Blue

Por Ddiasya

131K 15K 2.9K

Saat Hatake Kakashi menolak perintah pernikahan dari Godaime, Sakura harus mencari cara agar pria itu mau mem... Más

Prolog
Awal
Misi tingkat A
Hari Pertama
Permainan
Insiden
Kecewa
Jejak
Perjalanan ke Takigakure
Awal Rasa
One Step Closer
Blood
Masalah
Rencana Jahat
Pengumuman
Masa Lalu
Just for fun
Kebangkitan Siluman Naga Berkepala Delapan
Di Ambang Batas
Segel Terakhir
Selongsong Kosong
Daisuki
Rencana yang Menyesatkan
Tanzaku di Ranting Bambu
Malam yang Istimewa
Secuil Ingatan yang Hilang
Pulang
Babak Baru
Q n A
Tidak Ada Judul
I Love You So
Bayang Ketakutan dan Penyesalan
Abu-abu
Menggantung Rasa
Gembok Rasa
Ternyata ia bukan rumah, hanya sekadar tempat singgah
Dinding Rahasia
Batas yang Jelas
Bunga yang Gugur
Dua Wajah Pias
Darah Dalam Tubuh
KLTK (Kenangan Lama Teringat Kembali)
Semangkuk Rasa
Feeling Blue
Darah
Mesin Waktu
I Wanna Love You but I Don't Know How
Hujan Tidak Benar-benar Datang
Setiap Bahu Memiliki Beban
Sadness and Sorrow
Pulang
Ruang Kesakitan

Kemalangan Tanpa Ujung

1.3K 146 49
Por Ddiasya


Ngalor ngidul makin nggak jelas, gue pusing dah! Kalau baca ulang karakter Sasuke di sini benar-benar kayak bukan Sasuke. Banyak cingcong, duh apa salah menambahkannya di cerita ini. Hiks, bukan nggak suka Sasuke dan Sakura, tapi gue merasa mereka tidak bisa hidup di cerita ini. Nggak ada ruhnya. Semoga kalian yang baca tetap bisa menyelami perasaan SasuSaku soalnya diriku sendiri ragu. Daripada discontinue 'kan? Baca ajalah.

Yang nanyain Dark Side di kolom komentar, selama masih sehat dan bisa berpikir waras, akan gue lanjutkan after Blue selesai. Sesekali bakal nongol di KakaSaku random story untuk menghibur diri sendiri. Sebenarnya, ada ide Madara Sakura Hashirama ditambahin Kakashi dengan membawa mereka lewat dimensi waktu. Ide yang nongol sejak 2018, tapi gagal dieksekusi sampai sekarang. Entahlah, kalau bisa mikir ya ditulis nanti. Kalau enggak ya, gue hiatus. 5k+ words, wow meski typo berserakan seperti biasa. Ditulis hanya beberapa jam tanpa pengendapan, tau deh. 

 Have a nice Monday, Guys!

***

Danau Mashu mulai mengalami peningkatan debit air karena musim hujan yang datang lebih awal. Meskipun hawa dingin terasa menyergap setiap Sakura keluar dari area kuil, tetapi ia bisa melihat bagaimana Sasuke tidak memakai pakaian yang lebih panjang. Atasan berwarna ungu muda sebatas siku itu tidak mampu menghalau udara dingin, apalagi lelaki itu tidak memakai jubah musim dingin. Tentu ia tahu bahwa jubah hitam Sasuke kini ada dalam genggamannya sendiri.

Dengan langkah lebih pelan, Sakura berjalan menuju ke arah Sasuke yang mampu mendengar derap kaki tapi tidak menunjukkan tanda bahwa ia tertarik menoleh ke belakang. Saat kaki Sakura terantuk batu kecil hingga ia nyaris terjerembab ke tanah, barulah Sakura membalikkan tubuh. Tangan kanan lelaki itu sigap menopangnya dengan baik hingga Sakura bisa menguasai diri.

"Ah, maafkan aku," bisik Sakura segera, tapi Sasuke tidak menyahut.

Lelaki berambut hitam itu tidak beringsut dari posisi menopang tubuh Sakura malah terkesan ia sengaja berlama-lama. Tangan kirinya menyentuh puncak kepala Sakura, membuat wanita muda itu terkejut sekaligus bingung. Tinggi mereka yang berjarak cukup jauh bukan halangan saat kepala Sakura berada tepat di dada. Bahkan suara jantung yang berdegup kencang itu bisa ia dengar dengan saksama.

"Sasuke," bisik Sakura pelan.

Sasuke bergeming, tapi ia melepas Sakura lima belas detik kemudian. Memandang bola mata seteduh hutan lindung itu agak lama, berharap hijau dan hitam bisa bersatu. Menciptakan perpaduan warna yang tidak sempurna, tapi indah.

"Aku membebaskanmu," balas Sasuke singkat.

Mungkin Sakura sudah lupa bahwa ia tetaplah tahanan kelompok Sasuke selama berbulan-bulan. Hari kebebasan telah tiba, tapi entah kenapa ia merasa sedih dalam waktu bersamaan. Bagaimanapun ia pernah memiliki rasa pada Sasuke, tentu waktu berbulan-bulan sedikit mengembalikan sisa rasa lama yang masih tertinggal. Namun, ia juga tahu bahwa pergi bersama Sasuke sangat berisiko dengan kondisi kehamilan yang hampir mencapai puncak trimester akhir.

"Aku harus pergi sekarang. Kurasa anjing itu akan segera tiba di sini," tutur Sasuke sembari memandang Sakura lagi. Pandangan yang lebih lembut hingga menyentak dada, membuka rasa lama yang belum hilang sepenuhnya. Seolah mereka tidak akan pernah bisa saling memandang lagi untuk waktu yang lama, bisa bertahun-tahun mendatang.

Mungkin Kakashi sudah tahu, Sakura merasakan kegelisahan kembali merayapi hati. Karin pasti sudah bisa mendeteksi kapan Pakkun akan tiba di tempat itu, maka ia balas memandang Sasuke lebih lama. Berusaha mengabadikan wajah Sasuke yang bisa ia ingat dalam kenangan terakhir kali.

"Cuaca bila lebih ekstrem sehingga kau harus memakai jubah perjalanan ini. Setidaknya aku sudah mencuci dan mengeringkannya. Pakailah!" ujar Sakura menyerahkan jubah panjang berwarna hitam itu.

Bibir Sasuke sudah terbuka hendak mengucapkan kata terima kasih, tapi ia menahannya. Lelaki itu memandang jubah hitam itu sebentar, menerima dan memakainya dengan baik. Dipandanginya Sakura yang ikut merapatkan syal hijau yang melingkar di leher. Syal yang sama saat tim Sasuke bertemu dengannya di hutan perbatasan Konoha untuk melakukan penyerangan. Tampaknya syal itu punya sedikit kerusakan di beberapa bagian, tapi Sakura tetap memakainya.

"Kau tampak serasi memakai syal yang selaras dengan bola matamu," ucap Sasuke. Ada kilat terkejut di bola mata sehitam jelaga itu, mungkin ia tidak menyangka bisa mengatakan hal semacam itu.

Sakura bergidik, entahlah ucapan Sasuke agak menganggu. Apakah lelaki itu baru saja memujinya? Ia tertawa kecil.

"Oh, ini syal yang diberikan Iruka-san waktu itu. Aku memakainya karena cuaca akan lebih dingin belakangan ini. Hanya robek di beberapa bagian, tapi aku sudah menjahitnya. Semoga tidak begitu terlihat karena aku tidak pandai merajut," oceh Sakura.

Ujung bibir Sasuke tertarik ke atas mendengar balasan Sakura yang terlalu panjang padahal ia hanya mengatakan sedikit pujian. Bagaimanapun ia bisa merasakan ada sedikit kecemburuan saat menyadari ocehan semacam itu akan membuatnya terkenang nanti. Ocehan yang ia anggap menyebalkan dulu, mengiritasi telinga, tapi entah kenapa ia akan merindukannya.

"Jadi, kau menjadi gadis populer di Konoha," kata Sasuke yang berusaha memberikan nada mencemooh tapi gagal total. Setitik kecemburuan itu pasti ada, Sakura memandangnya curiga.

"Haha. Tidak juga, aku menghargai apa yang diberikan orang lain kepadaku," lanjut Sakura, "oh ya. Aku ingin mengucapkan terima kasih padamu, Sasuke."

Sasuke melirik Sakura sebentar, tapi tidak menyahut ucapan itu. Membuat mereka berdua terdistraksi seolah mereka bisa merangkai kepingan cerita lama lewat mesin waktu. Mengubah takdir yang ditulis Kami-sama meski tidak mungkin, yeah, tidak. Melupakan bisa menjadi hal paling mudah, atau bisa menjadi hal sebaliknya. Merelakan seseorang akan lebih sulit dari sekadar apa yang diucapkan. Mungkin memang waktu yang bisa mengatasinya, baik Sasuke dan Sakura menyadari hal itu. Lain di mulut, lain di hati bukan sekadar omong kosong.

"Terima kasih sudah melepaskanku. Aku harap kita bisa bertemu lagi," ujar Sakura ragu setelah keheningan lima menit di antara mereka. Sasuke enggan kembali ke desa, ia menghargai keputusan itu meski ia menyadari ada kecewa yang merayap di dada.

"Kami-sama memang tidak adil," lirih Sasuke, memandang cakrawala yang maha luas.

"Ah," sahut Sakura yang menahan diri untuk mengatakan hal yang sama.

Sasuke tahu bahwa mereka memiliki garis takdir yang berbeda. Seperti berjalan di persimpangan, mereka harus berpisah karena memilih jalan masing-masing. Ditatapnya Sakura sekali lagi, seolah ia masih enggan untuk benar-benar melepaskan. Ia menyadari bagaimana Sakura mampu membuatnya menjadi pribadi yang lebih banyak bicara akhir-akhir ini. Sikap seseorang yang selalu berada di sisi akan menular, ia tampak setuju.

"Bila kita bertemu lagi, aku berharap kita tidak bertemu di medan perang," balas Sasuke.

He never want to hurt her, she felt it.

Tentu Sasuke tetap berpendapat bahwa Konoha adalah musuh. Konoha adalah desa yang harus dihancurkan karena telah membunuh semua anggota klannya. Sakura tidak ingin memberikan argumen karena apa yang ia ucapkan hanya sia-sia. Mereka bisa saja bertemu di medan perang suatu saat nanti karena perbedaan keyakinan. Ia adalah shinobi Konoha, sedangkan Sasuke adalah missing nin yang dicap sebagai pengkhianat desa. Oh, Kami, sungguh takdir yang sangat memilukan.

Tangan kanan Sasuke terulur ke sisi wajah kiri Sakura yang membuat gadis itu agak terkejut tapi tidak memundurkan tubuh. Terasa hangat saat jemari itu menyapu sisi wajahnya, lalu berhenti untuk menyibakkan anak rambut yang menutupi dahi lebar Sakura. Dahi yang amat dibencinya saat kanak-kanak dulu. Bola mata semendung langit malam itu berputar menampilkan warna darah, memindai dan menyimpan setiap detail wajah Sakura. Meski ia tidak boleh menggunakan sharingan terlalu lama, tapi ia ingin mengabadikannya.

"Jaga dirimu," ucap Sasuke, kemudian melepas jubah perjalanan yang sudah ia pakai dan memakaikan jubah itu pada tubuh mungil Sakura, melanjutkan dengan nada lebih pelan, "kau lebih membutuhkannya."

Bibir itu menyentuh dahi Sakura lebih lembut seperti salep hangat ditengah suasana musim dingin Taki yang menusuk. Bibir Sakura terbuka hendak berkata sesuatu, tapi tubuh Sasuke sudah lebih cepat bergabung dengan tiga orang lain yang berada di belakangnya. Mengabaikan ekspresi jengkel Karin, ia melambaikan tangan. Tatapan mereka kembali bertemu, kemudian empat bayangan itu lenyap lebih cepat seiring gerimis yang kembali mengguyur Takigakure.

Pertemuan selalu menyisakan perpisahan, tapi setidaknya mereka sudah mengukir kenangan. Mungkin rasa itu memang masih ada. Cinta pertama tidak akan pernah bisa dilupakan begitu saja. Bola mata giok itu kembali bergerimis, memandang punggung Sasuke yang hilang ditelan guyuran hujan Takigakure. Kini ia merasa sendirian ....

***

Anjing kecil berbulu coklat itu tampak senang bermain di hamparan rumput hijau pinggiran Danau Mashu. Ia menjilati bulu-bulunya sekali lagi sampai Sakura mengernyit sebal.

"Bisakah kau melakukan hal lain yang lebih berguna dibandingkan mengawasiku, Pakkun-san?" tanya Sakura dengan nada sarkasme tinggi.

"Aku tidak akan mengganggumu, Sakura-chan. Lakukan apa yang ingin kau lakukan," balas Pakkun, mengabaikan pandangan membunuh yang dilemparkan Sakura padanya.

Sakura menghembuskan napas panjang, lalu mengalihkan perhatian pada Danau Mashu lagi. Tentu ada kebingungan yang melanda hati sejak kedatangan Pakkun kemarin siang. Apakah ia setengah berharap Kakashi akan datang menjemputnya? Jika ia mengatakan tidak, maka ia jelas berbohong. Bila ia mengatakan iya, maka ia tidak yakin apakah ia benar-benar siap bertemu dengannya. Mimpi-mimpi buruk tentang Kakashi yang berlumuran darah dengan tanto di tangan kanan sering membuat Sakura mual. Tidak jarang ia mengalami muntah dan keinginan menangis lebih kuat, gejala gangguan psikologis.

Kakashi tidak menginginkan anak ini, ia menggumam sendiri. Betapa bodohnya ia berharap bisa membangun sebuah keluarga yang bahagia! Itu hanya sebuah mimpi.

"Jika aku menjadi kau, maka aku akan mengosongkan pikiran sebelum pergi tidur," ucap Pakkun dan menjulurkan lidah, membuat alis Sakura bertaut.

"Aku tidak bisa mengendalikan mimpi yang datang ke dalam tidurku, Pakkun-san," bela Sakura.

"Ya, setidaknya itu akan membantu. Mimpi buruk hadir karena kecemasan yang kau simpan terlalu lama, Stroberi."

Sakura mengabaikan panggilan baru yang dilontarkan Pakkun itu, kemudian memandang pada Danau Mashu lagi. Kedua tangan gadis itu memainkan rerumputan hijau yang menjadi alas duduk terbaik kali ini.

"Apakah kau tahu kenapa aku selalu memimpikan hal yang sama, Pakkun-san?" tanya Sakura sedih, "aku berusaha mengenyahkannya."

Tentu Pakkun hanya seekor anjing, tapi ia bukan anjing biasa. Ia bisa merasakan kumpulan emosi manusia lebih baik dari anjing mana pun. Sungguh ia menyadari ada kesedihan mendalam dari setiap kata yang dilontarkan Sakura, bahkan ia bisa merasakan suasana hati yang buruk itu sejak kemarin siang. Tentu ia masih bisa membaui aroma mantan murid Kakashi yang tertinggal di sekitar kuil dan penginapan, tapi ia yakin bahwa kesedihan si gadis lebih kompleks. Bukan hanya karena berpisah dengan teman satu timnya saja, tetapi lebih pada akumulasi emosional negatif yang bertumpuk selama berbulan-bulan. Terbukti bola mata emerald itu memperlihatkan sorot yang tidak biasa dengan kelopak berwarna kehitaman. Ibu hamil bisa mengalami gangguan tidur kapan saja, ia percaya.

"Aku tidak begitu paham dengan emosi manusia, Sakura-chan. Saat aku memiliki anak dengan pasangan, aku menyambutnya dengan perasaan bahagia. Seharusnya kau dan Kakashi juga bahagia. Bukankah begitu?"

Sebenarnya, Sakura merasa bodoh karena memilih curhat pada anjing. Ia memang sudah gila, tapi ia merasa lebih lega mengatakan segalanya pada Pakkun dibandingkan Sora atau siapa pun yang tinggal di kuil. Sora mungkin bisa lebih memahami perasaannya, tapi ia merasa tidak enak saja. Bisa jadi Pakkun akan mengatakan segalanya pada Kakashi, ia menggigit bibir. Toh, cepat atau lambat pun, Kakashi akan tahu dan ia berharap pria itu bisa menerima anak mereka. Ia tidak akan menuntut pernikahan, hanya berharap ia dan Kakashi bisa menjadi orangtua yang baik saja.

"Kami bukan pasangan, Pakkun-san. Jadi ...," jeda Sakura yang terdiam lama, menyadari bahwa ia benar-benar sudah kehilangan akal sehat bila menjelaskan bahwa hubungan sepasang manusia lebih kompleks dibandingkan hubungan Pakkun dengan pasangannya. Tentu ada rasa bersalah yang bergelayut bila sang anak terlahir karena sebuah kesalahan, Sakura tidak ingin mengatakan hal semacam itu.

Pakkun tampak menunggu kelanjutan ucapan Sakura, tapi ia menyadari bahwa gadis itu tidak ingin melanjutkannya. Ia menggerakkan ekor, lalu berguling di rerumputan sebelum berkata, "Jangan menghukum dirimu sendiri. Hal yang sama selalu kukatakan pada Kakashi."

Hembusan napas panjang Sakura menjadi jawaban. Gadis itu menunduk, mengelus perutnya yang sudah semakin membesar.

"Kakashi tidak menginginkannya, Pakkun-san."

Bola mata itu kembali berair, lalu meneteskan lebih banyak kristal bening yang tidak ingin Sakura usap. Membiarkannya jatuh merembes ke yukata putih yang ia pakai hingga Pakkun meletakkan salah satu kaki depan di tangan Sakura, seolah memberikan penguatan ala manusia.

"Aku tidak berhak menceritakannya. Selalu ada alasan kenapa Kakashi ingin kau melepaskan anak itu, Sakura-chan. Ia peduli padamu."

Sakura menoleh pada si anjing kecil, lalu menggeleng pelan. Peduli? Ia tidak yakin dengan ucapan itu.

"Kenapa? Apa karena ia takut aku tidak bisa menjadi ibu yang baik? Apa ia menganggap aku terlalu muda sehingga tidak siap secara fisik, mental dan emosional?"

Sakura tersedak, menyadari bahwa ia memang tidak benar-benar siap menjadi seorang ibu saat usianya belum genap dua puluh tahun. Terlalu muda, terlalu labil. Ia juga tidak siap secra finansial meski ia yakin Kakashi akan bertanggungjawab. Teringat ucapan Kakashi yang ingin Sakura melakukan aborsi saat mereka bertemu di hutan perbatasan Konoha sebelum penyerangan tim Sasuke, air mata itu kembali lagi.

Pakkun ikut mengambil napas, mengeluarkannya dengan tidak sabar. "Bukan aku membela tuanku, Sakura-chan, tapi ia memiliki alasan kuat. Saat hari itu tiba, aku berharap kau tidak kecewa. Di dalam darahnya," jeda Pakkun yang mendadak berguling-guling di rerumputan seolah memberi hukuman pada diri sendiri.

"Jangan mengajakku bicara!" seru anjing itu kesal, lalu berlari mengitari Danau Mashu.

Mungkin anjing kuchiyose itu memiliki aturan kontrak sendiri dengan Kakashi sehingga ia akan menghukum diri sendiri saat melewati batasan. Sakura hanya menghela napas panjang, lalu memandang langit Takigakure yang suram. Mungkin hujan disertai petir akan datang lagi nanti malam. Hanya Konoha yang memiliki pemandangan langit senja bak potongan surga, ia menggerutu.

"Aku tidak berhak menceritakannya," sengal Pakkun saat tiba di dekat Sakura lagi, lalu memandang gadis itu prihatin sebelum melanjutkan, "ngomong-ngomong, temanmu akan datang sebentar lagi. Mungkin ia bisa membuatmu merasa lebih senang."

"Eh?"

"Dalam hitungan ketiga," ujar Pakkun mengarahkan pandangan ke arah selatan.

Satu, dua, tiga ....

Dari arah halaman kuil, dua sosok itu tampak jelas dan Sakura bisa melihat si gadis berambut pirang panjang yang diikat tinggi berlari sekuat tenaga.

"Jidat, aku merindukanmu!"

Ino berlari tanpa memandang sekitar, sedangkan Shikamaru tidak menghela napas panjang seperti biasanya atau berkata 'merepotkan' lagi. Tatapan pria klan Nara itu terlihat lebih lega saat Ino menghambur ke rerumputan, memeluk tubuh Sakura erat sekali. Bila tidak hati-hati, jelas Ino bisa membuat Sakura dalam bahaya karena beban tubuh yang hampir menimpa perut besar gadis berambut merah muda itu.

"Akhirnya kami menemukanmu, Sakura."

Sakura tersenyum mendengar ucapan Shikamaru, lalu ikut memeluk erat Ino yang enggan melepaskannya. Tentu ia berharap ada orang lain yang akan datang, tetapi tidak ada. Kakashi tidak ikut menjemputnya. Ada sedikit rasa kecewa yang hadir, tapi ia menepisnya kuat-kuat. Dan Sakura tahu, bahwa ia merindukan segala hal tentang Konoha, termasuk Kakashi.

"Aku baik-baik saja."

Ino sama sekali tidak mempercayainya. Sakura menghembuskan napas panjang, sedangkan Pakkun hanya mengawasi sejak tadi.

"Kami akan berada di sini untuk menjagamu," ujar Shikamaru memandang sekeliling tampak mengawasi meski ia sudah menyadari bahwa tim Sasuke sudah pergi sejak tiba di anak tangga terbawah menuju ke area kuil. Ada raut kekesalan yang ditunjukkan oleh putra dari Nara Shikaku itu. Bagaimanapun Sasuke akan menjadi missing nin yang dibenci, setidaknya begitu dari sudut pandang Shikamaru.

"Pakkun-san," panggil Shikamaru yang dijawab erangan malas Pakkun.

Anjing itu memandang sengit. "Oke, oke. Aku pergi."

Sakura memandang kepergian Pakkun dengan ekspresi sedih. Sang anjing akan melapor pada tuannya. Cepat atau lambat, mereka akan segera bertemu dan kata terakhir Pakkun terngiang di telinga. Ia harus percaya bahwa Kakashi selalu punya alasan untuk melepaskan anak yang tengah ia kandung, tapi ia juga punya alasan untuk mempertahankannya.

"Ia peduli padamu."

Omong kosong!

***

"Aku tidak akan kembali ke Konoha jika itu yang ingin kalian ketahui," ujar Sakura saat mereka menyelesaikan makan malam bersama keluarga Kenji.

Kini tiga shinobi asal Konoha itu duduk di pinggiran Danau Mashu ditemani langit yang lebih muram. Hujan belum kunjung datang, tapi menghadirkan suasana suram seperti hati masing-masing.

"Kami masih menunggu perintah dari hokage untuk membawamu kembali atau mengawasimu di sini sampai kau ...," jeda Shikamaru memandang perut Sakura yang besar dan meneruskan, "melahirkan."

Ino berusaha mati-matian mengusir ekspresi prihatin dari sorot mata biru itu. Tentu ia tidak ingin membebani Sakura lebih dalam. Dulu ia merasa Sakura merupakan rival terberat baik dalam perkembangan kemampuan ninja atau meraih perhatian Sasuke. Kini ia merasa sedih melihat Sakura yang berpotensi menjadi ninja medis terbaik itu harus mengubur impian. Kehamilan yang tidak direncanakan, tapi Ino ingin menempatkan diri sebagai sahabat baik. Ia tidak akan menanyakan alasan kenapa Sakura begitu ceroboh tidak memperhatikan birth control saat menjalani misi.

"Aku akan melahirkan di sini. Kalian tidak perlu terlalu khawatir dengan keselamatanku, percayalah!" jelas Sakura berusaha meyakinkan kedua temannya itu.

Baik Ino dan Shikamaru menunjukkan wajah yang sangat familiar; tidak percaya sama sekali. Tentu balasan ekspresi keduanya membuat Sakura mendesah. Ia sendiri tidak begitu yakin, tapi ia tidak punya keberanian untuk kembali ke Konoha.

"Apakah semua orang sudah tahu mengenai kehamilan ini?" tanya Sakura merasa sesak di dada.

Pertanyaan itu membuat Ino dan Shikamaru saling berpandangan, kemudian tangan kanan Ino terulur di pundak kiri Sakura.

"Hanya beberapa saja, yeah, setidaknya Tsunade-sama dan Shizune-san, hmm ... Naruto juga," ucap Ino ragu memandang perubahan ekspresi Sakura, menambahkan agak cemas, "mungkin Iruka-san juga. Tapi, percayalah, Sakura, mereka semua bisa dipercaya."

Bola mata hijau itu tampak lelah, kemudian Sakura menguceknya perlahan. "Konyol sekali. Saat aku kembali ke Konoha dengan seorang bayi, semua orang juga akan tahu. Murid Tsunade Senju yang hamil diluar nikah, sungguh tidak bisa dipercaya. Kemudian aku akan mencoreng muka orangtuaku dengan tinta hitam yang sulit dihapus. Menyedihkan."

Sakura tertawa suram membuat Ino mengelus pundak Sakura perlahan. Wanita itu memandang Shikamaru, memintanya untuk memberi ruang kepadanya dan Sakura. Shikamaru mendesah, tapi Ino bersyukur karena kapten tim itu tidak mengatakan mantra ajaibnya. Waktu untuk wanita, Shikamaru bisa menempatkan diri dengan baik.

"Sakura," bisik Ino mengelus rambut merah muda itu dengan lembut, memandang Sakura yang masih sedih, "kami menyayangimu tidak peduli apa yang terjadi denganmu."

"Ino, aku benar-benar memprihatinkan, ya!"

Ino menggeleng, menarik Sakura ke dalam pelukan sahabat yang hangat. Pelukan yang membuat Sakura merindukan teman-temannya yang lain, orangtuanya, ..., Kakashi.

"Jangan terlalu dipikirkan karena semua akan baik-baik saja. Aku ada untukmu, Sakura. Kau sudah melewati masa yang berat," ujar Ino melihat semua kejadian yang dialami Sakura, bahkan ia menduga Sakura mungkin mengalami kesakitan saat melakoni perjalanan bersama tim Sasuke yang bisa dikatakan menculik atau apalah itu, ia membencinya.

Tentu ia tidak akan menanyakan apa yang sudah si brengsek Uchiha itu lakukan kepadanya. Pertanyaan itu mungkin bisa membuat Sakura merasa lebih terbebani. Menjadi tawanan tidak mengenakkan meski Ino bertanya-tanya alasan Sasuke melepaskan Sakura begitu saja. Ia hanya punya opini, tapi tidak berani bertanya. Setidaknya ia bernapas lebih lega saat Sasuke tidak menyakiti Sakura secara fisik, entah dengan hati dan batin gadis itu.

"Sasuke melepaskanku," ujar Sakura seolah tahu apa yang ada di dalam pikiran Ino.

Ino tersenyum pahit dan memastikan bahwa Sakura baik-baik saja secara fisik meski mental gadis itu pasti terguncang. Ia tidak mengatakan apa pun dan berharap Sakura bisa berubah pikiran. Jelas ia masih mengingat pesan Kakashi untuk membujuk Sakura kembali ke Konoha. Tinggal menunggu perintah selanjutnya untuk membawa Sakura kembali dengan selamat atau membantu persalinan gadis itu di Taki saja. Pakkun pasti kembali lusa atau hari setelahnya untuk memberikan kabar terbaru.

"Aku takut. Sangat takut, Ino," lirih Sakura di dalam pelukan Ino. Menceritakan pada Ino tentang kecemasannya, tentang masa depan yang ia ragukan, bahkan mimpi-mimpi buruk itu.

Si gadis Yamanaka tidak menyahut, tetapi memberikan jawaban lewat sentuhan di punggung Sakura sebagai penguatan. Ia tahu kata-kata saja tidak akan mampu meredam semua ketakutan Sakura.

"Semua akan baik-baik saja, Sakura," tutur Ino meski ia menyadari ada keraguan samar dalam ucapannya.

***

Tumpukan laporan yang diberikan tim chunnin yang menyelesaikan misi baru saja diletakkan di dekat tumpukan laporan yang lain. Kakashi menghela napas panjang, kemudian melirik pada angka delapan yang tertera di dinding. Seharusnya ia sudah bisa pulang sebab melewati jam kerja seorang hokage, tapi ia ingin menyelesaikan pekerjaan secepat mungkin. Toh, ia tidak akan bisa tidur nyenyak di apartemen atau kantor hokage pun setelah insomnia akut yang melanda beberapa hari terakhir. Ia tengah menunggu kabar terbaru lewat Pakkun yang tidak kunjung kembali.

Saat ia membaca laporan perkembangan rumah sakit, anjing dengan bulu coklat itu mendadak muncul di dekat kaki meja. Membuatnya agak terbelalak, kemudian menutup laporan rumah sakit dengan tergesa. Melemparkannya begitu saja di antara tumpukan laporan lain yang menunggu.

"Pakkun," panggilnya.

"Yes, My Lord," sahut Pakkun mengeliat kecil, mendekat ke arah Kakashi dan menambahkan, "benar, ia ada di sana. Di kuil Taki utara, Kakashi. Ia baik-baik saja secara fisik, tapi tidak dengan perkembangan emosionalnya. Tim pencarimu sudah tiba dan menggantikan tugasku."

Laporan Pakkun membuat Kakashi terhenyak di kursi kebesaran hokage. Tentu ia menyadari bahwa Sakura tidak baik-baik saja. Setelah apa yang dialami gadis itu, ia menanggung dosa besar sebab tidak memilih bersamanya sejak awal.

"Tenzou," panggil Kakashi, kemudian Tenzou mendorong diri lebih dekat.

"Ya, Kakashi-sama."

"Kapan aku akan melakukan lawatan ke Iwa?" tanya Kakashi tidak sabar.

Tenzou membuka buku memo, mencari lingkaran yang sudah ia tandai dengan spidol merah dan menyahut, "Tanggal 5, kita akan pergi ke Suna, kemudian melanjutkan lawatan ke Iwa pada tanggal 8. Tanggal 12 ada acara penting pertemuan dengan para petinggi di Konoha."

Kakashi berpikir sebentar dan berkata, "Tolong mundurkan agenda pertemuan pada tanggal 15. Aku akan pergi ke Takigakure setelah menyelesaikan lawatan di Iwa."

"Tapi, Kakashi-sama, kau tahu bagaimana Dewan Daimyo akan kesal bila jadwal penting ini mundur."

Desahan panjang membuat Tenzou ikut mengedikkan bahu. Pria berambut perak itu memandang Tenzou lagi, ekspresinya lebih keras kali ini.

"Aku yang akan menanggungnya. Setidaknya Tsunade bisa mengatasinya untuk sementara. Ia pasti setuju denganku karena ini menyangkut keselamatan salah satu shinobi terbaik di Konoha."

Tenzou diam, hokage harus profesional tapi Kakashi punya kehidupan pribadi yang harus diprioritaskan bila melihat apa yang telah terjadi setelah penyerangan tim Sasuke yang membawa Sakura, atau lebih tepat menculik gadis itu. Setidaknya keselamatan Sakura memang hal yang masuk daftar prioritas sekarang.

"Untuk sementara ini, aku akan pergi ke kediaman Haruno. Ada beberapa hal yang harus diluruskan sebelum aku bertemu dengan Sakura," ucap Kakashi memberitahu Tenzou.

Tenzou mengangguk. "Ya, aku akan membantu meneliti laporan ini sebelum kau menandatanganinya. Semoga sukses, Senpai."

Kakashi tersenyum tipis dibalik masker, lalu bergegas meninggalkan menara hokage untuk menemui orangtua Sakura. Menceritakan segala hal yang terjadi di antara mereka, meminta restu, atau apalah. Setidaknya ia perlu menyiapkan diri saat Kizashi memberinya pukulan keras di wajah atau bagian tubuh yang lain. Ia memang pantas mendapatkannya.

Ia menelan ludah gugup. Ketenangan diri yang selama ini ia agungkan mulai terganggu. Agaknya ia belum siap menceritakan bagian terpenting lainnya; bahwa Kizashi dan Mebuki, bahkan dirinya akan kehilangan Sakura. Bila Sakura tidak begitu keras kepala, ia mendesah kecewa. Bila ia bukan satu-satunya pewaris klan Hatake yang tersisa, mungkin gadis itu akan tetap hidup. Tetap bernapas dan bisa memperlihatkan rona merah samar di kedua pipi saat Kakashi menggodanya.

Oh, Kami, kau memang tidak pernah adil.

***

Sudah dua malam Sakura menghabiskan waktu bersama dengan Ino, sesekali berbincang dengan Shikamaru. Ia tahu bagaimana pria itu menguap bosan sebab tidak melakukan hal apa pun di Takigakure. Bukankah tabiat Shikamaru yang malas akan lebih senang dengan tugas yang santai semacam ini? Ia mengernyit ragu.

"Ne, Sakura," panggil Ino, mengajak Sakura berbincang di ruang belakang tempat tinggal orang-orang di kuil itu.

"Hmm," balas Sakura ikut memandang langit yang tetap mendung, sama seperti hari-hari sebelumnya.

"Apakah kau sudah memiliki nama untuknya?" tanya Ino memandang perut Sakura yang semakin membesar saja.

Sakura menggeleng. Terlalu banyak yang terjadi sampai ia tidak memikirkan hal lain, misalnya memilih nama untuk bayinya. Saat bersama Sasuke pun, ia sibuk meracik obat untuk penyembuhan Sasuke dan masih berjuang menerima kehamilan yang tidak ia inginkan. Tentu ia tidak pernah berpikir sejauh itu, atau minimal memikirkan apakah ia akan melahirkan bayi perempuan yang cantik atau bayi laki-laki yang manis. Semua terlalu mengambang dari pikirannya.

"Aku belum memikirkannya. Apa kau punya ide?" tanya Sakura balik.

Ino tersenyum. Gadis itu memandang pada bulan sabit yang tidak bisa memancarkan sinar dengan baik sebab tertutup arakan awan hitam.

"Bagaimana dengan Mitsuko untuk anak perempuan atau Izumi, hmm ... nama Ryu juga bagus untuk anak laki-laki," ucap Ino penuh harap.

Sakura tersenyum kecil. Mitsuko berarti bersinar atau cahaya, kemudian ia memandang pada langit malam yang suram. Ya, nama Mitsuko tidak begitu buruk, sedangkan Ryu berarti naga juga cocok untuk anak laki-laki. Bukan hanya melambangkan arti kekuasaan saja, nama Ryu mungkin mengingatkannya pada patung naga dengan batu giok di moncongnya. Sudah lama ia tidak menatap pada patung itu meski ia tinggal di kuil lebih lama. Bila berada di bawah patung itu dan memandangnya lamat-lamat, ia akan mengingat Kakashi. Sentimen betul, ia mendesah.

"Mungkin aku bisa menanyakannya pada Kakashi nanti," celetuk Sakura sebagai jawaban atas ide Ino.

Tentu Sakura sendiri menyadari perubahan ekspresi atas pernyataannya tersebut. Ia tidak yakin apakah Kakashi tertarik memberi nama pada anak mereka sementara pria itu tidak benar-benar menginginkannya. Ino melihat perubahan ekspresi sedih yang tersirat di wajah sang sahabat, maka ia benar-benar menyesal mengambil topik nama anak yang akan lahir sebentar lagi. Padahal ia berharap percakapan mereka bisa menghilangkan atau setidaknya mengurangi beban mental Sakura, Ino merutuki diri sendiri.

"Sudah terlalu malam, sebaiknya kau pergi tidur, Sakura. Tidak baik membiarkan dirimu terjerat insomnia, bukan?" kekeh Ino berusaha mencairkan suasana.

Sakura tertawa kecil. Ino tahu bahwa gadis itu memberikan tawa palsu, tapi ia tidak ingin memaksa. Atas apa yang telah terjadi, susah tidur merupakan gangguan yang sangat wajar. Hanya saja ia cemas bila Sakura tidak bisa tidur terus-terusan karena wanita itu sedang hamil. Tidak hanya kesehatan diri sendiri yang perlu diperhatikan, tetapi ada nyawa lain yang harus diutamakan.

"Aku ini ninja medis, Ino. Kau tidak perlu terlalu cemas," kekeh Sakura berusaha memanipulasi Ino.

Ino menghela napas panjang dan menyentuh pundak Sakura yang tampak lebih tegang, sendi-sendi itu kaku. Gangguan kecemasan tampaknya membuat tubuh Sakura ikut bermasalah.

"Chakra medismu tidak akan bekerja maksimal untuk merileksasi tubuh dan pikiran. Biar aku bantu, ya!"

Sakura tersenyum memikirkan perhatian Ino kepadanya. Bagaimanapun Ino pernah mendapatkan pelatihan yang sama sehingga Ino memiliki dasar-dasar melakukan pemijatan pasien dengan chakra medis. Itu lebih baik sebab ia memang membutuhkan bantuan untuk melemaskan semua otot-otot yang terasa tegang beberapa waktu terakhir.

Chakra berwarna hijau itu berpendar, berkilauan di berbagai bagian tubuh Sakura. Rasanya seperti keluar dari tempat spa saat Sakura menggerakkan lengan dengan leluasa. Ia merasa kembali hidup.

"Lebih baik?" tanya Ino tersenyum simpul.

Sakura mengangguk dan menyahut, "Aku merasa lebih rileks dan mengantuk sekarang. Pijat chakra benar-benar efektif mengembalikan tubuh yang tegang dan pikiran kusut menjadi lebih segar. Aku bisa tidur dengan nyenyak sekarang. Arigatou, Ino."

"Sama-sama, Sakura. Ayo aku antar kau ke kamar sekarang!" ajak Ino yang berdiri lebih dulu, mengulurkan tangan kanan pada Sakura yang disambut dengan baik.

Dua sahabat itu berjalan beriringan tanpa komentar dan Ino membantu Sakura menata futon serta mematikan lampu tempel. Setelah memastikan Sakura tidur lebih tenang dilihat dari suara dengkur halus di kamar, Ino memutuskan untuk jalan-jalan sebentar di sekitar Danau Mashu. Sama seperti Sakura, ia ikut merasa kalut dan perlu melemaskan otot-otot tubuh yang kaku sejak menjalani misi pencarian beberapa bulan lalu.

Saat kaki gadis Yamanaka itu melangkah ke pinggiran Danau Mashu, ia melihat Shikamaru yang mengobrol dengan anjing berbulu coklat yang sangat ia kenal. Pakkun baru saja tiba dari Konoha setelah mengantarkan pesan mereka pada hokage. Ia bergegas mendekat untuk mengetahui informasi mengenai perintah hokage selanjutnya.

"Apa pesan dari hokage?" tanya Ino yang terdengar ambigu, entah ditujukan pada Pakkun atau Shikamaru yang mungkin sudah mendengar penuturan Pakkun lebih dulu, tapi ia tidak peduli.

"Apakah Sakura sudah tidur?" Alih-alih menjawab pertanyaan Ino, Shikamaru memandang rekan timnya itu dengan tatapan malas seperti biasa.

"Suasana hatinya tidak baik dua hari terakhir ini, tapi aku tidak menyalahkan Sakura. Kurasa ia bisa tidur dengan tenang setelah mendapatkan pijatan chakra dariku," sahut Ino agak menonjolkan diri, merasa puas atas apa yang bisa ia lakukan pada sang sahabat.

Shikamaru mendesah, memandang pada Pakkun yang duduk di sampingnya. Anjing itu tampak lebih lelah karena melakukan tugas dari sang majikan, perjalanan bolak-balik yang pasti melelahkan. Summoning jutsu, ia mulai mempertimbangkan memiliki kontrak dengan hewan kuchiyose dimasa depan.

"Kau bisa pergi, Pakkun-san," ucap Shikamaru, "beristirahatlah. Kami akan menjaga Sakura sampai Kakashi-sama tiba di sini nanti."

Pakkun mengeliat. "Tentu, aku akan pergi."

Poof! Anjing kecil favorit Kakashi itu menghilang, meninggalkan Ino dan Shikamaru sendirian sekarang. Ino memandang Shikamaru yang belum memulai pembicaraan, lalu mendudukkan pantat di samping pria bersurai hitam yang diikat tinggi ke atas itu.

"Hokage akan melakukan lawatan ke Suna dan Iwa, kemudian ia akan singgah ke sini untuk membawa Sakura. Kita akan menjaganya sampai ia datang," kata Shikamaru sebelum Ino sempat membuka mulut.

"Berapa lama?" tanya Ino.

Shikamaru menyahut lirih, "Kira-kira seminggu lagi."

"Lebih baik membawa Sakura kembali ke Konoha. Setidaknya ia bisa melakukan persalinan lebih aman dengan tingkat keselamatan tinggi dibawah penanganan Tsunade-sama, bukan? Bukan aku tidak percaya dengan fasilitas di sini, tapi Sakura lebih baik tinggal di desa sendiri," balas Ino ragu.

"Bukan itu masalahnya, Ino," balas Shikamaru tidak sabar.

Alis Ino saling bertaut, Shikamaru kembali melanjutkan, "Mungkin Sakura akan dibawa ke ruang interogasi lebih dulu."

"A-apa?" Ino nyaris berteriak, lalu menekap mulut dengan kedua tangan. Ia langsung teringat pada Ibiki-sensei yang terkenal galak dan sadis.

"Apa maksudmu, Shikamaru?" tanyanya lagi.

Shikamaru mendengus tajam. "Kau berpikir bahwa seseorang yang berada di bawah penahanan seorang Uchiha bisa kembali tanpa cela?"

Ino memandang Shikamaru dengan ekspresi serius. Sakura adalah korban, tapi bagaimana ia harus menjalani sesi interogasi yang langsung terbayangkan dalam benaknya, pasti tidak mengenakkan. Kondisi mental wanita hamil tidak sebaik itu, maka Ino benar-benar akan menolaknya. Kalau harus melakukan pembelaan, maka ia akan maju lebih dulu.

"Dewan Daimyo mencemaskan Sakura telah dipengaruhi Sasuke yang notabene pemilik sharingan yang mampu melakukan genjutsu. Melihat kekuatan Sasuke sekarang, aku tidak menampik kecemasan mereka. Sulit untuk mengatakan apakah Sakura benar-benar bersih atau ia lebih mudah disusupi karena pikiran yang lebih mudah dipenetrasi."

"Tapi bola mata Sasuke bermasalah sehingga ia menahan Sakura untuk melakukan penyembuhan," serang Ino.

Shikamaru mendesah. "Apakah kau ada di sini dan mengetahui bahwa bola mata itu masih bermasalah atau sudah sembuh total? Yep, kau dan aku tidak tahu, bahkan kita meragukannya. Seperti itulah keyakinan para tetua bahwa Sakura bisa saja berbohong saat kembali ke desa nanti."

"Tapi mereka tidak boleh melakukannya pada Sakura sekarang!"

Pikiran wanita hamil yang sedang kacau, Ino ingin menangis mendengar penjelasan Shikamaru yang masuk akal.

"Oleh sebab itu, Dewan Daimyo menginginkan interogasi untuk memastikan Sakura hanya sekadar korban, bukan bagian dari aliansi Sasuke untuk menghancurkan desa. Mengingat rekam jejak Sakura yang pernah," Shikamaru menghentikan ucapan, memandang Ino dengan ekspresi yang tajam sekaligus prihatin, "memiliki perasaan mendalam pada Sasuke, maka mereka takut Sakura akan lebih mudah dipengaruhi."

Ino menganga. Rasanya ia ingin menghajar siapa saja atau mengatakan umpatan sekeras yang ia bisa, tapi ia menahan diri dengan baik. Ia tidak berada di Konoha, tetapi berada di desa lain yang harus menjaga aturan dan norma yang ada.

"Bagaimana bisa mereka berpikir sepicik itu? Apa mereka tidak tahu bahwa Sakura adalah korban yang sesungguhnya. Aku tidak bisa membayangkan ia yang memiliki psikologis seperti ini harus berada di ruang interogasi. Dibawah tekanan fisik dan mental saat interogasi, ia bisa kolaps. Bila harus melakukannya, aku akan membantu. Tentu aku tidak ingin Ibiki-san yang melakukannya," ucap Ino bergidik ngeri.

"Aku tahu," tutur Shikamaru memandang rekannya itu.

Ino yang sudah merasakan panas di mata, mulai mengusapnya perlahan. "Mereka jahat sekali. Mereka yang memaksa Godaime untuk mencari strategi dan cara melakukan program regenerasi klan konyol, kini mereka ingin membunuh sang ibu dan anak yang tengah dikandung lewat beban psikologis."

Sedari dulu, Shikamaru merasa Dewan Daimyo adalah kumpulan manusia tua yang serakah, bisa melakukan hal-hal keji, bahkan melanggar hak azasi shinobi. Semua demi kepentingan desa, begitu pembelaan mereka.

"Tidak ada cara lain untuk membantu Sakura, Ino. Bagaimanapun penyelidikan dan pengawasan akan dilakukan untuk mengetahui kejadian sebenarnya. Bila Sasuke memang hanya membutuhkan bantuan penyembuhan dari Sakura, maka ia akan dinyatakan bersih. Ia akan baik-baik saja. Ya, meskipun prosesnya akan ...," sudut bibir Shikamaru berkedut, melanjutkan dengan nada frustasi, "sedikit menyakitkan."

"Bagaimana tanggapan Kakashi?"

Shikamaru agak terperangah mendengar nama Kakashi disebut tanpa embel-embel -sama atau hokage.

"Kekuasaan eksekutif hokage harus berjalan beriringan dengan kekuasaan legislatif Dewan Daimyo. Itulah kenapa sebuah sistem desa diciptakan untuk mengutamakan kepentingan desa itu sendiri. Kurasa hokage tidak punya kewenangan untuk menolak, tapi ia bisa melakukan pengawasan dan perlindungan bila diperlukan. Dan kurasa, Kakashi-sama tidak akan melepaskan pengawasan dan perlindungan maksimal untuk Sakura. Memastikan ia aman dan baik-baik saja. Bukankah begitu?"

Informasi itu membuat Ino memandang pada Danau Mashu, mengalihkan perhatian pada patung naga yang menjadi saksi misi Sakura dan Kakashi beberapa bulan lalu. Ino ada di sana, menyaksikan sendiri bagaimana kengerian batu giok yang terpasang membangkitkan siluman di bawah Danau Mashu. Ia juga melihat bagaimana hubungan antara Sakura dan Kakashi berubah setelah menjalani misi duo sialan itu, tatapan yang saling memperhatikan, kecemasan dan ketakutan Sakura saat Kakashi urung kembali dari genggaman Yamata di bawah sana, afeksi kecil yang memantik rasa ..., arrghh, Ino mengerang.

Rasa itu hadir karena misi yang diemban Sakura menyukseskan program regenerasi klan Hatake yang menyisakan anggota satu-satunya. Alih-alih ucapan terima kasih dan apresiasi karena Sakura berhasil melakukan program regenerasi dengan diri sendiri sebagai tumbal, gadis itu malah harus mendapatkan kesakitan di ruang interogasi. Sudah jatuh tertimpa tangga pula. Sungguh, Ino tidak bisa menerimanya.

"Mereka gila, Shikamaru," tandas Ino tidak bisa menghentikan laju air mata.

Shikamaru ragu menyentuh pundak kiri Ino, tapi ia melakukannya perlahan. Memberikan penguatan agar gadis pirang itu bisa mengeluarkan sisa tangis yang membuncah. Mereka peduli pada Sakura, tapi mereka tidak bisa melakukan apa-apa selain mematuhi perintah.

"Yeah, benar-benar bajingan. Setan!" akhirnya Shikamaru mengumpat juga.

***

Seguir leyendo

También te gustarán

45.5K 10.1K 116
Jimin membutuhkan biaya untuk operasi transplantasi ginjal sang bunda namun dia bingung mencari uang kemana dalam waktu kurung 2 bulan. Sementara CEO...
106K 4.8K 24
[ 18+ Mature Content ] Gerald Adiswara diam diam mencintai anak dari istri barunya, Fazzala Berliano. Katherine Binerva mempunyai seorang anak manis...
29.1K 3.2K 14
«Jika dunia tidak menerima kita,mari kita buat dunia kita sendiri,hanya kau dan aku didalam nya» Lalisa Manoban. +++ GIP area! jangan ditiru 🔞
196K 30.4K 55
Jennie Ruby Jane, dia memutuskan untuk mengadopsi seorang anak di usia nya yang baru genap berumur 24 tahun dan sang anak yang masih berumur 10 bulan...