Empat dari lima lawannya tumbang, sedangkan satu sisanya tengah tertatih untuk bangkit. Adifa mendekat, berjongkok dengan sebelah kaki menginjak bahu pria itu agar tetap tengkurap di tanah.
Ia menjilat rasa anyir dari sudut bibirnya yang robek, lalu meludahkan liur bercampur darah yang berasal dari kulit pipi bagian dalam mulutnya yang ikut terkoyak karena mendapat tonjokan dari lawan.
Tangannya lantas menjambak rambut pria di bawahnya itu untuk menghadap ke arahnya. Sebelah tangannya yang lain mengeluarkan ampul berisi warfarin dosis tinggi dari saku jaket, lalu menunjukkannya pada pria itu.
"Lo pasti udah tahu kalau bos lo sedang sekarat karena minum racun, kan? Lo mau coba?"
Pria itu mencoba melepaskan cengkeraman tangan Adifa dari rambutnya.
Adifa menyeringai. "Gue akan biarin lo lolos asal kasih tahu gue gimana kondisi Galen sekarang?"
Inti dari semua rencana yang berakhir kacau balau ini adalah kematian Galen. Entah hidup atau mati, Adifa harus tahu bagaimana kondisi pembunuh ayahnya itu sekarang. Bukan hanya untuk dirinya, tapi juga untuk Mila yang sedang mempertaruhkan nyawa.
"Gue nggak tahu!" tampik pria itu sambil menarik kepalanya dari cengkraman tangan Adifa.
Kaki Adifa menekan lebih kuat saat pria itu berusaha melepaskan diri. Tangan yang menjambak rambut pria itu pun menarik kian erat.
"Cari tahu!" tekan Adifa. "Kecuali lo lebih memilih minum racun sebagai bentuk loyalitas lo ke Galen."
Pria itu menggeram tak senang. Masih dengan posisi telungkup di atas tanah, tangan pria itu merogoh ponsel dari saku dan mulai menghubungi seseorang.
Adifa menurunkan kakinya, membiarkan pria itu bangkit ke posisi duduk untuk berbicara dengan rekannya di telepon
"Nggak ada yang tahu gimana kondisi Bos Galen sekarang," ucap pria itu setelah mendapatkan info yang Adifa inginkan. "Mereka bilang, Hazel datang dan bawa Bos pergi."
Adifa mengernyitkan kening karena tak pernah mendengar nama itu sebelumnya. "Siapa Hazel?"
"Adik Bos."
Kerutan di dahi Adifa semakin dalam. Sejauh yang ia tahu, Galen tak mempunyai adik atau semacamnya. Hasil investigasinya pun menunjukkan jika Galen adalah anak tunggal yang melarikan diri dari rumah lalu tumbuh dan hidup di jalanan seorang diri.
"Nggak semua orang tahu kalau Bos punya adik," jelas pria itu. "Hanya kami--orang-orang yang bekerja di bawah Galen langsung--yang tahu soal itu."
"Jelasin lebih detail tentang Hazel," kata Adifa.
Pria itu menggeleng. "Walau tahu kalau Hazel adalah adik Bos, kami juga nggak pernah tahu dia orang yang seperti apa. Wajahnya, bahkan gendernya pun kami nggak tahu."
Pria itu mengatakan jika Galen menutup semua akses informasi mengenai Hazel. Sosok misterius itu pun tak pernah muncul di depan mereka secara terang-terangan. Dalam kondisi tertentu saat Galen harus menemui Hazel, lelaki itu hanya akan dikawal beberapa orang kepercayaannya. Dengan kata lain, Galen sengaja membatasi interaksi orang-orangnya dengan sang adik.
"Kenapa?" tanya Adifa tak mengerti.
"Mungkin untuk menjaga keselamatan Hazel. Mau bagaimana pun, Hazel yang akan meneruskan bisnis ini kalau Bos kenapa-napa."
Adifa menghela napas lelah. Jika Hazel adalah adik sekaligus penerus Galen, bisakah masalah dendam ini selesai hanya dengan tewasnya Galen? Atau justru kejadian ini memancing masalah baru?
Ponsel Adifa bergetar. Setelah melihat nama Ridan sebagai penelepon, ia langsung menjawab. Setelahnya, dua kata yang Ridan ucapkan di seberang sana seketika membuat kedua matanya melebar.
"Mila hilang!"
...
"Jadi maksud lo, yang sedang ngincar Zita itu Hazel bukan Galen?" tanya Theo setelah penjelasan panjang yang Adifa berikan.
Lelaki 25 tahun itu mengangguk. Malam itu, bawahan Galen yang memberinya info soal Hazel mengatakan jika adik Galen itu sedang mengerahkan bawahannya untuk mencari keberadaan Mila. Meski tahu Mila tidak bertindak seorang diri, entah kenapa Hazel hanya mengincar Mila.
"Terus, gimana kalian tahu Hazel ada di Mandala padahal kalian nggak tahu apa pun tentang Hazel?" Theo menuntut lebih banyak penjelasan.
Setelah Mila menghilang, Adifa dan Ridan memilih tinggal dengan cara berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Bukan tanpa alasan. Meski tahu jika Hazel hanya mengincar Mila, bukan berarti mereka bisa bertindak gegabah.
Untuk menjaga keselamatan dari berbagai kemungkinan, mereka tetap menyembunyikan diri sambil tetap mencari keberadaan Mila. Akan tetapi, dua bulan lalu, sebuah pesan singkat tiba-tiba masuk ke ponselnya.
Jika kalian mencari Hazel, dia ada di Universitas Mandala.
Theo membaca pesan yang Adifa tunjukkan. "Dan lo percaya?"
Adifa menggeleng. Ia tak sebodoh itu untuk percaya begitu saja pada pesan yang tidak jelas siapa pengirimnya. Bahkan setelah dilacak pun, tak jelas dari mana pesan itu berasal.
"Logikanya gini," ucap Adifa mencoba beranalogi, "untuk apa lo ngasih tahu keberadaan lo ke gue, padahal gue sedang mencoba sembunyi dari lo? Bukannya membocorkan posisi lo justru bikin gue punya kesempatan untuk menghindar, bahkan lari dari kejaran lo?"
Mata Theo menyipit, mencoba mencerna perkataan Adifa.
"Kalau ini memang jebakan, seharusnya Hazel mancing gue dengan menyebut keberadaan Mila, bukan keberadaannya sendiri," sambung Adifa. Lelaki itu menarik napas sambil mengecap bibirnya sendiri sebelum kembali bicara. "Gue cukup yakin kalau chat itu memang bukan dari Hazel, tapi nggak menutup kemungkinan kalau ini justru rencana dia. Bisa aja, dia udah memperkirakan gue bakal berpikir kalau chat itu bukan dari dia. Dengan begitu, dia jelas bisa mancing gue keluar dari persembunyian."
Theo menyandarkan punggung di sofa sambil bersedekap. "Terus, kenapa akhirnya kalian keluar kalau kemungkinannya masih 50 banding 50?"
Adifa melirik ke arah Zita yang duduk di sebelah Theo. Ia masih ingat bagaimana wajah itu memucat, menahan kesakitan, hingga menangis di hadapannya. Meski dirinya dan Ridan selamat, ia tak pernah bisa tenang setiap memikirkan Mila yang tiba-tiba menghilang malam itu.
Adifa selalu meyakinkan diri jika kondisi Mila baik-baik saja, walau pemikiran tentang gadis itu tertangkap kaki tangan Hazel sering menyeruak dalam benak. Oleh karena itu, untuk mencari tahu dan menutup rasa khawatirnya selama satu tahun terakhir, satu-satunya cara yang bisa ia lakukan hanyalah dengan keluar dan membuktikan isi pesan itu.
Netra Adifa kembali beralih pada Theo. "Karena gue nyari Mila. Hanya dengan menemukan Hazel, gue bisa mencari tahu keberadaan Mila."
...
TBC
...
Dialognya Adifa agak rumit, tapi semoga bisa dipahami 🙏
090823