Sisa rasa by Mahalini
*
*
*
Suasana di rumah Arimbi sudah ramai, kerabat, tetangga dan rekan kerja datang, tak peduli dengan malam yang semakin larut, mereka terlihat bersama-sama mempersiapkan segala sesuatu untuk urusan pemakaman.
Arimbi tidak percaya dengan apa yang dilihatnya, pikirannya kosong, ia berjalan perlahan menuju keramaian itu, semakin dekat penglihatannya semakin kabur, ia bahkan tidak merasakan kakinya berpijak.
Di tengah ruangan nampak sang mama yang tengah membaca lantunan ayat suci di samping jenazah papanya. Iya, di sana papanya terbaring kaku, tubuhnya diselimuti kain batik panjang berwarna coklat. Seketika tubuh Arimbi lunglai, hampir saja ia terjatuh, beruntung seseorang menangkap tubuhnya dengan cepat.
Arimbi tidak bisa melangkahkan kakinya lagi, pria itu membantu Arimbi duduk di samping mamanya.
"Rimbi," panggil mamanya dengan suara parau.
Arimbi mengulurkan tangannya perlahan, menyentuh kain dingin yang menyelimuti papanya, lalu matanya menatap wajah papanya. Wajah yang senantiasa menatapnya penuh kasih, kini terpejam selamanya.
"Pa, bangun. Bangun pa." kata Arimbi. Mamanya memeluk Arimbi. Mereka menangis bersama, tangisan yang sangat menyayat hati.
"Bangun, Pa. Papa nggak boleh ninggalin Rimbi, papa nggak boleh pergi. Bangun, pa." jerit Arimbi.
"Rimbi, sayang, istighfar nak."
Tangis Arimbi semakin pecah mendengar kata-kata mamanya. "Biarkan papa pergi dengan tenang, sayang."
Arimbi tidak percaya, bahwa dalam 1 malam ia akan sehancur ini. Hidupnya seperti terlempar dari roler coaster, ternyata ia tidak sekuat yang ia bayangkan, akhirnya ia jatuh pingsan di samping jenazah sang papa yang tidak akan pernah memeluknya lagi.
"Tante, biar aku yang jaga Arimbi, tante selesaikan saja dulu yang lain." ucap Marissa.
"Baiklah, tante titip Rimbi ya, Nak. Tolong, hibur dia." ucap Mamanya dengan suara tercekat.
"Pasti, Tante."
Setelah mamanya Arimbi keluar, Marissa membalurkan minyak kayu putih ke tangan dan kaki Arimbi, ia juga meletakkan minyak kayu putih di hidung Arimbi.
"Rimbi, bangun dong, please," kata Marissa. Ia tak kuasa menahan tangis, sungguh berat ujian yang menimpa Arimbi. Ia tahu bagaimana kedekatan Arimbi dengan sang papa, ia tahu bagaimana cinta kasih seorang ayah kepada putrinya begitu juga sebaliknya.
Keesokan paginya, rumah Arimbi semakin ramai, para pelayat tak henti datang ke rumah duka. Almarhum terkenal sangat baik, ramah, royal dan jenaka. Jadi, banyak orang yang merasa kehilangan beliau.
Kondisi Arimbi sudah lebih tenang, meski belum bisa menerima semuanya ia berusaha melakukan yang terbaik untuk almarhum papanya.
Di tengah kesibukan itu, Arimbi kembali menanyakan kronologis kematian sang papa.
"Papa baru pulang shalat isya di masjid, setelah itu seperti biasa papa menonton televisi, mama mengantarkan teh hangat tapi," mamanya Arimbi berusaha menahan tangis, ia menarik napas sebelum melanjutkan kata-katanya.
"Mama pikir papa tertidur di sofa, mama membangunkan papa tapi ternyata papa sudah nggak ada." jelas mamanya.
"Kenapa mama nggak bawa papa ke rumah sakit? siapa tahu papa masih bisa diselamatkan." tanya Arimbi.
Mama Arimbi menghela napas, "Dokter Haikal sudah memeriksa kondisi papa, sayang. Dokter bilang papa terkena serang jantung."
"Dokter Haikal? Siapa, Ma?" tanya Arimbi heran.
"Dokter Haikal, teman kecilmu dulu, masak lupa?"
Arimbi berusaha mengingat teman-teman masa kecilnya. "Haikal Alaraazi? bukannya dia tinggal di luar daerah, Ma?"
"Iya, tapi sekarang dia sudah balik lagi ke sini. Dia buka klinik di jalan sudirman. Saat mama keluar mau minta bantuan tetangga kebetulan Haikal lewat dan langsung melakukan pertolongan pertama, tapi papa memang sudah pergi." jelas mama.
"Oh, aku harap bisa bertemu dengannya." kata Arimbi.
"Bukannya kalian sudah bertemu?"
"Sudah bertemu? kapan?" seru Arimbi terkejut.
"Semalam dia yang menangkapmu saat kamu hampir terjatuh. Dia juga yang membawamu ke samping mama." jelas mama.
hah.
Arimbi baru ingat kejadian semalam, dirinya yang sudah tidak berdaya hampir tumbang, lalu seseorang datang membantunya.
"Sudahlah, ayo bersiap sayang, kita antar papa ke peristirahatan terakhirnya." ucap mama dengan nada getir tapi tetap berusaha kuat, untuk dirinya dan juga Arimbi.
*
*
*
Tanah berukuran 2x1 itu sudah siap menerima jenazah papanya Arimbi, acara pemakaman berlangsung khidmat. Air mata tak henti mengalir dari mereka yang menyayangi almarhum.
"Sayang, ayo kita pulang." ajak mamanya Arimbi setelah acara pemakaman selesai.
"Aku di sini dulu, Ma. Sebentar." ucap Arimbi dengan suara parau.
Mamanya mengangguk, "baiklah, mama tunggu di mobil." Mamanya menggandeng Marissa, lalu berbalik meninggalkan Arimbi sendirian di sana.
Arimbi menyentuh tanah kuburan yang masih basah, aroma kembang yang menutupi permukaan kuburan membuatnya semakin sesak.
"Maafin Rimbi ya, Pa. Rimbi nggak ada disamping papa." ucap Arimbi.
"Sekarang nggak ada lagi tempat Rimbi cerita, Rimbi nggak tahu gimana ngejalani hidup ke depannya sama mama." kata Arimbi disela isak tangisnya. "Rimbi nggak tahu, betapa kesepiannya mama tanpa papa nanti."
Rimbi menyeka hidungnya, ia terdiam beberapa saat, sulit sekali menerima semua musibah ini. "Papa yang tenang di sana ya, semoga suatu saat kita bisa berkumpul lagi." Arimbi membaca al fatihah untuk almarhum papanya, setelah selesai berdoa ia bangun kemudian berbalik. Baru selangkah ia berhenti, beberapa meter di depannya berdiri seorang pria yang sepertinya tidak asing untuknya. Pria itu tersenyum lalu berjalan mendekati Arimbi.
"Lama tidak berjumpa, Rimbi." sapa pria itu. Melihat Arimbi yang kebingungan pria itu memperkenalkan dirinya. "Sayang sekali kalau kamu lupa sama aku, aku Haikal, teman di sekolah dasar dan juga teman main sekomplek." ucapnya mengingatkan.
Arimbi menutup mulutnya menggunakan jemarinya, "Astagfirullahalazim, Haikal maaf aku nggak mengenalimu." ucap Arimbi sembari meraih uluran tangan Haikal.
"Nggak apa-apa, kita sudah lama nggak ketemu dan kita sudah tambah dewasa jadi wajar kita tidak saling mengingat. Selain itu aku juga sudah tidak gendut lagi." selorohnya membuat Arimbi tertawa kecil.
"Tapi kamu masih pakai kaca mata, jadi aku masih ingat sedikit." balas Arimbi.
Haikal memperbaiki kaca matanya, "sepertinya aku nggak akan berpisah dengan kaca mata ini." kata Haikal.
"Oh ya, tadi aku ijin sama tante buat nungguin kamu di sini, sepertinya masih banyak yang harus dikerjakan tante di rumah."
"Apa?" tanya Arimbi.
"Maaf kalau aku lancang, aku pikir mungkin kamu nggak akan keberatan." kata Haikal salah tingkah.
"Oh, iya nggak apa-apa, aku yang minta maaf sudah merepotkanmu." ucap Arimbi.
"Alhamdulillah, kalau begitu ayo kita pulang." ajak Haikal.
Arimbi mengangguk lalu berjalan di samping pria itu. Sebelum keluar dari area pemakaman Arimbi menoleh ke arah makam papanya. Arimbi tak kuasa menahan air mata, ia berbalik dan langsung masuk ke dalam mobil.
"Aku turut berduka cita." Haikal memulai pembicaraan.
"Terima kasih." jawab Arimbi singkat.
"Ini pasti sangat berat buatmu."
"Iya benar. Ini sungguh sangat berat, kami nggak menyangka kalau papa akan pergi secepat ini, padahal sebelumnya papa rajin check up. Pagi itu papa baik-baik saja dan ...." Arimbi tidak bisa melanjutkan kata-katanya, dadanya kembali sesak, air mata yang sempat berhenti kembali mengalir.
Haikal menyodorkan tisu pada Arimbi. "Maaf, aku jadi cengeng begini di depanmu." kata Arimbi.
"Jangan sungkan. Kalau ada hal yang bisa kulakukan untuk membuatmu tidak bersedih lagi maka akan kulakukan." kata Haikal tulus.
Arimbi menoleh ke arah Haikal.
"Tapi untuk saat seperti ini, kamu memang harus bersedih, kamu harus menangis, kamu harus bisa meluapkan semua emosimu. Tapi setelah ini, berjuanglah, lanjutkan hidupmu, cari kebahagianmu."
"Terdengar mudah." kata Arimbi getir, ia membuang wajah ke samping, melihat ke luar jendela dengan tatapan kosong.
"Berjanjilah, Rimbi. Demi almarhum papamu dan juga mamamu yang tentunya sama-sama berat."
Arimbi tidak membalas ucapan Haikal, pikirannya melayang entah kemana, bagaimana ia bisa berjuang sementara ia merasa ini semua hanya mimpi.
Arimbi turun dari mobil setelah Haikal membukakannya pintu.
"Maaf." ucap Arimbi. Sepertinya ia melamun tadi sampai ia tidak tahu kalau sudah ada di depan rumahnya.
Haikal tersenyum, "Kamu istirahat aja. Aku langsung pamit, assalamualaikum." pamit Haikal.
"Waalaikumsalam." balas Arimbi. Lalu Arimbi teringat sesuatu. "Haikal," panggil Arimbi.
"Ya," sahut Haikal dari balik kemudi.
"Terima kasih untuk semalam, dan tumpangan hari ini." kata Arimbi tulus.
"Sama-sama." ucap Haikal sembari mengedipkan mata, ia melajukan mobilnya, rumahnya dan Arimbi hanya berjarak 2 gang.
Arimbi berbalik, melangkah dengan sangat pelan seolah kakinya terpaku di tanah, ia tidak ingin masuk rumahnya, ia tidak ingin melihat kenyataan bahwa sekarang rumahnya sudah tidak memiliki imam lagi, tidak ada sosok sang papa yang hangat, lucu dan pengertian. Arimbi tidak kuasa menahan semuanya, ia berlutut di pintu depan lalu menangis sejadinya.
***
Yuk kasi Rimbi booster dong saaayyyyy jangan lupa vomen yah 😘😘😘