Sweet Psycho ✔

Fadilawliet tarafından

287K 19.1K 1K

[TAMAT] Judul sebelumnya 'Possessive Sam' Sam, begitu orang memanggilnya. Dia adalah anak dari keluarga Mille... Daha Fazla

Prolog
1.1. Abnormal Girl
1.2. Abnormal Girl
02. Deal!
03. Coffee
04. Penguntit
05. Trip to Bali
06. Mr. Manekin
07. Mr. Manekin
08. Ex
09. Lexi?
10. I'm Hungry!
11. Lift
12. Peka
13. Apa yang aku harapkan?
14. Pesta
15. Pesta 2
16. He Kissed You
17. William Hood
18. Mom?
19. Racing
20. Racing 2
21. Kidnapped
22. Drunk
23. Planning
24. Resignation
25. High Price
26. Someday
27. Sammie
28. The Beginning Of A Tragedy
29. Let's break up
30. Natalie
31. Never Forget
32. Uninvited guests
33. Choice
35. Without You
36. Miller's Family
37. Forget you, can I?
38. You really don't miss him?
39. Retrouvailles
40. Au revoir
Epilog
Extra Part | Sweet Psycho

34. Back To You

1K 83 15
Fadilawliet tarafından

Chapter ini lumayan panjang. Happy reading semuanya! Untuk kalimat rancu dan typo boleh ditandai ya. Terima kasih ♡

***

Samuel melengkungkan bibirnya, membuat sebuah senyuman samar. Satu tangannya yang bebas mengusap air mata Lexi yang menetes membasahi penutup mulutnya yang masih terlilit.

"Hai." Sam menyapa, kali ini tangannya menyelipkan rambut Lexi ke belakang telinga. Merapikannya.

"Bukankah sudah lama kita tidak bertemu?"

"Aku tahu kau pasti begitu merindukanku hingga rela melakukan segalanya."

Helaan napas panjang keluar dari mulut Sam. "Kau akan terus mengabaikanku dan hanya akan menangis seperti itu?" tanya Sam, memasang wajah kecewa. Hal itu membuat Lexi menggeram dan menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Ah...." Sam berlaga seolah ia baru tersadar bahwa ia lupa membuka penutup mulut Lexi, kemudian ia tertawa seperti orang gila.

"Biar aku buka, oke?" Samuel lantas segera membuka kain penutup mulut Lexi dengan menggunakan pisaunya.

"A-ak-aku tidak ingin orang lain memilikimu Sam."

"Kau sungguh mencintaiku?"

Lexi mengangguk dengan mantap dan Sam menampilkan senyumannya lalu berdiri dari duduknya untuk kemudian membuka tali yang membelenggu tangan Lexi dari belakang.

"Berdirilah," titah Sam.

Lexi menurutinya hingga kemudian ia berhadapan dengan Sam yang langsung memeluknya. Tanpa keraguan, Lexi yang sangat mendambakan momen itu membalas dekapan Sam dengan erat. Saat itulah Sam sudah sangat siap dan mendapatkan momen yang tepat untuk menusuk Lexi, namun sialnya bayangan yang tidak ia undang datang berkelabat di kepalanya. Yaitu ibunya, tampak menangis kecewa. Hal itu membuat ia urung melakukannya.

"Aku mencintaimu. Pilih aku, aku bisa memberikan segalanya dan rela melakukan apapun untukmu."

Dekapan itu terlepas, Sam menatap Lexi dan bertanya, "'Apapun itu', apa kau yakin?"

"Mm." Lexi mengangguk lagi. Lalu satu kecupan mendarat di bibirnya, membuatnya cukup terperangah dan senyuman yang timbul dari reaksinya tidak bisa dia sembunyikan.

"Kalau begitu ambil ini." Sam memberikan pisau lipat itu kepada Lexi yang membuatnya melempar pertanyaan dengan keheranan. "Untuk apa?"

Sam menggenggamkannya pada tangan Lexi. "Kau bilang rela melakukan apapun untukku, bukan? Aku ingin kau melakukannya sendiri."

"Sam, apa ma—"

"Terserah apa yang akan kau lakukan. Memilih menggunakannya atau tidak. Tetapi yang jelas aku hanya mau kau menghilang dari hadapanku. Selamanya. Jangan pernah coba-coba kembali dan menyakiti orang yang aku cintai atau aku akan benar-benar melakukannya dengan tanganku sendiri tanpa rasa iba sejengkal pun." Sam menjeda. "Ini adalah peringatan terakhir. Memilih untuk menjadi mayat saat fajar tiba lebih baik, agar aku tidak perlu repot-repot membersihkanmu."

"Tapi kukira kau mau menerimaku. Kau bahkan tadi menciumku da—"

Sam tertawa sarkas. "Kau tampaknya begitu senang dengan cara mati yang akan kau dapatkan itu."

***

"Kau sudah selesai?" Damon berdiri dari duduknya di atas anak tangga yang kotor dan berdebu.

Sam menghampirinya. "Antarkan dia pada Jeff. Biar dia yang melakukannya."

"Wait, what? Kau meninggalkan otakmu di dalam sana?" Damon protes tidak terima.

"Lakukan saja. Kau banyak berhutang budi padaku untuk posisi itu bukan?" ucap Sam seraya dipegangnya bahu sang adik dengan lembut.

"Sialan!" Damon mengumpat, tangannya dengan keras menepis lengan Sam. "Kau tidak perlu membahasnya. Maksudku, bukankah justru Jeff akan melindunginya?"

"Tidak lagi. Kau tidak tahu apa pun. Antarkan saja."

"Iya! Kau pikir aku budeg? Akan aku antarkan!" Damon melirik kedua temannya sebagai kode untuk kembali masuk ke dalam rumah kosong itu dan menyeret Lexi. "Tapi aku tidak akan membantu lagi jika ternyata Jeff tidak sesuai harapanmu."

"Kau tidak perlu khawatir."

Damon menghela napas panjang dan kembali berucap ketika tepat Sam membuka pintu mobil untuk pergi. "Tidak bisakah kau mengandalkanku saja?"

Sam terdiam sesaat untuk kemudian menjawab. "Aku tidak mau mengotori tanganmu."

***

Damon bersungut-sungut ketika membantu mengikat Lexi. Diambilnya dengan kasar pisau lipat yang berada di tangan Lexi dan bertukas. "Berikan padaku. Ini pisau mahal."

"Selesai."

"Masukan dia ke dalam mobil," titah Damon dengan tidak santai. Dilakukannya perintah itu oleh salah satu temannya sedangkan satu lagi yaitu Jack, mencoba tetap tinggal dan mengkritik keputusan Sam.

"Kakakmu sungguh tidak waras. Bukankah ini kesempatan bagus?!"

Damon yang mendengar perkataan itu melotot ke arah Jack. "Kau baru saja mengatakan hal itu di depan adiknya. Sialan!"

"Hehe."

"Tapi ya..., " Damon menghela napas. Merubah ekspresinya dan menyetujui perkataan temannya itu. "Kau benar."

Setelah percakapan kecil itu Damon pergi ke alamat yang diberikan kakaknya yakni untuk menemui Jeff. Sesuai intruksi akhirnya Damon sampai di sebuah dermaga yang tampaknya tidak beroperasi. Di sana tampak sepi dan hanya ada satu mobil yang terparkir dipinggir jalan membuat Damon meyakini hanya ada Jeff di sini.

Saat keluar dari mobil seraya menyeret Lexi, Damon dapat melihat Jeff berdiri di atas dermaga. Menunggunya.

Suara langkah kaki menjadi irama malam itu. Damon beserta rekannya menghampiri Jeff. Keduanya hanya saling menatap ketika tepat berhadapan dengan jarak yang cukup dekat.

"Katakan sesuatu kenapa Sam mempercayakannya padamu?"

Jeff melengkungkan bibirnya. "Aku pikir ini bukan waktunya bercerita."

"Kalau begitu aku tidak akan menyerahkannya."

"Kupikir perintah kakakmu itu sudah cukup jelas. Sekarang serahkan dia padaku!"

"Tidak semudah itu." Damon kembali menolak. Dia masih bertahan dengan keras kepalanya.

Jeff mau tidak mau harus melakukan sesuatu untuk meyakinkan Damon tentunya. Lalu dirogohnya sebuah pistol di dalam saku celana untuk kemudian ditodongkan ke arah Damon.

Berbeda dengan Damon, kedua rekannya jelas terkejut dan cukup panik dibuatnya.

"Kau gila?" Tukas Jack, dia maju membentengi Damon.

Jeff kemudian mengubah arah pistol dan menarik pelatuknya tanpa aba-aba. Hingga setelah bunyi tembakan bergema, suara geraman kesakitan pun mengikutinya.

Damon dan Jack serentak melihat ke belakang, di sana dia menemukan temannya gemetar hebat namun masih setia memegangi Lexi yang ternyata adalah target dari tembakan Jeff.

Gadis itu terus menggeram kesakitan. Penutup mata dan mulutnya sudah basah. Dibahunya terlihat mengalir darah segar akibat luka tembakan.

"Sudah cukup bukan?" tanya Jeff, pada Damon yang masih berdiri santai dan terlihat menimbang-nimbang dengan berusaha menilai tatapan lawan bicaranya.

"Serahkan dia," tukas Damon. Membuat rekannya dengan cepat menyeret Lexi ke hadapan Jeff untuk lebih dekat. "Lakukan."

Hal itu membuat Jeff mendengus. "Kau mau aku melakukannya di sini?"

"Iya."

"Ck, kau sangat merepotkan. Sialan!" Jeff terlihat mulai putus asa.

Damon tidak menyerah begitu saja. Diam-diam ia sudah membulatkan tekad akan membunuh Lexi dengan tangannya sendiri jika Jeff tidak sesuai harapan. Pertanyaan lainnya terus muncul dari mulut Damon untuk mendapatkan keyakinan. "Apa yang Sam janjikan hingga kau mau melakukannya."

Jeff terlihat diam, dia menutup matanya sesaat untuk meredam emosi yang meluap-luap. "Aku yang menawarkan dia untuk membunuhnya."

"Hah, lucu sekali." Damon menyeringai kecil.

"Dan dia menjanjikanku persahabatan. Seperti dulu. Sebelum gadis ini merusak segalanya."

"Setelah apa yang kau lakukan padanya?"

Jeff tertawa. "Lebih tepatnya setelah apa yang telah dia lakukan juga padaku. Banyak hal yang tidak kau ketahui tentang persahabatan kami. Begitupun saling balas dendam masing-masing. Dan ya... dia sudah memaafkanku."

Damon yang masih memasang wajah ragu akhirnya teralihkan ketika ia merasakan ponselnya bergetar. Tanpa syarat dia mengangkat panggilan dengan cepat.

"Kau sudah menyerahkannya?"

"Belum."

Helaan napas putus asa terdengar di seberang telepon. "Sudah aku duga. Aku akan jelaskan semuanya, tapi aku minta serahkan dia secepatnya, Damon. Percaya padaku, oke? Setelah ini kau akan mengerti."

"Sial! Baiklah."

"Biar dia lakukan dengan caranya sendiri."

Damon memutus sambungan dengan raut jengkel kemudian menatap Jeff untuk beberapa saat hingga akhirnya memutuskan bahwa Jeff berhak membawa Lexi.

Jeff akhirnya menaikkan Lexi ke atas perahu kecil dengan paksa, kemudian mendayungnya hingga hilang dari jangkauan mata Damon dan dimakan oleh gelapnya malam.

"Kita tidak akan pergi?" Jack bertanya pada Damon yang masih terlihat fokus dan serius menatap perahu Jeff yang sudah menghilang.

"Tahan sebentar."

Dorrr

Setelah bunyi yang menggema itu, burung-burung malam yang tampak kaget tampak berterbangan heboh menyelamatkan diri dari suara ancaman. Sedangkan Damon menyunggingkan bibirnya, membentuk senyuman kecil dan bernapas lega.

"Kita pergi," ucap Damon pada kedua rekannya.

"Bukankah untuk memastikannya hal ini saja belum cukup?" Kali ini Rick, satu rekannya yang lain bertanya.

Damon membenarkan ucapan temannya namun seraya berjalan menuju mobil.

"Lalu... kenapa kita pergi? Kau yakin tidak ingin memeriksanya Bos?"

Jack menghela seraya membuka pintu mobil untuk Damon. "Sekarang kau terlihat seperti kakakmu."

Damon tertawa nyaring dan dengan santai bertanya. "Benarkah?"

Kedua rekannya hanya saling melirik satu sama lain tanpa kembali berkomentar.

***

Sore menjelang, Sam menemani Nancy seraya menyuapinya dengan buah apel yang telah dikupasnya. Mereka berbincang kecil dengan Nancy yang memimpin pembicaraan sementara Sam sudah seperti seorang narasumber. Namun dengan sabar Sam menjawab dan menjelaskan satu per satu pertanyaan yang Nancy ajukan. Lalu saat sampai pada topik yang cukup sensitif Sam mulai diam, tidak menjawab. Membuat situasinya berubah menjadi canggung dalam sekejap.

"Dia adik Nate. Aku tidak menyangka akan bertemu dengannya, dengan cara seperti itu." Nancy berbicara dengan sedikit berkaca-kaca. "Nate pasti kecewa jika kamu kembali padaku dan meninggalkan adiknya."

"Kau tidak ada hubungannya dengan hal itu. Jadi, berhenti membicarakannya dan fokus pada penyembuhanmu."

"Jadi maksudmu aku sudah tidak lagi memiliki hubungan dengan hidupmu?" Nancy bertanya dengan tujuan menegaskan sesuatu yang mengganjal dalam hatinya.

"Ya, bukankah begitu?"

"Sam,"

"Dari percakapan ini seharusnya kau sudah mulai paham se-brengsek apa diriku."

Nancy memalingkan pandang untuk sesaat menghapus air matanya dengan kasar. "Kau mengatakannya agar aku membenci dan menjauhimu. Tapi kau tahu apa yang lebih brengsek dari perbuatanmu? Membuatku jatuh cinta untuk kemudian meninggalkanku begitu saja."

"Kau harus banyak beristirahat." Sam menaruh buah apel yang sudah terpotong setengah itu beserta pisaunya ke atas meja. Dikecupnya kening Nancy sebelum akhirnya dia memutuskan untuk keluar ruangan.

Sam menyusuri lorong hingga sampai di taman rumah sakit ia memutuskan untuk duduk di salah satu bangku kosong. Lagi-lagi kepalanya tertunduk putus asa dan diusapnya wajah yang sudah pucat seperti mayat hidup itu beberapa kali dengan harap beban pikirannya terhapuskan. Ia bahkan lupa menghubungi Nate atau ibunya untuk menanyakan kabar Natalie.

Selain daripada Nancy yang memiliki hubungan dengannya hingga akhirnya terlibat dengan Lexi, keadaan yang sama pula terjadi pada Natalie yang ditembak oleh Grace hanya karena Natalie memiliki hubungan bersamanya. Hal itu membuat Sam amat terpukul dengan rentetan kejadian menyesakkan dada. Rasanya kepalanya hampir pecah memikirkan betapa ia merasa bersalah dan tak berguna bagi kedua gadis yang penting dalam hidupnya. Bahkan untuk melindungi salah satunya pun Sam gagal.

Merasakan ponselnya bergetar Sam lantas merogohnya dan mengangkat panggilan.

"Kau yakin tidak akan menemuinya?"

"Nate?"

"Apa? Kau berharap polisi yang meneleponmu? Cepat kemari, temui Natalie sekarang atau tidak sama sekali!" Nate menuntut dengan ketus, terdengar jelas jika nadanya menggebu-gebu, senang akhirnya mendapat pelampiasan yang tepat.

"Bagaimana dengan Grace? Kau akan membunuhnya?"

"Masih kupikirkan."

"Aku akan pulang malam ini."

Percakapan pun tertutup ketika Sam mematikan sambungan telepon. Ia harus bertekad sesuai tujuan awal. Namun belum melihat batang hidung Nancy sedikit pun dan hanya sebatas berkelabat dalam pikirannya saja sudah hampir membuat niat Sam goyah jika saja ia tidak ingat orang-orang yang akan dikecewakannya nanti.

Setelah helaan napas panjang dan mata yang memerah Samuel kembali ke ruangan Nancy. Gadis itu tampak mencoba berdiri dengan bersusah payah dibantu oleh Darrel yang setia di sisinya.

"Aku baru saja akan mencarimu Sam. Maaf soal percakapan sore tadi. Kau pasti tersinggung da—"

"Sepertinya aku harus mengatakannya sekarang." Sam menghampiri Nancy lalu mendekapnya dengan erat.

Sementara Darrel yang merasa tidak nyaman melihatnya lantas memutuskan untuk keluar ruangan tanpa diperintah.

"Dengar, aku mencintaimu Nancy. Tetapi aku juga punya tanggung jawab yang harus aku lakukan."

"Sam,"

Sam menggeleng masih dengan dekapan yang belum dilepaskannya. "Please, untuk kali ini saja dengarkan aku."

"Maaf karena aku tidak bisa menjadi orang yang kamu harapkan dengan menyerahkan diri. Aku memang pengecut. Setelah semua yang terjadi, adalah ketidakmungkinan kita terus bersama sementara kau tahu semua rahasia dan perbuatanku."

"Jadi, tujuanku menemuimu adalah untuk berpisah dengan cara yang benar. Di mana tidak satu pun dari kita akan menyimpan tanya dan harap. Aku ingin mengakhirinya dengan cara yang paling indah. Terima kasih sudah menungguku selama ini."

Setelah semua niatnya terutarakan, tanpa memberi kesempatan untuk Nancy bertanya Sam lantas pergi dengan cepat. Meninggalkan ruang perawatan Nancy.

Darrel yang melihat Sam tampak terburu-buru tidak berniat bertanya. Ia lantas segera masuk ke ruangan, di mana Nancy sudah ambruk di atas lantai seraya meringkuk. Dengan perasaan khawatir dan bertanya-tanya Darrel membantu Nancy berdiri dan mendudukkannya di ranjang.

"Si brengsek itu! Apa yang dia lakukan? Aku akan menghajarnya," tukas Darrel dengan wajah merah padam dan hendak pergi mengejar Sam.

"Don't, Please!"

"Kenapa?"

"Semuanya sudah berakhir."

Darrel mendengus tidak percaya. Dengan sisa kesadaranya dia mencoba untuk tidak mengejar Sam. "Benar-benar sulit dipercaya. Kau lihat? Dia meninggalkanmu lagi Nancy! Semudah itu."

"Bukan salah dia sepenuhnya. Aku jelas berperan besar karena masih berharap sampai sekarang." Nancy tersenyum kecut mengingat kejadian beberapa waktu silam. "Padahal waktu itu dia sudah mengatakan ingin mengakhirinya. Namun, bodohnya adalah aku tidak percaya dan mengira bahwa ucapannya hanya gertakan saja.

...Sekarang semuanya lebih dari jelas. Di sinilah kisahku dengannya berakhir."

"Maaf Nancy, tapi sepertinya kesabaranku sudah habis," ucap Darrel lalu tanpa persetujuan Nancy ia ke luar ruangan, menuju pelataran parkir dengan menyusuri lorong seraya berlari. Beruntung, Sam tidak memacu kendaraannya dengan cepat sehingga Darrel dapat mengejarnya.

"Keluar dasar bajingan!" Ketus Darrel, tangannya memukul keras kaca mobil milik Sam. Namun Sam tidak menanggapi. Pikirannya masih terlalu kacau. Hingga akhirnya tanpa mempertahankan kewarasannya Darrel memecahkan kaca mobil menggunakan tinju, kemudian memaksa Sam agar keluar dengan cara menarik kerah kemejanya.

Tanpa aba-aba Darrel lantas menghajar Samuel. Memberikan beberapa pukulan hingga tendangan, akan tetapi yang dihajar tidak membuat perlawanan. Hal itu bukannya menghentikan Darrel tapi justru membuatnya kesetanan dan semakin brutal.

Suara perempuan berteriak dan meminta tolong menggema. Darrel tidak menghiraukan hingga kemudian seorang sekuriti menghentikan aksinya.

Sam bangun dengan bersusah payah. Ia menatap datar wajah Darrel yang tampak kemerahan dan berkeringat.

"Anda baik-baik saja, Pak?" Tanya sekuriti, tangannya mencoba membantu Sam untuk berdiri tegak namun hal itu ditolak.

"Kau tidak ingat sudah berjanji padaku?" Sam bertanya seraya mengusap darah di sudut bibirnya.

Darrel hanya berdecih.

"Tinggalkan dia dan aku berjanji akan mencintainya lebih daripada apa yang kau beri."

Air muka Darrel seketika berubah.

"Jauh sebelum kau mengatakannya, aku  sudah membuat keputusan. Mengenai pengakuanmu yang terlontar, itu hanyalah salah satu alasan pendukung lainnya kenapa aku yakin untuk menitipkan Nancy padamu."

"Kali ini aku benar-benar memohon. Jaga dia, aku yakin kau bisa melakukannya."

Sam kembali masuk ke dalam mobilnya, meninggalkan Darrel yang masih berdiri mematung beserta sekuriti yang kebingungan.

***

Okumaya devam et

Bunları da Beğeneceksin

9.6K 676 33
Semua aku lakukan awalnya hanya karena sebuah Janji yang dibuat dan juga terikat sebuah ikatan yang Sakral. Tapi seiring berjalanya waktu, semua yang...
456K 24.9K 40
Bermula dari pertemuan Kamilla Maharani siswi SMA Harapan Bangsa, dengan cowok sangar bernama Adrian Adinata Pratama si murid baru. Pertemuan mereka...
1.6K 768 30
Anggap saja aku rumahmu, jika kamu pergi kamu tahu arah pulang. Menetaplah bila mau dan pergilah jika bosan. Picture by Pinterest Edit by Canva
480K 15.6K 41
[Chapter 1-32 lengkap] Typo merajai tulisan ku.. Revisi akan di lakukan setelah saya menyelesaikan seluruh cerita yang lain. Maaf atas ketidak nyaman...