Naughty Nanny

By SitiUmrotun

6.5M 329K 108K

"Baju lo kebuka banget. Nggak sekalian jual diri?" "Udah. Papi lo pelanggannya. HAHAHA." "Anjing!" "Nanti... More

P E M B U K A
chapter 1
chapter 2
chapter 3
chapter 4
chapter 5
chapter 6
chapter 7
Chapter 8
chapter 9
Chapter 10
Chapter 11
Chapter 13
Chapter 14
Chapter 15
Chapter 16
Chapter 17
Chapter 18
Chapter 19 🔞
Chapter 19
Chapter 20
Chapter 21
Chapter 22
Chapter 23
Chapter 24
Chapter 25
Chapter 26
Chapter 26 🔞
Chapter 27
Chapter 28
Chapter 29
Chapter 30
Chapter 31
Chapter 32
Chapter 32 🔞⚠️
Chapter 33
Chapter 34
Chapter 35
Chapter 36
Chapter 37
Chapter 38
Chapter 38 🔞⚠️
Chapter 39
Chapter 40
Chapter 41
Chapter 42
Chapter 43
Chapter 44
Chapter 45
Chapter 46
Chapter 46 🔞⚠️
Chapter 47
Chapter 48
Chapter 49
Chapter 50
Chapter 51
Chapter 51 🔞⚠️
Chapter 52
Chapter 53
Chapter 54
Chapter 55
Chapter 56
Chapter 57
Chapter 58
Chapter 59
Chapter 60
Chapter 61
(what if) Manggala marah 🔞⚠️
Chapter 62
Chapter 63
Chapter 64
Extra Chapter 1
Extra Chapter 2

Chapter 12

84.9K 5.5K 453
By SitiUmrotun

P E M B U K A

Sebelum baca, kasih emot dulu buat chapter ini

***

Kalau bukan karena anaknya, Manggala lebih memilih tinggal satu malam di hotel yang sudah Jiro siapkan dan istirahat dengan nyaman daripada memaksa tubuh lelahnya berkendara pulang. Mulanya ia memang setuju untuk menginap karena merasa tubuhnya sudah tidak mampu sekalipun dipaksa dan butuh istirahat kalau tidak mau tumbang. Namun, baru menutup kelopak mata, gelombang yang membawa rasa khawatir menghantam rongga dadanya begitu kuat ketika sosok Askara muncul dalam benak.

Manggala benar-benar khawatir tidak ada seseorang yang ikut terjaga dan mengambilkan air minum ketika Askara tiba-tiba bangun karena tenggorokannya kering.
Tidak hanya itu saja, kalau bukan dirinya, lantas siapa yang akan menemani bocah itu bermain ketika terjaga di waktu menjelang subuh? Siapa yang akan menggendongnya sampai tertidur kembali kalau dibangunkan paksa oleh mimpi buruk? Baru membayangkan Askara terjaga seorang diri, terus memanggilnya dan menangis ketakutan saja sudah membuat pikiran Manggala kacau sampai nekat pulang dengan kondisi buruk sekalipun.

Tengah malam, bukannya tidur untuk mengembalikan energi, Manggala justru memacu kendaraan dengan kecepatan penuh, membelah jalanan ditemani perasaan kalut yang enggan pergi sebelum berada di sisi Askara. Perasaan itu cukup mengganggu konsentrasi dan menggerus habis sampai tidak ada rasa nyaman tersisa.

Setiap kali berhenti di lampu merah, pria itu mengawali panggilan pada Viola dengan permintaan maaf karena mengganggu waktu istirahat perempuan. Selanjutnya, ia meminta tolong padanya untuk mengecek ke kamar Askara dan Kala untuk memastikan anak-anaknya masih tertidur nyenyak. Tidak lupa Manggala berpesan pada Viola agar memberi air mineral kalau mendapati Askara terjaga.

"Lo mau nanya soal Askara sama Kala, kan?" todong Viola begitu panggilan keempat terhubung. Dari nada yang digunakan, terdengar kesal, tapi tidak sampai dilampiaskan lewat marah. "Askara masih tidur sambil mangap dikit dan belum lepasin boneka kelinci dekilnya. Kalau Kala, baru banget kebangun dan ribut sama gue karena sebel. Gue apes banget, kan? Padahal cuma lakuin apa yang lo suruh, tapi gue dituduh macem-macem."

"Kala udah tidur lagi?"

"Kayaknya udah. Jangan nyuruh gue buat ngecek, gue males banget ribut lagi sama tuh anak."

"Nggak kok. Terima kasih, ya?"

"Hmmm."

Obrolan singkatnya dengan Viola cukup membawa pengaruh baik. Manggala merasa sedikit lebih baik dan bisa mengemudi dengan tenang. Terlebih saat mendapat energi positif dari foto kebersamaannya dengan Kala dan Askara.
Menjadi seorang ayah yang baik untuk mereka bukanlah hal mudah bagi Manggala yang tumbuh bersama luka dan terus dihantui bayang-bayang bagaimana mengerikannya sosok yang ia panggil 'papa'. Ketika merasa kesal, marah, dan kecewa atas sikap mereka, Manggala selalu takut pada dirinya sendiri yang belum selesai dengan masa lalu. Di situasi itu, ada balas dendam yang menuntut dipuaskan dan mendorong hatinya untuk memperlakukan anak-anaknya dengan cara yang ia dapatkan dulu. Itulah mengapa Manggala menghindari amarah yang begitu terobsesi mengambil kendali diri.

Sampai di rumah, Manggala tidak pernah membayangkan kalau akan ada seseorang perempuan menyambut kepulangannya dan membantu membawakan barang-barang yang ia beli untuk Kala dan Askara. Seseorang yang pernah berstatus menjadi istrinya di masa lalu sekalipun belum pernah melakukan itu. Viola adalah orang pertama, meskipun melakukannya dengan setengah hati dan tidak berhenti mengomel sepanjang langkah sampai ruang keluarga.

"Kamu belum tidur nungguin saya?" tanya Manggala mengalihkan topik begitu Viola berhenti marah-marah. Manggala ingat. Di panggilan terakhir ia sudah menyuruhnya untuk tidur saja.

"Iya, baper nggak lo?"

Tidak ada jawaban karena Manggala anggap itu adalah candaan yang tidak perlu ditanggapi dengan serius. "Kamu nginep, kan? Nggak tiba-tiba berubah pikiran minta pulang."

"Itu mah lo!" semprot Viola. "Ngomong-ngomong kita tidur bareng, kan? Gue udah pake piyama model kimono gini biar gampang diunboxing. Nanti tinggal tarik aja tali yang ini, tapi request nariknya pake gaya yang sexy. Pake gigi gituloh. Nggak lupa, kan, gerakan yang itu?"

"Vi."

"Mau dibukain aja biar langsung wasweswos nggak pake ribet?"

"Viola."

Mendapati ekspresi Manggala seperti yang diharapkan, Viola tertawa renyah lantas kembali duduk di sofa dan melanjutkan kegiatan menonton yang sempat tertunda. Sementara Manggala pamit ke kamar untuk memastikan Askara masih tertidur pulas.

"Viola?" panggil Manggala dengan suara sedikit bergetar begitu kembali ke ruang keluarga.

"Mau main sekarang?" tanya Viola kurang cakap membaca situasi. Padahal ekspresi Manggala sudah cukup menjelaskan kalau sedang tidak ingin bercanda.

"Tangan Askara luka. Tolong jawab jujur, kamu nggak mukul Askara kan?" tanyanya takut akan kemungkinan terburuk yang terlintas dalam pikiran.

Ada banyak bekas luka di tubuhnya. Punggung, lengan atas, dada, perut sebelah kiri, dan kaki. Bekas luka itu adalah bukti seberapa mengerikannya seseorang yang ia panggil 'papa'. Luka itulah yang membuatnya gagal melupakan kelamnya masa kanak-kanak. Rekaman ingatan saat dirinya berkali-kali diamuk hanya karena masalah sepele, sering kali terputar otomatis tanpa mampu dihentikan ketika Manggala melihat bekas luka di tubuhnya.

Karena itulah Manggala berusaha keras agar anak-anaknya tidak memiliki bekas luka apapun agar di kemudian hari tidak mengalami hal sulit serupa dengannya.

"Lo nuduh gue?"

"Saya nggak nuduh, Viola. Saya cuma tanya, kamu nggak mukul Askara kan?"

"Tapi pertanyaan lo bikin gue tersinggung dan ngerasa dituduh. Daripada nanya kayak gitu, bukannya lebih enak didenger kalau lo langsung minta penjelasan kenapa tangan Askara luka?"

Manggala mengakui kebodohannya.
Di situasi seperti sekarang, kinerja otaknya memang menurun drastis membuatnya terlihat seperti orang paling bodoh. Saat itulah Viola menyadari ada hal tidak beres pada pria di hadapannya yang terlihat berbeda dari biasanya.

"Duduk," titah Viola seraya menggeser pantat, memberikan ruang kosong di sebelahnya pada Manggala. Begitu pria itu menuruti perintahnya, ia pun menjelaskan tentang Askara. Mulai dari ia yang berinisiatif mengajak bocah itu ke playground agar tidak suntuk di rumah sampai insiden Askara jatuh yang membuat tangannya terluka. Pada Manggala yang terlihat tidak baik-baik saja, Viola yakinkan pria itu kalau luka Askara hanyalah luka kecil dan sudah ditangani dengan baik. Tidak perlu khawatir berlebihan seperti itu.

"Maaf." Satu kata itu lolos dengan berat dari bibir Manggala. "Saya cuma takut ada yang mukulin Askara."

"Ya elah, emangnya siapa yang tega mukulin anak kecil sih?"

Papa, jawab Manggala dalam hati.
"Saya boleh kasih aturan buat kamu?"

"Gue males diatur-atur. Lo bikin aturan, yang ada bakal gue langgar."

"Bukan aturan," ralat Manggala. "Saya mau minta tolong buat nggak mukul Askara ataupun Kala, semarah apapun kamu sama mereka. Kalau kamu marah banget, cukup tinggalin mereka, dan balik pas kamu udah lebih tenang. Bisa, Vi?"

"Bisa banget karena gue bukan tipe orang yang ringan tangan kok, jadi lo nggak perlu khawatir soal itu. Tapi kalau ngomel boleh, kan?"

"Boleh asal jangan sampai nyinggung soal maminya anak-anak. Mereka mungkin kurang suka kalau bahas itu."

"Kenal juga nggak, ngapain nyinggung-nyinggung beliau," lontar Viola tanpa mengalihkan tatapan dari gerakan-gerakan kecil jemari pria itu dan setiap perubahan ekspresi wajahnya. Dibanding sebelumnya, Manggala terlihat jauh lebih baik. Gurat khawatir dan marah yang semula terlihat paling mendominasi, mulai memudar.

"Tunggu di sini sebentar," pintanya sebelum bangkit dan melangkah untuk mengambil sesuatu yang Askara titipkan. Sebelum dikabari kalau Manggala akan menginap, bersama Askara yang terus memeluk toples kaca berisi popcorn, Viola menunggu kepulangan pria itu. Ngomong-ngomong, mereka membuat popcorn bersama. Hal itulah yang membuat Askara tidak sabar memberikan camilan buatannya pada sang papi.
"Dari Askara. Katanya lo doyan banget nyemilin itu."

"Iya. Askara juga suka."

"Keliatan, sih. Tadi satu toples aja dimakan sendiri. Mana norak banget pas bikin. Heboh sendiri. Asli, berisik banget. Nih liat," kata Viola seraya menyerahkan ponsel pada Manggala. Sebuah video singkat terputar. Di video itu, Askara melompat-lompat diiringi tepuk tangan dan suara heboh tentang kekagumannya melihat jagung meletup menjadi camilan kesukaannya. "Yang terakhir nggak usah didenger. Kala sensi banget dari tadi. Marah-marah terus ke gue. Ganggu banget."

"Kirim videonya ke saya," pinta Manggala bersamaan dengan gerakan mengembalikan ponsel ke pemiliknya.

"Sekalian video yang lain nggak?"

"Kamu punya video Askara selain yang tadi?"

"Bukan video Askara, tapi video sexy gue. Ada video pas gue mainin itu. Itung-itung ditonton buat terapi biar lo bergairah dan birahi lagi," canda Viola. Tidak ada video aneh seperti yang baru saja dikatakan. Ini hanyalah bagian dari lelucon untuk menggoda duda anak dua.

"Viola!"

***

Padahal baru tidur beberapa menit setelah menemani Viola menonton sampai ketiduran di sofa, tiba-tiba saja ada yang berani mengusik. Mulanya Manggala berusaha untuk tidak terpengaruh dengan gangguin itu karena masih sangat mengantuk, tapi dadanya terasa sesak seperti ditindih beban berat. Bukan hanya itu saja, ia mulai merasa kesulitan mengambil napas karena hidungnya ditutup.

"Hah hah hah." Askara dengan sengaja buang napas di depan hidung bangir papinya yang memerah setelah dipencet kuat-kuat. Ini adalah cara baru Askara membangunkan orang. Cara ini dinilai ampuh. Ia pernah mempraktikannya pada Om Jiro yang ketiduran di kantor dan cukup tiga kali percobaan, Om Jiro berhasil dibangunkan dengan inovasi baru yang ditemukan. Saat itu Askara baru saja makan siang dengan telur asin.

"Askara," tegur Manggala begitu membuka kelopak mata karena hidungnya merasa tidak nyaman dengan aroma yang terhirup. "Nakal, ya? Siapa yang ajarin kayak gitu hmm?"

Bocah yang membuat dada Manggala terasa terhimpit itupun terkikik geli. Dengan bangga ia jelaskan kalau itu adalah penemuan terbaiknya. Dengan gaya lucu, Askara juga ceritakan soal life hack temuannya yang pertama kali dipraktikan pada Jiro.

"Askara dengerin Papi, ya. Lain kali, anak baik nggak boleh kayak gitu lagi. Itu nggak sopan, ya? Papi nggak pernah bangunin Askara kayak gitu, kan? Papi selalu bilang gini, 'Askara, ayo bangun, Sayang. Udah siang loh'. Papi nggak pernah hah hah ke Askara. Ke akak juga nggak."

"Tapi Papi boleh tiru cara aku kok."

"Papi nggak mau ah, nggak sopan itu."

"Ya sudah."

"Jadi, kenapa Askara bangunin Papi? Masih gelap loh. Oh, iya, tangannya gimana? Udah sembuh atau masih nyut-nyut?"

"Ini?" Askara menunjukkan lebam di lengan kirinya. "Udah nggak sakit. Diobatin pake magic sama Tante Pio. Ada mantranya, Pi. Tapi aku tidak hafal. Terus disembur fyuhh fyuuh dua kali."

Wajah polos Askara saat dibodohi Viola mudah sekali dibayangkan oleh Manggala. "Keren dong Tante Viola bisa magic."

"Betul. Terus bisa magic lain juga. Tante Pio bisa sihir jagung menjadi popcorn banyak-banyak."

"Itu bukan magic, Sayang. Popcorn memang buatnya pake jagung."

"Iya, kah?" Askara melongo heran. "Papi, aku mau nyot-nyot. Haus sekali."

"Papi buatkan, ya? Tapi Askara minggir dulu."

"Mau ikut! Gendong."

Tidak ada penolakan dari Manggala. Mengabulkan keinginan sederhana Askara adalah caranya mengganti waktu kemarin yang seharusnya dihabiskan bersama anak-anak.
Sembari menggendong Askara, Manggala dengan cekatan menyeduh susu di dalam sippy cup.
"Bobok lagi, ya? Papi siap gendong sampe Askara bobok."

"Tidak mau bobok lagi, Papi. Mau buat popcorn lagi yang banyak sekali."

"Nanti siang buat lagi, sekarang bobok aja."

"Tidak mau," tolak Askara dengan suara melemah lalu menikmati susu hangatnya sampai habis dibantu Manggala yang memegangi sippy cup. Meski menolak tidak mau tidur lagi, nyatanya bocah itu tertidur beberapa menit setelah susunya habis.

Setelah sepuluh menitan membiarkannya tidur dalam gendongannya sampai benar-benar nyenyak, Manggala pun membaringkan Askara dengan gerakan sehati-hati mungkin. Lantas mengambil beberapa lembar tisu untuk menyeka susu di sekitaran bibir bocah itu.

Melihat waktu menunjukkan pukul 5 pagi dan Manggala sudah kehilangan kantuk, pria itu putuskan pergi ke dapur untuk menyiapkan sarapan sederhana.

"Papi?" panggil Kala memastikan mata kantuknya tidak salah melihat. Seingatnya, semalam pengasuh abal-abal adiknya mengatakan kalau papi menginap. "Beneran Papi apa bukan, sih?"

"Iya, ini Papi. Cuci muka dulu sana biar nggak ngantuk."

"Bukannya Papi nginep, ya? Atau aku dibohongin sama Tante Viola?"

"Tante Viola nggak bohong. Awalnya Papi emang mau nginep, tapi nggak jadi. Semalem Papi pulang jam dua belasan."

Seketika mata Kala terbuka sempurna. "Papi tidur di mana? Terus Tante Viola? Kalian nggak tidur bareng, kan? Jujur, ngapain aja pas aku tidur?" todong Kala sudah di fase takut terjadi sesuatu di antara papi dan Viola.

"Astaga, masih aja bahas soal itu," keluh Manggala.

"Papi jawab dulu dong pertanyaanku yang tadi. Jangan bikin aku mikir yang nggak-nggak."

"Papi tidur di kamar sama Askara. Tante Viola tidur di ruang tamu. Dan Papi nggak ngapa-ngapain sama Tante Viola."

"Beneran?"

"Seenggak percaya itu kamu sama Papi, Kal?"

"Maaf," sesal Kala begitu menghambur ke pelukan Manggala. "Aku cuma takut Papi dirusak dan dijebak sama Tante Viola."

"Kamu ini ada-ada aja."

Teringat dengan bukti skandal Viola dan si polisi muda, Kala menyeringai. Ini adalah momen yang tepat untuk membongkar skandal dan membuat hubungan mereka berakhir. "Pi?"

"Hmm?"

"Sebelumnya maaf, bukan mau jelek-jelekin. Tapi aku mau kasih tau sesuatu ke Papi tentang kelakuan nggak bener Tante Viola."

"Maksudnya gimana, Kal?"
Hal yang ada di pikiran Manggala saat ini adalah perlakuan buruk Viola pada Kala maupun Askara di belakangnya.

"Papi liat aja sendiri. Aku aja syok berat ngeliatnya. Kayak nggak nyangka ternyata sejahat itu."

Sewaktu Manggala serius menonton video kedekatan Viola dan polisi muda bernama Bima, Kala terus saja mengeluarkan kalimat bijak untuk mempengaruhi sang papi. Tidak lupa diselipi desakan tipis-tipis agar mengakhiri hubungan saja.

"Astaga."

"Ya, kan? Aku aja ngerasa tersakiti banget liat kelakuannya sama Om Bima itu. Kayak ... masa gituin Papi. Mana tuh om-om nggak lebih dari Papi. Biasa aja tuh. Jauh banget lah. Nyari apa coba si Tante Viola?" 

"Kamu ini bahas apa, sih?"

"Pa-pi nggak cemburu? Nggak kecewa sama Tante Viola? Aslinya lebih parah loh, Pi. Itu cuma sebagian yang aku rekam."

"Berapa kali Papi bilang? Papi sama Tante Viola itu nggak ada hubungan apa-apa, Kala. Jadi, sia-sia kamu nunjukin video ini ke Papi."

Sedikit malu, Kala langsung merebut ponselnya dari tangan Manggala dan berlari ke kamar tanpa mengatakan apa-apa lagi.

Hanya selang beberapa detik saja, Viola muncul di hadapannya dengan penampilan berantakan dan menguap lebar.
"Gue mau pulang," kata perempuan itu.

"Saya antar."

"Nggak perlu, sopir gue udah di depan. Bokap yang suruh jemput. Gue balik dulu, ya? Sini ciuman dulu sampe sesak napas."

"Sembarangan!"

"Cih. Nolak mulu. Impoten, ya?"

"Viola."

Perempuan itu tersenyum sampai bola matanya tidak terlihat lalu tiba-tiba menyerang. Kalau saja Manggala tidak sigap mengelak, Viola pasti berhasil mencuri ciuman darinya. Dengan tampang tidak berdosa, pengasuh anaknya yang nakal itu melambaikan tangan dan melangkah tergesa menuruni tangga.

Pagi itu, setelah Viola pulang, kegiatan Manggala berjalan dengan lancar. Ia selesai menyiapkan sarapan sebelum Askara bangun dan ketika hendak membangunkan anak itu, pesan dari Viola menunda langkahnya. Kaki yang seharusnya dibawa ke kamar Askara justru belok dan berakhir di sofa ruang keluarga. Ia siapkan waktu khusus untuk bertukar pesan dengan si pengasuh itu.



Dan ternyata meladeni pesan Viola adalah sebuah tindakan yang salah. Seharusnya Manggala ingat baik-baik kalau Viola itu berbahaya.

***
TBC

yya nunggu lagi

Komen next di sini buat chapter selanjutnya

Mampir sini 👇



P E N U T U P

Continue Reading

You'll Also Like

12K 935 72
Selamat membaca!!🐋 ~~~ "Dad, that's enough." . "Ini sekolah apa coba?" . "Heeeeeissh... Cewek tu minum boleh ngrokok jangan." . "Jangan Song, Kwon a...
5.9K 570 15
" Aku memang mencintai dirinya, tapi aku sadar, aku tidak pernah bisa bersanding dengannya, bahkan aku sangat jauh dibandingkan ribuan wanita yang me...
1.2M 60.8K 50
Rasa cinta terlalu berlebihan membuat Lia lupa bahwa cinta itu tidak pernah bisa dipaksakan. Rasanya ia terlalu banyak menghabiskan waktu dengan meng...
1.2M 17.6K 9
Aleta mencintai Pamannya sendiri, Fabian. Lalu semua kerumitan muncul. || Copyright ©2016 by Kyuri.