Naughty Nanny

By SitiUmrotun

6.7M 337K 108K

"Baju lo kebuka banget. Nggak sekalian jual diri?" "Udah. Papi lo pelanggannya. HAHAHA." "Anjing!" "Nanti... More

P E M B U K A
chapter 1
chapter 2
chapter 3
chapter 4
chapter 5
chapter 6
chapter 7
Chapter 8
chapter 9
Chapter 10
Chapter 11
Chapter 12
Chapter 13
Chapter 14
Chapter 15
Chapter 16
Chapter 17
Chapter 18
Chapter 19 🔞
Chapter 19
Chapter 20
Chapter 21
Chapter 22
Chapter 23
Chapter 24
Chapter 25
Chapter 26
Chapter 26 🔞
Chapter 27
Chapter 28
Chapter 29
Chapter 30
Chapter 31
Chapter 32
Chapter 32 🔞⚠️
Chapter 33
Chapter 34
Chapter 35
Chapter 36
Chapter 37
Chapter 38
Chapter 38 🔞⚠️
Chapter 40
Chapter 41
Chapter 42
Chapter 43
Chapter 44
Chapter 45
Chapter 46
Chapter 46 🔞⚠️
Chapter 47
Chapter 48
Chapter 49
Chapter 50
Chapter 51
Chapter 51 🔞⚠️
Chapter 52
Chapter 53
Chapter 54
Chapter 55
Chapter 56
Chapter 57
Chapter 58
Chapter 59
Chapter 60
Chapter 61
(what if) Manggala marah 🔞⚠️
Chapter 62
Chapter 63
Chapter 64
Extra Chapter 1
Extra Chapter 2

Chapter 39

75.9K 4.1K 826
By SitiUmrotun

P E M B U K A


Kasih emot dulu buat chapter ini
\(^o^)/

Celana yang Manggala perosotkan baru saja menyentuh mata kaki, ketika pintu kamar mandi tiba-tiba terbuka. Kontan pria itu mendongak menatap cermin besar di hadapannya. Dari situ ia bisa melihat Viola berdiri di ambang pintu, sedang menguap lebar disertai gerakan menggaruk kepala.

Diam-diam di tengah kegiatan melepas satu per satu kancing piamanya, terus Manggala perhatikan sang kekasih yang baru bangun tidur itu. Wajahnya masih lesu dengan kelopak mata belum terbuka sempurna, penampilannya pun masih berantakan. Sepertinya begitu terjaga, Viola langsung menyusulnya tanpa memperhatikan penampilan.

"Sebel banget gue ditinggalin! Tadi, kan, udah minta tungguin sebentar," dumel Viola begitu menempel pada punggung lebar Manggala. Tak sekadar menempel, ia beri pukulan-pukulan pelan sebagai hukuman. Puas memberi hukuman, perempuan itu gunakan dua tangan untuk memeluk prianya erat-erat dari belakang.

"Padahal gue cuma minta waktu lima menit doang, nggak digubris. Nyebelin banget," gumamnya tidak jelas lantaran posisi wajah ia tekan ke punggung Manggala.

"Saya juga udah bilang, kalau kamu masih ngantuk dan butuh tidur, silakan lanjutin tidurnya. Kamu nggak perlu ikut bangun sepagi ini."

"Tapi gue pengin mandi bareng lagi biar kita makin banyak momen, Mas," rengek Viola. Pelukannya ia longgarkan saat rasakan pergerakan Manggala, hingga kini pria itu berdiri menghadapnya. Memperhatikannya yang sedang merajuk dengan cara dibuat lebih berlebihan dari biasanya.

"Maaf ya," sesal Manggala kemudian menempatkan tangan pada pinggang Viola. Dengan mudah ia bawa perempuan itu melayang dan berakhir duduk di meja wastafel. 
Manggala basuh lembut wajah menahan kantuk kekasihnya dengan telapak tangan yang basah, lalu beri usapan lebih banyak di area sekitar mata dan bibir.

"Dimaafin tapi mandi bareng ya, Mas. Pengin dimandiin lagi. Nanti lo boleh pegang-pegang dikit. Mau emut emmhhh emmhhh atau jilat-jilat nghhh juga boleh."

"Iya. Nanti saya bantu mandiin kamu lagi."

"Nah gitu dong, guenya disayang-sayang. Kalau lo nggak ini-ituin gue, gue tuh ngerasa nggak disayang," akunya tidak perlu main kode. Punya pacar model Manggala tuh harus terang-terangan maunya apa. "Gendong dong!"

Tanpa mengatakan apapun, Manggala tanggalkan satu per satu pakaian Viola, sisakan pakaian dalam saja. Begitu juga dengan dirinya. Kemudian langsung saja ia bopong dan turunkan kekasihnya di bath up, disusul dirinya. Mereka pun berendam air hangat bersama. 

"Ekhem. Gue nunggu disuruh pindah ke pangkuan lo. Kapan mau nyuruh gue pindah? Nggak mungkin, kan, kita jauh-jauhan begini. Kayak asing banget, nggak suka gue," celetuk Viola sewaktu posisi mereka tak seperti yang diharapkan. Ia mengincar kedua paha pria itu untuk dijadikan alas duduk. "Apa langsung aja, nih, gue samperin dan dudukin kayak semalem?"

"Viola pindah sini," ajak Manggala seraya mengulurkan tangan. Ia sambut kedatangan sang kekasih yang kini duduk di atas pangkuan menghadapnya. Tidak tunjukkan sisi keberatan sewaktu pasangannya itu sedang dalam mode manja. Pun saat rahang juga dadanya menjadi sasaran perempuan itu. Manggala benar-benar terlihat pasrah dan memang sudah menyerahkan diri sepenuhnya untuk Viola sentuh sesuka hati.

"Lo mau ngomong sesuatu?" tebak Viola buat Manggala tertegun. Pria itu sampai tak berkedip perhatikan wajah sang kekasih. Dalam benak ia bertanya, 'kok bisa Viola tau?'. Apa perempuan itu benar-benar sudah menguasai bahasa tubuhnya?

"Muka lo tuh nggak bisa bohong. Keliatan banget kalau lo mau ngomong sesuatu, tapi ragu, takut, atau apa itu gue nggak tau. Mau ngomong apa, sih? Ngomong aja, gue bakal dengerin kok. Paling kalau omongan lo nggak ngenakin atau mulai ngelantur nggak jelas, gue langsung cium aja bibir lo biar nggak ngomong lagi," terang Viola diakhiri dengan senyuman lebar, kemudian menaik-turunkan kedua alis dan berakhir mencipratkan air ke wajah pria yang mempertahankan ekspresi datarnya. Jauh sekali dari harapan Viola.

Usai usap wajah, Manggala hela napas panjang. Ia yakinkan diri dan coba untuk membahas hal yang membuatnya semakin sulit tidur.
"Saya masih kepikiran soal ajakan kamu semalem. Apa kamu yakin saya udah cukup pantes buat ngadep ke ayahmu nanti? Apa nggak sebaiknya saya siapin diri dulu? Seenggaknya sampe saya punya jawaban berbobot kalau nanti ditanya-tanya. Buat sekarang, saya masih jauh banget dari—hmmpttt."

Ciuman kasar Viola gunakan untuk menghentikan ucapan ngelantur Manggala yang tidak ingin ia dengar.
"Jangan mikir buruk soal keluarga gue dong! Bokap-nyokap gue nggak sejahat itu kok. Gue berani jamin, mereka nggak mungkin ngerendahin orang lain cuma karena status sosial. Kalau sejahat yang lo bayangin, mereka pasti udah malu dan larang gue dari awal kerja jadi pengasuh Askara. Tapi apa mereka kayak gitu? Nggak, kan?"

"Saya cuma khawatir."

Viola bingkai wajah Manggala, bawa mendekat ke wajahnya. Kecupan-kecupan lembut terus ia tabur di sepanjang garis tegas rahang prianya itu, lantas berkata, "jangan khawatir soal apapun selagi kita masih sama-sama, oke? Gue yang bakal pastiin semua kekhawatiran dan ketakutan lo nggak bakal terjadi. Lo percaya, kan, sama gue?"

"Iya," jawab Manggala mencoba yakin dan percaya pada Viola. Semoga saja kali ini tidak salah menaruh kepercayaan.

"Nah gitu dong! Coba senyum," pinta Viola. "Terus ininya jangan dikerutin coba, kek orang banyak beban banget," sambungnya seraya mengusap lembut kening Manggala.

Tidak ada alasan untuknya menolak permintaan sederhana Viola. Lepas satu bebannya, ia pun tersenyum tipis. Tipis-tipis begitu mampu membuat perempuannya terkesima dan bereaksi berlebihan sampai jejeritan. Untung saja Manggala sudah mulai terbiasa dengan hal-hal tentang Viola. Tidak terlalu kaget, pun saat sang kekasih kini memeluk sembari menggesek brutal dadanya menggunakan wajah seperti kucing garong. Lalu mengecup tiap-tiap bekas luka menahun di dada, sementara telapak tangan menyentuh bekas luka di bagian punggung. 

"Kamu nggak penasaran kenapa ada banyak bekas luka di badan saya?"

Pertanyaan itu menghentikan seluruh gerakan Viola yang kini mendongak menatap intens pada Manggala.
"Nggak cuma soal ini," katanya seraya menunjuk salah satu bekas luka. "Gue penasaran sama apapun tentang kalian—lo, Askara, Kala. Tapi gue tahan-tahan karena khawatir bikin lo ngerasa nggak nyaman dan semakin jauh. Makanya gue diem aja, cuma nunggu sekalian nyiapin diri. Barangkali lo mau cerita tanpa gue minta."

"Ini ulah ayah Shankara—papa tiri saya," ucap Manggala membuka topik. "Beliau selalu pukulin saya dan sampai hari saya nggak tau alesannya. Saya selalu dijadiin samsak setiap kali beliau ada masalah, apapun itu. Dulu saya masih terlalu kecil buat lawan. Saya cuma bisa nangis dan minta ampun setiap kali beliau main tangan."

"Nyokap lo?"

"Ada, ibu saya sering bantu obatin lukanya. Biasanya ibu dateng kalau ayah udah puas dan pergi."

"Ibu macam apa itu?! Kenapa nggak nolongin lo pas dianiaya orang gila?"

"Saya yang minta, biar ibu sama ayah nggak berantem. Saya yang minta biar ibu nggak pisah sama ayah. Terlepas dari sisi buruk yang selalu main tangan, beliau baik ke ibu. Berkat beliau, ibu nggak perlu kerja banting tulang buat hidupin saya. Ibu bisa tidur nyenyak di tempat nyaman, makan makanan yang enak-enak, dan bisa banyak istirahat tanpa harus kerja. Tolong jangan hakimi keputusan saya di masa itu. Saya udah ngeliat gimana susahnya ibu sebelum menikah lagi. Itu jadi alasan kuat supaya ibu nggak kembali ke masa itu."

"Walaupun itu ngorbanin diri lo? Lihat! Gue nggak bisa bayangin apa yang bokap sinting lo lakuin. Bekasnya aja kayak gini. Pasti bukan luka pukulan biasa."

"Saya aja udah lupa pernah diapain aja sama beliau sampai kayak gini—lebih ke nggak mau inget," pungkasnya kemudian mengambil jeda sebelum menyambung kalimat sebelumnya.
"Yang terpenting, saya udah tepati janji ke diri sendiri supaya nggak jadi kayak beliau. Di masa sekarang, buat balas dendam, saya bisa. Tapi saya milih buat nggak lakuin itu. Lebih baik memperbaiki diri dan pastiin Kala sama Askara tumbuh tanpa mengalami apa yang saya alami. Kala dan Askara harus dapet cinta dan kasih sayang yang banyak. Badan Kala dan Askara harus bersih tanpa bekas luka pukulan dari saya. Kala dan Askara harus dapetin apa yang mereka mau. Kala dan Askara berhak berpendapat, bebas pilih menu makanan, boleh beli mainan yang banyak, dan hidup bahagia tanpa kekangan."

"Gue tambahin, resolusi lo buat Kala sama Askara belum lengkap soalnya. Mmmm jadi mereka harus dapet mami terbaik—yang cantik, rajin, baik hati, penyayang, sabar, nggak pernah main tangan, royal, bucin banget ke papinya, bisa jadi partner in crime mereka biar papinya makin pusing. Dan semua yang tadi gue sebut, ada di dalam diri gue. Jadi, ayo buruan nikahin gue biar bisa jadi mami buat anak-anak lo itu."

"Pelan-pelan ya, Vio. Masih banyak yang harus saya selesein."

"Kalau banyak, sini gue bantu. Gini-gini gue bisa diandelin lo. Dan sebelum lo beralasan ngerepotin atau ngebebanin gue, biar gue kasih paham. Gue ke lo itu nggak jauh beda sama sayangnya lo ke Kala ataupun Askara. Dimana lo pengin selalu ada buat mereka, bantuin mereka setiap kali kesusahan, dan ngelakuin apapun yang terbaik buat mereka. Dan lo nggak ngerasa direpotin atau dibebani, kan?" tanya Viola yang diberi anggukan lemah oleh Manggala.

"Nah, singkatnya gue kayak gitu! Gue mau nemenin lo lewatin semuanya. Apa bedanya punya dan nggak punya pasangan kalau apa-apa lo atasi sendiri? Gue tuh mau banget berguna buat. Nggak papa kalau dimulai dari hal kecil kayak misal sekedar berguna buat jagain anak-anak lo. Syukur-syukur dilibatin dan bisa berguna buat selesein semua masalah lo. Paham nggak, Ganteng?" Viola jawil pangkal hidung bangir Manggala disertai kerlingan nakal khasnya.

"Iya."

"Iya apa coba? Jangan cuma iya-iya doang."

"Iya itu ... cerita ke kamu, biar dibantu selesein masalah."

"Sip. Teorinya udah lo pahami, tinggal dipraktekin. Inget, jangan main ambil kesimpulan jelek tentang gue yang bikin lo jadi nggak berani cerita apalagi minta tolong!"

"Nanti malem ngobrol lagi ya, Vi. Sekarang kita mandi dulu. Saya harus segera jemput Askara sama Kala di rumah Jihan. Kalau dari sini jauh banget, jadi saya harus agak pagian berangkatnya. Kamu kalau mau di sini aja, nggak papa. Nanti Askara biar saya bawa ke kantor, biar diasuh sama Jiro dulu. Kayaknya kamu masih butuh banyak istirahat."

"Enak aja main nyuruh Jiro! Lupa kalau Jiro adek sepupu kesayangan gue? Berani bikin dia kesusahan jagain Askara?"

"Nggak. Maksudnya nanti saya kerja sambil jagain Askara dibantu dikit sama Jiro."

"Biar gue aja, tapi nanti gue ikut ke kantor."

"Iya. Sekarang mandi."

"Buru-buru amat. Masa iya cuma mandi doang?"

"Viola."
Manggala tidak habis pikir.
Sudah dibuat menangis semalaman sampai mengubah cara jalannya menjadi sedikit mengangkang sembari memegangi pinggang, masih saja mancing-mancing. Apa Viola tidak ingat bagaimana beringasnya ia semalam? Apa Viola tidak kapok dengan hujaman keras kejantanannya?

***

"Mamiw Pioku! Mamiw!"
Askara memekik heboh melihat siapa yang turun dari mobil milik papinya. Ia lambaikan tangan kanan pada  perempuan dengan kacamata hitam yang sadar akan keberadaannya di atas. Mendongak menatap sang kakak, ia minta tangannya dilepaskan agar bisa turun memberi sambutan pada sang mami. Ngomong-ngomong sekarang Askara dan Kala sedang di balkon rumah Onty Jihan.

Sayang sekali, kakaknya tidak memberi izin. Tetap menggenggam tangannya, bahkan kini genggaman itu mengerat.
"Akak ... aku mau lari ke Mamiw Pio. Lepaskan tangan aku, ya?"

"Tante," koreksi Kala dengan nada ketus. "Tante Pio, bukan mami! Bandel kamu, ya! Susah banget dibilangin. Mami mami apa, sih, Askara? Mami udah pergi ninggalin kita! Nggak usah nyebut orang lain mami karena itu bukan mami! Kita cuma punya papi! Masih kecil jangan gampang dibohongi. Bentar lagi Tante Pio juga bakalan pergi."

Sontak wajah ceria Askara berubah menjadi murung. Anak itu juga terus menundukkan kepala, menatap sepasang kakinya yang dibalut kaos kaki baru pemberian Onty Ji. Air mata sudah menggenang di pelupuk mata siap ditumpahkan menangisi dua alasan. Pertama karena narasi kalau Viola akan pergi meninggalkannya. Kedua karena tangannya sakit. Kala menggenggamnya terlalu erat.
"Akak ... tangan aku sakit, jangan keras-keras."

Refleks Kala lepaskan tangan kecil adiknya. Ia bisa lihat jelas bagian pergelangan tangan bocah itu memerah dan terdapat jejak kuku-kukunya. Kala benar-benar tidak menyadari kalau apa yang dilakukan tadi menyakiti sang adik.
"Akak nggak sengaja, maaf ya?"

"Iya, aku maafkan."

Selanjutnya, untuk menutupi semua itu dari papi, Kala mengusap wajah adiknya. Ia juga meminta bocah itu agar tersenyum lebar agar tidak mengundang kecurigaan. Lalu bagian pergelangan tangan sang adik, terus ia usap dan tiupi. Berharap banyak kalau itu bisa membantu menghilangkan jejak di sana.

"Askara! Kala!"
Itu suara Onty Ji yang memanggil.
Dan benar. Perempuan itu muncul dari pintu penghubung kamar dan balkon. Melangkah menghampiri mereka dan berakhir bertekuk lutut di hadapan Askara. "Papi sama Tante Pio udah dateng tuh! Tadi siapa, ya, yang semangat banget pengin ketemu mereka?"

Askara mengangkat jari telunjuknya tinggi-tinggi. "Yuk turun ke Papi sama Tante Viola. Oh iya, tas minionnya jangan lupa dibawa sekalian. Botol nyot-nyotnya jangan lupa dimasukin."

Sedetik kemudian Askara berlari ke arah sofa. Sebelum papi datang, Onty Ji memang sudah menyuruhnya untuk berkemas. Dan sudah Askara masukkan semua barangnya ke ransel minion yang sekarang sudah ia gendong di punggung. "Sudah, Onty Ji."

"Pinter banget!" puji Jihan, kemudian ia berdiri. "Kal, udah diberesin semuanya?"

"Udah."

"Iya udah, turun yuk! Kasihan papi sama Tante Viola udah nungguin," ajaknya. Beralih dari remaja yang mengenakan seragam putih abu-abu, ia menaruh perhatian pada adik remaja itu. "Askara mau gendong atau jalan sendiri?" tawarnya.

"Aku mau lari, Onty Ji!"
Dan benar.
Lihat saja! Bocah itu sudah berlari sembari menggendong ransel minion di punggung dan kedua tangan terjulur ke belakang.
Untung Jihan sigap mengejar dan menangkapnya guna memberi pengertian.

"Askara ... jalan aja, okay? Papi sama Tante Viola sabar nungguin Askara kok. Askara nggak perlu lari-lari. Jadi, Askara jalan aja, ya, bareng Onty Ji sama Akak. Gimana? Setuju apa nggak?"

"Setuju!" jawab Askara kemudian menggandeng tangan Jihan. Sementara tangan satunya ia gunakan untuk menggandeng Kala.

"Nah begini, kan, enak. Lebih aman dan keliatan kompak."

"Iya, Onty Ji."

Sampai di ruang tamu dimana Manggala dan Viola duduk bersisian mengisi sofa, secara otomatis Kala dan Jihan melepaskan gandengan pada Askara. Bebaskan bocah itu berlari dan memanjat tubuh Manggala dengan tergesa. Ia sempat melirik Viola, namun buru-buru menghentikan kegiatan itu saat hasrat ingin memeluknya begitu menggebu.

"Kok cuma papi yang dapat peluk cium? Jatah buat Mamiw Pio mana? Mau dong dicium banyak-banyak sama Askara." Viola sampai harus mengatakan ini, padahal biasanya Askara melakukannya tanpa perlu diminta.

"Askara kok nggak peluk cium ke Tante Pio? Ditungguin tuh sama Tante Pio."

Tidak ada respons.
Askara hanya mengeratkan pelukan pada leher Manggala sampai terasa mencekik pria itu. Lalu di tengah protesan sang papi, ia merengek minta segera pulang buat Viola kebingungan atas perubahan sikapnya.

"Iya, iya, kita pulang. Askara pamitan dulu sama Onty Ji. Jangan lupa bilang terima kasih karena udah jagain tadi malem."

"Iya."

Manggala tentu merasakan perubahan sikap Askara pada Viola. Bagaimana bocah yang biasanya begitu lengket, tiba-tiba berubah sedrastis itu, padahal sebelumnya baik-baik saja, harus dicari tahu akar permasalahannya.

"Mas Gala, tunggu sebentar!"

Bukan hanya Manggala, Viola dan Askara pun turut menghentikan langkah. Mereka juga kompak balik badan.
"Kenapa, Ji?" Manggala bertanya begitu Jihan berdiri di hadapannya.

"Maaf, aku mau ngerepotin Mas Gala. Semalem aku ngobrol sama Gita. Kayaknya Gita lagi sakit deh, Mas. Semalem aja keliatan pucet terus muntah. Katanya masuk angin."

"Terus?"

"Aku tadi masak agak banyakan. Kala sama Askara makannya sedikit, jadi masih banyak banget. Mana nggak ada Mas Arjuna yang biasanya bagian habisin. Mending bagi ke Gita. Gita bilang sekarang dia kerja di kantormu. Aku boleh titip ini buat Gita, nggak?"

Tubuh Manggala sudah menegang sejak pertama kali nama Gita—Nagita disebut. Hawa panas yang membawa banyak ketakutan, buatnya tidak berani menoleh ke arah Viola. Ia terlalu takut akan reaksi perempuan itu.
"Iya, boleh."

"Terima kasih ya, Mas. Oh ya, aku boleh minta alamat apartemenmu yang Gita tempatin nggak? Semalem Gita cerita katanya tinggal di apartemenmu. Pas aku tanya alamatnya, disuruh tanya langsung ke Mas Gala."

Keadaan semakin kacau, pikir Manggala. Kalau saja ia berterus terang sejak awal pada Viola, mungkin tidak akan timbul kekacauan seperti ini. Sekarang, harus bagaimana?
Yaa Tuhan ... baru saja bicara serius soal hubungan, sudah ada cobaan.
Ia tak menyalahkan Jihan, toh Jihan belum tahu soal hubungannya dengan Viola. Pun setahu Jihan, ia sedang kembali dekat dengan mantan pacarnya—Nagita. Kesalahan sepenuhnya bersumber darinya. Ia yang tak  berterus terang sejak awal.
"Iya, nanti aku kirim alamatnya."

TBC

Hayolohhhh Papiw 🫠🫣

Hayolooh readers digantung 🫣🙃

Gimana kalau endingnya Gala sama Pio nggak bareng? Nanya doang kok 🫠

Komen next di sini banyak-banyak buat chapter selanjutnya

P E N U T U P

Continue Reading

You'll Also Like

1.8K 214 13
Nadira takut pada pria. Cindra trauma akan pernikahan dan perselingkuhan. Ola gadis ceroboh dan ceria yang memiliki trauma di masa kecil. Kehidupan k...
245K 8K 52
"Itu mantan lo," ucap Tita, mencoba memastikan. "Ya, dia si brengsek itu," Tita melirik Linggar, "Dia makin tampan Ling," gumam Tita. Linggar mengeru...
2.4K 423 35
ⓀⓊ ⓀⒾⓇⒶ ⓈⒶⒹ ⓉⒺⓇⓃⓎⒶⓉⒶ ⓈⒺⓈⒶⒹ 💔 B̾a̾c̾a̾ a̾j̾a̾ d̾a̾r̾i̾p̾a̾d̾a̾ p̾e̾n̾a̾s̾a̾r̾a̾n̾ 😌 Cerita Pertama "Kiss me back babe." Ryden yang terpancing menur...
27.6K 701 25
Gara-gara kesalahan di malam pesta itu, Lea gadis yang selama ini menjadi kebangaan kehilangan seluruh kepercayaan dirinya. Hingga dia harus mengalam...