cinta bukan karena privilege

Από Aku-UMI

78.3K 17.9K 2.5K

Menjadi cantik, lahir dari keluarga yang cukup, bisa makan apa pun yang diinginkan, katanya itu dinamakan pri... Περισσότερα

Hi, Gorgeous!
It's called privilege.
Dekat di Mata, Jauh di Hati
Dengar ceritanya, pahami maknanya
Yang namanya sepihak akan selalu sesak
Tidak semua orang siap untuk sebuah kejutan
Nama yang Bertuan
Pertanyaan Jebakan yang Tak Perlu Jawaban
some rules are made to be broken
Benar-Salah yang Tak Pernah Benar
Jangan selalu terbawa suasana, tapi ciptakan salah satunya.
Terjebak yang tak layak disesali
Memperbesar toleransi untuk asumsi subjektif
Memangnya dalam cinta boleh saling menuntut?
He said; "Drive. Don't fly."
extra shot of happiness
Netflix and Chill, anyone?
realita yang sulit dihindari
Do people love surprises?
Satu kata beribu makna, pilih yang mana?
"The other woman"
Mencari kekuatan mengubah fakta
Menciptakan kesempatan sendiri
Membayangkan ini adalah hari terakhir hidup
Perjalanan singkat yang terasa begitu panjang
Bukankah ada beberapa hal yang tidak perlu diakhiri maaf?
how to say sorry to someone you hurt?
Lebih daripada sebuah kejutan

Tebak-tebakan Peran

2.5K 718 140
Από Aku-UMI

Obrolan kami tidak terlalu banyak setelah Noah menginterupsi dengan menghubungiku.

Dia bilang untuk menyampaikan pada Bara bahwa ponselnya sejak tadi terus berbunyi.

Aku baru tau seseorang bisa meninggalkan ponsel ketika sedang keluar rumah.

Kalau aku jadi dia, ponsel adalah hal pertama yang kuingat.

Jadi, begitu makanan kami selesai disiapkan, kami langsung meluncur ke rumah Noah.

Oh, soal pertanyaan Bara yang mendebarkan itu, aku berhasil menjawabnya ... yang menurutku dengan sangat-sangat baik.

"Oh kebetulan mood aku hari ini memang baik."

Dia hanya tersenyum atas kalimatku itu.

Sekarang, kami sudah berada di rumah Noah. kami sedang menikmati Sei Sapi kebanggan Noah. Well, claim-nya memang tidak salah. Ini enak. Namun, menurutku, tidak sampai yang membuatku akan berapi-api mempromosikan pada orang lain.

Jika aku harus mengenalkan makanan ini, mungkin kalimatku hanya akan, "Enak kok, cobain aja."

Aku mencuri-curi pandangan pada Bara yang memilih duduk di sofa agak jauh dari aku dan Noah. Sejak tadi, ia sibuk sekali dengan ponselnya. Kulihat, makan pun terlihat tidak terlalu menikmati karena harus mengetik sesuatu dan itu sudah berlangsung lama.

Aku sudah ngobrol dengan Noah dan sekarang kami saling diam, menikmati makanan di tangan.

Sejujurnya, aku juga sama sibuknya.

Bedanya aku sibuk menerka apa yang sedang dilakukan Bara. Sibuk mencuri pandang pada lelaki itu, karena sikapnya berubah seratus delapan puluh derajat. Saat di resto tadi, ia seolah sudah membuka pintu untukku, tetapi sekarang seakan menekankan kami memang sejauh itu.

Tidak ada kesempatan untukku atau ... aku tidak paham dengan teori panas-dingin dari sifat seorang lelaki terhadap perempuan.

Dia mungkin tahu aku menyukainya.

Dia mungkin tak ingin aku berharap dan apa yang ia lakukan tadi hanya hal umum yang dilakukan manusia.

"Mbak," panggil Noah yang kembali menyadarkanku.

"Ya?"

"Kamu hari ini agendanya apa selain ke sini?"

"Ng ... kosong sih, Mas. Kenapa?"

"Soalnya ini akan membosankan, lho. For some people, termasuk noh." Kedua alisnya terangkat, ia menunjuk Bara hanya dengan tatapannya.

Aku tertawa. Akhirnya punya kesempatan untuk terang-terangan menatapnya tanpa takut dinilai macam-macam oleh Noah. "Oh Mas Bara bosen kalau liat Mas Noah lukis?"

"Iya. Kerjaan lo nggak ada yang menggairahkan dikit apa, No." Noah tertawa. "Padahal, kerjaan saya keren ya, Mbak?"

"Tulll! Keren banget. Mungkin karena dia nggak terlalu into sama seni lukis?"

"Bisa jadi."

"By the way, Mas Noah." Aku menyingkirkan wadah makan karena sudah selesai. "Nanti waktu kamu lagi lukis, boleh saya rekam dan post ke Instagram?"

"Boleh banget! Mbak udah selesai makannya?"

Aku mengangguk.

"Sini, biar saya buang sekalian."

"Oh saya aja, Mas. Ditunjukin aja di mana, saya ke dapur nggak pa-pa."

"Ya masa—"

"Biar gue aja." Secara tiba-tiba, di saat dia lepas dari pandanganku, Bara datang dan merebut mangkuk sekali pakai milik Noah, kemudian menatapku. "Aku tunjukin tempat buang sampahnya, yok."

Aku melirik Noah yang ternyata sama denganku, sedang melongo.

"Ayo, mau tau, kan?"

Seketika aku sadar dan langsung menganggukkan kepala, berdiri, kemudian berjalan mengikutinya.

Tunggu, aku seharusnya tidak secepat itu mengiyakan ucapanya, bukan?

Meski suka sekali, aku tidak seharusnya menunjukkan terang-terangan.

Di sisi lain, tubuhku seperti sedang musuhan dengan otak, ia melakukan apa yang hatiku inginkan.

Sudahlah.

Logika disimpan untuk nanti saat kami berjauhan.

Biarkan aku menikmati momen langka ini.

"Kotak sampahnya ada di sini." Ia menunjuk ke ... ya benar, kotak sampah di sudut dapur milik Noah. "Wastafel ada di sini." Ya, aku bisa melihatnya. "Tisu, ada di atas meja itu." Ya, aku juga bisa melihatnya.

Berapa uang yang harus dikeluarkan untuk mendapat tour guide seperti dia? "Sudah berapa lama jadi tour guide di sini, Pak Bara?"

Ia mengembuskan napas. "Lumayan lama, Mbak. Saya sebenernya dalam tekanan, nggak ada tunjangan atau jaminan apa pun di sini."

Aku yang sekarang sedang mencuci tangan tertawa, sambil menatapnya. "Berarti Bapak sedang dalam tekanan?"

"Bisa dibilang begitu."

"Butuh bantuan saya?"

Ia tak langsung menjawab, malah menatapku dalam diam. Pak Bara, kalau aku sedang memberanikan diri bercanda seperti ini, kamu harus tahu aku mengusahakanya sungguh-sungguh. Supaya bisa berlama-lama ngobrol denganmu.

Ayo pahami.

Jangan mematahkannya begitu sa—

"Posisi apa yang sedang dibutuhkan di rumah Arya Akbar?"

Well, dia tidak menyinggung pekerjaannya sebagai dosen di kampus papa, so, jangan salahkan aku jika aku sedikit berlebihan. Aku sudah bilang aku akan menanggung semua akibatnya.

Mau dia ilfeel lalu pergi, aku rela mengobati kecewaku.

Dia tidak diperbolehkan melihat detak jantungku yang menggila. "Menantu?"

Aku melihat dia tertawa kencang.

Salah satu hal yang jarang dia lakukan. Karena kami jarang ngobrol selama ini. Biasanya yang aku lihat hanya senyumnya.

"Kriterianya pasti susah," lirihnya. Mengambil giliran untuk mencuci tangan.

"Faktanya, yang diliat sering kali bukan dia bisa melewati semua syarat, tapi sejauh mana dia berusaha buat syarat-syarat itu."

Aku tidak memberi nada bercanda, karena aku pun memang tidak bercanda.

Meski setelahnya aku sedikit menyesal, karena sepertinya aku terlalu kencang menginjak gas.

Kepalanya menoleh, kami salah bertatapan tanpa mengeluarkan suara. Hingga akhirnya dia yang mengalah, "Kamu pulang jam berapa nanti?"

Aku mengendikkan bahu. "Belum tahu. Kenapa?"

"Aku nggak bisa lama-lama di sini. Ada jadwal bimbingan mahasiswa."

"Tugas akhir?"

Ia mengangguk. "Tapi kamu nggak mungkin di sini sendirian sama Noah, kan?"

"Lho kenapa? Mas Noah juga mau pergi?"

"Enggak pergi, justru itu." Tubuhnya berbalik dan sekarang kami berhadapan. "Dia nggak ke mana-mana, akan di rumah. Kamu ke sini mau liat dia melukis, sampai jam berapa?"

Aku mengernyitkan kening.

Apa aku tidak salah menilai bahwa tindakannya ini bermakna dia tidak ingin aku di sini berdua dengan Noah? Jika pun benar, untuk apa dia melakukan itu? Dia tidak sedang bertingkah agar terlihat cemburu dan aku senang karena cemburu tanda ia tertarik padaku, bukan?

"Kebetulan hari ini aku free, jadi aku nggak ke mana-mana. Jadi, aku belum tau di sini sampai jam berapa. Mas Bara kalau mau bimbingan nggak apa, jarang-jarang lho, bapak dosen mau diganggu di weekend."

Kedua alisnya mengerut. "Iya, sebenernya ini reschedule karena aku waktu itu nggak bisa."

Aku mengangguk.

Sudah.

Habis bank berisi kosa kata di dalam kepala.

"Okay!" serunya tiba-tiba, lalu tangannya menjulur ke depan. Sebelah alisnya naik sambil memasang senyum jail. "Jaketku nggak mau dilepas?"

"Oh!" Sialan. Aku tertawa, sebenarnya meringis. Buru-buru kulepas jaket itu, lalu kuserahkan padanya. "Thanks."

Bisa-bisanya aku dari tadi tidak sadar masih mengenakan jaket miliknya?

Dan ...

Bagaimana mungkin Noah diam saja seakan hal ini tidak aneh di mata? Atau memang demikian?

Aku memberinya senyuman dan sedikit membungkukkan badan untuk berpamitan, berniat kembali menemui Mas Noah. Sampai ...

"Ozi."

... panggilannya menghentikan langkahku.

Aku menoleh, menatapnya.

"Could I have your phone number?"

Oh God please ...

Aku menelan saliva sambil menatap wajahnya yang memberiku senyum tipis.

Dia bisa meminta nomorku pada Noah, tentu dia bisa. Namun, dia memilih memintanya langsung dariku dengan nada dan ekspresi semanis itu.

Bagaimana teori 'semakin mengenal, aku akan menemukan kekurangannya dan akan ilfeel dengan sendirinya' yang aku rencanakan?

Kalau yang terjadi malah ...

Aku semakin mau.

"Aku juga mau ngobrolin kerjasama sama kamu secara personal, boleh?"

"Kerjasama?"

Ia mengangguk.

"Kerjasama gimana, Pak Bara?"

"Nanti kita obrolin lebih jauh, sekarang aku harus buru-buru keluar. So, boleh?" Ia mengeluarkan ponsel hitam, menyerahkannya padaku.

Aku berusaha menahan sukacita, dan hanya memperlihatkan sebaris senyum ramah. "Sure." Kemudian mengetikkan nomorku di ponselnya. "Mau dinamain siapa?"

"Biasanya kamu gimana?"

Oh Pak Bara ....

Aku tertawa pelan, lalu mengembalikan ponselnya. "Sepenuhnya hakmu."

Gantian dia yang tertawa. Mengetikkan sesuatu. "Mau lihat?"

Aku menggeleng.

Lebih baik tidak tahu.

"Yakin?"

Aku mengangkat kedua tangan. "Ya! Kenapa harus nggak yakin?"

"Okay!" Ia tersenyum lebar. "Aku pergi dulu. Talk to you soon." Ia mengangkat ponselnya.

Bara ....

Kamu sedang memerankan apa?

Συνέχεια Ανάγνωσης

Θα σας αρέσει επίσης

549K 27.8K 57
Takdir itu emang kocak. Perasaan cerita tentang perjodohan itu hanya ada di film atau novel, tapi sekarang apa? Cecilia Janelle terjebak dalam sebuah...
1.6M 230K 45
Semua terlihat sempurna di kehidupan Maudy, seorang aktris papan atas yang juga dikenal sebagai kekasih Ragil, aktor tampan yang namanya melejit berk...
927K 2.5K 6
Kisah Perselingkuhan penuh gairah, dari berbagai latar belakang Publish ulang di wattpad!
914K 44.7K 37
"Jalang sepertimu tidak pantas menjadi istriku, apalagi sampai melahirkan keturunanku!" Bella hanya menganggap angin lalu ucapan suaminya, ia sudah...