"Bukan sebesar lautan, dunia dan seisinya, tapi, cinta aku ke kamu itu kebesaran Allah yang paling indah."
⎯Azizan Arsala Sidik
***
Pagi-pagi buta, Hikam sedang bersiap-siap untuk berangkat kerja. Namun, ada sedikit perbedaan pendapat saat Fira berbicara dengan Hikam.
"Aku cinta banget sama kamu loh! Kamu rasanya bisa bikin aku senyum sepanjang hari," ceplos Fira begitu jujur.
"Wah, sayangnya bukan komedian," aku Hikam dengan wajah datar.
"Iya sih tapi kamu bisa buat aku senyum dong dengan ketampanan kamu," timpal Fira kekeuh.
Setelah mereka berbincang-bincang sejenak, Fira tampak sedikit bergeser dari Hikam.
"Mukanya kenapa? Ada yang mau diobrolin?" tanya Hikam curiga.
"Aku enggak bisa sembunyiin ternyata," balas Fira mengedipkan sebelah mata.
"Baru tau aku kalau orang Arab suka sebut wanita itu harim," lanjutnya.
"Iya, soalnya sesuatu yang haram disentuh sama yang bukan halal baginya dan dilarang dekat-dekat," jelas Hikam sebelum memakan sarapannya.
Fira menatap Hikam dengan tatapan sedikit tidak nyaman, "Tapi aku,'kan bukan harim," ujarnya perlahan.
Hikam memandang Fira agak terkejut, lalu tersenyum, "Tentu aja bagi aku, kamu adalah istriku sayang."
Fira menghela nafas lega dan kembali tersenyum.
Namun, tiba-tiba Hikam mendesis, "Oh enggak, aku lupa kalau hari ini aku tidak pakai deodoran!"
Fira mengerutkan dahi, "Eww, serius?"
"Maaf, Beb," ucap Hikam memelas, "Kira-kira aku bisa minjam punya kamu enggak?"
Fira menggeleng, "Mau diambil dari mana lagi punya kita beda kamu pakai khusus pria aku pakai khusus wanita, aku udah bilang sama kamu kemarin kalau kamu harus beli stok cadangan."
Hikam menggaruk kepala. "Tahun depan aku harus ingat kalau deodoran jangan sampai kehabisan stok." Dan keduanya pun tertawa lepas, menandakan bahwa walaupun dalam situasi kurang enak, mereka masih tetap bisa bercanda.
Hikam melanjutkan, "Itu juga kalau umur aku masih ada."
***
Alzena terus menutupi perutnya ketika ia merasa sangat mual dan ingin muntah. Sedangkan di dapur, Tata sedang sibuk memasak. "Umi, ada yang bisa aku bantu?"
Tata menoleh dan memandang Alzena. "Enggak, Sayang. Kamu harus istirahat. Kamu mual dan hamil. Saat-saat kayak gini, kamu harus banyak rehat dan biarin orang lain bantu kamu."
"Maksud aku, aku enggak mau cuman duduk di sini dan enggak lakuin apa-apa. Lagipula aku mau bantu," balas Alzena dengan lembut.
Tata tersenyum dan berjalan mendekat ke arah Alzena. "Kalau gitu, umi buat sup ayam hari ini. Gimana kalau kamu bantu umi potong sayurannya?"
Alzena terlihat senang, bahkan ketika perutnya mual. Dia membalas senyum sang ibu mertua. Mereka berdua memutuskan untuk berdiri di sebelah meja dapur dan mulai memotong sayuran. Pisau yang tajam berkilau dan sayuran hijau, merah, dan kuning tersebar di sekitar Alzena dan Tata.
Alzena tiba-tiba merasa perutnya mual lagi dan berhenti bekerja sejenak untuk memijat perutnya sendiri. Tetapi, Tata melihatnya dan langsung memegang tangannya. "Kamu pasti lelah," ucapnya dengan serius, "Kamu harus istirahat, Alzena. umi mau beresin semuanya."
"Enggak umi, aku mau bantu," ujar Alzena dengan kasih sayang.
"Umi tahu itu sayang, tapi kesehatan Bayi itu lebih penting. Kamu harus mengurus baik-baik diri kamu sendiri," tutur Tata dengan penuh perhatian.
"Makasih, Umi," balas Alzena dan menghela nafas.
Tata meneruskan pekerjaannya dengan cepat dan berangkat ke dapur untuk melakukan pekerjaannya sendiri, sementara Alzena tetap duduk di kursi di sebelahnya seraya menatap Tata.
Setelah beberapa saat, Alzena mulai merasa cemas tidak melakukan apapun. Dia merasa kurang berguna dalam keluarga tersebut. Tata berbalik dan melihat Alzena sedang mengamati dengan cemas. "Ada masalah?"
"Enggak," jawab Alzena cepat. "Cuman enggak enak soalnya harus duduk di sini dan enggak lakuin apa-apa umi."
Tata menghentikan kegiatannya dan berjalan ke arah Alzena. Dia merangkul dan menepuk-nepuk bahunya dengan penuh kasih sayang dan mengatakan, "Enggak perlu khawatir, Nak, kamu itu anak umi. Jangan merasa enggak enak sama keluarga ini."
***
Rezki terus mengitari kamarnya yang kecil karena dia sedang merencanakan sesuatu yang besar. Dia ingin keluar dari penjara untuk kembali bertemu Alzena. Dia tidak bisa berhenti memikirkannya. Ia tahu dia akan melakukan apa saja untuk bersamanya. Pria itu mengambil selembar kertas dan menuliskan beberapa nama dan jumlah uang di sampingnya.
Sementara itu Elisa sedang melakukan hal yang serupa, namun tujuan mereka berbeda. Dia terobsesi dengan suami Alzena, Azizan, dan dia ingin mencuri hatinya.
"Lo udah yakin rencana lo berhasil?" tanya Elisa.
Rezki mengangguk. "Gue tinggal lakuin itu dan segalanya akan berjalan dengan lancar lo juga sama."
Malam itu, mereka berdua diatur untuk mengeksekusi rencana mereka. Rezki telah berbicara dengan beberapa tahanan lain dan memberi mereka uang untuk membantunya lolos dari penjara. Dia tahu persis siapa yang harus dia minta untuk membantunya, dan dia yakin dia sudah membayar mereka dengan cukup banyak uang. Akhirnya, Rezki berhasil meloloskan diri dari penjara.
***
Seperti saat tengah malam begini mereka sudah kembali ke rumah. Azizan masih sama masih menyebutkan nama Alzena lewat jalur langit. Memang tidak tampak oleh mata kedepannya mereka gimana? Tapi, pasti tertata. Azizan yakin itu.
Azizan tahu bahwa jalur langit sangat jelas dan teratur, dan lelaki itu percaya bahwa pesan yang Azizan kirimkan akan terdengar di sisi lain dunia. Dia berusaha memikirkan kata-kata yang tepat untuk disampaikan.
Alzena yang terbangun karena ngidam memandang suaminya, betapa beruntungnya bukan hanya sholatnya saja yang terjaga tapi pandangannya pula.
Semuanya itu berawal dari sholat, kalau ingin perbaiki diri perbaiki sholat.
Sholat memang mengubah seseorang lebih baik.
Alzena begitu percaya tentang makna dibalik sholat.
"Udah doanya?" tanya Alzena saat melihat Azizan selesai menengah tangan.
"Udah," jawab Azizan melipat sajadahnya.
"Kalau boleh tau cinta kamu ke aku sebesar apa?" Alzena juga tidak mengerti mengapa menanyakan hal seperti ini.
"Bukan sebesar lautan, dunia dan seisinya, tapi, cinta aku ke kamu itu kebesaran Allah yang paling indah," jawab Azizan begitu menenangkan.
"MasyaAllah banget kamu ini suka aja bikin aku terharu," kata Alzena gembira sekali.
"Mau apa, Sayang?" tanya Azizan begitu peka.
"Coba kamu foto pakai boneka, terus jadiin profil ya?" Alzena memohon dengan mengedipkan dua matanya.
Azizan bimbang. Benar-benar aneh istrinya ini.
"Enggak ada yang lain?" tanya Azizan ragu menuruti permintaannya kali ini.
"Enggak ada," balas Alzena mengusap-usap perutnya.
Dengan helaan nafas Azizan menurut. Demi istri. Demi si kembar.
"Untung boneka aku yang lama enggak aku buang." Alzena memboyong boneka yang ada di lemari.
"Ikhlas enggak?" Alzena mengecilkan matanya.
"Ikhlas, sayang aku, istri aku, cinta aku," jawab Azizan begitu kentara ikhlasnya.
Alzena menyerahkan beberapa macam boneka.
"Gayanya yang bener deketin ke pipi," pinta Alzena dengan senyum gemilang.
"Bagus, aku hitung ya, 1, 2, 3." Cekrek! Sungguh ini benar-benar menyenangkan bagi Alzena dari pada memakan banyak makanan.
"Sekarang mukanya jangan datar, harus senyum, Sayang," komentar Alzena masih belum cukup.
***
Ada yang nungguin ga?
Maafin updatenya kemaleman, soalnya abis ada acara dari pagi sampai siang:)
Makasih udah mau support buat cerita ini, selamat istirahat✨🌷