My True Me (END)

By deesar

42.4K 5.8K 11.3K

17+ Setahun yang lalu, Zita tiba-tiba tersadar dan mendapatkan luka panjang dari telapak hingga pergelangan... More

Epitasio
Satu
Dua
Tiga
Empat
Lima
Enam
Tujuh
Delapan
Sembilan
Sepuluh
Sebelas
Dua Belas
Tiga Belas
Empat Belas
Lima Belas
Enam Belas
Tujuh Belas
Delapan Belas
Sembilan Belas
Dua Puluh
Dua Puluh Satu
Dua Puluh Dua
Dua Puluh Tiga
That Night (1)
That Night (2)
That Night (3)
That Night (4)
That Night (5)
That Night (6)
That Night (7)
That Night (8)
That Night (9)
That Night (10)
That Night (11)
That Night (12)
That Night (13)
That Night (14)
That Night (15)
Dua Puluh Empat
Dua Puluh Lima
Dua Puluh Enam
Dua Puluh Tujuh
Dua Puluh Delapan
Dua Puluh Sembilan
Tiga Puluh
Tiga Puluh Satu
Tiga Puluh Dua
Her Past (1)
Her Past (2)
Her Past (3)
Her Past (4)
Her Past (5)
About Him and His Girl
Tiga Puluh Tiga
Tiga Puluh Empat
Tiga Puluh Lima
Tiga Puluh Enam
Tiga Puluh Tujuh
Tiga Puluh Sembilan
Empat Puluh
Empat Puluh Satu
For Tonight
Empat Puluh Dua
Empat Puluh Tiga
Empat Puluh Empat
Empat Puluh Lima
Empat Puluh Enam
Empat Puluh Tujuh
Empat Puluh Delapan
Empat Puluh Sembilan
Lima Puluh
Lima Puluh Satu
Lima Puluh Dua
Hatred (1)
Hatred (2)
Hatred (3)
Hatred (4)
Hatred (5)
Hatred (6)
Lima Puluh Tiga
Lima Puluh Empat
Lima Puluh Lima
Lima Puluh Enam
Lima Puluh Tujuh
Lima Puluh Delapan
Lima Puluh Sembilan
Enam Puluh
Enam Puluh Satu
Enam Puluh Dua
Animo
Enam Puluh Tiga
Enam Puluh Empat
Enam Puluh Lima
Enam Puluh Enam
Catastrophe (END)
Extra Part (1)
Extra Part (2)
Extra Part (3)

Tiga Puluh Delapan

168 21 32
By deesar

Akhirnya aku kembali karena cerita sebelah yang sudah ending....

Sebagai gantinya, aku kasih part (agak) panjang.

1600 kata lebih nih.

...

Seperti yang Mila minta, Zita menanggapi ajakan Reinaldi untuk bertemu. Namun, hampir setengah jam ia menunggu di taman sesuai arahan Reinaldi, lelaki itu tak kunjung muncul.

Beberapa kali Zita mencoba mengirim pesan untuk menanyakan keberadaan Reinaldi, tapi semua pesannya hanya menunjukkan ceklist satu. Ia juga sudah coba menelepon, tapi panggilannya berakhir ke kotak suara. Sudah bisa dipastikan jika ponsel lelaki itu sedang tidak aktif.

Zita duduk di kursi taman yang kosong, menatap langit yang mulai berubah gelap. Terangnya mentari telah diganti oleh cahaya lampu yang terpasang di sepanjang area taman. Ia lantas menghela napas, memutuskan untuk menunggu, setidaknya lima belas menit lagi, dan akan langsung pergi jika Reinaldi tak juga datang.

Seorang pria ber-hoodie hitam, dengan topi dan masker menutupi wajah tiba-tiba duduk di sebelah Zita. Merasa tak nyaman, Zita berniat bangkit. Namun, sebelum sempat berdiri, ia lebih dulu merasakan sesuatu menekan sisi kanan perutnya.

Zita menunduk, matanya melebar saat mendapati sebilah pisau tengah ditodongkan ke arahnya. Ia lantas menatap mata pria itu--satu-satunya bagian wajah yang mampu dilihatnya.

“Gue nggak akan macam-macam asal lo serahin barang berharga lo ke gue,” ancam pria itu sambil sedikit menekan ujung pisaunya ke perut Zita yang hanya terlapisi kaos tipis.

Zita mencoba tenang untuk mengontrol rasa paniknya. “Saya cuma bawa dompet sama hape.”

Zita memejam saat ujung pisau semakin ditekan hingga terasa mengoyak kaos dan melukai kulit arinya.

“Kasih ke gue se--”

Belum sempat pria itu menyelesaikan kalimatnya, tangannya yang memegang pisau lebih dulu ditarik hingga tubuhnya reflek terangkat. Satu jejakan kuat di perut menyambutnya hingga badannya terdorong dan terjerembab ke tanah.

“Kamu nggak apa-apa?”

Zita menoleh, mendapati Reinaldi menatapnya khawatir dengan napas terengah dan bulir keringat membasahi kening.

Zita mengangguk pelan. “Nggak apa-apa.”

Reinaldi lantas menarik Zita ke belakang tubuhnya saat melihat pria tadi beranjak berdiri. Zita menatap kaos belakang Reinaldi basah oleh keringat dengan bahu yang bergerak naik-turun seperti kelelahan.

Apa Reinaldi baru saja berlari untuk menemuinya?

Zita menunduk saat merasakan genggaman Reinaldi pada tangannya terasa semakin erat.

“Sori, aku telat,” kata Reinaldi tanpa menoleh ke belakang. “Hape-ku mendadak nggak bisa dipakai.”

Zita tak tahu harus merespon apa, jadi ia hanya menggumam sebagai jawaban. Ia lantas mengintip ke depan, ke arah pria bermasker tadi.

Pria itu kini sedang bergerak mengambil pisau yang sempat terlepas dari tangannya. Orang-orang di sekitar mulai memandang ke arah mereka, tepatnya memandang pria itu. Beberapa saling berbisik, beberapa yang lain tampak menghubungi bantuan, dan sisanya hanya menonton, bahkan sibuk mengambil video apa yang tengah terjadi.

“Kita pergi aja,” usul Zita.

Reinaldi menggeleng. “Di sini banyak orang. Di sini lebih aman.”

Zita mengernyit tak mengerti. Bukankah pergi dari pria itu adalah cara teraman?

“Aku udah telepon Theo. Kita tunggu sampai Theo datang,” lanjut Reinaldi.

Zita semakin dibuat bingung. Untuk apa?

Meski sudah menjadi tontonan orang banyak, pria tadi bukannya pergi, tapi malah mengerahkan serangan pisaunya ke arah Reinaldi.

Reinaldi melepaskan genggamannya. Ia tak punya keahlian khusus dalam bela diri, jadi ia hanya mampu menepis dan menghalau serangan pria tadi dengan kemampuan seadanya.

Pria bermasker itu terus saja berusaha menyabetkan pisaunya secara acak, bergerak asal-asalan dengan tujuan menyerang Reinaldi, hingga akhirnya beberapa orang memekik dibarengi Reinaldi yang mendesis saat pisau pria itu berhasil menyayat lengan bawahnya.

Mata Zita melebar, menatap resah pada apa yang tengah terjadi.

Karena pisau sempat mengenai lengan kiri Reinaldi, gerakan pria bermasker itu melambat. Reinaldi jadi punya kesempatan untuk mencekal pergelangan pria itu, memelintirnya hingga pria itu berteriak kesakitan dan pisau dalam genggamannya terlepas. Reinaldi lantas kembali menjejakkan kaki kuat-kuat ke perut pria itu, membuat pria itu tersungkur dan mengerang kesakitan di atas tanah.

Melihat itu, Zita bergegas menghampiri Reinaldi. Tangannya menyentuh lengan Reinaldi yang terluka. “Kamu ng--”

Zita langsung membekap mulutnya sendiri saat rasa mual melandanya. Reinaldi segera mendekapnya, mengalihkan pandangan Zita dari lengannya yang terluka.

“Nggak apa-apa,” jelas Reinaldi. Tangan kanannya mengusap lembut punggung Zita, tahu jika gadis itu punya ketakutan saat melihat darah. “Ini cuma luka kecil.”

Zita mendongak, menatap wajah Reinaldi yang tampak kelelahan dengan peluh memenuhi dahi. “Kita ke klinik, sekarang.”

Reinaldi tersenyum, lalu mengangguk.

Baru saja berniat melepas pelukannya, Reinaldi kembali mengeratkan dekapannya seraya memutar tubuh.

“Akh!” Reinaldi memekik tertahan. Tangannya meremas kaos di punggung Zita dengan erat sambil menahan erangan kesakitan.

Zita mencoba melonggarkan pelukan Reinaldi, tapi tubuh Reinaldi lagi-lagi tersentak, diikuti suara geraman yang kembali coba ia redam.

Zita tak bisa melihat apa-apa. Yang bisa ia rasakan hanya detak jantung Reinaldi yang terdengar cepat di telinganya yang menempel di dada lelaki itu. Lingkaran tangan Reinaldi mengerat, menahan kuat tubuh Zita agar tak bergerak.

Suara gaduh yang terdengar di sekitar mereka berada membuat Zita semakin was-was.

“Rei ...,” panggil Zita. Ia mendongak menatap wajah Reinaldi. “Kamu nggak apa-apa?”

Reinaldi mencoba tersenyum, mengangguk sebagai jawaban. Wajahnya memerah, matanya berair, keringat di dahinya pun terlihat semakin banyak.

Reinaldi melonggarkan pelukannya, sebelah tangannya bergerak merapikan helaian rambut Zita yang berantakan. “Aku seneng bisa ketemu kamu.”

Suara Reinaldi sedikit serak. Setetes air luruh dari satu sudut mata lelaki itu. Zita bisa merasakan tangan lelaki itu bergetar. Raut wajahnya tampak menahan kesakitan.

“Ayo kita ke klinik deket sini. Kamu kelihatan nggak baik-baik aja.”

Reinaldi hanya mengulas senyum lalu kembali mendekapnya. “Aku baik-baik aja selama kamu baik-baik aja.” Setelahnya, suara Reinaldi terdengar seperti menangis. “Maaf ... maafin aku. Maaf udah jahat sama kamu.”

Zita bergeming beberapa saat, lalu membalas pelukan Reinaldi. “Hmm, it's okay. Aku juga yang salah.” Tangannya bergerak mengusap punggung Reinaldi. “Kita ke klinik dulu, kamu ....”

Ucapan Zita terhenti saat sesuatu yang basah, pekat, dan lengket menyelimuti jarinya yang berada di punggung Reinaldi. Ia berniat menarik tangannya, tapi Reinaldi lebih dulu menahannya agar tetap berada di posisi semula.

Reinaldi melonggarkan pelukannya. Menunduk, menatap Zita, lalu menggeleng sambil tersenyum lemah. “Jangan dilihat.”

Zita memandang wajah pucat Reinaldi. Seketika itu juga matanya memanas. Tanpa perlu melihat apa yang jarinya rasakan, otaknya seketika mencerna apa yang telah terjadi. Pandangannya kontan mengabur karena genangan air mata. Dadanya mendadak sesak. Tanpa bisa ia cegah, air matanya luruh dengan derasnya.

“Rei ....” Zita terisak. Pikiran buruk berkelebat di kepalanya. Ia lantas mengedar matanya, melihat orang-orang berwajah panik melihat ke arah mereka. “Tolong ....”

Reinaldi memejamkan matanya, air matanya merembes dari celah kelopak yang tertutup. Tangannya kembali mengeratkan dekapannya pada Zita, mengusap punggung gadis itu, menenangkan dengan sisa tenaga yang dimilikinya.

“Kamu tahu kan, kalau senyum kamu itu hal yang paling aku suka dari kamu,” ucap Reinaldi dengan suara yang mulai melemah. “Jadi ... aku harap ... kamu selalu bahagia biar bisa selalu tersenyum.”

Zita bisa merasakan tangan Reinaldi semakin mengendur. Tubuh lelaki itu bahkan sudah setengah bersandar padanya.

“Kalau kita ketemu lagi ... aku mau lihat senyum kamu lagi.”

Reinaldi tak sanggup lagi menopang tubuhnya. Zita yang mencoba menahannya pun lantas jatuh terduduk, tertimpa tubuh lelaki itu.

“Rei, bangun!” Tangis Zita mengeras, suaranya setengah berteriak. Tangannya memukul punggung Reinaldi berkali-kali. “Bangun! Aku bilang bangun! Aku bakal bener-bener benci kamu kalau kamu nggak bangun!” Zita menangis, meraung ketakutan, matanya mengedar berharap mendapat bantuan. “Tolong ... siapa pun ... tolong ....”

Oh, shit!” umpat Theo yang baru saja sampai dan melihat luka di punggung Reinaldi dengan rembesan cairan merah pekat yang menyebar membasahi pakaiannya.

Zita menoleh. Wajahnya basah. Ia ketakutan. “Yo ... tolongin Rei ....”

...

“So dramatic,” ucap Iddar yang berdiri di pinggir taman sambil menyesap rokok yang terselip di antara jari tengah dan jari telunjuknya.

Di sebelahnya, seorang wanita--dengan topi dan masker yang menutupi sebagian besar wajahnya--tengah bersedekap dada menatap ke arah yang sama, pada kerumunan orang yang ada di tengah taman.

“Lo udah pastiin tuh cowok bakal tutup mulut?” tanya wanita itu seraya menggerakkan dagu ke arah pria bertopi yang tengah diringkus oleh beberapa orang polisi.

“Aman. Dia butuh duit buat operasi ibunya. Selama ibunya bisa operasi, dia bakal berterima kasih sama kita walau harus mendekam di penjara.”

Wanita itu mendecak. “Orang jadi bodoh kalau udah pake hati. Walau ibunya berhasil sembuh karena operasi, ibunya akan tetap sakit kalau ngelihat anaknya ada di dalam sel.” Dagu wanita itu kembali menunjuk ke depan. “Dia juga, bego banget ngorbanin nyawa sendiri buat Zita.”

Iddar terkekeh ringan, menyesap kembali batang nikotinnya, lalu menghembuskan asapnya ke udara. Matanya menatap tubuh tak bergerak Reinaldi yang sedang diangkat tandu menuju ambulans.

Iddar menjatuhkan putung rokoknya, menggilasnya dengan alas kaki. “Gue juga bakal kayak Rei kalau lo ada di posisi Zita,” ujarnya. Pandangannya beralih, menatap Theo yang turut masuk ke dalam ambulans, meninggalkan Zita bersama Moza dan Ridan yang juga ada di tempat itu. “Nggak mungkin gue diem aja misal ngelihat orang yang gue sayang terluka.”

Wanita di sebelahnya merotasi bola mata. “Jangan terlalu pakai hati. Nggak perlu sampai mengorbankan nyawa sendiri buat orang lain.”

“Kenapa, ya?” Lelaki itu mengerutkan kening, tampak berpikir. “Kalau posisinya dibalik, misal gue lagi dalam bahaya dan cuma ada lo yang bisa nolongin gue, apa yang bakal lo lakukan?”

Wanita itu menoleh. Meski setengah wajahnya tertutup masker, Iddar bisa melihat seringaian dari matanya. “Gue lebih mikirin mana yang lebih efektif antara mengubur atau mengkremasi mayat lo?”

Wanita itu lantas memutar tumit, beranjak pergi meninggalkan taman yang semakin banyak mengundang keramaian.

Iddar menyusul di belakang, berjalan mengiringinya. Ia meraih tangan wanita itu, mengangkatnya mendekat ke bibir, mendaratkan satu kecupan ringan ke bagian punggung tangan.

“Kayaknya love language lo ke gue itu verbal abuse ya, Zi?” Iddar tersenyum, sama sekali tak terluka dengan apa yang sudah Zivana ucapkan. “Maksud lo yang sebenarnya itu, misal nggak ada gue, lo bakal bingung harus ngapain, kan?”

Zivana tak menanggapi.

“Tapi gue lebih suka love language lo yang lain.”

What?”

Physical touch, especially ....” Lelaki itu mendekatkan bibirnya ke telinga Zivana. “Touching my bulge, maybe.

Wanita itu lagi-lagi merotasi mata malas, membuat Iddar tertawa.

Iddar melepaskan genggamannya, merangkul bahu Zivana, lalu mengecup pucuk kepala wanita itu dengan sayang. “So, kita mau ke mana sekarang?”

“Beli baju buat ke pemakaman.”

...

Tbc

...

Alasan kenapa aku up FSV dulu dibanding cerita ini ya gara2 part ini nih yang bikin hatiku seperti meletusnya balon hijau, sangaaaatt kacau...

Dahlah...

See yaaaa...

031123

Continue Reading

You'll Also Like

59.1K 11.2K 136
Semuanya karna cinta.
3.3M 300K 88
[Part lengkap] Ini semua berawal dari ban bus yang bocor pagi itu~ P.s terima kasih untuk pembaca yang sudah meninggalkan komentar di cerita ini. Kal...
37.5K 2.7K 30
~Bayangan Mafia di Balik Kerudung~ Semua bermula ketika seorang pria tampan yang terluka di sekujur tubuhnya, di temukan tidak berdaya di belakang...
28.6K 5.2K 64
#1 - teenlit (5 April 2024) Alura bisa melihat kematian lewat luka yang berdarah. Kekuatan fantasi sintingnya membuat hidup Alura menderita di setiap...