"Cerita kita, terlalu gila."
= GIOFI =
Dengan santai Afi menjawab, "Dia cuma akting, playing victim."
"Permisi dulu Pak, Bu." Rimawanti segera menarik tangan anaknya keluar dari kamar rawat inap Rofira. "Kamu ini kenapa, sih, Afi?! Ibu sama Jefri sedikit lagi berhasil bujuk Pak Fuad sama istrinya, supaya mereka bujuk pemilik yayasan biar kamu nggak dikeluarin! Nggak sopan banget kamu itu."
"Rofiranya sendiri yang nyolot Bu, nggak mau terima maaf lagi, bahkan nolak pemberian kita. Dia lebih nggak sopan." Afi membela dirinya. "Tadi Afi cuma kasih tahu fakta, dia malah teriak nggak jelas, seolah mau dipukul, padahal enggak. Memang playing victim dia itu Bu. Jangan percaya."
"Walaupun dia begitu, yang penting kamu minta maaf!" balas Rimawanti. "Nggak peduli dia mau nyolot kah, nggak sopan ke kamu kah, ataupun menghina kamu, intinya kamu harus bersikap baik selagi ada orang tuanya, karena yang menentukan di sini bukan Rofiranya sendiri. Ngerti?"
Mau tak mau Afi mengangguk. "Ya, ngerti."
"Sekarang, ayo masuk dan minta maaf lagi ke Rofira." Rimawanti membuka pintu dan menarik Afi untuk menghadap langsung ke Rofira.
"Dia apain kamu tadi?" Istri Fuad bertanya pada putrinya.
"Ini tadi perbannya mau dibuka sama dia." Rofira berbohong.
"Soalnya tadi dia garukin terus di sekitar perbannya Bu, saya takut makin tambah luka dianya. Jadi saya ancam biar dia nggak main-main lagi," balas Afi tak mau kalah. "Itu ancaman bercanda doang kok, Bu, nggak serius. Ya, kan, Rofira?"
Belum dijawab, Afi sudah melanjutkan kalimatnya, "Maafin aku ya Rofira. Aku nggak sengaja, sama kayak kamu yang nggak sengaja buat komplotan untuk bully aku."
Istri Fuad seketika melotot. "Kamu buat apa Rofira?"
"A-anu Mah."
"Bisa cek di Twitter-nya Rofira Bu." Afi mengeluarkan ponselnya, masuk ke dalam akun Twitter-nya dengan nama palsu dan memperlihatkan segala kebusukan Rofira di sana. "Ini akunnya dia."
Istri Fuad kontan membuka ponsel juga lalu melemparkan tatapan tajam ke putrinya.
Sama, Rimawanti juga melemparkan tatapan tajam ke Afi. Tampaknya, akan ada ceramah sambungan nanti.
"Saya permisi untuk hirup udara di luar dulu sebentar," izin Afi lalu berjalan keluar dari ruangan, membiarkan mereka ribut sendiri.
Kegiatan bujuk-membujuk pun dilanjutkan oleh Rimawanti dan Jefri selagi Fuad dan istrinya membaca seluruh tweet Rofira yang tidak pernah mereka tahu.
* * *
Afi berjalan keliling rumah sakit hanya untuk melihat-melihat, menghindari ceramah susulan yang mungkin akan dikumandangkan oleh ibunya. Tak terasa sudah satu jam mereka di sini, arloji yang melingkar di tangan Afi sudah menunjukkan pukul sembilan malam.
Seharusnya mereka sudah pulang, karena nantinya bisa mengganggu jam istirahat Rofira.
"Tapi, siapa suruh cewek itu malah ngulur waktu dan nggak mau terima maaf gue, pake acara menghina bingkisan yang gue bawa lagi," dumel Afi sambil berjalan menuju pintu keluar rumah sakit.
Cewek itu memasukkan tangannya ke dalam saku hoodie berwarna pastel yang dia kenakan. Dingin juga udara malam ini. Afi menatap langit gelap tanpa bintang. "Kayaknya bakal hujan sebentar lagi," gumamnya.
Afi mendongak, menatap ke arah parkiran rumah sakit. Merasa tidak asing dengan seseorang yang sedang berjalan ke arah pintu masuk. Gaya rambutnya, langkah khasnya, juga tinggi badannya. Afi hapal betul kalau yang dia lihat sekarang adalah Gio.
Bingung harus melakukan apa, tubuh Afi membeku di tempat, seolah menunggu langkah Gio sampai ke arahnya.
"Afi?" Gio duluan ternyata yang menyapanya. "Habis jenguk Rofira?"
Sudah tahu namanya yang dipanggil, Afi malah menoleh ke belakang, memastikan orang yang Gio panggil memang dirinya. Dia pun kembali menatap lawan bicara. "Iya."
Gio manggut-manggut, melempar pandangan ke arah pria berjas yang baru saja keluar dari mobil yang berbeda dengannya. "Gue masuk duluan ya."
Afi mengangguk saja.
"Lo mau pulang atau baru mau jenguk juga?" Gio berhenti, lanjut bertanya.
"Kayaknya mau pulang."
"Sama siapa ke sini?"
"Ibu, Bu Andrina, Kak Jefri."
Gio mengangguk setelah beberapa detik mendapat jawaban. "Oh, ya sudah, gue duluan."
Setelah punggung cowok itu menghilang dari pandangan, Afi berpapasan dengan seorang pria paruh baya dengan setelan jasnya. Wajah pria itu mirip sekali dengan Gio.
Bokapnya Gio pasti, pikir Afi sambil melirik pria itu berjalan dengan tegas menuju meja resepsionis.
Setelah pria itu pergi, tiba-tiba Gio menepuk Afi dari belakang. Gemerincing kunci memancing perhatian cewek itu.
"Ayo Fi!" ajak Gio sambil mengangkat kunci mobilnya tinggi. "Gue berhasil sembunyi tadi."
Afi mengernyit. "Hah, ngapain?"
"Gue mau ngobrol bentar sama lo." Tanpa mendengar jawaban Afi, tahu-tahu Gio menarik tangan cewek itu menuju parkiran.
"Nggak!" Afi menepis tangan Gio begitu langkah mereka sampai di sebuah mobil jazz berwarna hitam, mobil yang diberikan oleh ayah Gio tempo hari dan dipakai untuk antar jemput Rofira ke sekolah.
"Please, ada yang mau gue tanya sama gue jelasin," kata Gio sambil mengulurkan tangan lagi. "Janji, nggak ngapa-ngapain selain saling lurusin cerita. Sekalian kita jalan sebentar."
"Lo gila apa?" protes Afi, "Ini udah malam."
"Janji." Gio mengangkat jari kelingkingnya di udara.
Afi melirik ke pintu rumah sakit, tidak ada orang yang dia kenal tiba-tiba keluar dari sana. Kembali matanya menatap ke arah Gio yang masih mengacungkan jari kelingking.
Afi menghela napas lalu mengaitkan jari kelingkingnya ke Gio. "Kalau lo macem-macem, lihat aja," peringat Afi sambil menunjukkan kukunya yang panjang.
"Deal Fi."
* * *
Apa-apaan!
Afi naik ke dalam mobil Gio untuk pertama kalinya, tetapi cowok itu malah sibuk dengan panggilan beruntun dari grup chat MPK dan OSIS. Alhasil, Afi hanya menganggur dan menyimaknya, membuang waktu dengan percuma.
"Iya, tapi gimana kalau acara HUT itu dipindah aja ke bulan Desember, mendekati liburan, habis bagi rapot?" Gio masih lanjut berteleponan dengan para anggota. Terlihat terlalu sibuk, seperti laki-laki pebisnis yang memiliki usaha.
Afi menghela napas kasar, melihat jalan raya di jam setengah sepuluh malam yang mulai lengang. Untung saja mereka menepi di ujung jalan, kalau tidak, mungkin Afi akan mencakar Gio karena telah membuang waktu sekaligus membahayakan nyawanya.
"Eh, udah dulu ya guys, besok kita bahas lagi, sudah malam. Rapatnya boleh ditutup." Gio menurunkan ponselnya setelah panggilan mati. "Sorry Fi, tadi itu panggilan mendadak banget. Di akhir semester bakal ada acara ulang tahun sekolah. Anak-anak ribut mau buat event besar."
Afi tidak menjawab.
"Fi, jangan marah," bujuk Gio.
"Nggak, gue nggak marah. Bisa to the point aja?" Afi sibuk melihat jam tangan.
"Gue bingung harus mulai dari mana."
"Bukannya lucu ya? Lo yang awalnya suruh gue menjauh, sekarang malah lo yang maksain gue masuk ke mobil ini, seolah lupa kalimat ultimatum hari itu. Sekarang lagi, lo malah tambah buang waktu gue dengan kebingungan lo itu," oceh Afi sudah dibuat emosi seharian ini. Mulutnya terasa ingin berbusa, jarang dia bisa berbicara sesering ini.
"Ya, gue minta maaf soal kalimat waktu itu, soalnya gue juga lagi dalam tekanan Rofira," kata Gio.
"Terus? Lo mau salahin Rofira juga?"
"Enggak, bukan gitu Fi."
"Jelasin kalau begitu, selagi ada waktu. Cepat!" tegas Afi.
= GIOFI =
Dimulai dari part ini, usahakan kalau baca bab-bab selanjutnya jangan dilangkahin ya, biar nggak salah paham di beberapa momen. Baca dengan santai, teliti, dan nikmati.
Selamat melanjutkan membaca! 💝