelok itu, ia menarik rem tangan, memutar setir hingga mobil berbelok tanpa menurunkan kecepatan. Dengan mulus, ia berhasil melewati rest area dengan bukit yang menjorok ke laut.

Matanya lantas melirik GPS. Hanya bisa percaya pada gambar yang tertera di sana. Percaya pada gambar yang menunjukkan satu-satunya tepian jalan raya dengan titik paling dekat dengan laut. Satu-satunya kesempatan yang bisa ia ambil daripada harus membiarkan mobil itu meledak di tengah jalan raya.

Mila menekan pedal gas lebih dalam.

Tiga ....

Dua ....

Satu ....

Melihat tempat yang tepat, Mila langsung membanting setir ke kiri. Mengeluarkan mobil dari jalan raja. Menabrak beberapa pohon kecil sebelum mobilnya melayang di atas hamparan laut lepas, melompat jatuh dari atas tebing yang kemudian disusul oleh ledakan besar di udara.

...

Tbc

...

Aku deg-degan nulis part ini, wkwk

Btw, bantu koreksi kalo hitunganku ada yg salah. Karena aku pinternya kalau ngitung duit sama ngitung tanggal gajian, #tertawakarir

150224

Continue Reading

You'll Also Like

1M 63.5K 64
[WAJIB FOLLOW TERLEBIH DAHULU SEBELUM MEMBACA] ~ADA INFO TAMBAHAN NIH. KALAU KALIAN NGERASA SEPANJANG CERITA ADA YANG BERANTAKAN, WAJAR AJA YA. KAREN...
1.3K 409 21
[TAMAT]✓ Prestasi: 1-bersaudra (8/12/2023) Andini telah lama tinggal di pulau sebrang sendirian. Walaupun memiliki teman yang menerimanya apa adanya...
560K 85.2K 74
Cocok untuk kamu peminat cerita dengan genre #misteri dan penuh #tekateki, juga berbalut #action serta #scifi yang dilatarbelakangi #balasdendam. Kas...
101K 8.5K 56
Karena pembantaian yang terjadi di rumahnya. Anak itu harus hidup membawa dendam. Tak ada kehangatan di dirinya, semua sudah hilang tergantikan dingi...