SUSUR

By Indhie_Khastoe

110K 17K 391

Pemenang Wattys 2022 Kategori Horor Kepergian Mamat -- bocah lelaki yang mencari ayahnya, tanpa sengaja melib... More

Prolog
Bukan Pendusta
Tak Beruntung
Rajia Polisi
Hutan Galam
Pekucuran Itik
Tunggu Aku!
Gelut
Ranjau Paku
Demi Ongkos
Nenek Aneh
Sebutir Telur
Pengamen Buta
Tengkorak di Jendela
Kampung Mati
Lelaki Misterius
Sadis
Sedang Diawasi
Kepingan Puzzle
Jangan ke Sana!
Makhluk Bersayap
Gadis di Dapur
Jari-jari Pucat
Mencari Mangsa
Mayat Hidup
Nafsu Membunuh
Cepat Sembunyi!
Salim Bada
Pertukaran
Rasanya Mati
Salah Sangka
Cerita Tambi
Tentang Dendam
Kegelisahan Dara
Wajah di Baskom
Parang Maya
Perintah Tuan
Di Bawah Pohon Kariwaya
Bukan Manusia
Parang Hitam
Ruang Meeting
Sembilan Bocah
Menyelamatkan Diri
Dikejar Hantu
Kekuatan Berlipat
Air Terjun
Rambut Muya
Momen yang Ditunggu
Bertemu Abah
Akhir Petualangan
Epilog

Bayangan Mengintip

1.7K 316 0
By Indhie_Khastoe


Semesta seakan marah pada kehadiran tiga anak kampung di tempat itu. Teriakan petir serta sambaran kilat sambung menyambung, mengiringi langkah-langkah tertatih mereka di bawah rinai hujan.

Tubuh-tubuh basah kuyup itu enggan berhenti, walau sekedar untuk berteduh. Semua bertekad segera sampai ke tujuan, meski gempuran angin terus menampar-nampar.

Usai menyusur jalan, mereka menemukan jalan berlapis pecahan batu koral. Di depan sana sudah terlihat Drilling Rig yang berdiri menjulang di atas sumur minyak, menara tinggi yang terlihat oleh Ali sebelumnya. Beberapa alat berat terparkir dengan posisi asal-asalan di sekitarnya. Namun, tak terlihat aktifitas apa-apa. Mungkin karena cuaca sedang hujan, pikir ketiga bocah kampung.

Beberapa ratus meter dari situ ada bangunan lain berbentuk memanjang dengan deretan pintu dan jendela-jendela kaca. Sepertinya bangunan itulah tempat tinggal para pekerja tambang.

"Hahay, sampai juga kita akhirnya. Bentar lagi bisa numpang ngaso, numpang makan, numpang ngerokok, numpang ngutang, ngoahahaha ...." kelakar Ipan dengan napas ngos-ngosan.

"Selamat, Mat, kita sudah sampai di tempat kerja abahmu." Ali menepuk bahu kecil di sampingnya. Wajah sedikit meringis menahan perih. Patukan burung gagak tadi banyak membuat luka gores pada punggung tangan Ali.

Mamat mengangguk cepat. Meski tubuh sudah kedinginan dengan bibir yang membiru gemetar, senyumnya tampak sumringah. Mimpi bertemu abah akan menjadi nyata.

"Kayaknya Kita ada di bagian belakang. Musti jalan memutar, nyari pintu masuk." Ipan menunjuk jalan di samping bangunan.

Ali manggut-manggut. "Bangunannya besar sekali. Pasti ada banyak orang di dalam."

Setitik harapan mencuat dalam benak Ali, dia akan mendapat pekerjaan di tempat itu. Mencoba mengadu nasib. Barang kali suatu hari nanti, bisa bertepuk dada pada orang-orang yang selama ini selalu meremehkan dirinya. Terutama keluarga Uwak.

Kini mereka sudah berada di depan gerbang yang dibiarkan terbuka. Suasana tetap sepi. Tidak terlihat orang yang lalu-lalang layaknya sebuah tempat kerja. Pos sekuriti berbentuk kotak yang dibatasi dinding kaca, dalam kondisi kosong.

Melihat kepala Ipan meneleng, Mamat ikut meniru, memiringkan kepalanya. Keduanya berdiri bersisian seraya membaca tulisan pada sebuah flat berukuran besar yang terpasang miring, nyaris lepas dari tembok.

"Pe-te Ja-ya A-ba-di." Mulut Ipan mengeja pelan.

"PT Jaya Abadi, benar ... ini tempat kerja Abah ulun." Mata sipit si bocah di samping Ipan seketika berbinar.

"Syukurlah, Mat. Kita tak sedang salah alamat. Tapi, pada ke mana lah orang-orang di tempat ni?" Ali menggumam dengan kening saling bertaut heran, mata mencari-cari.

Beberapa mobil besar serta mobil truk milik kantor terparkir di sudut halaman. Rumput-rumput tumbuh liar menutupi sebagian lahan, yang sebelumnya berupa taman kecil. Tempat itu tampak tidak terawat.

Setengah berlari ketiganya melintasi halaman parkir, menuju bangunan bertuliskan 'Kantor'. Hujan masih setia membasahi bumi. Tiba di depan pintu teralis besi, mereka mengintip ke dalam. Tapi, yang tampak hanya selasar panjang nan lengang.

"Pada tidur semuakah orang-orang di dalam? Sementang hawanya dingin begini. Brrr ....," celetuk Ipan, sembari menggigil memeluk tubuh kurusnya.

Satu tangan Ali coba mendorong teralis besi itu.

Kriiieeet ....

Bunyi derit engsel besi yang sudah karatan.

"Tidak dikunci, Geng." Ali menoleh pada dua temannya, minta pendapat.

"Tengoklah kau ke dalam! Kelamaan di luar, bisa mati kedinginan kita," saran Ipan, sembari mengusap wajah basahnya, dari air yang terus menetes dari ujung poni.

Tangan Ali mendorong pintu itu lebih lebar. Melongokkan kepalanya ke dalam. "Assalamu' alaikum ...."

"Masuk aja, yuk! Biar bisa ganti baju di dalam." Ali mengendikan dagu, agar semua segera masuk.

"Assalamu' alaikum, permisi ...." Berulang kali pemuda berhidung bangir itu mengucap salam. Khawatir kedatangan mereka yang tak diundang membuat orang lain berprasangka buruk.

Mamat dan Ipan langsung sibuk berganti pakaian dekat sebuah bangku panjang. Keduanya sudah tak tahan dengan dingin yang menggigit hingga ke tulang.

Mulut pemuda berambut ikal sebahu berdecak kesal, memilah baju dari dalam tasnya. Air hujan berhasil merembes masuk ke dalam tas punggung milik Ipan, membuat basah sebagian benda yang ada di dalam.

"Pst, Mat! Bajumu pada basah jua kah?" tanyanya pada Mamat, yang tampak sudah selesai berganti pakaian.

"Ada yang basah, ada yang masih kering. Kakak mau pinjam punya ulun kah?" Dengan polosnya bocah kecil itu menyodorkan selembar kaosnya yang masih bersih.

"Hum." Ipan lekas mengangguk, gesit menyambar benda di tangan Mamat.

Gerak cepat kaos mungil itu diusapkan pada wajahnya, rambut, dada, kedua belah ketiak, dan terakhir ke hidung Mamat. Dia terkikik puas mendapati ekspresi muka si bocah yang semaput, tersedak-sedak oleh ulah isengnya.

"Heh, nanti kau bilang sama abahmu, baju kaosku yang kau pakai sampai lecek tu harus diganti."

"Hum." Si bocah mengangguk setuju.

"Ganti sepuluh kali lipat," tegas Ipan lagi.

"Sepuluh?" Jari-jari kecil bocah di hadapannya mengembang. Menatap kesepuluh jarinya sendiri. Betapa banyaknya jumlah sepuluh kali lipat yang diajukan oleh Ipan. Mamat khawatir Abahnya tak punya cukup uang untuk mengganti sebanyak itu.

"Terus bilang juga, kau sudah ngutang duitnya Acil Iyul buat ongkos jalan ke mari, itu juga harus diganti." Ipan tersenyum licik membayangkan akan membawa uang banyak pulang dari situ. Nama mamak pun dibawa-bawa. Padahal ibunya tulus ikhlas ingin membantu Mamat yang malang.

Cetak!

Buku jari Ipan mendarat tanpa perasaan. Mamat mendesis mengusap dahinya.

"Jangan bengong saja kau! Jawab iya! Enak saja kau tak mau ganti," bentaknya melotot.

"Iya, Kakak." Si bocah meringis. Apa boleh buat, Mamat tak punya pilihan untuk menolak permintaan Ipan.

Sementara itu seorang pemuda berjiwa pemimpin sedang sibuk sendiri. Raut wajahnya begitu serius, saat menapaki lorong memanjang menuju ke bagian dalam bangunan. Meninggalkan dua kawannya di belakang. Tak peduli pada tubuh kuyupnya sendiri. Tangan sesekali mengusap air yang masih menetes-netes ke wajah, menghalangi pandangan. Dia sedang memastikan kalau tempat itu aman.

Tungkai terbalut jeans belelnya lanjut melangkah kian masuk ke dalam ruang asing. Ali punya firasat buruk, sesuatu telah terjadi di tempat yang mereka datangi. Bisa terlihat dari kondisinya yang tidak terawat. Lantai dan dinding tampak berdebu, poster-poster tentang keselamatan kerja pada dinding terpasang asal, sebagian sudah sobek tak karuan.

Pada sisi kiri selasar, tampak beberapa ruang yang pintunya tertutup rapat. Satu persatu pintu dibuka dengan hati-hati. Ruang-ruang kerja layaknya kantor itu kosong. Tidak ada orang di dalam.

Berdiri di depan sebuah pintu lagi. "Ruang meeting." Ali membaca huruf-huruf timbul, lalu membuka handle pintu itu pelan.

Klakk!

Krieeet ....

Namun, seperti pintu lainnya, sedikit lengket, berderit nyaring saat terbuka. Pertanda ruangan sudah lama tidak digunakan. Kedua kelopak matanya sontak melebar saat situasi dalam ruang itu terpampang dengan jelas.

Meja serta bangku-bangku dalam ruang pertemuan tampak berjumpalitan saling tindih, sebagian terlihat patah tak berbentuk. Kertas-kertas serta pecahan beling berserak di mana-mana. Terdapat banyak noda hitam kecoklatan pada lantai serta dinding ruangan. Seolah pernah terjadi perkelahian sengit di sana.

"Seperti noda darah yang sudah sangat lama mengering," gumam Ali. Dahinya berkerut mengamati bercak-bercak noda itu. "Apa yang sudah terjadi di tempat ini? Jangan-jangan pernah rusuh."

Gegas pintu itu ditutup Ali lagi.
Matanya terus mengedar ke sekeliling, lalu terpaku pada bangunan memanjang di seberang kantor, yang terpisah halaman luas ditumbuhi rumput liar.

Mata Ali menyipit mengawasi salah satu jendela. Di antara kucuran air hujan yang berjatuhan dari atap bangunan, satu bayangan tampak mengintip dari balik tirai. Tapi, saat diamati lagi, bayangan itu tiba-tiba menghilang. Ali lalu menggeleng-gelengkan kepala. Mungkin dia sudah salah lihat, akibat terlalu berharap akan berjumpa dengan penghuni mess.

To be continued....

Continue Reading

You'll Also Like

121K 10.6K 40
Delapan anggota sepupu memutuskan untuk menginap di rumah nenek di pedalaman desa selama liburan. Jawad sebagai ketua geng persepupuan, menyetir sela...
45.7K 3.1K 32
Dia berbeda! Dia istimewa! Dan dia berbahaya bagi siapapun yang berani mengusiknya! Generasi ketiga dari Tegal Salahan. Lebih seru! Lebih menegangkan...
6.3M 472K 25
[CERITA MASIH LENGKAP SAMPAI END] Syafira tak menyangka apartemen yang disewanya ternyata berhantu. Pantas saja harga sewanya sangat murah dan para t...
3.9K 321 20
Ini adalah series original JKT48. Cerita murni karangan saya sendiri. Yang sama hanya nama tokoh dan sampul. •Chloe-zee •Clara-christy •Abigail-grac...