****
-Kilas balik Svarga dan Satya-
"Dunia itu kejam, untuk orang yang terlalu baik. Maka dari itu, setiap orang selalu berkata;jangan terlalu baik kepada oranglain jika kebaikanmu tak pernah dianggap."
•
•
Seorang bocah lelaki tampan nampak tersenyum manis kearah anak gadis didepannya itu, beberapa saat yang lalu perkataan yang gadis itu lontarkan membuat dirinya hampir tertawa.
"Papah kamu nggak galak kan?" ucapnya beberapa saat yang lalu.
Mahesa mendekat, kemudian menepuk bahu Alya untuk meyakinkan.
"Kalau orangtua kita jahat, nggak mungkin kita dirawat hingga saat ini. Bagaimanapun orangtua itu pada dasarnya sayang sama anaknya." Ucap Mahesa bijak.
Entahlah, luarbiasa sekali mendengar bocah berusia 7 tahun berkata sedemikian rupa. Ia didewasakan oleh keadaaan.
Awalnya, Mahesa mengira bahwa Alya takut pada papahnya karena omongan-omongan orang yang sering didengarnya. Tapi, Mahesa percaya, hanya Alya lah satu-satunya teman yang bisa memahami keadaannya.
"Kemaren kan aku udah main ke rumah kamu, sekarang kamu yang main kerumah aku." Ucap Mahesa.
"Papah aku mau ketemu kamu, Al."
Alya nampak terdiam, anak itu sebenarnya hanya malu untuk bertamu.
"A-aku pulang aja, deh. malu..." lirih Alya.
"Lho? kita udah sampe didepan rumah aku loh, Al." Jawab Mahesa.
Alya dan Mahesa sama-sama menoleh kearah depan, tepatnya menoleh pada rumah berwarna putih tersebut.
"Oh, iya. hehehe" cekikik Alya.
"Ayok masuk, kenalan sama papah aku." Ajak Mahesa.
Bocah itu langsung menggandeng tangan gadis cantik di sebelahnya, untuk mengajaknya masuk kedalam rumahnya.
"Selamat datang, Tuan kecil dan nona cantik."
Alya terkesipu takjub dengan penyambutan para penjaga dan beberapa maid dirumah milik Mahesa, rupanya bocah itu anak orang kaya.
"Mahesa ternyata kamu anak orang kaya, ya." Ucap Alya.
Mahesa menoleh, kemudian tertawa geli.
"Nggak, sebenernya biasa aja kok." Jawabnya.
Setelah keduanya sampai didalam rumah Mahesa, Alya dibuat takjub untuk kedua kalinya pada interior dan isi rumah milik Mahesa. Begitu elegan dengan beberapa barang antik yang terpajang disetiap sudut rumah ini.
Kaki Alya melangkah menelusuri dalam rumah Mahesa, sampai-sampai ia tidak sadar bahwa seorang pria bertubuh tinggi berdiri didepannya, gadis kecil itu menabraknya kemudian terhempas mundur kebelakang sedikit.
Alya mendongak keatas untuk melihat wajah pria didepannya itu, kemudian terkejut sampai gadis kecil itu tak mampu untuk berkedip.
"Halo. pasti ini Alya temennya hesa, ya?" ucap pria itu dengan begitu ramah.
Mata Alya berkedip beberapa saat, Siapa bapak ini? Rupanya begitu memukau.
"Ibu! paman ini ganteng banget." Batinnya.
Mahesa menghampiri keduanya, kemudian berdiri disamping papahnya.
"Al, ini papah aku." Ucap Mahesa memperkenalkan.
Alya seketika terkejut, "Wah, jadi om ganteng ini papah kamu, Mahesa?"
Mahesa langsung mengaggukan kepalanya dengan cepat sambil tersenyum.
"Iya, saya papahnya Mahesa. selamat datang dirumah kami, Alya." Sambut Hilmi dengan hangat.
Seketika Alya tersenyum, baru saja gadis kecil itu terpukau dengan ketampanan dari wajah papahnya Mahesa. Sekarang Alya mengerti darimana gen ketampanan Mahesa berasal, ternyata diwariakan oleh papahnya sendiri.
Gadis kecil itu sampai punya pikiran bodoh, kalau saja ia bukan anak kecil, sudah dipastikan Alya akan menikahi papahnya Mahesa saking tampannya. Atau mungkin, Jika ibunya janda, bagaimana kalau papah mahesa menikah saja dengan ibunya Alya?
Terlalu larut dalam pikirannya, sampai tidak sadar bahwa sedari tadi Mahesa memanggil Alya berulang kali.
"Ah, iya."
"Halo, om. ini Alya, temennya Mahesa." Ucap sopan Alya kepada pak Hilmi.
Hilmi tersenyum, kemudian mengelus puncak kepala gadis itu. Hilmi berjongkok untuk menyamakan tingginya dengan Alya.
Hati Alya sedikit bergetar ketika pak Hilmi dengan lembut mengelus puncak kepalanya dengan senyuman hangatnya. Alya jarang mendapatkan perlakukan tersebut dari ayahnya. Saat mendapatkan perlakukan hangat tersebut, membuat hati gadis kecil itu tersentuh.
Alya mengangkat kedua sudut bibirnya, membentuk senyuman indah.
"Alya tetep temenin hesa, ya." pesan Hilmi.
"Hesa banyak cerita ke om, kalau Alya baik. Dan cuman kamu yang mau nemenin hesa main."
Alya menoleh kearah mahesa, bocah lelaki itu tersenyum. Ternyata Mahesa selalu menceritakan dirinya pada papahnya.
"Iya, om. Alya bakalan terus jadi temennya hesa." Jawab Alya.
Hilmi tersenyum, "Makasih ya kamu udah mau jadi teman mainnya hesa, Alya emang anak baik."
"Kalau hesa galak, bilangin om aja." tutur Hilmi sambil terkekeh.
Alya tertawa, "Iya, om."
"Kalau gitu, Om titip hesa. Alya main sebebasnya aja dirumah ini, mau apapun Alya bilang aja, oke." Ucap Hilmi.
Alya mengacungkan jari jempolnya dengan bersemangat. Hilmi membalasnya dengan senyuman.
Kemudian, ia beralih pada putranya sendiri. "Hesa, hari ini papah ada meeting dikantor, nanti hesa dirumah dulu ya kalau papah belum pulang." Pesan Hilmi.
Mahesa memangguk seraya tersenyum, kemudian anak itu mengecup punggung tangan papahnya untuk memberi salam.
Setelah pak Hilmi pamit meeting dikantornya, kini tinggallah Mahesa dan Alya.
Alya berjalan perlahan untuk menelusuri isi dari rumah Mahesa sambil matanya sesekali melirik kearah beberapa bingkai besar yang terpajang disetiap sudut rumah ini.
Sementara Mahesa mengikuti dari belakang langkah kaki Alya, sampai ketika langkah kaki perempuan itu terhenti, sontak membuat langkah Mahesa juga ikut terhenti.
Alya membalikan badannya menatap kearah Mahesa, wajahnya nampak bingung seoalah ada pertanyaan didalam benaknya.
"Kenapa?" Tanya Mahesa bingung.
"Eum, ibu kamu ada dirumah?" Ucap Alya sedikit ragu.
Mahesa terdiam sejenak, tiba-tiba pandangannya kosong menatap kearah Alya. Perlahan senyum bocah lelaki itu menghilang. Wajahnya menjadi datar dan agak murung.
Mahesa menundukan kepalanya, menatap sepasang sepatu bergambar mobil pemberian papahnya itu.
Ibu? kalimat yang sangat ingin sekali Mahesa hindari dan sangat tidak ingin sekali ia dengar.
Harus dijawab dengan apa pertanyaan dari Alya? bahkan dirinya saja tidak tahu dimana ibunya dan siapa ibunya.
Ketika mendengar kalimat tersebut atau sesuatu tentang orangtua perempuan, hati Mahesa agak sedikit sesak. Aneh rasanya dirinya yang berusia 6 tahun ini sama sekali belum tahu siapa ibunya.
Selama Mahesa hidup, yang ia tahu hanya ayahnya saja, pak Hilmi. Ayahnya yang selalu ada disisinya.
Tetapi tidak dengan Ibunya.
"A-aku nggak punya ibu." Jawab Mahesa, mulutnya agak berat mengatakannya.
Seketika tubuh Alya bergetar kaget, tidak disangka jawaban memilukan seperti itu yang terlontar dari Mahesa.
"Maaf." Ucap Alya pelan.
Bukan bermaksud ingin menyinggung atau mengungkit tentang ibunya Mahesa, tetapi sedari tadi Alya hanya penasaran saja ia tidak melihat ibu Mahesa dirumah ini. Bahkan gadis itu saja tidak melihat sama sekali pajangan foto ibunya Mahesa. Yang di dapat hanya banyaknya foto Mahesa dan papahnya.
"y-yaudah ayok kita main lagi, yuk." Ajak Alya mengalihkan topik.
Alya menyadari perubahan sikap dan raut wajah Mahesa yang mulai murung. Tidak mau menambahkan sedih didalam diri Mahesa, Alya berinisiatif untuk mengajaknya bermain lagi.
"Kamu udah makan siang belum?" Tanya Alya.
Mahesa menggeleng, "Belum, soalnya belum jadwalnya aku makan siang."
"Oh gitu, eum...kamu mau sandwich nggak?" tawar Alya.
"Nggak perlu, kalo mau makan siang kita makan aja masakan yang dibuat pelayan rumah ini. Soalnya yang selalu masak disini pelayan."
"Bukan ibuku." Lanjut Mahesa terdengar seperti lirihan.
Alya terdiam mematung, sepertinya Mahesa agak sensitif bila mengenai ibunya. Alya jadi merasa bersalah karena bertanya soal itu kepada Mahesa tadi.
"Tapi, aku bisa buat sandwich lho..." ucap Alya terdengar sumringah.
"Sandwich yang paaaaling enaaak!" Lanjutnya lagi.
"Mau nyobain nggak?"
Mahesa perlahan mulai tersenyum kembali, "Mau deh, pasti enak."
Alya ikut tersenyum saat melihat Mahesa yang sudah biasa kembali dan tersenyum lagi. Perasaannya agak lega.
Alya dan Mahesa menuju dapur rumah mahesa untuk gadis itu membuat sandwich yang dibicarakannya pada Mahesa tadi. Kebetulan, gadis kecil itu memang pintar membuat sandwich, ibunya yang selalu mengajarkannya.
Setelah mengetahui 1 fakta tentang Mahesa dari dirinya langsung, Alya tidak mau mengungkit soal ibu Mahesa lagi. Alya mengerti dan dapat merasakan perasaan yang Mahesa rasakan, apalagi tentang orangtua.
Alya tidak akan membahas lagi jika Mahesa tidak akan memulainya. Alya bersedia jika anak itu mau berbagi cerita kepadanya. Karena itulah gunanya teman, kan.
Alya jadi mengerti sekarang, sebahagia itu Mahesa saat ia mendapatkan perlakukan hangat dari ibu Alya tempo hari lalu. Dimana saat itu ibu Alya menyambut Mahesa dengan hangat, tersenyum ramah padanya, dan juga memberikan Mahesa makanan hasil masakannya sendiri.
Masakan seorang ibu yang sama sekali tidak pernah Mahesa rasakan.
Kedepannya, dalam pertemanan keduanya, Alya janji ia akan berusaha menjadi teman baik bagi Mahesa, teman yang selalu ada untuknya dan tidak akan meninggalkan Mahesa sendirian.
Bersambung...
•
•
****
Jadi guys, mereka ini emang dari kecil saling melindungi dan saling ada satu sama lain. Tapi karena ada suatu problem mengharuskan keduanya berpisah.
Maka dari itu, Mahesa sama Alya waktu kecil emang lucu takut kehilangan 1 sama lain 🤧
•
•