point of view

By dyobokki

12.6K 1.6K 206

[heroine of you spin off] It was just how it went. More

🌙
Ruang BEM
Kamera Kiki
Salah Sangka
Formulir Band
Ankle Sprain
Audisi Band (a)
Audisi Band (b)
Foto & Sheila On 7
Brownies
Jadi... Nggak Usah?
Brian, Wina, Dan Kantin
Resah
Hari Bersamanya
The Beginning And The Farewell
The Untold Things
Rest Area
Cerita Dari Bang Sandi
Made Up
Antara Jishaka Dan Saras
Skripsi
Nuraga Dan Tugas Akhir
Graduation
And Now Jakarta
Janendra Adimas Wicaksono
Saras Atau Vidya?
Very First Kiss, They Think
Delicate
Message In The Bottle; Abrian
Sweet Nothing; Nuraga (1)
⭐️ The Projector, Context, and Playlist

Si Sulung Dan Si Bungsu

363 46 5
By dyobokki

Ayu merentangkan tangannya tinggi begitu membuka mata. Ia memijat lehernya yang terasa cukup pegal karena tidur dengan posisi kepala yang miring selama berjam-jam. Langit masih gelap dan Ayu melihat jam yang tertera di mp3 player mobil Aga masih menunjukkan pukul 04.20.

Di sebelahnya, Aga juga masih tertidur pulas dengan wajah yang ditutupi snapback putih miliknya. Ayu menegakkan kursi yang semalam sengaja ia baringkan.

Semalam, Aga bilang pada Ayu hanya ingin memejamkan mata setengah jam karena sangat kurang tidur saat mengurus pemakaman Bima. Selagi menunggu Aga bangun, Ayu membaca materi untuk persiapan UAS, tapi Ayu tetaplah Ayunda yang tidak bisa menahan ngantuk. Baru saja membaca dua lembar, Ayu juga ikut tertidur.

Ia menggoyangkan bahu Aga pelan, membangunkan lelaki itu dan mengingatkannya untuk pulang.

"Ga..."

Kepala Aga bergerak, ia menyingkirkan snapback dari wajahnya. Mata sipitnya masih terbuka setengah dan menatap Ayu dengan pandangan sayu.

"Udah mau subuh."

Tubuh Aga langsung menegak dan memakai topinya di kepala.

"Astaga kebablasan aku tidurnya."

"Maaf ya, aku harusnya bangunin kamu, tapi malah ikut ketiduran."

Aga menegakkan dan memajukan kursinya.

"Mau cuci muka dulu nggak?" Tanya Aga, tangannya sudah bersiap memegang kemudi.

"Aku bawa tissue basah sih, mau usap muka pake itu aja."

Ayu membuka tas selempangnya yang ia taruh di samping kiri dekat pintu, ia mengambil dua lembar dan diberikan kepada Aga. Lelaki itu langsung mengusap wajahnya dengan tissue basah, begitupun Ayu.

Aga merasakan hidungnya sangat gatal dan ada yang menyumbat di pernapasannya. Ia membuka pintunya lebar.

Haaachiiiimmm

Dan akhirnya bersin.

Ayu langsung menoleh begitu Aga menutup kembali pintunya dan mengusap-usap hidungnya yang sudah merah.

"Ga, kamu flu?"

"Nggak tau nih, kok hidungku gatel banget ya? Kayak agak mampet juga."

Aga membuang tissue basahnya ke tempat sampah kecil yang ada di dekat persneling.

"Kan bener pasti ketularan. Kamu sih—"

Ayu menggigit bibir bawahnya, merasa sangat khawatir namun di saat yang bersamaan ia juga merasa bersalah. Harusnya ia nggak mengiyakan Aga semalam.

"Haha first kiss aku kok malah ketularan kamu sakit sih."

"Lagian siapa suruh minta cium."

"Kamu juga mau kan?" Aga memasang tampang jahilnya pada Ayu.

"Tau ah!"

Ayu juga tidak punya alasan untuk mengelak, ia juga bingung kenapa semalam ia tidak menolak. Tangannya bersedekap dan membuang mukanya dari Aga.

"Tapi, nggak apa-apa tau, Ay. Kan jadi berkesan, kalau diinget-inget buat nanti."

"Sssttt... Diem. Ayo pulang aja, keburu mataharinya muncul."

"Nggak mau nyari sarapan dulu?"

"Boleh deh. Nasi uduk yuk. Sekalian kamu habis itu minum obat, kita ke apotik dulu ya."

"Nggak usah minum obatlah—"

"Ga, minum. Biar cepet sembuh. Kakak kamu dokter masa kamu sakit kayak gini nggak minum obat sih."

Aga mencubit pipi Ayu, "Iya iya bawel banget ya kamu. Bang Gibran aja nggak pernah protes kalau aku nggak pernah berobat."

Ayu berdecak sebal dan menyuruh Aga agar segera melajukan mobilnya.

—-

"Bang, udah balik?"

Ajun yang sedang duduk di ruang tengah menyapa Aga yang baru saja masuk ke dalam kost. Aga nggak langsung masuk ke dalam kamar, ia duduk dulu di sofa, membanting tubuhnya di sebelah Ajun. Kepalanya bersender dan tangannya menutupi wajahnya. Sejak sampai tadi, tiba-tiba badannya terasa lemas dan kepalanya sangat pusing, belum lagi hidungnya yang tersumbat membuat Aga susah untuk bernafas. Satu tangannya memegang kantung plastik berisi obat yang tadi sempat dibelikan Ayunda saat mampir ke apotik pinggir jalan.

"Kenapa lu bang? Sakit?"

"Agak capek aja." Jawab Aga dengan suara yang sangat lemas.

"Nggak usah balik harusnya mah. Di rumah aja, kan ada bang Gibran."

Aga menyingkirkan tangannya dan menepuk bahu Ajun, "Gue masuk kamar dulu."

Ia berdiri secara perlahan dan berjalan menuju kamar dengan langkah yang linglung.

"Perlu gue kasih tau mbak Ayunda nggak?" Ajun sedikit teriak.

"Ayu udah tau!" Jawab Aga.

Loh? Udah tau?

Entah kenapa terasa sangat janggal bagi Ajun. Ya... wajar sih, namanya juga orang pacaran pasti saling mengabari kalau terjadi sesuatu. Tapi, Ajun tetaplah Ajun yang sangat ingin tahu oleh semua hal dan jika ada sesuatu yang janggal pasti langsung ia cari tahu kenapa.

Ajun langsung menghubungi Ayu via pesan. Dan langsung dibalas. Lebih anehny lagi, sangat tumben Ayu membalas pesannya dengan voice note.

Loh kok... Suaranya mbak Ayu juga aneh ya?

Kok dua-duanya jadi sakit begini?

—-

Tangan Ayu masih bergantung di depan pintu cafe, hendak mendorongnya. Seharusnya Ayu masuk sekarang, tapi entah kenapa rasa gugup itu tiba-tiba memuncak ketika ia menemukan tempat dimana Gibran sedang duduk menunggunya. Sesuai dengan deskripsi yang Aga kirim, Gibran sedang memakai baju scrub jaga rumah sakit berwarna biru muda dan dilapisi jaket berwarna abu-abu.

Saat Ayu sedang mengerjakan tugasnya di perpustakaan, tiba-tiba Aga mengiriminya pesan, meminta Ayu untuk datang ke Cafe Delapan untuk menemani Gibran mengobrol sebentar. Karena Aga masih ada kelas dan harus absen pulang sore di studio terlebih dahulu, jadi kemungkinan sedikit lama.

Nggak apa-apa, Ay. Kenalan aja kok kata Aga.

Setelah tiga kali menarik dan membuang nafas, Ayu mendorong pintu kafe. Bunyi dentingan dari lonceng yang terpasang, menyadarkan barista yang sedang berjaga dan menyapa Ayu. Ayu membalas dengan bungkukan badannya. Ia berjalan lurus, mengeratkan pegangannya pada tali ransel yang ia pakai.

Setelah semakin dekat dengan Gibran, Ayu berdehem pelan, berdiri dengan jarak yang cukup dekat dari Gibran.

"Bang Gibran ya?" Sapa Ayu.

Lelaki dengan postur tubuh sedikit kekar dan tinggi itu menoleh ke belakang, menemukan Ayu yang sedang berdiri sambil tersenyum kikuk. Ayu cukup kaget karena Gibran dan Aga sangat mirip. Hanya saja postur tubuh Gibran yang sedikit lebih besar dari Aga.

"Iya. Ayunda?" Tunjuk Gibran pada Ayu.

Ayunda mengangguk, lalu Gibran menarik kursi, mempersilakan Ayu duduk di hadapannya.

"Silakan duduk."

Kepala Ayu mengangguk dan duduk dengan perlahan, ia melepas ranselnya dan meletakkannya di bawah kursi.

"Gue Gibran, abangnya Aga."

Gibran menjulurkan tangannya, Ayu balas menjabat tangan Gibran.

"Ayunda."

Jabatan tangan Ayu dan Gibran terlepas, "Akhirnya gue ketemu lu juga, sebelumnya cuma bisa denger dari ceritanya Aga."

Ayu hanya bisa menyengir kikuk. Ia baru sadar di hadapannya sudah ada satu gelas milkshake coklat.

"Oh iya, silakan diminum, tadi Aga yang nyuruh gue pesen ini buat lu. Katanya ini menu kesukaan lu kalau kesini."

"E-Eh iya, makasih, Ka— maksudnya bang."

Aduh, Ay, jangan malu-maluin keliatan banget lagi gugup.

Ayu mulai menyeruput milkshake coklatnya dengan perasaan sedikit sungkan. Gibran hanya bisa terkekeh pelan melihat Ayu yang sangat kentara sedang gugup.

"Bener kata Aga."

"Hmm?" Ayu mengangkat kepalanya mendengar ucapan Gibran, "Kata Aga kenapa bang?"

"Katanya kalau gue ketemu lu, harap maklum soalnya lu agak pemalu."

"Hah? Demi apa Aga bilang gitu?"

"Haha iya... Dia juga cerita ke Ibu. Kan ibu suka nanya lu orangnya kayak gimana, Aga pasti ceritanya kalau lu itu pemalu."

"Astaga..."

Ayu sedikit nggak percaya ternyata Aga mendeskripsikannya selama ini sebagai cewek yang pemalu. Padahal cowok itu selalu memarahi Ayu dan bilang, jangan malu-maluin.

"Padahal aku nggak se-pemalu itu. Aga yang agak lebay kayaknya." Ayu membela diri sendiri.

"Haha nggak apa-apa kali, Ayu. Aga juga semangat banget setiap dia cerita sama ibu tentang lu."

"Aga cerita apa emangnya?"

"Ya begitu pokoknya... Dia nggak berhenti muji-muji lu terus. Padahal ini bukan pertama kali Aga pacaran, gue sama ibu aja sampe bingung ngeliat dia semangat banget. Padahal lu tau sendiri kan si Aga orangnya se-lempeng apa?"

"Bang Gibran bercanda ya?" Ujar Ayu sambil tersenyum malu-malu.

"Yaaahhh, masa nggak percaya sama gue, Ay-- eh apa ya gue manggilnya? Ay? Ayu? Yu?"

"Boleh apa aja kok."

"Haha oke oke..."

Gibran menjeda ceritanya sebentar dan menyesap americano yang ia pesan.

Persis banget kayak Aga, sukanya americano.

"Aku boleh nanya nggak?" Ucap Ayu sedikit ragu.

"Tanya apa aja boleh, Yu. Nggak usah sungkan, gue bakal bongkar, selama Aga belum datang."

"Hehe... Aga kalau di rumah kayak gimana, bang Gibran?"

Gibran menyenderkan punggungnya, "Mmm... Gue sebenernya kadang ngeliat Aga kayak orang-orang ngeliat dia aja. Ya pendiem banget, setuju nggak?"

Ayu mengangguk setuju, untuk bagian itu, Ayu sangat sepakat dengan Gibran.

"Dulu waktu kita kecil, gue sama Aga selalu ditinggal berdua di rumah yang di Jakarta sebelum ortu kita pensiun. Selain itu, bokap nyokap juga suka bolak-balik Jakarta-Lembang karena emang pengen banget punya penginapan. Gue juga nggak terlalu sering bareng sama Aga, karena gue sibuk sekolah, Aga juga. Jadi, kita cuma punya waktu sedikit buat berdua, paling ya kalau ada, kita pake buat main game bareng."

Gibran meminum americano miliknya lagi.

"Bokap juga orangnya agak keras dan kaku, dan dari sikap bokap itu, Aga jadi keikut pendiem dan susah buat terbuka sama orang lain. Mungkin karena selama kecil Aga nggak ada teman cerita dan teman main, dia jadi agak tertutup orangnya. Temen-temennya bilang Aga ini agak jutek, keras, arogan, dingin. Tapi, sebenernya Aga nggak gitu kok, dia sama kayak anak-anak lain. Aga punya rasa takut, dia sebenarnya lemah, kadang kalau dia lagi sedih paling ngurung diri di kamar, kadang cerita juga sama gue kalau dia butuh saran, Aga juga banyak kekhawatiran, tapi emang nggak pernah dilihatin aja."

Ayu benar-benar menyimak cerita dari Gibran, melihat pandangan orang lain tentang Aga dari orang terdekatnya, dari seseorang yang berasal dari darah yang sama.

"Dan kita pindah ke Lembang waktu Aga kelas 6 SD dan gue baru masuk SMA. Bokap nyokap pensiun di waktu yang bersamaan. Di sini Aga mulai membuka diri, dia mulai banyak cerita sama nyokap, dia mulai merasa punya tempat bersandar. Nggak cuma itu, waktu masuk SMP, Aga ketemu Bima, temennya yang baru meninggal kemarin, lo tau kan?"

Ayu mengangguk. Ia menumpu pipinya dengan satu tangan, kembali memerhatikan cerita dari Gibran.

"Semenjak pindah ke Lembang, Aga benar-benar sedikit berubah, meskipun masih banyak cerita-cerita tentang Aga yang nggak sebaik itu. Tapi, Bima kebalikannya, dia benar-benar berteman sama Aga dan melihat Aga sebagai orang yang berbeda. Mereka selalu main berdua, Bima yang ngenalin Aga ke musik, tapi sayang aja, Bima nggak seberuntung Aga. Orangtuanya nggak akur, jadi dia sering nginap di rumah kalau orangtuanya mulai berantem."

"Ngerti banget kenapa Aga kemarin nangis setelah balik dari pemakaman Bima."

Gibran mengangkat kedua alisnya bahkan sampai tubuhnya menegak kembali dan menyenderkan tangannya di meja, berpikir apakah Ayu tidak salah bicara?

"Aga nangis, Yu?"

Ayu mengerjap sebentar dan mengangguk yakin, "Iya... Dia nangis."

"Serius?" Raut wajah Gibran seperti tidak percaya.

"Serius, bang. Emang dia nggak nangis waktu di pemakaman Bima?"

"Terakhir kali gue lihat Aga nangis tuh waktu kelas 3 SD sumpah. Itupun karena crayon kesayangan dia hilang. Dan setelah itu bokap gue marahin dia gara-gara bokap ngelarang anak cowoknya nangis. Wah... Udah berapa lama sih kalian pacaran?"

Ayu mengingat-ngingat sejenak, "Enam bulan."

"Ibu gue juga dateng ke pemakaman Bima sampai nemenin nyokapnya Bima dan ibu juga cerita Aga nggak nangis sama sekali."

Gibran masih terpukau dengan fakta bahwa Aga, adiknya sendiri, yang terlihat sangat tidak punya emosi, menangis di hadapan seorang Ayunda. Padahal dihitung-hitung usia hubungan mereka juga masih dibilang cukup singkat.

"Eh-- Ini aku nggak apa-apa cerita kayak gini ke bang Gibran?"

"Nggak apa-apa kali, Yu. Tenang aja, bakal gue jaga rahasia lu."

"Takutnya Aga malu kalo aku cerita tentang ini. Kayaknya personal banget."

Ayu menggaruk puncak kepalanya yang sebenarnya tidak gatal.

"Haha santai, Yu. Kalau gitu, gue minta tolong jagain Aga aja. Kayaknya dia emang udah percaya banget sama lu. Atau karena emang lu mahasiswi psikologi ya, jadinya aura lu tuh bikin orang kepengen cerita, gue juga nggak sadar ternyata udah cerita sebanyak ini sama lu haha." Canda Gibran.

"Haha masa bisa gitu sih, bang. Ada-ada aja aura mahasiswi psikologi." Ayu mengaduk milkshakenya yang sudah tidak terlalu dingin, akibat terlalu lama mengobrol dengan Gibran.

"Ini bang Gibran habis jaga atau baru mau berangkat ke RS?" Tanya Ayu.

"Habis jaga semalem, kebetulan hari ini gue libur, jadi sekalian aja nuker mobil."

"Internship ya? Eh-- atau udah selesai iship?"

"Iya, baru intership tahun kedua gue. Doain ya, Yu. Setahun lagi selesai iship gue."

Ayu menangkupkan kedua tangannya, "Aamiin. Semoga lancar. Terus habis selesai iship? Lanjut jadi dokter umum dulu? Atau lanjut spesialis?"

"Kok lu tau sih tahapan dokter gitu, Yu? Orangtua lu dokter?" Gibran cukup terkesima dengan obrolannya dengan Ayu yang cukup nyambung.

Ayu menggeleng cepat, "Temen aku kan ada yang masuk kedokteran juga, terus dia ceritain tahapan-tahapan jadi dokter gitu."

Gibran mengangguk paham, "Mau jadi dokter umum dulu sih, soalnya mahal juga masuk spesialis, ngumpulin duit dulu gue. Ya... Meskipun nyokap bokap mampu, tapi gue berusaha nggak ngeberatin dulu."

"Kalau jadi spesialis mau masuk bagian apa, bang?"

"Penyakit dalam sih kayaknya."

Mulut Ayu menganga karena takjub. Baik Aga dan Gibran, keduanya memiliki sisi yang keren. Aga terkadang juga bercerita tentang jurusannya di arsitektur, meskipun Ayunda terkadang nggak mengerti tentang istilah arsitektur, tapi dilihat dari trivia yang Aga berikan, Ayu tahu bahwa pengetahuan Aga sangat luas. Semester lalu juga Aga berhasil mempertahankan gelar mahasiswa berprestasi.

Kalau sudah seperti ini, Ayu merasa nggak ada apa-apanya. Di masa lalu apa yang dia lakukan ya sampai harus terjebak di lingkaran orang-orang keren seperti ini?

Dentingan lonceng dari pintu kafe mengalihkan perhatian Ayu dan Gibran, mereka berdua menoleh dan ternyata Aga sudah datang, dengan kemeja flanel berwarna abu dan rambutnya yang sedikit berantakan. Ia berjalan menuju meja Ayu dan Gibran, menepuk pundak kakaknya dan duduk di sebelah Ayunda.

"Gue liat-liat serius banget ngobrolnya." Ujar Aga pada Gibran.

"Haha iya, lagi ngomongin lu soalnya."

Aga menoleh ke arah Ayu, "Abangku cerita yang aneh-aneh ya, Ay?"

Ayu mengangguk, berusaha ingin mengerjai Aga, "Nggak nyangka aku, ternyata kamu waktu kecil gitu ya."

"Apa? Kenapa?"

"Nggak deh. Rahasia antara aku sama bang Gibran." Ayu menjulurkan lidahnya.

"Wah... Aku minta kamu nemenin bang Gibran udah ada aja bahan ghibahan. Harusnya biarin aja bang Gibran sendiri nunggu aku lama di sini."

Ayu dan Gibran tertawa kecil, melihat raut Aga yang terlihat penasaran. Aga mengeluarkan kunci mobil yang ia taruh di dalam tasnya dan meletakkannya di atas meja, di hadapan Gibran. Begitupun Gibran yang menyerahkan kunci motor milik Aga di hadapannya.

"Jaga lu bang hari ini?"

"Nggak. Libur gue. Habis jaga malem tiga hari, capek banget, ngantuk."

"Ya udah sana balik gih."

"Anjir lu, ngusir gue?"

"Lah tadi katanya capek, balik sana."

"Bilang aja lu mau pacaran sama Ayunda."

"Iya. Kenapa? Siapa suruh pacaran tapi LDR."

"Songong lu."

Ayu hanya bisa tersenyum melihat kakak-beradik yang sedang adu mulut ini. Gibran memakai topinya, kalau memakai topi Gibran benar-benar terlihat mirip Aga.

Ya iyalah, Ay. Mereka kan adik kakak.

"Gue balik, mau tidur dulu. Yu, inget yang tadi ya." Gibran mengangkat kedua alisnya.

Ayu mengacungkan satu jempol, "Siap bang."

"Gendeng, udah akur banget kayaknya." Komentar Aga.

"Oh iya, kopi lu ambil aja ke kasir, tadi udah gue pesenin, gue minta dibikin pas lu minta aja. Bilang pesanan Gibran gitu."

"Thanks, bang."

Gibran bangkit dari duduknya, mengambil tasnya yang ia simpan di bawah meja dan merangkul ranselnya. Ia berpamitan pada Ayu dan Aga. Kini hanya menyisakan mereka berdua, Aga berpindah tempat duduk, berhadapan dengan Ayu.

"Abangku cerita apa aja?" Tanya Aga begitu meletakkan tasnya di bawah kursi.

"Dibilang rahasia."

"Gitu ya kamu, nggak usahlah deket sama abangku lagi."

"Kan aku maunya deket sama kamu doang." Ayu tersenyum genit, berusaha meledek Aga.

"Kalau aku nggak mau gimana?"

Ayu melempar Aga dengan tissue bekas ia mengelap coklatnya yang menetes di atas meja.

"Ya ampun bercanda. Marah-marah terus kamu ini."

Padahal ini pertemuan pertama mereka setelah satu minggu harus menahan rindu karena sibuk dengan minggu-minggu ujian. Ayu yang harus belajar materi yang menumpuk dan Aga yang sibuk dengan tugas besarnya, sehingga harus mendekam di studio jurusan.

"Kangen, Ay." Aga mengambil tangan Ayu yang tergeletak di atas meja.

Ia menangkup tangan gadisnya dan mengecupnya pelan, membuat nafas Ayu tertahan. Lagi-lagi, jika sudah begini wajah merona Ayu mulai muncul dan Aga senang melihatnya.

"Aku juga." Balas Ayu lembut.

Aga mengusap kedua punggung tangan Ayu dengan kedua ibu jarinya.

"Aku mau ambil kopi dulu ya ke kasir, tunggu di sini, jangan kemana-mana."

"Hah? Mau kemana emangnya? Kan kamu masih di sini."

"Soalnya kamu udah lari-lari di pikiran aku."

Ayu menganga tidak percaya dengan kalimat gombalan Aga tadi. Ini momen langka. Untuk pertama kalinya, setelah enam bulan berpacaran. Mendengarnya saja membuat Ayu merinding, nggak biasanya Aga begini. Dilihatnya Aga sudah melengos ke kasir, setelah merasaa tidak bersalah setelah mengucapkan kalimat terlarang tadi.

Kembali ke tempatnya, Aga sudah memegang cup americano. Ia tersenyum aneh pada Ayu.

"Gimana gombalanku tadi? Bikin merinding nggak?"

Bahu Ayu bergidik, masih merasa ucapan Aga tadi terdengar sangat horror.

"Kamu waktu pacaran dulu sering gombalin mantan kamu ya?" Tuduh Ayu.

"Haha mana ada. Percaya nggak meskipun ini bukan pertama kali aku pacaran, tapi aku ngelakuin ini semua pertama kali sama kamu?"

Ayu memandang Aga nggak percaya, "Mana ada pacaran nggak ngapa-ngapain?"

"Kayak kamu pernah aku apa-apain aja. Atau ngarepin aku apa-apain?"

"Aga!" Ayu melotot pada Aga yang sedang santai menyesap kopinya.

"Serius, Ay. Dulu aku juga bingung pacaran ngapain aja, kayak temenan biasa aja, cuma bedanya ada status. Biasalah anak SMA cuma ikut-ikutan doang kepengen pacaran. Paling ya aku nganter dia pulang atau jemput dia ke rumah kalau dia minta."

"Pacaran di kafe kayak gini nggak pernah?" Ayu mulai penasaran.

"Anak SMA mana ada pacaran ngafe kayak gini, nggak cukup duit jajannya."

"Ih... Temen-temenku dulu kadang kalau pacaran ke kafe."

Aga terkekeh geli karena Ayu terlalu polos untuk ini, "Kalau aku sih nggak, mentok ngobrol berdua di kantin."

"Nggak berkesan banget kamu tuh." Komentar Ayu.

"Emang kalau diingat juga biasa aja buat aku, cuma fase remaja aja. Kalau dibilang cinta monyet pun nggak. Makanya itu kenapa, aku mau yang sekarang ini, sama kamu, berkesan. You're not my first ever girlfriend, but you're my first ever lover. Aku mau apapun yang berkesan pertama kali sama kamu."

Mendengar perkataan Aga, Ayu jadi teringat cerita dari Gibran tadi. Terbukti dari lambat laun berjalannya waktu, ia semakin mengenal Aga bukanlah pribadi yang ia kenal pertama kali. Ayu merasa Aga sudah banyak menceritakan banyak hal padanya, tentang kesedihan, rasa senang, dan semua yang Aga rasakan.

"Kalau kamu, serius nggak pernah pacaran?" Tanya Aga bergantian, penasaran dengan Ayu.

"Beneran."

"Kenapa? Nggak punya temen waktu sekolah dulu?"

"Enak aja, gini-gini aku juga sempet ada yang naksir tau!" Ayu protes dengan tuduhan Aga.

"Coba cerita, aku mau denger."

Aga menyilangkan tangannya di meja dan tubuhnya maju sedikit, bersiap mendengarkan Ayu cerita.

"Aku bingung mau cerita dari mana, tapi yang jelas dulu ayah nggak ngizinin aku pacaran, karena ayah pengen banget aku masuk perguruan tinggi negeri. Ayah bilang, pacaran cuma buang-buang waktu aja, bikin aku lupa belajar. Emang sih dulu nggak pacaran aja aku males belajar hehe." Ayu tersenyum kikuk, "Terus yaudah, ayah daftarin aku bimbel sampe jamku penuh banget. Dan nggak tau kenapa, aku justru masuk ke kampus ini lewat jalur SNMPTN. Bayangin, seseorang kayak aku yang nggak pernah masuk lima besar di kelas, keterima di kampus ini, jurusan psikologi lagi."

Aga mendengarkan Ayu dengan teliti, tersenyum kecil melihat ekspresi Ayu yang menggemaskan begitu bercerita detail dengan kehidupannya.

"Jadi, kalau ada kesempatan buat pacaran ngumpet-ngumpet juga kayaknya nggak sempet hehe. Otakku udah mumet mikirin bakal keterima PTN atau nggak. Ayah bilang sih, kalau bisa, aku jadi contoh buat Adimas, makanya kenapa aku berharap banget masuk PTN dan nggak mau kecewain ayah." Lanjut Ayu.

"Tapi kamu pernah dideketin cowok waktu sekolah dulu?"

Ayu mengangguk, "Bukannya kepedean, tapi aku tuh udah ditembak dua cowok. Pertama kakak kelas, tapi yang itu anggap aja nggak pernah deketin aku."

"Loh kenapa?"

"Agak ngeselin, dia mau pacaran sama aku buat dipamerin doang, itu juga aku tau dari temen ceweknya yang kebetulan lumayan deket sama aku juga."

"Kamu tenar banget ya?"

"Nggak... Aku juga bingung, kalau pacaran sama aku apa coba yang mau dipamerin."

"Terus cowok kedua?"

"Temen sekelasku hehe. Namanya Dyorama."

"Kamu tolak?"

Ayu mengangguk pelan, "Aku tolak baik-baik sih, untung Dyo anaknya baik dan nggak macem-macem. Akhirnya kita temenan aja."

Kedua bahu Ayu terangkat, merasa selesai dengan ceritanya, ia juga bingung menceritakan apalagi pada Aga. Ia merasa cerita masa SMAnya terlalu hambar untuk diceritakan. Nggak ada yang berkesan sama sekali. Padahal Ayu juga ingin seperti teman-temannya yang punya cerita manis cinta monyet semasa SMA. Tapi, Ayu tidak punya itu. Ia tidak diberi kesempatan untuk jatuh cinta. Tidak sampai Aga datang di kehidupannya.

"Udah kayaknya cerita aku itu aja, aku bingung mau cerita apa."

"Tapi, sekarang udah dibolehin pacaran kan sama ayah?"

Ayu terdiam. Tidak tahu jawaban persisnya. Ia bukan seperti Aga yang bisa terbuka pada ibunya sendiri. Ayu sendiri tidak berani menceritakan tentang hubungannya pada ayah ataupun bunda, yang tahu di keluarganya hanya Adimas. Itu pun Ayu meyakinkan Dimas agar tidak menceritakan ini pada bunda dan ayah sampai Ayu sendiri yang siap. Bagaimana jika ayah melarangnya dan menyuruhnya putus pada Aga? Ayu tidak mau.

"Kok diem, Ay?"

"Nanti aja, aku cerita ke ayah kalau udah siap."

Aga menghela nafasnya, tangannya terulur mengusap kepala Ayu pelan.

"Terus, kenapa kamu mau pacaran sama aku?"

Pertanyaan Aga kembali membuat Ayu terdiam. Pertanyaan yang sebenarnya menyimpan beribu jawaban bagi Ayu. Bahkan jika Ayu menjawab, ia bisa menghabiskan seluruh waktunya untuk menjelaskan pada Aga kenapa ia memilih Aga.

"Karena... aku ngerasa nggak pernah takut ngehadapin apapun selama ada kamu." Jawab Ayu lembut, "Hehe cheesy banget ya, aku nggak bisa ngerangkai kata-kata gitu, I want to answer it in simple way, tapi aku nggak bisa. Jawabannya tuh banyak."

Aga kembali menangkup tangan Ayu ke dalam genggamannya, "Kalau gitu... Jawabnya dicicil setiap hari, selama kamu masih ada di samping aku."

And I can still see it all (In my mind)
All of you, all of me (Intertwined)
I once believed love would be (Black and white)
But it's golden (Golden)
And I can still see it all (In my head)
Back and forth from New York (Singing in your bed)
I once believed love would be (Burning red)
But it's golden
Like daylight, like daylight

—-

pov ajun

pov aga

balik pov ayu ngabarin aga

tweet layanan masyarakat

Continue Reading

You'll Also Like

2.3K 149 9
[Cerita Sudah Lengkap] Bagaimana jika kita mencintai seseorang yang lebih tua dari kita? Yup, inilah yang dirasakan Kunal saat ini. Dia amat mencinta...
2.7K 276 24
Entah bagaimana hidup setelah ini, yang Chimon tahu cintanya sudah habis pada satu orang. Namun bagaimana jika perasaannya yang ia kira telah mati p...
5.4K 622 21
Kim Seokjin adalah seorang mantan detektif yang kini menjadi otak dari semua kasus penipuan besar tanpa pernah ketahuan. Bae Joohyun adalah seorang a...
114K 23.1K 106
Namanya yang kedua, ya selalu dinomor duakan. Started : 2020 August 28th Finished : 2020 December 30th