SUSUR

Por Indhie_Khastoe

105K 16.7K 386

Pemenang Wattys 2022 Kategori Horor Kepergian Mamat -- bocah lelaki yang mencari ayahnya, tanpa sengaja melib... Mais

Prolog
Bukan Pendusta
Tak Beruntung
Hutan Galam
Pekucuran Itik
Tunggu Aku!
Gelut
Ranjau Paku
Demi Ongkos
Nenek Aneh
Sebutir Telur
Pengamen Buta
Tengkorak di Jendela
Kampung Mati
Lelaki Misterius
Sadis
Sedang Diawasi
Kepingan Puzzle
Jangan ke Sana!
Bayangan Mengintip
Makhluk Bersayap
Gadis di Dapur
Jari-jari Pucat
Mencari Mangsa
Mayat Hidup
Nafsu Membunuh
Cepat Sembunyi!
Salim Bada
Pertukaran
Rasanya Mati
Salah Sangka
Cerita Tambi
Tentang Dendam
Kegelisahan Dara
Wajah di Baskom
Parang Maya
Perintah Tuan
Di Bawah Pohon Kariwaya
Bukan Manusia
Parang Hitam
Ruang Meeting
Sembilan Bocah
Menyelamatkan Diri
Dikejar Hantu
Kekuatan Berlipat
Air Terjun
Rambut Muya
Momen yang Ditunggu
Bertemu Abah
Akhir Petualangan
Epilog

Rajia Polisi

2.7K 364 12
Por Indhie_Khastoe

"Jadikah kita berangkat mencari abah ulun, Kak?" tanya Mamat lagi.

Merasa tak digubris, Mamat turun dari pelataran pondok, lalu melangkah perlahan mendekati orang yang dikiranya sebagai Ipan. Namun, bayangan hitam itu seakan terus menjauh.

Pukk!

Satu tepukan pada bahu, membuat Mamat tersentak kaget.

"Mat, mau ke mana kau?" Ipan sudah berdiri di sampingnya.

"Kak Ipan?" gumam Mamat bingung. Mendongak, ditelusurinya wajah pemuda berpostur jangkung itu. Semua terlihat samar dalam kegelapan.

"Hum, ini aku. Kenapa muka kau, kayak orang baru liat hantu saja?" Ipan menyentil dahinya.

Bocah itu lalu menoleh lagi ke arah rumpun pisang. Bayangan orang, yang tadi berdiri di sana sudah tidak ada. Ternyata dia bukan Ipan, entah siapa.

"Adakah kau bawa sangu, Mat?" tanya Ipan, dengan raut penuh harap.

Pemuda berambut ikal sebahu itu menghela napas lega, ketika bocah di depannya mengangguk cepat. Tas punggung dilepaskan Mamat dari bahu, kemudian mengeluarkan sesuatu. Sebuah botol plastik berisi air putih yang tersisa separuh, disodorkan pada Ipan.

"Bungul, lain itu maksud unda!" Spontan Ipan menoyor gemas kepala si bocah.

"Duit maksudku. Adakah kau bawa duit?" Ipan mendelik, tubuhnya sedikit membungkuk. Digesek-gesek jari jempol dan telunjuk tangan kanan ke depan hidung Mamat.

Tas punggung biru lusuh berbahan parasut dibuka lagi oleh Mamat. Sekarang sebuah celengan dari tanah liat keluar dari sana. Ipan tersenyum kecut, menebak-nebak dalam hati isi benda berbentuk bulat itu. Paling cuma recehan, batinnya.

Prakk!

Beberapa detik kemudian, celengan sudah terhempas ke atas tanah hingga pecah berkeping. Uang koin serta uang kertas seribuan yang sudah lecek berserakan. Gegas keduanya memunguti.

****

Si pemuda begajulan kini sudah membawa serta bocah lugu, duduk di antara lelaki dewasa pendosa. Mamat menatap sekeliling mereka. Tidak menyangka, ternyata begitu banyak orang dalam kebun singkong yang terpencil itu. Suasana berisik dengan suara orang, juga suara ayam.

"Coba kau lihat dua ekor ayam jago itu, Mat! Kau lebih pilih yang mana? Yang kiri atau yang kanan?" tanya Ipan.
Satu tangannya merangkul bahu si bocah. Satu tangan lain menunjuk ke arah dua ekor ayam jantan, yang sedang dipamerkan di tengah arena judi.

Ipan sudah membuktikan kalau hokinya buruk malam ini. Dia sekarang sangat berharap pada keberuntungan Mamat. Siapa tahu, kalau bocah itu yang menentukan pilihan, dia bakal menang taruhan.

"Buat apa milih ayam? Mau dimasak kah, Kak?" tanya Mamat polos, menekan perut tipis yang kosong. Mulutnya mengecap, membayangkan sepiring nasi berteman ayam bakar.

"Buat disaung. Kalau ayamnya menang besaung, kita bakal dapat duit banyak buat beli makanan," terang Ipan, tersenyum culas. Sepasang keningnya naik turun, menatap Mamat.

Penampilan ayam-ayam jantan itu cukup menipu mata. Bertubuh besar, berdada busung, belum tentu akan menang dari ayam jantan yang bertubuh lebih kecil. Ipan sudah beberapa kali terkecoh. Pilihannya selalu salah.

Mamat mendesah kecewa. Tak paham kenapa ayam harus disuruh berkelahi, bukannya dimasak menjadi lauk makan. Bocah lelaki itu diam sejenak, kedua netra menatap lesu pada ayam-ayam yang sedang dipegang masing-masing pemiliknya.

Mata Mamat lalu berpindah pada laki-laki tua berpeci miring, yang duduk bersandar pada bangku plastik, tampak sibuk sekali menerima setoran uang dari yang lain, sambil menulis ke buku kecil. Sesekali dia saling berbisik dengan lelaki berbadan kekar di sampingnya.

Tempat itu berupa tanah lapang yang dipagari tanaman singkong. Sekitarnya terlihat beberapa pohon nangka besar. Lampu pertomak dicantolkan pada dahan pohon, sehingga suasana tampak terang benderang. Pada satu sudut lahan terlihat banyak kurungan ayam yang terbuat dari bambu.

Semua yang hadir terlihat begitu antusias. Mereka duduk mengelilingi lahan berumput, sambil saling berbincang. Beragam usia ada. Dari pemuda belasan tahun, sampai kakek-kakek yang sudah lupa umur.

Rokok pada tangan mereka tampak membara. Asapnya menyebar menyesakkan dada. Sebagian orang yang duduk di pojok, begitu asyik menenggak minuman dari dalam botol kaca. Bau tembakau serta bau menyengat alkohol berpadu memenuhi udara. Kepala Mamat jadi pening menghidu semua aroma itu.

"Cepatlah, Mat! Kau jagokan ayam yang mana?" desak Ipan tak sabar, melihat Mamat sedari tadi hanya bengong.

"Humh ...." Mamat menggumam. Saat ini dia tidak bisa fokus berpikir. Perutnya melilit merasakan lapar.

Krucuk ....

Perut Mamat berbunyi, minta diisi.

"Ulun lapar, Kak, dari siang belum makan," keluh Mamat, meringis.

"Hungang! Kau pikir aku tak lapar, hah?" Sekali lagi kepala Mamat ditoyor.

"Kalau tak ada duit, aku tak bakal bisa mengantar kau ke tempat abahmu."

"Duit celengan ulun tadi ada," protes Mamat takut-takut.

Plakk!

Kepala belakang Mamat dikemplang. Mulut mungilnya pun mengaduh pelan.

"Kau pikir duit seculit itu cukup buat ongkos jalan, hah?!" sental Ipan, melotot-lotot.

Dalam hati Ipan mengakui, sebenarnya uang bekal dari mamaknya tadi siang lebih dari cukup. Entah ilmu pengasih apa yang dimiliki oleh Mamat, sampai Acil Iyul ringan hati memberikan ongkos jalan untuk perjalanannya. Ditambah menugasi Ipan menjadi pengawal.

"Ingat pesan Mamak, Pan! Kau antar Mamat sampai bertemu abahnya! Setelah itu bawa dia kembali dengan selamat! Biar Mamak yang kasih tahu sama niniknya kalau kau yang mengantar. Mamak titip Mamat padamu, Pan. Dia tanggung jawabmu sampai pulang ke niniknya." Terngiang lagi kalimat panjang lebar dari mamak siang tadi.

Sebenarnya Ipan malas kalau harus menjagai anak kecil macam Mamat. Tapi, melihat sejumlah uang jalan yang disodorkan mamak, dia seketika berubah pikiran.

"Nih, ongkos buat kalian pulang pergi."

Senyum Ipan mengembang melihat lembaran-lembaran uang merah yang masih kaku di tangan mamak. Tangan Ipan bergerak ingin meraup, tetapi Acil Iyul gesit menariknya lagi.

"Kau harus janji dulu, Pan!" Acil Iyul menatapnya tajam.

"Apalagi, Mak?" tanya Ipan gusar.

"Jangan berani pulang, kalau tak bawa Mamat dengan selamat!"

"Iya, Ipan janji," sahut Ipan asal. Dalam hati bodo amat.

"Kalau kau tak bisa pegang janji, Mang Halil yang Mamak suruh menghukummu." Acil Iyul menyebut nama saudara lelakinya yang paling ditakuti oleh Ipan. Seorang jagoan kampung.

"Iya, iya. Ipan janji, dah."

Kenyataannya bukan langsung berangkat. Ipan malah tergoda menjajal keberuntungannya berjudi sambung ayam di desa sebelah. Mengkhayal akan dapat untung yang banyak. Ternyata perkiraannya jauh meleset.

.
.

"Menaaang ... hahaha ...! Akhirnya menang juga unda ... hahaha ...!" teriakan serta tawa lepas Ipan pecah di tengah keramaian. Kedua tangannya yang terkepal mengacung ke udara.

Ayam jago pilihan Mamat menang. Anak itu ternyata membawa keberuntungan untuk Ipan. Tak salah perkiraan kali ini. Pemuda itu jingkrak-jingkrak kegirangan, saking senangnya.

"Hebat kau, Mat. Pintar kau pilih jagoan. Coba dari awal kau yang pilih, bisa menang besar kita," pujinya, sembari kedua tangan mengguncang keras bahu kecil Mamat.

"Kau mau makan apa habis ini, Mat? Nasi sop, gado-gado, sate ayam? Pokoknya kau boleh makan apa pun sampai kenyang." tawar Ipan bersemangat.

"Ma- makan, hhh ... makan ...." Mamat sulit bicara, Ipan masih mengguncang bahunya.

Makan apapun tak masalah bagi Mamat, yang penting perut bisa terisi nasi, bukan penuh angin seperti sekarang. Malam telah larut, Mamat lelah, matanya sudah terasa sepat.

"Bubaaar! Bubar semuanyaaa!"

"Awas, ada Rajia pulisi!"

"Pulisi ... ada pulisiii ....!"

Tiba-tiba terdengar teriakan-teriakan panik membahana, dari luar kebun singkong.

To be continued....

Catatan kaki :

* Ulun => bahasa halus dari saya/ aku. Digunakan oleh yang berusia lebih muda.

* Unda-nyawa => gue-elu

* Sangu => bekal

* Bungul, hungang => bodoh, tolol

Continuar a ler

Também vai Gostar

11.3K 1K 23
Banyak kejadian horor yang Yuni alami sejak bekerja di rumah sakit itu. Situasi kian mencekam dengan kematian orang-orang yang ditandai.
118K 9.2K 58
Sebelum baca harap follow dulu ya☺️ Tinggalin komentar kamu di setiap part nya🙏 ~~~~~~~ Enjoyed Reading ~~~~~~~ Seorang anak bernama Nirmala, yang...
14.6K 1.6K 18
Baca Dulu Baby Canny S1 [ongoing] BABYMONSTER [Lokal] [Season 2] ꓃ [You Must Die!] ********** 2 Tahun berlalu, Kehidupan Keluarga Brahmantyo mulai ke...
29.2K 3.1K 21
Wirma, si pemakan mayat. Itu yang tertulis didalam sebuah artikel, aku sebagai penulis horor yang suka berkelana untuk mencari bahan cerita. Tertarik...