LOOP (HUNHAN)

By Dragonred88

77.3K 4.8K 328

More

Luhan Pov
Bab 3
Sehun Pov
Tears
ungkapan
Home
penyatuan
MEET
Hope.
APPA
Sorry (1)
Sorry and End
SQUEL LOOP (NGIDAM)
Huff..
little OH

Sehun Pov

13.2K 455 18
By Dragonred88

Ikatan yang telah kita bina ini, aku harap kita jaga sampai kita menutup mata. Tak peduli bagaimana sakitnya hati ini. Tapi aku tak ingin memutuskan ikatan ini, selamanya.

Loop

Main Cast: Oh Sehun, Luhan.

Gendre: Frendship, Romance Hurt/Comfort

Ret: T

Ooc, typo, cerita acak kadul.

Happy Reading

Aku, seorang anak yang tak percaya dengan apapun itu. Aku hidup dalam kesendirian dan tak akan pernah percaya yang namanya ikatan. Ikatan persahabatan dan cinta bagiku semua hanyalah omong kosong belaka. Banyak yang mengatakan sebuah ikatan yang terjalin antara manusia itu sungguh kuat, sulit untuk di putuskan tapi satu hal, itu semua dapat terwujud apabila saling percaya, dan tulus. Semua itu berlandaskan 'Cinta Kasih' Kasih dan cinta dua makna bagai suatu rangkaian kata yang utuh, kuat, dan teguh.

Tapi bagiku itu semua tak berlaku. Cih! hatiku sudah mati, mungkin berkarat. Yang ada sekarang hanyalah kebohongan belaka. Semua itu tak ubahnya sebuah janji palsu. Apa artinya cinta jika ada perceraian, apalah arti kasih sayang, jika ada kekerasan, apalah arti persahabatan jika ada musuh dalam selimut. Semua itu hanyalah kata-kata konyol 'bullshit' bohong belaka.

Aku yang terlahir dari keluarga seperti itu merasa semua ini hanyalah omong kosong belaka. Aku seorang anak kecil yang sudah tahu akan kejamnya dunia ini. Aku muak dengan semua itu.

Ayah yang tidak bekerja, hanya bisa mabuk-mabukan. Ibu yang bekerja membanting tulang demi aku dan ayah. Aku merasa kasihan kepada ibu. Aku yang hanya bocah kecil tak dapat melawan ayahku. Tubuhku sering merasa sakit jika ayahku mengamuk. Aku merasa ingin membunuh ayahku sendiri. Tapi apa daya, aku hanyalah seorang anak kecil yang tak bisa apa-apa.

.
.
.
.

Keesokan paginya aku melihat ibuku sudah bangun dan menyiapkan hidangan di meja makan. Ditambah beliau sudah menyiapkan bekal sekolahku.

"Sehun sayang cepatlah mandi, lalu sarapan. Eomma tidak mau kau nanti lapar di dalam kelas." Ujarnya. Aku hanya bisa mengangguk patuh. Hanya perkataan ibu yang aku pedulikan, sebab aku tahu bagaimana menderitanya beliau ini. Ia harus hidup dengan pria macam ayah. Aku merasa bagai makan buah simalakama. Disatu sisi ia telah menyakiti kami, sedangkan disisi yang lain ia adalah ayahku. Dia orang yang telah membuatku terlahir dan hidup didunia ini.

Setelah aku siap, dan nampaknya ayah masih teler karena semalam dia mabuk berat. Sebab di meja makan yang kecil ini aku tak melihat dia. Aku sudah selasai sarapan ku putuskan untuk menuju sekolah.

.
.
.
.

Aku berjalan menuju gerbang sekolah tapi aku melihat sebuah mobil hitam metalik yang aku yakini sangat mahal berhenti di depan gerbang sekolahku. Aku sempat melihat seorang murid, sama denganku. Ia mencium seorang pria dewasa yang diyakini ayahnya.

"Appa, Lulu keluar dulu ya... Annyeong." Ujarnya. Setelah itu dia keluar dari mobil, kemudian melambai pada seorang didalam mobil yang adalah ayahnya.

Aku kadang merasa iri dengan anak itu. Dia adalah seorang anak yang kalau kau perhatikan sangat manis, dan juga imut. Banyak anak-anak bahkan guru-guru disini juga menyukainya. Ia bahkan tampak sempurna, pandai, cerdas, baik, kaya. Bagaimana tak ada yang tak suka padanya.

"Duk!"

"Cih! kalau jalan lihat-lihat donk! Dasar miskin." Ujar salah satu teman sekelasku. Aku marah sangat marah. Tapi aku tidak ingin melawan. Aku tidak ingin jika orangtuaku dipanggil oleh pihak sekolah. Pernah waktu itu aku memukul salah satu teman kelasku yang mengajekku miskin, bodoh dan juga tak sederajat dengan mereka 'anak-anak yang berada.' Aku tahu, aku masuk kemari karena beasiswa sebab aku salah satu siswa kurang mampu. Aku marah dan tak terima dan memukulnya sampai hidungnya patah-berdarah. Dan karena itu ibuku dipanggil oleh pihak sekolah. Aku di marahi oleh beliau, beliau menangis sambil memarahiku. Melihat airmatanya yang mengalir dengan derasnya membuatku merasa bersalah.

Aku sampai di kelasku. Aku bahkan duduk sendirian. Mana ada orang yang ingin berteman denganku. Aku yang dari kalangan ekonomi kebawah meresa tak pantas berteman dengan mereka. Aku sekolah hanya ingin mencari ilmu belajar dengan giat agar kelak aku dapat membahagiakan ibuku. Hanya ibu sumber kekuatanku. Hanya ibu yang aku kasihi. Walaupun aku tak percaya pada apapun itu. Tapi satu tujuanku, kebahagiaan ibu.

Pukul 07.00 tepat bel berbunyi. Seluruh siswa masuk kelas masing-masing. Dan setelah itu para guru yang mengajar di jam pertama pun masuk dan memulai pelajaran. Aku mendengarkan dengan serius kerena aku duduk di kelas 4 dimana dikalas ini aku tidak bisa main-main jika ingin lulus dari bangku SD ini.
2 jam pelajaran telah berlanjut dan istirahatpun datang.

Aku yang hanya membawa bekal dari rumah mengeluarkan bekalku dari dalam tas sekolah. Aku keluarkan lalu ku letakkan di meja. Aku buka bekalku ini, tapi belum sampai aku memakannya salah satu dari temanku menjatuhkan bekalku. Mengakibatkan tumpah semuanya, padahal itu adalah bekal berhargaku. Aku sudah sangat marah. Aku ingin menghajar orang ini. Tapi tak aku lakukan, walaupun dirinya memancingku untuk berlaku kasar padanya aku tak melakukannya. Aku tak ingin membuat ibuku semakin menderita. Aku tak ingin beliau dipanggil lagi, walaupun mungkin aku dicap remeh oleh mereka aku tak peduli. Aku hanya peduli oleh ibuku. Aku punguti nasi dan lauk yang sudah berceceran tak beraturan ini.

"Mereka jahat sekali, kenapa mereka begitu. Mereka kaya karena orangtua mereka. Aku merasa kalau aku tidak kaya. Mereka anak-anak yang hanya membanggakan harta orangtua mereka." Senyum.

"Deg!" Aku sungguh terkesiap, seorang Luhan yang sangat populer membantuku membersihkan bekalku yang terjatuh di lantai. Tangan mungilnya juga turut memunguti nasi dan lauk yang telah tak berbentuk ini.

"Sudahlah jangan membantu dan sok peduli padaku. Tahu apa kalian ini. Kau sama saja kan dengan mereka, dasar anak orang kaya. Kau jangan mengasihaniku. Aku merasa bagai seonggak sampah dimata kalian. Jadi jangan pernah mengasihaniku." Ucapku keras kepadanya. Aku melihat mata rusanya membola, dan berkaca-kaca. Aku tahu kalau sebentar lagi ia akan menangis. Tapi aku mencoba untuk tidak memperdulikannya.

"Kenapa kau berpikir begitu? Aku tulus membantumu? Kenapa kau mengeluarkan kata-kata seperti itu?" Ujarnya dengan mata berkaca-kaca.

"Membantu, cih! Aku tak butuh bantuanmu, kau ingin membantuku, yang dapat kau lakukan untuk membantuku hanyalah kau cukup menjauh dariku. Aku muak melihat wajahmu itu, TUAN PUTRI."

Deg!

Aku dapat melihat dia shock dengan perkataanku yang mungkin sangat menyakitkan hatinya ini.

"K-kau jahat sekali Oh Sehun, padahal aku ingin menjadi temanmu." Ujarnya lirih dan berlari menjauhiku.

Cih! Teman katanya. Kata-kata itu hanyalah sebuah bualan semata. Aku tak percaya yang namanya persahabatan. Tak ada yang namanya persahabatan sejati toh kelak akan menimbulkan luka. Aku tak percaya, cih! Omong kosong.

.
.
.
.

Setelah kejadian itu, Luhan tak lagi mendekatiku. Aku merasa senang tapi aku sedikit muak sebab Luhan sama saja. Ia bahkan berteman dengan anak-anak yang suka membuliku. Aku tahu, Luhan itu orang yang supel mudah bergaul. Tak ayal banyak yang menyukainya tapi aku tak ingin mendekatinya karena aku tahu diri strata kita berbeda. Aku dan dia berbeda bagai siang dan malam.

Cih! lagi-lagi gerombolan anak yang suka membuliku kembali lagi. Mereka bahkan telah membuat jebakan. Sial, aku yang baru melangkah satu langkah menuju toilet di guyur dari atas oleh mereka. Ternyata mereka telah memasangkannya sedari tadi. Bajuku basah oleh air guyuran itu. Tapi aku selamat kala Jang Songsaenim datang. Songsaenim langsung memarahi mereka dan membawa mereka menghadap kepada sekolah sebab perbuatan mereka padaku sudah kelewatan.

Tubuhku yang kedinginan dan juga semua bajuku basah. Dengan penuh perhatian Songsaenim mengantarkan aku keruang UKS. Untuk mengganti pakaian dan memberikanku vitamin agar aku tak flu.

Didalam ruang yang serba putih ini, Songsaenim Jang memberikanku seragam ganti. Seragam ini khusus disiapkan didalam UKS jika sewaktu-waktu diperlukan. Aku segera menggantinya dikamar mandi yang ada di dalam UKS.

"Hah, Sehun kenapa kau bisa seperti ini? Beruntunglah, sebab songsaenim segera datang. Berterimakasihlah pada Luhan. Ia yang melaporkannya. Ia bahkan berlari menemuiku. Dia mangatakan. "Songsaenim, cepat kau ke toilet yang ada di di dekat kelas 4E, Sehun, Oh Sehun, cepat selamatkan dia Songsaenim."

"Awalnya aku bingung, tapi melihat mata penuh kecemasan itu aku kemari dan melihatmu basah kuyup." Songsaenim Jang menceritakan ini semua padaku. Entah mengapa ada sedikit rasa menyesal dihatiku karena beberapa hari yang lalu aku mengusirnya. Apakah aku harus membuka hatiku kepadanya. Baiklah, mungkin nanti aku akan mencobanya. Aku ingin menjadi temannya.

.
.
.
.

Setelah dari UKS aku ingin menemui Luhan. Aku ingin mengucapkan rasa terimakasihku padanya. Aku melihat ia bersama gerombolan anak-anak terkenal itu. Jadi aku urungkan niatku menemuinya. Dengan langkah yang pasti aku berusaha melewati mereka. Aku harus siap menghadapi semuanya apabila mereka membulliku lagi.

"Hai Kau!" Panggil salah satu dari mereka. Aku tahu ketua Genk mereka bernama Kai. Ia memiliki kulit tan, tapi ia jago berkelahi dan ia senang sekali membulliku. Dialah cucu dari pemilik sekolah ini. Jadi karena itulah ia suka berlaku semena-mena kepada siswa sepertiku ini.

"Dengar ya!" Ia menarik kerah bajuku. "Gara-gara kau aku dimarahi oleh kakek! Dasar siswa kelas rendah, berani kau macam-macam denganku, Hah!" Ucapnya tak terima.

"Sudahlah Kai, percuma kau marah-marah dengan anak seperti dia. Dia itu tidak selevel dengan kita. Percuma kau membuang-buang tenagamu hanya untuk meladeninya." Ucapan Luhan benar-benar membuatku sakit hati. Aku mengira ia berbeda. Tapi ternyata ia sama saja. Aku berharap ia mengakuiku sebagai temannya, tapi pada kenyataannya ia hanya menganggapku sebagai bocah miskin, tak selevel dengan mereka. Aku menunduk dan terdiam, mulai detik ini juga hatiku mulai kukunci. Aku tidak akan pernah memberikan hatiku kepada siapapun. Sebab semuanya dusta, aku Oh Sehun tak akan percaya pada siapapun kecuali ibuku. Aku hidup demi ibu, hanya ibu.

.
.
.
.

Rintik-rintik air hujan membasahi kota ini. "Hah..." Aku menghela nafas kesal. Sebab aku tak bisa pulang karena aku tak membawa payung. Tak mungkin aku nekat menerjang hujan deras ini dengan terpaksa aku menunggu hujan reda.

Tap

Tap

Tap

Mataku memicing sebab aku yakin akulah orang satu-satunya yang berada disini.

Eh!

Eh!

Kami semua, baik aku dan dia diam. Luhan memandangku canggung, sedangkan aku memasang wajah datarku.

"Kau belum pulang Sehun-ssi?" Tanyanya formal.

"Kau bisa lihat sendiri kan? kalau aku masih disini itu tandanya aku belum pulang." Jawabku dingin. Ia memandangku sedih.

"Begitu ya? Apa kau tidak membawa payung?" Tanyanya lagi.

"Menurutmu? Kalau aku membawa payung aku sudah pulang dari tadi." Jawabku masih dengan nada yang sama.

"Oh... begitu..."

Dan setelah itu yang ada hanyalah keheningan yang menyelimuti kami. Ia tidak lagi bertanya dan akupun tak bertanya padanya. Suara hujan yang semakin deras ditambah bunyi petir membuatku sedikit kaget. Ku tengok Luhan yang ada diseberangku. Ia tampak ketakutan, dan juga gemetaran.

Mataku memicing, tampaknya Luhan kedinginan. Ditambah ia memeluk dirinya sendiri. Sebenarnya aku merasa kasihan melihatnya begini, ingin aku membantunya. Tapi karena rasa gengsiku yang terlalu tinggi mengalahkan rasa ibaku kepadanya. Ditambah rasa sakit hati yang dia torehkan kepadaku membuatku menjadi tak peduli padanya.

"Se-Sehunnie..."

"Se-Seh-hun-nie..." Aku mendengar ia memanggil namaku dengan bibir yang bergetar.

"Sial!" Umpatku dalam hati. Dengan segera aku menghapirinya. Persetan dengan gengsi dan rasa sakit hati. Aku kalah, hati nuranikulah yang menang. Ku berjongkok ke arahnya. Oh Tuhan, Luhan. Wajahnya membiru, pucat sekali. Aku langsung memeluknya menghantarkan hawa panas kedalam tubuhnya. tapi sialnya dia masih bergetar. Aku bingung harus bagaimana. Ditambah sekolah sudah sepi dan hari sudah malam.

"Lu... Lu... sadarlah Lu. Kau jangan tertidur. Kau tak boleh tidur. Kau harus buka matamu Lu..." Ujarku panik sambil menepuk pipinya pelan. Oh Tuhan aku harus bagaimana?" Aku hanyalah seorang bocah kalas 4 SD yang tidak tahu apa-apa.

Kupeluk dirinya erat dan kubawa ia masuk ke dalam UKS. Dengan berat aku menggendongnya. Kubaringkan ia disana. Sekolah benar-benar sepi, tak ada orang disini. Aku selimuti dia, tapi sialnya gigi Luhan masih bergemlutuk.

"Se-Seh-hun-nie... di-di-dingin." Ujarnya bergatar. Karena frustasi aku menjambak rambutku sendiri.
Ku lihat bibirnya membiru sungguh kasihan. "Ya Tuhan, apa yang harus aku lakukan?" Sekelebat ide muncul dikepalaku. "Haruskah aku menciumnya, untuk menghantarkan hawa panas kedalam tubuhnya. Hah! sial, sungguh sial." Otak dan hatiku bergemuruh. Otakku mengatakan jangan melakukan itu, karena itu sangat memalukan. Sedangkan hati nuraniku mengatakan aku harus melakukannya, apakah kau tega membiarkan ia mati kedinginan. Lagi-lagi aku buang gengsiku. Aku tidak peduli, lagi pula sekolah sudah sepi. Aku mencium bibir pucat birunya ini. Oh Tuhan, bibirnya dingin dan terasa beku. Aku juga menggenggam tangannya agar dia lebih relax. Dengan menggunakan naluri aku berkerja, sebenarnya aku tidak tahu bagaimana ciuman itu. Yang aku pikirkan aku hanya ingin menyelamatkannya. Mulut Luhan terbuka dan aku mengalirkan udara kedalam mulutnya. Seperti pertolongan saat tenggelam. Setelah dirasa ia membaik dan wajahnya berubah menjadi merah itu tanda ia sudah membaik. Hah... syukurlah aku lega. Kujauhkan wajahku dari wajahnya. Malu, sungguh malu. Aku menunduk malu, sepertinya aku tidak memiliki muka dihadapannya.

"Kau jangan salah paham. Aku hanya ingin menyelamatkanmu, kau hampir mati tahu." Ujarku menutupi rasa malu.

Ia tersenyum kearahku, dengan wajah merona. Aku tahu ia juga sama malunya denganku.

"Gomawo Sehunnie, aku tahu kau itu orang yang baik. Hms, mianhae. Tadi, aku mengatakan kata-kata yang tak pantas kepadamu. Aku menyesal, tak sepantasnya aku mengatakan itu, mianhae aku..." Luhan mengatakan itu dengan lirih, dapat kulihat gurat penyesalan dimata rusanya.

"Sudahlah, tak perlu kau pikirkan lagi. Yang penting aku baik-baik saja. Aku tahu, kau begitu karena ingin melindungikukan? Kau juga yang telah memanggil Jang Songsaenim datangkan? Gomawo ne, aku selamat. Sekarang kita impas." Ucapku padanya.

"Sehunnie, hms." Ia tersenyum dan mengangguk.

"Tuan muda Lu..."

Tuan muda... kau dimana? Tuan muda..." Kudengar ada seseorang yang memanggil-manggil nama Luhan.

"Tampaknya kau sudah di jemput Lu."

"Ne, kalau begitu ayo kita pulang bersama. Diluar masih hujan Sehunnie." Aku terdiam, aku bingung harus berkata apa.

"Aku harap Sehunnie tidak menolak. Aku tahu Sehunnie mungkin tidak nyaman dengan Lulu, tapi Lulu ingin menjadi teman Sehunnie, Lulu janji, setalah ini Lulu tidak akan mengganggu Sehunnie lagi.

"Lulu." Mendengar ucapannya ini membuatku merasa ada orang yang peduli terhadapku. Ditambah tangan mungilnya menggenggam tanganku 'Hangat' rasa itu yang aku rasakan. 'Teman' satu kata itu entah mengapa terngiang-ngiang dikepalaku. Aku yang selalu sendiri untuk pertama kalinya memiliki teman.

Karena ayah Luhan sedang sibuk sehingga digantikan oleh Lao Gao. Katanya pria brengosen ini adalah kepercayaan ayahnya.

"Aigoo... tuan muda Lu, kemana saja? Aku sungguh copot jantung di buatnya." Ujar pria yang dipanggil Lao Gao. "Eh, siapa dia tuan muda?" Ucapnya lagi sambil menatapku.

"Namanya Sehun, Oh Sehun. Dia teman sekelas Lulu. Lao Gao, bisakah kita mengantarkannya pulang dulu. Kasihan dia diluar hujan dan dia tidak bawa payung."

"Ah, baiklah tuan muda Lu."

Dan kamipun pulang bersama, aku diantar menggunakan mobil metalik warna hitam yang biasanya aku lihat saja dan sekarang aku tengah menaikinya.

"Ini rumahmu Oh Sehun?" Tanyanya.

"Iya benar, memang kenapa?" Jawabku.

"Ani, bolehkan Lulu kapan-kapan main kesini?"

Deg!

Aku terkejut, seorang Luhan ingin main kerumahku, yang menurutnya tak layak disebut dengan rumah. Yang ada hanyalah gubuk tua nan reot yang ada didepan matanya sekarang.

"Kau yakin ingin main kerumahku? Lihatlah, tempat tinggalku sangat kecil. Tak sebanding dengan rumahmu." Jawabku.

"Aku tak peduli, walaupun rumah Sehun itu kecil, tapi aku ingin menjadi teman Sehun. Lulu tulus ingin berteman dengan Sehun, sebab Lulu tahu kalau Sehun itu orang baik."

"Terserah kau saja, percuma aku melarangmu kau ini keras kepala." Jawabku padanya, dan sekali lagi dapat kulihat ia tersenyum manis kearahku.

Semenjak kejadian ini kami berdua menjadi dekat. Walaupun kami tak memperlihatkan kedekatan kami secara terang-terangan kepada yang lainnya. Tapi ini jauh lebih baik. Sebab aku tahu fans Luhan itu banyak sekali, ditambah Kai yang suka mendekati Luhan. Ia suka mengajak Luhan harus terus bersamanya. Aku dan dia, intensitas bertemu maupun berkomunikasi sangatlah kurang. Hanya disaat pulang sekolahlah kami dekat. Luhan sengaja menyuruh Lao Gao yang menjadi supir pribadinya untuk menjemputnya sedikit terlambat, sebab Luhan ingin menghabiskan waktu denganku. Dan aku setiap hari selalu pulang bersamanya.

"Gomawo Hannie sudah mengantarkan Hunnie." Ucapku mulai berani memanggil nama panggilan kesayangan.

"Ne Hunnie, besok lagi ya... Annyeong...??" Luhan melambai-lambaikan tangannya didalam mobil itu. Dan kulihat mobilnya berjalan menjauh.

Setelah itu ku masuk kedalam rumah kecil ini. "Aku pulang?" Sapaku pada penghuni rumah.

"Hms, tampaknya bocah yang tadi mengantarkanmu tajir juga Sehun."

"Apa maksud appa!"

"Dasar bocah bodoh! Kau memiliki teman kaya, tapi kenapa kau tak memanfaatkan dia. Kau tahu kan, dia itu bisa jadi sapi perah buat kita."

"Tidak! Kita memang miskin, tapi aku tidak ingin memanfaatkannya appa. Dia adalah teman yang Sehun punya, aku tidak ingin memanfaatkannya hanya untuk kesenangan appa saja."

"Plak!"

Sebuah tamparan keras mendarat dipipiku. Ku tatap ayah yang ada dihadapanku ini dengan pandangan penuh kebencian.

"Apa kau! Dasar anak yang suka melawan orangtua. Anak bodoh, tidak berguna!" Ayahku memukul, lalu mencambukku dengam kemoceng. Rasa sakit di punggungku dan nyeri yang kurasakan.

"Brak!" Seketika itu juga, ibuku datang, Ibuku menghentikan aksi dimana ayahku mencambukiku hingga tubuh kecilku penuh dengan bilur-bilur.

"Hentikan, kau sungguh gila! Kau boleh menyiksaku, tapi tidak dengan anakku! Aku sungguh tidak tahan dengan perbuatanmu ini!" Seketika itu juga, ibu membawaku kekamarku, mengunci pintu dan mengobati luka-lukaku. Aku lihat ibuku menangis lagi. Aku benar-benar merasa sedih, airmata ibu sangatlah berharga, aku tidak suka melihat airmata penuh luka ini. Seketika itu juga aku berkata kepada ibu. "Eomma, ayo kita pergi dari sini? Aku tidak tahan lagi eomma. Kita bisa tinggal berdua tanpa appa. Aku bisa membantu eomma, aku sungguh tidak tahan eomma." Ibuku melebarkan kedua matanya. Ibu diam sejenak memikirkan keputusan apa yang akan beliau ambil. Sedangkan aku menatap ibu, menunggu keputusan dari beliau. Beberapa menit ibu berpikir, ia menatapku dengan pasti. "Baiklah sayang, eomma tak ingin kau menderita seperti ini. Kita putuskan, kita akan pergi dari sini." Ujar Ibu yakin dengan keputusannya.

.
.
.
.

Malam harinya setelah ayah sudah tidur karena mabuk, kami diam-diam pergi meninggalkan rumah ini. Kami membawa barang-barang yang sekiranya penting untuk kami bawa.

Setelah kami keluar dari rumah, kami menunggu bis yang akan mengantarkan kami menjauh dari ayah. Memulai hidup yang baru untuk mencari kebahagiaan lain.

Tapi sebuah pikiran tak enak menggangguku. Aku pergi dari ayah ditambah ibuku entah membawa kami kemana. Beliau mengatakan kalau kami akan pergi dari Seoul, kami akan tinggal disebuah desa yang mungkin ayah tidak dapat menemukan kita. Tapi ada satu orang yang menggangu pikiranku. Aku sama saja meninggalkan Luhan, tanpa kata ataupun salam perpisahan bagai 'wusss' ditiup angin. Aku harap Luhan tidak marah padaku, sebab aku meninggalkannya dan juga aku berharap dia tak melupakanku. Tapi aku tak ingin berharap banyak sebab kala kita dewasa, semua itu akan tergerus oleh waktu. Dimana ada pertemuan disitu ada perpisahan, dimana yang lama menghilang disitu akan tergantikan dengan yang baru. Itulah perputaran hidup.

Bis yang akan mengantarkan kami pun tiba. Aku dan Ibuku duduk di bangku tengah. Aku duduk disebalah kaca bis dan ibu duduk disebelahku. Ku pandangi lampu kerlap-kerlip yang menghiasi kota Seoul ini. Selamat tinggal Seoul, kota penuh kenangan, pahit, manis dan dera telah ku rasakan di kota ini. Kutinggalkan semuanya dikota ini dan akan melangkah menapaki hari yang baru.

TBC

Continue Reading

You'll Also Like

13.8M 1M 74
Dijodohkan dengan Most Wanted yang notabenenya ketua geng motor disekolah? - Jadilah pembaca yang bijak. Hargai karya penulis dengan Follow semua sos...
55.1M 4.2M 58
Selamat membaca cerita SEPTIHAN: Septian Aidan Nugroho & Jihan Halana BAGIAN Ravispa II Spin Off Novel Galaksi | A Story Teen Fiction by PoppiPertiwi...
1.7M 109K 46
Selamat membaca cerita Angkasa dan Raisa❤❤ Bercerita tentang. Angkasa Saputra Wiratama. Murid laki-laki paling berpengaruh di SMA Merah Putih. Selain...
542K 88.4K 30
✒ 노민 [ Completed ] Mereka nyata bukan hanya karangan fiksi, mereka diciptakan atau tercipta dengan sendirinya, hidup diluar nalar dan keluar dari huk...