CHOICE

By IM_Vha

87.2K 7.5K 948

#teenfiction #sicklit #mentalhealth "Jika hidup adalah soal pilihan. Maka apakah mati bisa disebut keputusan... More

CAST
0. Prolog
1. Neraka Hampa
2. Luka Baru
3. Tetangga
4. Kerja Kelompok
5. Keinginan untuk Hidup
6. Dihajar
7. Kucing
8. Bekas Luka
9. Si Aneh Arsen
10. Rumah Nenek
11. Sepupu
12. Dia yang Disalahkan
13. Bolos
14. Dihajar Lagi
15. Melukis
16. Kita Teman
17. Plester
19. Pukulan Preman
20. UKS
21. Sudah dan Masih Hancur
22. Sebuah Maaf
23. Rantai Pengekang Baru
24. Having Fun
25. Collapse
26. Amarah
27. Bagaimana Jika Menyerah?
28. Menyelinap
29. Menyerah
30. Tragedi Pagi Hari
31. Terungkapnya Fakta
32. Ketika Mata Terbuka
33. Tidak Sendirian
34. Lembaran Baru
35. Epilog

18. Tempat Asing

673 102 11
By IM_Vha

💙Happy Reading 💙
.
.

Remaja itu duduk gelisah sembari meremas ujung jaketnya. Sebenarnya, ia sudah memantapkan hati untuk melakukan tindakan ini. Namun, entah mengapa setelah tujuan ada di depan mata, ia justru sangat gugup. Saking gugupnya, tanpa sadar ia terus mengentakkan kakinya ke lantai hingga menimbulkan bunyi yang cukup mengganggu.

“Lo kenapa, sih? Dari tadi gelisah gitu,” tegur Arsen yang duduk tepat di sampingnya. Bocah itu merasa risi ketika mendengar ketukan tak berirama yang dihasilkan oleh sepatu Daniel.

“Gue grogi karena ini pertama kali gue pergi ke tempat ginian,” jujur Daniel masih belum bisa mengendalikan kegelisahan.

Hal yang membuat Daniel gelisah adalah karena saat ini dia sedang duduk di bangku tunggu rumah sakit. Untuk pertama kalinya dalam hidup Daniel, dia mengunjungi psikiater. Tentu saja ini bukan atas inisiatifnya sendiri, melainkan paksaan dari bocah di sebelahnya ini.

“Lagian, apa untungnya, sih, dateng ke psikiater? Buat pastiin kalo gue beneran gila?” lanjutnya dengan mata menatap lantai.

Mendengar kalimat itu, Arsen lantas berdecak pelan. “Pergi ke psikiater bukan berarti lo gila, Niel. Kita cuma butuh sedikit bantuan, ini juga demi diri sendiri. Bukan buat orang lain,” tuturnya mencoba meyakinkan.

“Tapi ….”

Daniel menggantungkan kalimatnya, dia tidak tahu harus menjawab apa. Dia merasa ucapan Arsen ada benarnya, tapi di lain sisi Daniel takut jika sampai tindakannya ini diketahui oleh ayah atau ibunya. Takut akan respons seperti apa yang akan keduanya berikan.

“Udah, nggak usah pakai tapi-tapian. Inget usaha kita kemarin buat dapet surat rujukan dari puskesmas. Jangan di sia-siain. Masuk aja sana, nama lo barusan dipanggil, tuh. Biar gue tunggu di sini,” desak Arsen tak sabar.

Pada akhirnya Daniel hanya bisa pasrah dan memasuki ruangan yang sangat asing baginya. Meninggalkan Arsen yang memang hanya bertugas mengantar.

Memakan waktu kurang dari satu jam untuk bocah berkacamata itu keluar dari ruang konsultasi dengan membawa secarik kertas. Arsen langsung mendatangi Daniel dan merebut kertas itu. Membacanya sesaat dan mengangguk.

“Kenapa? Lo paham tulisannya?” tanya Daniel dengan raut bingung.

Dengan santai Arsen menggeleng. “Tulisan dokter yang bisa baca cuma dokter dan Tuhan,” sahutnya tak acuh.

“Kalo nggak tahu, ngapain main rebut aja?! Sini balikin!” Daniel merebut kertas itu dari Arsen dan mendengkus pelan.

“Ya maaf, habisnya kepo, hehe,” balas bocah jangkung itu tanpa rasa bersalah.

Beruntung Daniel sudah mulai paham dengan tabiat Arsen. Dia juga cukup berterima kasih pada bocah itu karena mau membantunya sejauh ini.

“Gue mau nebus obat dulu, lo tunggu di parkiran aja,” pungkas Daniel tak mau berdebat lebih lanjut.

Belum sempat Arsen menjawab, bocah itu sudah lebih dulu berbalik pergi. Tersisa Arsen yang cukup terpukau dengan kesigapan Daniel. Padahal dia berpikir bahwa bocah itu tidak bisa melakukan apa-apa sendirian. Di lihat sekilas, Daniel tampak seperti tuan muda kutu buku yang tidak tahu cara bersosialisasi. Yah, ini juga salahnya, karena sudah menilai seseorang hanya dari penampilannya.

🍁🍁🍁


Waktu menunjukkan pukul tujuh malam ketika anak berkacamata itu tiba di kediaman. Jantungnya berdebar tak karuan begitu ia melangkah memasuki bangunan mewah itu. Pasalnya, dari apa yang Pak Anto bilang, ayah dan ibunya sudah tiba di rumah sejak sore tadi.

Ini di luar dugaan Daniel, dia pikir kedua orangtuanya akan pulang larut. Karena biasanya juga begitu, mereka sangat cinta kerja meski itu perusahaan mereka sendiri. Namun, hari ini keduanya justru pulang lebih awal.

“Den Daniel!”

Suara dari balik punggung mengejutkan bocah itu. Akan tetapi, ia bisa menghela napas lega ketika tahu jika yang muncul bukanlah ayah atau ibunya, melainkan sosok Bi Atun dengan raut teduhnya.

“Astaga, Bi Atun, bikin kaget aja,” protesnya sembari mengusap dada.

Wanita itu terkekeh pelan. “Maaf, Den. Habisnya Bibi udah nunggu dari sore tadi, Den Daniel nggak pulang-pulang. Bibi khawatir, Den,” ujar wanita itu sembari mengusap lengan sang tuan.

“Iya, nih, Bi. Aku ada urusan, jadi pulang sedikit telat. Ngomong-ngomong,” Bocah itu melongok ke dalam rumah, “Papa sama Mama ada di mana? Kok kedengerannya sepi,” tanyanya cemas.

“Tuan ada di ruang kerja, kalau Nyonya ada di kamar. Aden langsung masuk kamar aja, mandir dan siap-siap makan malam. Kebetulan tadi Den Mattew pulang lebih dulu, jadi Tuan sama Nyonya belum curiga kalau Aden belum pulang,” ungkap Bi Atun yang tahu akan kekhawatiran tuan mudanya.

Mendengar penuturan itu, Daniel langsung lega. Tentu saja dia takut jika sampai ketahuan pulang terlambat dan berujung dimarahi. Meski sudah terbiasa, rasa sakit tetap ada. Apalagi akhir dari semua itu pasti membandingkan antara dia dan Mattew. Bagi Daniel, itu adalah bagian yang paling menyakitkan.

“Oke, Bi. Aku ke atas dulu, ya. Nanti kalo udah waktunya makan malem, panggil aku,” pesannya sebelum berlari kecil menaiki tangga.

Benar kata Bi Atun, suasana ruang keluarga tampak lengang. Ketika melewati kamar Mattew, dia melihat sang kakak mendengarkan musik sembari membaca buku. Kebiasaan cowok itu adalah membiarkan pintu kamarnya terbuka setengah, jadi setiap Daniel lewat bisa melihat dengan jelas apa yang ia lakukan.

“Daniel!”

Lagi-lagi langkah kaki bocah itu tertahan karena panggilan dari Mattew. Daniel tak menyangka, kakaknya bisa mengetahui kehadirannya padahal tadi tampak serius membaca buku. Mau tak mau bocah itu pun memundurkan langkah dan menghampiri Mattew.

“Kenapa?” Bocah itu menatap Mattew, dan berharap sang kakak tidak memarahinya.

Tak langsung menjawab, Mattew lebih dulu menutup pintu kamarnya. Melepas headset serta merapikan buku-buku yang tadi berserakan di meja dan kasurnya.

“Lo dari mana aja? Jam segini baru pulang,” tanya remaja sipit itu dengan alis menukik.

“Lo diajak main ke mana sama Arsen? Hal nggak bener, ya?” Bocah itu berdecak sebal.

Feeling gue udah nggak bener sama itu bocah. Kalo besok-besok gini lagi, mending lo berangkat sama pulang bareng gue aja,” imbuhnya menggebu-gebu.

Sadar atau tidak, Mattew sekarang jadi sedikit lebih peduli padanya sejak kejadian tempo hari di mana Daniel dihajar oleh Wahyu dan teman-temannya. Bahagia? Tentu saja. Namun, terkadang Mattew jadi berlebihan dan mudah menilai negatif seseorang. Contohnya saat ini, Mattew langsung menyalahkan Arsen sebagai penyebab Daniel pulang terlambat.

“Jangan negative thinking dulu kenapa, sih? Gue pulang telat, ya, karena gue mampir makan habis dari ru—“ Bocah itu terbelalak ketika menyadari bahwa ia nyaris keceplosan.

“Ru?” Mattew mengernyit. “Ru apa?” desaknya ingin tahu.

“M–maksud gue bengkel. Iya, bengkel. Tadi motornya Arsen mogok, jadi kita mampir ke bengkel. Habis itu karena nggak tahan laper, jadi kita mampir ke rumah makan, deh,” papar Daniel tergagap.

Tentu saja itu semua bohong. Namun, dia juga tidak bisa berterus terang tentang tempat macam apa yang tadi ia singgahi.

“Bengkel?” ulang Mattew seakan tak percaya dengan penuturan Daniel, apalagi bocah itu terdengar ragu mengucapkannya.

Dengan mantap Daniel mengangguk. “Iya, habis dari tempat makan kita langsung pulang, kok. Nggak ke tempat aneh-aneh atau tawuran,” kilahnya lagi.

“Udahlah, Kak. Gue capek dan bau keringet. Mau mandi dulu keburu kemaleman.”

Tak membiarkan Mattew menginterogasinya lebih banyak, bocah itu memutus percakapan secara sepihak. Kemudian berjalan dengan terburu-buru meninggalkan ruangan itu, dan mengabaikan Mattew yang masih belum puas dengan jawaban yang ia berikan.

Sesampainya di kamar, Daniel langsung menghempaskan tubuhnya ke atas kasur dan menghela napas lelah. Tangannya merogoh saku jaket dan mengeluarkan sebuah kantong plastik berisi satu bungkus obat yang tampak asing baginya.

Ia menimang obat itu dan lagi-lagi menghela napas. Tak disangka, dia akan mengonsumsi obat semacam ini. Daniel akui, mentalnya memang tidak baik-baik saja. Namun, dia tidak pernah berpikir untuk berkonsultasi dan mendapat pengobatan. Diam-diam dia bersyukur karena Arsen menyeretnya untuk mendatangi tempat itu.

“Astaga!” Bocah itu memekik ketika kucing putihnya tiba-tiba melompat ke atas kasur dan mengusap-usapkan kepalanya ke kaki Daniel.

Ia melirik wadah pakan kucing yang sudah kosong dan berujar, “O, iya, Kevin. Kamu pasti laper banget, ya?”

Menyingkirkan segala rasa malas yang masih melekat, Daniel lantas menggendong makhluk berbulu itu menuruni ranjang. Dibukanya kotak berukuran di samping lemari pakaian dan mengeluarkan satu bungkus makanan kucing. Perlahan ia menurunkan Kevin lantas mengambil wadah pakan. Menuangkan isi dari kemasan, kemudian meletakkan tepat di depan hewan berbulu itu.

Melihat binatang itu menyantap makanan dengan lahap membuat Daniel mengulas senyum tipis. Melihatnya yang dulu kurus kering kini kian berisi memberi kepuasan sendiri bagi Daniel. Dia tidak menyangka, kucing malang yang ia temukan di sebuah gang ternyata akan tumbuh seindah ini.

Beruntung ketika Reina memergoki keberadaannya, wanita itu tidak memerintahkan Daniel untuk membuangnya. Sang ibu hanya memberi peringatan agar bocah itu mau bertanggung jawab atas kehidupan hewan berbulu tersebut.

“Nah, makan yang banyak. Tugasku buat rawat kamu, jangan sampai sakit, oke?” gumamnya sembari mengusap bulu-bulu halus sang kucing.

Tidak ada momen yang lebih membahagiakan di rumah selain berdua dengan makhluk berbulu ini. Di mana ia bisa bebas bercerita tanpa ada rasa takut akan dibedakan.  Namun, di lain sisi Daniel malu, karena hewan tak berdosa ini harus menjadi saksi dari kerapuhannya. Andai kucing ini dapat berbicara, mungkin dia akan memaki Daniel dan meneriakinya bodoh.

Ya, bodoh. Sebab tidak mampu melawan ketidakadilan, tapi justru menjadikan diri sendiri sebagai pelampiasan.

🍁🍁🍁

Enjoy dan silakan mampir ke KaryaKarsa buat baca bab lebih awal, yaa.

Nih, link ada di bio yaa

Continue Reading

You'll Also Like

224K 21.1K 28
[JANGAN LUPA FOLLOW] Bulan seorang gadis yang harus menerima kenyataan pedih tentang nasib hidupnya, namun semuanya berubah ketika sebuah musibah me...
855K 64.6K 31
ace, bocah imut yang kehadirannya disembunyikan oleh kedua orangtuanya hingga keluarga besarnya pun tidak mengetahui bahwa mereka memiliki cucu, adik...
2.5M 137K 62
"Walaupun وَاَخْبَرُوا بِاسْنَيْنِ اَوْبِاَكْثَرَ عَنْ وَاحِدِ Ulama' nahwu mempperbolehkan mubtada' satu mempunyai dua khobar bahkan lebih, Tapi aku...
1.3M 122K 60
"Jangan lupa Yunifer, saat ini di dalam perutmu sedang ada anakku, kau tak bisa lari ke mana-mana," ujar Alaric dengan ekspresi datarnya. * * * Pang...