1737 kata
Warning!!!
17+
Note : Aku jahat, wkwk
...
“Maaf ya, Kay,” sesal Zita sekeluarnya Kayla dari ruang UGD.
Lengan kanan gadis itu terbalut perban karena harus mendapat beberapa jahitan akibat luka panjang yang didapatnya saat melindungi Zita.
Kayla mendengkus. “Ih, nggak apa-apa. Lecet gini doang, nanti juga sembuh.”
“Kalau berbekas gimana?” Zita tahu bagaimana strict-nya Kayla saat ada bekas jerawat yang tak kunjung hilang dari wajahnya, apalagi sekarang mendapat luka panjang seperti itu.
“Tenang. Nanti gue ke Korsel buat operasi plastik biar mulus lagi,” gurau Kayla.
Moza yang berdiri di belakang Zita hanya geleng-geleng kepala. Ridan yang berdiri di sebelahnya tersenyum. Sedangkan Theo yang duduk di kursi tunggu sebelah mereka tak menunjukkan respon apa-apa.
Kaki Kayla menyenggol kaki Theo. “Lo kenapa, sih? Gue yang sakit, tapi lo yang keliatan depresi gitu.”
Tiga orang yang lain kini menoleh ke arah Theo.
“Cukup Zita aja yang merasa bersalah. Lo nggak usah ikut-ikutan pasang muka begitu,” sambung Kayla.
Theo merotasi matanya. “Ge-er banget. Liat lo masih bisa bercanda, rasanya sia-sia gue di sini.” Theo berdiri. “Gue tunggu di luar aja.”
Lelaki itu lantas keluar, meninggalkan teman-teman yang tengah menatap bingung ke arahnya.
“Dia kenapa, sih?” tanya Kayla.
Zita mengangkat bahu.
...
“Za, tolong ambilin kabel charger di laci, dong.” Ridan yang duduk di belakang kemudi menatap baterai ponselnya yang sudah berwarna merah.
Moza membuka laci dashboard di depannya, mencari kabel yang Ridan butuhkan, lalu menyerahkannya pada lelaki itu.
“Thanks,” ucap Ridan, menerima kabel dan menghubungkannya ke car charger.
Moza mengangguk. Saat hendak menutup laci, sebuah kotak plastik transparan mencuri perhatiannya. Ia mengambil kotak itu. Dari luar, ia bisa melihat isi di dalam kotak, yaitu beberapa potong kain flanel dan benang jahit.
“Ini punya lo?”
Ridan yang hendak menyalakan mobil kontan menoleh. “Eh!” Buru-buru ia merebut kotak itu dari Moza. “Jangan dilihat.”
Moza mengangkat alis.
Ridan tersenyum kikuk. “Niatnya gue mau bikinin sesuatu buat lo. Kayak boneka kambing yang dibuat si Sableng, tapi ternyata gue nggak bakat sama dunia per-handmade-an. Jadi, mending gue beli aja.”
(Baca ALTRAKSA (My Absurd Husband) karya rizkiandst)
Moza menatap kotak yang dipeluk Ridan. “Coba gue lihat.”
“Jelek, Za. Bener, deh,” elak Ridan.
“Sini, lihat dulu.” Tangan Moza terulur, meminta kotak itu dari tangan Ridan.
Dengan enggan, Ridan menyerahkan kotak itu. Memandang ragu saat Moza membukanya. Bisa ia lihat, Moza mengulum bibir, menahan senyum begitu melihat buah karyanya.
“Kan,” kata Ridan, “udah dibilang jelek.”
Dari dalam kotak itu, Moza mengambil boneka kecil bentuk kupu-kupu berwarna kuning dengan jahitan pinggir ala kadarnya. “Lucu, kok.”
Ridan mencoba merebut benda kecil itu, tapi Moza lebih dulu menarik tangannya.
“Ini buat gue, kan?” tanya Moza. “Kalau gitu, gue ambil, ya?”
“Jangan. Nanti gue beliin aja yang lebih bagus.” Ridan menolak, merasa tak enak hati jika harus memberikan karya jeleknya itu.
“Ini udah bagus, kok. Makasih, ya.” Moza berkata dengan lembut, membuat Ridan tak kuasa untuk tak mengangguk.
Moza lantas mengambil jarum dan benang dari dalam kotak. Tangan gadis itu mulai memasangkan benang ke bagian atas boneka, lalu menyambungkannya ke lubang gantungan yang ada pada phonecase-nya.
“Za, jangan dipasang di situ. Malu-maluin.” Ridan mencegahnya, merasa iba pada ponsel Moza yang harus bersanding dengan gantungan absurd buatannya.
Moza tersenyum menatap kupu-kupu kuning yang kini sudah menggantung di ponselnya.
Ridan masih memasang wajah tak enak. “Lo suka?”
Moza mengangguk. “Lucu, kayak lo.”
Ridan reflek hadap depan, melipat tangannya di atas setir, lalu membenamkan mukanya yang memanas. “Nggak bisa gue kalau diginiin.”
Moza tersenyum melihat tingkah Ridan yang sudah tak aneh lagi. “Tapi, kenapa kupu-kupu?”
Ridan mengangkat muka. Menoleh pada Moza, lalu menatap gantungan itu. “Gue nggak tahu lo suka hewan apa, tapi karena profil chat lo pake gambar kupu-kupu, jadi gue buatin kupu-kupu. Walau hasil jadinya malah lebih mirip ngengat sih daripada kupu-kupu.”
Alasan lainnya, tentu saja karena Ridan tahu apa filosofi dari seekor kupu-kupu dan warna kuning.
Moza mengangguk paham. “Thanks udah buatin ini. Bakal gue simpen baik-baik.”
...
Moza melambaikan tangan saat mobil Ridan bergerak pergi dari rumahnya. Setelah mobil itu semakin menjauh, barulah Moza melangkah menuju pintu rumahnya.
“Sekarang lo jadi deket ya sama dia.”
Mendengar itu, Moza memutar badan. Matanya seketika melebar saat melihat sosok yang berdiri tak jauh di belakangnya.
Ia buru-buru membuka pintu untuk masuk, berniat untuk menguncinya rapat-rapat, tapi Iddar lebih dulu menahan pintunya agar tak tertutup.
Ekspresi dan nada suara lelaki itu terdengar dingin. “Gue akan bersikap baik kalau lo mau turutin gue sekarang.”
“Gue nggak punya urusan sama lo!” bentak Moza sambil berusaha mendorong pintu agar tertutup, tak peduli jika lengan dan kaki Iddar yang menghalangi pintu akan terjepit di tengahnya.
“Lo nggak penasaran sama alasan gue melakukan itu dua tahun lalu?” tanya Iddar, mencoba memengaruhi pikiran Moza.
“Nggak!” Moza menjawab tegas. “Apa pun alasan lo, lo udah ngerusak hidup gue!”
Moza menggunakan badannya untuk mendorong pintu, sedangkan sebelah tangannya merogoh ke dalam tas, mencoba mencari ponsel yang ia letakkan di dalam sana.
Iddar habis sabar. Ia langsung mendorong pintu dengan kuat hingga membuat Moza ikut terdorong dan tersungkur ke lantai. Lelaki itu lantas masuk, menutup pintu rumah, kemudian menjambak rambut Moza yang berniat melarikan diri.
Moza memekik sambil memegangi rambutnya yang digenggam kasar. “Lepas!”
“Kayaknya lo minta dikasarin dulu baru mau nurut,” kata Iddar. Tangannya menarik rambut Moza agar mengikutinya menuju kamar. “Awalnya gue cuma mau ajak lo kasih kejutan buat Theo, tapi karena lo susah diajak kerjasama, kayaknya buat video live kita lagi having s*x bakal jadi lebih seru.”
“Nggak! Nggak mau!” Moza meronta, mulai dihinggapi rasa panik. Tubuhnya bergetar. Otaknya kontan dipenuhi bayangan masa lalu yang kembali menghantui. Rasa takut sukses membelenggunya hingga ilmu bela diri yang selama ini ia pelajari seakan menguap tanpa satu pun bisa ia praktekkan.
Iddar menghempas tubuh Moza ke atas kasur. Lelaki itu lantas melepas jaket dan kaos yang dikenakannya. Kembali menarik tubuh Moza yang berniat kabur agar tetap telentang di atas tempat tidur.
Dengan bertelanjang dada, Iddar naik ke atas tubuh Moza, menjepit badan gadis itu di antara dua pahanya. Tubuhnya sedikit membungkuk, satu tangannya menyangga di sebelah kepala Moza, sedangkan tangan yang lain mencengkeram rahang gadis itu.
“Good! Nangis kayak gitu.” Seringaian muncul di wajah Iddar melihat Moza memberontak dengan air mata yang menghias wajah. “Nangis lebih keras, biar Theo lihat kalau ada cewek yang menderita gara-gara suka sama dia.”
Tubuh Iddar menegak. Tangannya turun, merobek atasan Moza hingga memperlihatkan brassiere yang gadis itu gunakan. Iddar mengambil ponsel dari saku belakang celananya, kemudian melakukan sambungan video call dengan Theo sambil mencekik Moza yang sibuk membetulkan sobekan pakaian untuk menutup area tubuhnya yang terbuka.
“Hai, Yo.” Iddar tersenyum saat ekspresi dingin Theo muncul di layar ponselnya.
Iddar segera mengangkat tangannya tinggi-tinggi saat Moza yang berada di bawahnya hendak merebut ponsel darinya.
“Sabar dong, Sayang,” ucap Iddar, tangannya kembali mencengkeram rahang Moza. “Gue tahu lo udah nggak sabar.”
Iddar lantas mendongak, menatap ponselnya yang ia angkat tinggi ke atas, lalu mengarahkan kamera depannya untuk memperlihatkan tubuh setengah telanjangnya dengan tubuh Moza di bawahnya.
Mata Theo yang melihat itu kontan melebar. “Berengsek!”
Iddar tertawa, menurunkan tangannya, mengalihkan panggilan video itu ke kamera belakang untuk memperlihatkan tubuh Moza.
“Pemandangan indah, kan?” tanya Iddar, menatap layar ponselnya yang menunjukkan gambar Moza tengah berusaha menutupi diri dan wajahnya, lalu menatap tampilan wajah Theo yang kini memejamkan mata karena tak mau melihat apa yang ia tunjukkan.
Tangan Iddar bergerak turun dari rahang Moza. Menyentuh dada gadis itu.
“Please ... lepasin gue.” Moza memohon dengan tangis seraya menahan tangan Iddar yang kini berada di atas penutup dadanya.
“Ssstt ....” Iddar menarik tangannya dari cengkeraman Moza. “Just enjoy it. Seperti gimana dulu lo nikmatin permainan.”
Tangan Iddar bergerak turun, bersamaan dengan layar kamera yang mengikuti pergerakan tangannya. Jarinya turun ke perut Moza, terus turun hingga menyentuh bagian atas celana yang gadis itu gunakan. Dengan dua jarinya, Iddar membuka kancing celana Moza.
“Bangsat! Urusan lo sama gue, bukan sama dia!” Theo di ujung sana terdengar semakin meradang.
Moza menangis keras sambil menjauhkan tangan Iddar dari tubuhnya. Namun, getar ketakutan yang ia rasakan seolah melemahkan tenaganya, hingga tangannya tak cukup kuat untuk menyingkirkan tangan Iddar.
“Please!” Ganti Theo yang memohon. “Gue bakal lakuin apa pun. Lo boleh nonjok gue sepuasnya atau sekalian aja bunuh gue, tapi please, lepasin Moza.”
Iddar tertawa. Mengembalikan tangkapan layarnya ke kamera depan, menampilkan wajahnya untuk kembali berhadapan dengan wajah frustasi Theo.
“Bunuh lo? Tawaran yang menarik.” Iddar menyeringai. “Tapi, nanti. Setelah gue kasih servis memuaskan buat Moza.”
Iddar langsung memutus sambungannya begitu saja. Yakin tindakannya sudah cukup untuk membuat sosok yang dibencinya itu kalang kabut. Iddar lantas beranjak dari atas tubuh Moza. Turun dari tempat tidur. Memungut kaos dan jaketnya yang ia lempar ke lantai untuk kembali ia kenakan.
Sambil mengenakan pakaiannya, Iddar menatap Moza yang tengah meringkuk, meraung di atas tempat tidur.
“Seharusnya lo nggak pernah suka sama Theo, jadi lo nggak perlu ngalamin ini semua. Cowok kayak dia nggak pantes buat dicintai siapa pun.”
Mendengar itu, Moza jadi bertanya-tanya. Memang apa salahnya?
Dan entah mendapat kekuatan, serta keberanian dari mana, Moza tiba-tiba bangkit. Berdiri di depan Iddar, lalu menampar keras pipi lelaki itu.
“Apa menurut lo, gue berhak diperlakukan kayak gini?” tanya Moza. “Salah gue apa sama lo?”
Setelah mengatakan itu, tubuh Moza meluruh duduk di lantai, memeluk lututnya, menangis dengan tubuh gemetar.
Iddar bergeming di tempatnya. Tak menghiraukan rasa panas yang didapat sebelah wajahnya.
“Salah lo adalah menyukai Theo, Za.” Iddar akhirnya berucap dingin. “Dari awal gue udah deketin lo, biar lo nggak suka lagi sama dia. Tapi, sikap baik gue ternyata nggak cukup buat ngubah rasa suka lo.”
Iddar lantas berjongkok di depan Moza. Mengangkat wajah gadis itu agar menatapnya.
“Bukan cuma gue yang harus lo benci, tapi benci Theo juga,” kata Iddar. “Seharusnya, kejadian dua tahun lalu udah cukup buat lo untuk memilih nggak kembali ke sini, apalagi sampai ketemu Theo lagi.” Iddar melepaskan tangannya, lalu berdiri. Dikeluarkannya pisau lipat dari saku jaketnya, kemudian melemparkannnya ke hadapan Moza. “It’s your choice, Za. Kembali ke Jerman atau lo tahu harus apa sama benda itu.”
Usai mengucapkan itu, Iddar berjalan keluar. Di dekat pintu depan, ia melihat tas dan ponsel Moza tergeletak di lantai. Ia mengambil ponsel bergantungan kupu-kupu kuning, membuka kunci layar dengan kode yang ia tahu, lalu menghubungi seseorang.
“Halo, Za.” Suara Ridan menyapanya.
“Moza lagi butuh lo, mending lo balik ke sini sekarang,” ucap Iddar yang langsung mematikan teleponnya.
Satu embusan napas berat lolos dari bibirnya. Iddar menoleh kembali ke pintu kamar Moza yang terbuka, lalu berucap dengan lirih. “Benci gue seumur hidup lo, Za.”
...
Tbc
...
Apa filosofi kupu-kupu dan warna kuning?
Googling aja.
Kenapa gak ada pict gantungan kuncinya?
Kalo kata Ridan, itu terlalu burik buat difoto. Wkwk
Apa Iddar membenci Moza?
Silakan dinilai sendiri dari gesturnya.
Kalo ditanya, apa aku suka sama Iddar?
Absolutely, Yes.
Alasannya?
Gak ada. Murni suka aja walau dia antagonis.
Cocoklah sama aku, sama2 jahat, haha
Btw, selamat tanggal 1 Desember...
011223