Mila risih mendengar suara Adifa yang terus memanggil namanya dari sambungan earphone, ia lantas menanggalkan satu-satunya alat komunikasinya dengan Adifa dan membuangnya begitu saja seraya mengikuti Galen memasuki ruangan yang berada di lantai tiga Ascension.
Ruangan itu cukup luas dengan sebuah sofa panjang, menghadap televisi layar datar berukuran besar yang terpasang di dinding. Penerangan dari lampu downlight berwarna biru-hijau memberi kesan dingin dan temaram pada tempat itu. Ditambah lagi sebuah minibar dengan berbagai macam varian alkohol yang ada di salah satu sisi ruangan, menunjukkan jika itu adalah VIP room, atau mungkin ruangan yang memang dibuat khusus untuk Galen.
“Duduk,” kata Galen yang sudah lebih dulu duduk di sofa dan tengah menatap ke arahnya. “Gue takut lo tiba-tiba ambruk karena habis minum racun.”
Mila seketika menoleh padanya.
Sebelah sudut bibir Galen terangkat. “Lo pikir gue nggak tahu kalau minuman lo ada racunnya?”
Mila balas tersenyum sinis seraya duduk di sisi lain sofa. “Terus, kenapa lo ikut minum saat tahu ada racun di dalamnya?”
“Anggap aja itu reward.” Galen berucap santai seolah apa yang dilakukannya bukanlah masalah besar.
“Reward?”
Galen menyulut rokok yang dijepit dua bilah bibirnya, kemudian menghembuskan asapnya ke udara. “Gue nggak mungkin lupa sama anak kecil yang kakaknya gue bunuh dua belas tahun lalu.”
Mata Mila melebar. Bagaimana bisa lelaki itu mengenalinya? Seingatnya, Galen hanya pernah bertatap muka dengan Kamila, bukan dengannya.
“Dan gue nggak nyangka ternyata lo bener-bener datang sesuai omongan gue malam itu,” lanjut Galen.
Omongan apa? Mila mengernyit. Ia ingat dengan jelas jika 12 tahun lalu, ia hanya bersembunyi di dalam loker sebelum keluar dan berlari mencari bantuan, hingga akhirnya ia melihat mayat Kamila tergeletak di tepi jalan. Sangat jelas ia tidak bertemu siapa pun kala itu. Jadi, omongan apa yang Galen maksud? Apa malam itu mereka sempat bertemu tanpa ia sadari?
“‘Tumbuhlah besar dan kuat. Temui gue saat dewasa, dan bunuh gue dengan tangan lo sendiri.’” Galen mengulang kata-kata yang pernah ia ucapkan sambil menyeringai. “Gue bahkan masih ingat dengan jelas setiap kata yang gue ucap malam itu.”
Mila mulai mencerna. Jika mereka memang bertemu malam itu, kenapa ia tidak bisa mengingatnya? Ia tak mungkin lupa jika hal itu terjadi. Maka, apakah ingatannya terpotong tanpa ia sadari? Atau ... bisa jadi, bukan dirinya yang Galen temui malam itu! Lalu, siapa?
Mila memutuskan berhenti memertanyakan hal yang tak akan ia dapatkan jawabannya. Ia kembali fokus, menatap Galen yang tampak santai menikmati asap nikotinnya.
“Meminta gue ngebunuh lo dengan tangan gue sendiri, bukan berarti lo siap mati dengan tangan terbuka, kan?” Mila menatap Galen yang kini juga menatapnya. “Sebenarnya, apa alasan lo dengan sukarela meminum racunnya?”
“Kalau lo berpikir gue berniat mati dengan sukarela, lo salah besar.” Galen menyeringai angkuh. “Selama ini, gue memang nungguin lo datang. Gue berekspektasi tinggi lo bakal bunuh gue dengan brutal, lebih kejam dari yang pernah gue lakukan ke kakak lo. Sayangnya, lo malah pakai cara murahan.”
Galen menuduk, menatap tangannya sendiri yang tengah melumat ujung rokok ke dalam asbak.
“Jujur, gue cukup kaget waktu lihat lo lebih dulu minum racunnya. Entah karena lo berniat mancing gue biar nggak curiga, atau lo memang berniat bunuh diri di hadapan gue. Yang jelas, saat itu juga gue terpikir sesuatu yang lebih menarik.” Galen kini menoleh padanya, sebelah sudut bibirnya terangkat. “Bagaimana kalau kita mati bersama-sama?”
Tangan Mila mengepal kuat. Ia seolah sedang dipermainkan. Bukan ini yang ia harapkan. Ia mengorbankan nyawanya sendiri untuk melihat lelaki itu menderita dan kesakitan, tersiksa seperti yang pernah Kamila rasakan. Bukan malah melihat wajah lelaki sialan itu tersenyum dan tampak pasrah menunggu ajalnya.
Apa ia sudah salah mengambil langkah? Apa pilihannya mengorbankan nyawa hanya menjadi tindakan yang sia-sia?
Bodoh!
Mila mendadak sesak. “Kenapa?” Mila menuntut penjelasan. “Kenapa lo justru rela mati sama orang yang berniat bunuh lo? Dan kenapa juga gue harus mati sama lo? ”
Galen memilih diam sesaat, kedua matanya bergerak menatap kedua mata Mila bergantian. “Karena kalau lo mati, gue udah nggak punya alasan lagi untuk hidup.”
Mila mendengkus tawa sinis. “Kenapa gue harus jadi alasan lo untuk hidup? Lo nggak mungkin menyesal karena udah bunuh Kamila, dan menganggap gue sebagai penebusan dosa lo, kan?”
Galen tertawa mendengarnya. “Apa gue terlihat sebaik itu? Wow, gue cukup tersanjung.”
Psikopat gila!
Galen bangkit dari duduknya. “Gue nggak tahu racun apa yang lo kasih, tapi efeknya pasti segera bereaksi.” Galen menoleh padanya lalu tersenyum. “Gue akan pastikan nggak ada di antara kita yang keluar dari sini dalam keadaan hidup.”
Mila segera berdiri saat Galen tengah berjalan menuju pintu keluar. Ia buru-buru mengambil satu botol beling yang terdapat di minibar lalu melemparkannya ke kepala Galen.
Galen berhenti melangkah saat botol itu pecah membentur belakang kepalanya. Ia lantas berbalik dan menatap Mila yang berdiri beberapa meter di depannya.
“Kalau mau mati, mati aja sendiri!” tukas Mila. “Gue nggak sudi mati bareng lo!”
Galen menghela napas. Tangannya merogoh ponsel yang berada di saku celana, lalu menghubungi seseorang. Saat teleponnya tersambung, ia menatap lurus ke mata Mila. “Jangan biarkan siapa pun masuk atau keluar dari ruangan gue.”
“Lo mau ngurung gue di sini?”
Galen hanya mengangkat bahu sambil mengusap belakang kepalanya yang basah karena cairan alkohol dan bercak darah dari kulitnya yang terluka karena pecahan botol. “Hanya untuk memastikan lo nggak bakal mati di tepi jalan kayak kakak lo.”
Mila menggeram. Rahangnya mengatup kuat mendengar jawaban tanpa dosa atas apa yang dulu pernah lelaki itu lakukan pada Kamila.
Mila kembali mengambil satu botol kaca, menggenggam erat bagian leher botol, lalu membenturkan bagian bawahnya hingga pecah dan siap ia jadikan senjata.
Mila lantas berlari ke arah Galen dan menyerang lelaki itu. Namun, Galen justru menyeringai senang menyambut serangan itu. Ia mengimbangi serangan yang terarah padanya dengan terus melakukan gerakan menghindar tanpa perlawanan.
“Lo tumbuh dengan baik,” puji Galen di sela langkah kakinya yang terus mengatur jarak dari serangan Mila. “Tapi sayangnya, emosi mengambil alih kewaspadaan lo.”
Belum sempat Mila mencerna ucapan Galen, lelaki itu tiba-tiba berjongkok. Tangan Galen menarik kedua kaki Mila hingga tubuh gadis itu jatuh telentang dengan punggung dan kepala membentur lantai.
Saat pandangan Mila masih gelap karena benturan di kepalanya, Galen bergerak ke atas tubuhnya. Lelaki itu menindih perut Mila, menjepit pinggang Mila di antara kedua lututnya dengan kedua tangan terulur mencekik leher gadis itu.
Mulut Mila terbuka merasakan tekanan kuat di leher. Kedua tangannya memegang pergelangan Galen, berusaha kuat melepas cengkaman di lehernya.
Matanya menatap Galen yang sedang memandang dingin tanpa sedikit pun mengendurkan cekikannya. Tangan Mila lantas mengepal, kemudian menghantam kedua siku bagian dalam lelaki itu, berharap agar cekalan di lehernya mengendur. Namun, bukannya melonggar, himpitan di lehernya justru terasa semakin kuat.
“Akh!” Mila reflek kembali memegang, bahkan mencengkeram pergelangan lelaki itu dengan kukunya.
Ia mulai kehabisan napas. Pasokan oksigen di paru-parunya kian menipis. Pandangannya pun mulai kabur. Cengkeraman tangannya di pergelangan tangan Galen pun mulai melemah.
Di saat kesadarannya hampir hilang, tiba-tiba tubuh Galen terangkat darinya. Aliran oksigen langsung melesak masuk secara brutal ke jalur pernapasannya. Dengan napas tersengal, ia menoleh dan mendapati Adifalah yang menarik Galen dari atas tubuhnya, dan kini tengah mengambil alih pertarungan.
...
Tbc
...
One step closer
Bentar lagi part spesial flashback ini berakhir...
Wew, panjang ternyata wkwk
240723