My True Me (END)

By deesar

42.4K 5.8K 11.3K

17+ Setahun yang lalu, Zita tiba-tiba tersadar dan mendapatkan luka panjang dari telapak hingga pergelangan... More

Epitasio
Satu
Dua
Tiga
Empat
Lima
Enam
Tujuh
Delapan
Sembilan
Sepuluh
Sebelas
Dua Belas
Tiga Belas
Empat Belas
Lima Belas
Enam Belas
Tujuh Belas
Delapan Belas
Sembilan Belas
Dua Puluh
Dua Puluh Satu
Dua Puluh Dua
Dua Puluh Tiga
That Night (1)
That Night (2)
That Night (3)
That Night (5)
That Night (6)
That Night (7)
That Night (8)
That Night (9)
That Night (10)
That Night (11)
That Night (12)
That Night (13)
That Night (14)
That Night (15)
Dua Puluh Empat
Dua Puluh Lima
Dua Puluh Enam
Dua Puluh Tujuh
Dua Puluh Delapan
Dua Puluh Sembilan
Tiga Puluh
Tiga Puluh Satu
Tiga Puluh Dua
Her Past (1)
Her Past (2)
Her Past (3)
Her Past (4)
Her Past (5)
About Him and His Girl
Tiga Puluh Tiga
Tiga Puluh Empat
Tiga Puluh Lima
Tiga Puluh Enam
Tiga Puluh Tujuh
Tiga Puluh Delapan
Tiga Puluh Sembilan
Empat Puluh
Empat Puluh Satu
For Tonight
Empat Puluh Dua
Empat Puluh Tiga
Empat Puluh Empat
Empat Puluh Lima
Empat Puluh Enam
Empat Puluh Tujuh
Empat Puluh Delapan
Empat Puluh Sembilan
Lima Puluh
Lima Puluh Satu
Lima Puluh Dua
Hatred (1)
Hatred (2)
Hatred (3)
Hatred (4)
Hatred (5)
Hatred (6)
Lima Puluh Tiga
Lima Puluh Empat
Lima Puluh Lima
Lima Puluh Enam
Lima Puluh Tujuh
Lima Puluh Delapan
Lima Puluh Sembilan
Enam Puluh
Enam Puluh Satu
Enam Puluh Dua
Animo
Enam Puluh Tiga
Enam Puluh Empat
Enam Puluh Lima
Enam Puluh Enam
Catastrophe (END)
Extra Part (1)
Extra Part (2)
Extra Part (3)

That Night (4)

543 72 223
By deesar

Hanya sekian menit, Mila tersadar dirinya hampir saja tertidur saat merasakan kepalanya merosot dan tak sengaja tersandar di bahu Adifa. Ia urung membuka mata saat mendengar langkah kaki mendekat. Dari mata yang masih terpejam, tak ada percakapan yang ia dengar sampai akhirnya Adifa dengan perlahan memindahkan kepalanya ke punggung sofa, dan beranjak dari sisinya.

Mila baru membuka kedua matanya setelah yakin Adifa pergi menjauh, mungkin menyusul si pemilik langkah kaki yang didengarnya tadi. Meski telah sepakat bekerja sama dengan Adifa , Mila tetap memasang kewaspadaan terhadapnya. Ia lantas bangkit dari tempat duduknya, kemudian mendekati salah satu pintu yang ia yakini dimasuki oleh Adifa.

Suara yang hanya terdengar samar-samar memaksanya untuk mendekat ke daun pintu agar dapat menangkap lebih jelas percakapan di dalam sana. Satu yang bisa ia tangkap dari aksi mengupingnya itu adalah rekan Adifa--yang ia perkirakan adalah Ridan--tidak setuju dengan ide Adifa untuk melibatkannya dalam rencana.

"Gue lebih nggak mau lo yang berada dalam bahaya dengan masuk ke sana." Suara Adifa masih berkeras pada keputusannya.

Ke sana? Mila berkerut dahi.

"Pura-pura jadi bartender di sana memang sama aja dengan masuk ke lubang buaya. Gue sadar ini nggak ada bedanya sama menyerahkan hidup gue ke Galen, tapi gue akan aman selama dia nggak tau rencana kita," balas Ridan. "Tapi sedikit aja Galen percaya, rencana lo-rencana kita buat balas dendam ke dia bakal berjalan lancar."

"Membuat Galen mempercayai orang baru kayak lo jelas bukan hal yang mudah." Adifa kembali menentangnya. "Itu pasti makan banyak waktu, dan selama waktu yang lo lewatin itu, besar kemungkinannya Galen akan mencurigai lo. Resiko yang lo ambil terlalu besar, Dan."

"Tapi nggak dengan melibatkan orang lain juga, Bang. Ini sama aja dengan melibatkan dia dalam bahaya."

"Kita tahu kebiasaan Galen, kita bisa manfaatin itu dengan menggunakan Mila. Galen nggak akan menaruh curiga sama dia, karena Mila hanya akan dianggap mangsa. Bahkan kalau Mila gagal, kita akan punya cukup waktu untuk menyelamatkan diri."

"Lo mau ngorbanin dia?" tanya Ridan.

Tidak. Mila tahu Adifa tidak mengorbankannya. Adifa hanya mengatakan apa yang menjadi keputusannya tadi pagi.

"Kita yang gue maksud bukan cuma lo dan gue, tapi Mila juga."

"Maksudnya?" Ridan tak mengerti.

Mila pun ikut dibuat bingung. Bukankah ia sudah mengatakanya dengan jelas jika Adifa harus meninggalkannya jika rencana mereka gagal? Saat itu terjadi, ia akan bantu mengulur waktu agar Adifa dan Ridan punya kesempatan untuk melarikan diri. Lalu apa maksud kata kita yang Adifa ucapkan sekarang?

"Jika rencana ini gagal ...." Adifa kembali memaparkan jawabannya. "Galen pasti berusaha membawa Mila pergi sebelum Mila berhasil ngasih minuman ke dia. Kalau itu terjadi, Mila hanya perlu menghindar, kita anggap rencana ini sudah gagal. Kita-termasuk Mila, harus secepatnya pergi dari sana. Selama kita masih ada di tengah-tengah orang ramai, itu kesempatan kita untuk pergi karena Galen nggak akan bertindak bodoh secara terang-terangan."

"Secara nggak langsung, selain memaanfatkan Mila, lo juga menjadikan dia sebagai umpan untuk mencari tahu apakah Galen menyadari keberadaan kita atau nggak."

"Sejujurnya, iya."

Mila tersenyum miring mendengarnya. Ia sama sekali tak sakit hati. Sejak awal ia tahu dirinya hanya alat. Ia hanya sedang menertawakan apa yang sudah Adifa katakan sebelumnya.

"Gue nggak menganggap lo sebagai alat. Kita tim."

Omong kosong!

Mila lebih suka mendengar dirinya hanyalah alat, umpan, atau apa pun sebutannya dibanding kata-kata manis seolah dirinya ini berharga. Bukankah selama ini dirinya sudah terbiasa dianggap tak pernah ada?

"Bahkan tanpa adanya Mila, memasukkan lo dalam rencana juga sama aja dengan menjadikan lo sebagai umpan," ucap Adifa. "Sejak awal gue berniat melakukan ini sendiri, tapi lo terus-terusan memaksa untuk masuk. Silakan bilang gue jahat, egois atau brengsek sekalipun, tapi berkat adanya Mila, gue sedikit merasa lebih tenang sekarang. Mau bagaimana pun, cuma lo satu-satunya keluarga gue, jadi keselamatan lo jelas lebih penting dari segalanya."

"Bang ...." Suara Ridan masih terdengar tak terima akan keputusan itu.

"Lo seharusnya tahu kalau gue bukan Galen. Gue nggak akan mengorbankan orang lain hanya untuk meraih tujuan gue. Gue janji, gue akan bertanggung jawab sama keselamatan Mila, walau harus membahayakan nyawa gue sendiri."

Entah bagaimana Mila harus menggambarkan suasana hatinya sekarang. Kata-kata itu tak punya alasan untuk melukai hatinya, tapi kenapa ia justru merasa sesak? Bahkan pandangan tiba-tiba mengabur karena genangan di pelupuk matanya. Namun, meski itu hanya kata-kata yang tak bisa dibuktikan, hatinya terasa menghangat.

Selama ini, dirinya hidup tanpa dianggap hidup. Orang-orang di sekitarnya memang selalu mempedulikan keselamatannya, tapi bukan dirinya. Mereka hanya mencoba melindungi dia, sosok pengecut yang sangat ia benci.

Pintu di hadapannya tiba-tiba terbuka, memperlihatkan Adifa yang tampak terkejut akan keberadaannya. "Lo ...."

Mila tak beranjak, ia hanya spontan mengalihkan wajahnya ke arah lain. Ia mengedipkan mata berkali-kali untuk menghalau ke-mellow-an yang sempat ia rasakan, sebelum akhirnya kembali menatap Adifa.

"Gue nggak sengaja denger semuanya," akunya begitu saja.

Adifa mendesah. "Sorry."

"Untuk?"

"Semua yang lo denger."

"Gue nggak merasa ada yang perlu disesali dari ucapan lo tentang gue." Mila berkata sejujurnya.

"Tapi gue lihat lo nangis."

Ternyata Adifa melihat hal yang hanya membuatnya salah paham. "Nangis bukan berarti gue sedih atau sakit hati sama ucapan lo."

"Nggak mungkin." Adifa tak percaya.

Mila mendecak. "Honestly, gue sendiri nggak tau apa yang gue rasakan sekarang. Gue udah biasa dianggap sebagai insect, parasit, atau sekarang umpan. Gue sama sekali nggak sakit hati. Gue cuma bingung karena gue justru merasa .... tersentuh, mungkin?"

Adifa bersedekap seraya menyandarkan bahunya di gawang pintu. "Lo dianggap umpan, tapi lo malah tersentuh? Aneh."

"Gue tersentuh karena lo bilang bakal menjaga keselamatan gue meski membahayakan nyawa lo sendiri," jelas Mila. "Gue merasa dimanusiakan."

Jawaban Mila membuat Adifa menatapnya penuh tanya. Banyak pertanyaan yang ingin ia ajukan seperti, kenapa Mila melarangnya mencari tahu tentang dirinya? Atau, kenapa Mila menganggap dirinya sendiri sebagai hama, seolah hidupnya tidak pernah punya arti bagi orang lain? Namun, lagi-lagi, semua pertanyaan itu hanya mampu berputar di kepalanya.

"Ya karena lo manusia," jawab Adifa sekenanya.

Mila tersenyum mendengarnya. Gadis itu lantas berjinjit-jinjit, mencoba mengintip seseorang yang tertutup tubuh tinggi Adifa. "Dia cowok yang tadi, kan?"

Adifa reflek memiringkan tubuhnya hingga Mila bisa melihat keberadaan Ridan di dalam sana. Ridan yang bertemu tatap dengan Mila langsung melangkah mendekat.

"Ridan," ucapnya seraya mengulurkan tangannya ke depan Mila. "Gue harap lo nggak jadi beban di rencana ini."

Mendengar itu, Mila mengernyit dahi. "Apa karena gue cewek, jadi lo berpikir kalau gue ini lemah, hanya akan jadi beban, dan akan membahayakan lo dan abang lo?"

"Gue nggak bilang apa-apa, tuh." Ridan menarik uluran tangannya yang tak mendapat sambutan dari Mila.

Mila tersenyum miring. "Lo mau sparring sama gue? Kita bisa lihat siapa yang punya kemungkinan lebih besar buat jadi beban."

...

TBC

...

Rencana apa yang akan mereka jalankan?

Cluenya:
1. Bartender
2. Minuman
3. Galen

Gampang dong ...

See yaa 🤭

080523

Continue Reading

You'll Also Like

27.5K 395 3
Spin off dari Devil For Rent. Zefanya Claudia Jacob, tidak pernah menyangka kalau gadis yang ia tolong ialah adik dari Alvin Canavaro Pratama. Kesal...
4.5M 597K 62
Entah kehidupan kedua atau penglihatan yang diberikan Tuhan padanya, ia menghindari kematian, berjanji akan membalas semua kepedihan yang pernah ia d...
208K 5.8K 50
[Budayakan VOTE Sebelum Membaca] The Billionaire Prison [Love is Difficult] Sungai Thames, London. 📌 "Bersihkan semua, jangan sampai ada yang tertin...
59.1K 11.2K 136
Semuanya karna cinta.