"Terima kasih sudah datang, Pak Sadha."
"Terima kasih juga untuk sumbangannya di panti asuhan kami yang sekian kali."
"Iya, Bu." Diberikan jawaban singkat sebagai balasan untuk ketua yayasan panti asuhan.
"Apa Bapak akan berkeliling dulu? Kebetulan Dokter Kenanga Weltz juga ada di sini."
Untuk membalas, hanya dilakukan anggukan kecil. Lantas, diikuti Ibu Risma yang akan mengantarnya ke salah satu ruangan.
Tertulis di depan pintu, Kamar Khusus Untuk Bayi 0-1 Tahun, dibaca dengan saksama.
Dan baru beberapa langkah kakinya melewati ambang pintu, pergerakan seketika terhenti saat melihat sosok yang tidak asing.
Tarima serta Kenanga.
Cukup kaget karena melihat mereka berdua.
Tak mengherankan jika Kenanga kerap juga berkunjung, Panti Asuhan Asih memang menjadi tempat berdonasi utama semua anggota keluarga besar Weltz.
Namun tetap tidak disangka jika Kenanga akan datang bersama Tarima, sang istri.
Ya, bukan rahasia lagi jika mereka memiliki persahabatan yang erat. Kerap terlibat dalam beberapa kegiatan bersama-sama.
Lagi-lagi bukan masalah besar, tapi karena ia sedang menghindari Tarima, pertemuan tidak sengaja seperti ini, membuatnya terkejut.
Dan tak ada cara menghindar, termasuk juga pergi tiba-tiba, tidak akan jadi solusi terbaik.
Lalu, didengar sang ketua yayasan menyapa Kenanga dan Tarima. Keduanya tentu segera menyadari kehadirannya di dalam ruangan.
Kenanga tersenyum sambil melambai, tapi sang istri tidak bereaksi apa-apa. Bahkan, memandang sedetik pun tak ada padanya.
Karena ketua yayasan mendekati dirinya guna berpamitan pergi, maka diurungkan sebentar keinginan menghampiri Tarima.
"Jika ada apa-apa, Pak Sadha boleh dibicarakan dengan saya."
"Iya, Bu."
Lalu, sang ketua yayasan meninggalkan ruangan.
Sadha pun memutuskan untuk keluar juga. Ia juga tak ada kepentingan. Cukup sudah tugasnya mengantar donasi yang telah diselesaikan.
"Kak Sadha!"
Baru saja dilewati ambang pintu, Kenanga memanggilnya.
Langkah kaki pun dihentikan.
"Kak Sadha mau ke mana?"
"Pulang." Dijawab cepat pertanyaan sang adik sepupu.
Atensi tak setuju pada Kenanga, melainkan ke sosok Tarima yang ternyata masih di dalam. Tak ikut keluar bersama Kenanga.
"Aku boleh minta tolong nggak, Kak Sadha?"
"Apa?" tanyanya dengan sedikit curiga.
Terlebih, sang adik sepupu tersenyum aneh padanya.
"Bisa minta tolong antar Tarima pulang? Aku harus ke rumah sakit karena ada jadwal operasi dua jam lagi."
"Nggak sempat aku antar Tari pulang, Kak."
"Baik." Sadha mengiyakan permintaan Kenanga tanpa harus berpikir dulu.
"Ah, iya, Kak Sadha ...."
"Apa? Katakan saja, Kena." Sadha ingin Kenanga to the point bicara, jika punya sesuatu yang harus disampaikan dengannya.
"Nanti malam, Tari ada jadwal pemeriksaan, Kak Sadha saranku harus menemani dia."
Kali ini, Sadha tak menyahut cepat. Tentu, masih menimbang-nimbang.
Bukan juga tidak mau. Yang jadi pertimbangan sudah jelas izin dari Tarima.
Apakah wanita itu akan memperbolehkannya untuk pergi ke klinik dan menemani?
"Datang saja, Kak Sadha. Aku yang urus Tari, kalau dia ngamuk."
"Oke." Sadha menyetujui bantuan diajukan sang adik sepupu.
"Dan benar Kak Sadha mau antar Tari pulang, 'kan?"
"Iya." Sadha menjawab secara singkat saja.
"Kalian masih suami-istri tinggal beda rumah. Nggak normal tahu."
Kenanga tengah menyindirnya, walau dalam nada canda dan diiringi tawa.
Ketika hendak dijelaskan alasan yang melatarbelakangi, sang adik sepupu sudah masuk kembali ke ruangan bayi dengan langkah amat gesit.
Sadha memilih diam di luar. Duduk di sebuah bangku yang tersedia tak jauh.
Diambil ponsel untuk memeriksa pesan-pesan dan email-email pekerjaan yang masuk. Satu demi satu dibuka guna mengisi waktu.
Walau weekend, akan ada saja beberapa staf mengirim hasil pekerjaan mereka.
"Mas ...,"
Baru saja Sadha ingin membaca sebuah email, suara milik Tarima didengar.
Kepala lantas diangkat guna melihat dimana posisi sang istri.
Wanita itu duduk di sebelahnya, dengan jarak lumayan dekat, mengingat luas bangku juga tidak cukup lebar untuk ditempati berdua.
Sadha mendadak tegang.
Mungkin karena pengaruh rasa bersalah dan sesal atas pertengkaran mereka yang terakhir, apalagi dicium Tarima tanpa seizin wanita itu.
"Mas akan mengantarku pulang?"
Sadha terpaku menyaksikan sorot mata istrinya yang setajam biasanya, tak terpancar energi negatif seperti kemarahan. Tarima menatapnya biasa-biasa saja.
"Mas?"
Panggilan Tarima seketika menyadarkan dirinya dari fokus yang sempat hilang.
"Saya akan antar kamu pulang, Tari."
"Aku bisa pulang sendiri, Mas."
"Akan saya antar." Sadha masih bersikeras. Suara dibuat lebih tegas.
"Kamu ingin pulang sekarang?"
"Setengah jam lagi, Mas."
"Aku masih mau mengajak Baby Issha."
"Baby Issha?" Sadha bertanya karena tidak cukup paham.
"Bayi laki-laki tiga bulan."
"Baru diserahkan ke sini oleh ibu kandungnya karena bercerai."
"Saya ingin lihat dia." Sadha spontan saja meminta. Hatinya terketuk tiba-tiba.
Saat Tarima mulai bergerak bangun, ia juga beranjak.
Lalu, diikuti wanita itu di belakang. Mereka menuju ke suatu tempat.
Ternyata ke ruangan bayi yang tadi.
Sadha pun berhenti, saat melihat Tarima bicara dengan seorang perawat yang bertugas.
Dengan jelas didengar sang istri meminta izin untuk mengajak Baby Issha.
Tak lama, bayi laki-laki itu sudah diangkat dari boks. Berada dalam gendongan Tarima.
Sang istri lantas berjalan mendekat padanya.
"Ini dia."
Tangan kanan Sadha langsung terulur ke pipi Baby Issha yang tengah tertidur, dibelai dengan lembut. Entah mengapa, hatinya menghangat.
"Mau coba ajak Baby Issha, Mas?"
Sadha menggeleng cepat. Menolak karena tak yakin akan bisa menggendong dengan benar. Tarima pun tidak memaksanya.
Mereka tak bercakap-cakap lagi. Tarima juga tidak menjauh. Tetap berdiri di sebelahnya dalam jarak pemisah yang amat pendek.
Sadha tentu tak mengalihkan pandangan barang satu detik pun dari sang istri.
Menyaksikan bagaimana Tarima tersenyum hangat pada Baby Issha, mampu memberikan rasa nyaman semakin besar ke relung hatinya.
"Mas harus mulai belajar menggendong bayi."
Setelah beberapa menit tak ada pembicaran di antara mereka, ucapan sang istri menghentak kesadarannya.
Dikembalikan atensi ke sepasang netra cokelat wanita itu.
Mereka berdua bersitatap intens.
"Mas ingin membesar bayi kita bersama-sama?"
Pertanyaan Tarima menghantam logikanya.
"Aku akan memberi Mas kesempatan untuk mencintaiku."
Sadha terlambat bertanya balik, jawaban sudah dilontarkan Tarima dengan gamblang.
Ketegangan bertambah karena pembicaraan serius ini.
"Kenapa tiba-tiba?" Sadha perlu mengonfirmasi alasan di balik keputusan Tarima.
"Aku tidak mau egois memisahkan anakku dengan ayahnya."
...................................................
Ada yang kangen nggak? Cihuyyy.
yokyok vote dan komen dulu bentuk support Mas Sadha sama ayang baikan. Wkwkwk.