Danum Senja

Galing kay aldinawa

16.6K 3.1K 3.7K

"Kalau kemarin aku nggak bangun lagi, mungkin itu bakal jadi kado paling indah buat ulang tahun ayah." Singka... Higit pa

01 - Awalan.
03 - Sadar
04 - Apes
05 - Siapa yang Modus?
06 - Harusnya Gimana?
07 - Tunggu Sampai Pulang?
08 - Secepatnya
09- Mabuk Ketan?
10 - Nggak Usah Manja
11 - Kenapa Nggak Coba?
12 - Kalau Sama Terus Apa?
13 - Janji dan Maaf
14 - Capek
15 - Him
16 - Beruntung Bertemu
17 - Better Than What?
18 - Kita Nanti
19 - Second Chance
20 - Foto Keluarga
21 - Janji Lagi
22 - Salah Ku
23 - Benci Sekali
24 - Selamat Ulang Tahun
25 - Gagal Dirayakan
26 - Jangan Dulu Mati
27 - Bagaimana Rasanya Dunia Tanpa Dia

02 - Pangeran Roti Sobek

1.1K 201 248
Galing kay aldinawa

Harap dimaklumi jika terdapat kesamaan nama tokoh, tempat, alur, atau peristiwa. Udah mirip disinetron sinetron ngga?

This is my first story, sedikit spill aja kalau cerita ini udah aku keep sekitar 2 tahun sebelum akhirnya aku publish. Silahkan bersikap netral dan open minded dalam membaca.

™Enjoy

•••••


Bahu Senja ditepuk pelan, gadis itu menoleh.

"Lo dipanggil sama Pak Ponco," mendengar itu dia menaikan kedua alisnya bersamaan.

"Udah kangen aja?" Shendy tak bisa menahan sudut bibirnya, cowok itu tersenyum geli.

"Gila lo?"

"Loh, beneran! Pak Ponco cuma alesan doang, dia tuh pengin ketemu aja sama gue sebenernya." kepala Shendy menggeleng tak percaya dengan apa yang dia dengar. Temannya sudah gila?

"Sadar!Sadar, Ja... "

"Nanti kalau suka beneran, lo sendiri yang repot!" cowo itu memekik sambil mengguncang tubuh gadis didepannya. Yang sontak membuat Senja tertawa keras dengan kedua mata menyipit nyaris menutup sempurna.

"Kalau Pak Ponco yang suka gue, gimana?" pertanyaan itu sukses membuat Shendy tak bisa berkata-kata, dia bergidik ngeri melihat Senja yang makin tak waras.

"Lo belum beneran gila 'kan? Ngaku ke gue, sekarang!" cowok itu mengguncang tubuh Senja kesetanan, sungguh belum pernah dia melihat Senja seperti ini. Shendy takut sendiri.

"Stop! Rambut gue berantakan. Nggak sopan, 'kan mau ketemu pangeran roti sobek." sekali lagi gadis didepannya benar-benar membuat Shendy merinding. Dia menurunkan kedua tanganya dari bahu Senja. Memberikan tatapan menyelidik setengah jijik. Pikirannya jadi kemana-mana.

"Roti sobek?" gadis didepannya mengangguk, dia menunjuk perut Shendy. "Itu 'kan? Kotak-kotak diperut?"

"Lo udah ngapain aja sama Pak Ponco? Kok bocah polos kayak lo tau roti sobek?"

Bibir Senja sedikit mencebik kedepan, dengan tatapan menerawang dia terlihat seeprti sedang berpikir. "Dari Mega. Katanya kalau cowok tuh harus punya perut kotak-kotak. Pak Ponco 'kan guru olahraga disini, jadi roti sobeknya paling bagus harusnya." papar Senja yang kini lansung kehilangan image cewek badasnya.
Siapapun dikelas ini tau, kalau sebenarnya Senja itu kadang terlihat begitu bodoh karena sering cengo. Bahkan suka lemot juga, budek, dan masih tergolong polos untuk ukuran anak gadis seusianya.

"Salah bergaul sama Mega."

Shendy menatap gadis didepannya serius, "Lo mau melakukan pembuktian nggak?"

"Apa?" sahut Senja penasaran, "Buktikan predikat 'Pangeran Roti Sobek' punya Pak Ponco."

Dia berkedip pelan, masih tak mengerti maksud ucapan temannya ini. "Lo harus observasi langsung. Gini, gini, lihat punya gue."

Senja masih saja serius, bahkan saat cowok itu sedikit mengangkat seragam dan kaos putih tipis didalamnya. "Punya gue kayak gini, jadi punya Pak Ponco harus lebih bagus. Ngerti?"

Gadis itu bahkan tak menaruh prasangka apapun saat seharusnya dia sadar sedang dikerjai oleh Shendy.

•••••

Diketuk pintu kayu ruang guru yang memang sudah terbuka. "Permisi," baru saja setengah badannya masuk, tangan Ponco langsung bertengger diwajahnya hanya untuk menggiring dia keluar.

"Pak!!" Senja berdecak sambil menepis tangan guru muda itu. "Skincare saya mahal, tangan bapak bau ikan asin." desisnya dengan mulut yang sudah manyun karena kesal.

"Nggak usah alay. Saya makan pakai sendok."

Gadis itu menyapu wajahnya pelan, dia tak berbohong kalau tangan laki-laki itu memang bau ikan asin. "Skincare saya kehilangan fungsi, udah terkontaminasi sama tangan kotor, Bapak."

"Saya beliin," sahut Ponco sambil menatapnya malas.

"Nafkahin?" helaan nafas kasar meluncur dari bibir laki-laki itu, Senja membuat ulah lagi. "Bapak mau nafkahin saya?!"

Ponco dibuat kaget bukan main saat muridnya itu kian meninggikan suara dengan lantang. Padahal dia tau banyak manusia berseliweran disini. "Mulutnya, Ja!"

"Mulut saya kenapa?" ditatapnya laki-laki itu dengan wajah dramatis yang sangat tidak pantas sebenarnya.

"Jangan bilang bapak tergoda sama bibir saya. Miris, nggak bisa cium sekarang. Belum dihalalin soalnya--"

"Astaghfirullah. Senja jaga bicaranya!" akan jadi masalah besar kalau sampai ada yang mendengar ocehan tak berbobot muridnya itu.

"Kamu mau saya dipecat?!" kali ini suara Ponco terdengar tajam. Sebelum laki-laki itu marah padanya, Senja lebih dulu menyuguhkan cengiran kuda. "Damai, Pak.Canda doang," begitu katanya sambil mengangkat kedua jarinya sebagai tanda damai.

"Bercanda kamu nggak lucu buat jantung saya, Ja." sungut Ponco yang lagi-lagi harus menahan kekesalannya atas semua ulah Senja.

"Takut jatuh cinta beneran, ya?" kekeh Senja sambil menaik-turunkan kedua alis tipisnya. Puas sekali menggoda Ponco.

"Jatuh cinta? Nggak mungkin. Tipe saya perempuan anggun, bukan bocah brutal kayak kamu!" seru laki-laki itu yang langsung mendapat cubitan keras diperutnya. Senja tak terima, padahal ucapannya pada gurunya itu jauh lebih pedas dan frontal biasanya.

Ponco mengaduh, perih. Dia tak melebih-lebihkan, tenaga gadis itu memang diatas rata-rata.

"Bapak kira saya mau sama cowok kerempeng kayak bapak?" geram Senja yang tak terima diledek tadi.

"Kamu ngatain saya kerempeng? Tubuh ideal saya nggak keliatan dimata kamu? Dengan proporsi kayak gini? Kamu, ngatain saya kerempeng?"

Bukan hal baru melihat Senja yang tak segan mengajak ribut siapapun. Beberapa orang yang melewati mereka sudah biasa melihat drama begini. Lagian koridor ini bukan tempat ramai juga, hanya ada satu dua orang yang mereka lihat.

"Ideal? Mana yang bisa saya verifikasi, perut bapak aja rata kayak punya saya!" gadis itu melipat kedua tangan didepan dada, alisnya menukik tak suka.

"Rata? Rata kamu bilang?" Ponco turut menggebu, dia paling tak bisa jika tubuhnya sudah menjadi bahan ledekan seperti ini.

"Faktanya emang gitu." seolah tak percaya mendengar semua ucapan Senja, laki-laki itu memutar mata kesal.

"Sini, lihat kalau masih nggak percaya."

"Nggak mau! Saya yakin masih bagusan perut Pak Jeje!" Jeje, satpam sekolah mereka adalah bapak bapak yang sudah hampir berkepala empat. Jelas jauh beda dengan Ponco yang masih ada diumur dua puluhan. Dan tentu hal itu makin membuat harga dirinya semakin terinjak-injak.

Ponco dengan kasar menyibak baju olahraga yang dia pakai. Diangkat hingga sebatas dada, "Lihat! Masih kamu bandingkan sama perut Pak Jeje?" Senja berdecak pelan, namun setelah matanya melihat objek yang Ponco maksud dia kehilangan kendali atas ekspresinya.

Dia berdeham, berusaha menetralkan kegugupannya. Dia tak mau kalah begitu saja dengan Ponco, lalu dengan jahatnya Senja berceletuk. "Biasa aja, kelihatannya."

"Astaga---"

"Mana yang kamu bilang biasa?! Coba pegang!"

Gadis itu tersenyum penuh kemenangan, semuanya berjalan sesuai rencana.

"O-oh, lumayan ternyata."

"Nggak kerempeng-kerempeng banget, not bad."

"See? Stop panggil saya kerempeng!"

"Baik, Pangeran roti sobek."

Tujuan utama mereka dikumpulkan disini, hanya untuk sekadar pemberitahuan kalau mereka ber-empat adalah peserta untuk perlombaan Seni dan Olahraga antar sekolah cabang silat.

"Calvin, Mega, Senja, dan Galang."

"Jadwal latihan kalian akan dimulai minggu depan, ada atau tanpa saya yang mendampingi kalian. Tanggung jawab atas tugas ini harus tetap sepenuhnya kalian jaga, paham?" begitu kata Ponco setelah menjelaskan detail latihan keempatnya.

Semua mengangguk, tak terkecuali Senja. Meski kesal setengah hidup karena harus berurusan dengan Galang.

Sebenenarnya tak masalah, hanya saja pacar cowok itu akan lebih perhatian padanya mulai sekarang. Perhatian Lau benar-benar mengganggu.

"Kalian bisa kembali, saya masih harus mengurusi untuk lomba lain." titah Ponco yang langsung diangguki oleh semua orang.

"Kenapa ngomongin ginian mesti diluar, Pak?" Mega, cewek rambut bondol seatas bahu itu bersuara.

"Lagi ada yang ngurusin kepindahan, nggak enak kalo kita disana."

"Cewek apa cowok?" tanya mereka serempak, kecuali Galang yang notabennya sudah punya pawang.

"Cowok," disaat dua gadis itu tersenyum senang, Calvin merengut. Kenapa dunia ini selalu tidak adil?

Karena ini dunia, bukan pengadilan.

•••••

"Bapak beneran mau ketemu pak Fatih dikelas sebelah atau emang mau sama saya terus sebenernya?" Ponco melirik gadis disampingnya jengah, terus saja begini sampai nanti ada salah paham yang semakin besar diantara mereka.

"Buat apa? Nggak penting." jawab Ponco datar, terkesan ketus.

"Oh," dia sontak menoleh, memastikan kalau yang disebelahnya masih Senja. Jarang sekali gadis itu tak memperpanjang perdebatan mereka.

"Apa liat-liat?" tanya Senja ketus. Membalas nada bicara Ponco tadi.

"Nggak usah ngegas. Biasakan sopan, saya guru, kamu murid disini. Pakai tata kramanya," dia mengernyit, sejak kapan gurunya itu peduli tentang tata krama yang ada padanya?

"Tumben. Kenapa peduli tata krama saya?"

Ponco mengedikan bahu, "Hanya mengingatkan. Kamu perempuan, saya laki-laki yang lebih tua dari kamu."

"Terus?"

"Udah, masuk sana!" tak ingin memperpanjang urusan, Ponco mendorong tubuh gadis itu untuk masuk kelas. Senja itu terlampau menjengkelkan.

Kalau diteruskan sampai Senja paham maksudnya, dia tidak yakin sanggup sabar.

"Apasih? Nggak jelas banget si roti sobek---" racau Senja berhenti saat itu juga, ketika dia sadar semua orang tengah ngintip disepanjang jendela kelas. Mereka nguping?

Hening.


Mereka semua menatap Senja dengan tatapan yang tak bisa diartikan, karena dia sendiri belum belajar bahasa mata.

"Lo semua ngapain?" seolah tersadar, mereka semua berpencar. Kembali duduk ditempat masing-masing, tentu tanpa menjawab pertanyaannya.

"Protektif banget si Pangeran." itu Shendy, yang jelas bicara tak sesuai kondisi.

"Shen, jangan sekarang!" ancamnya dengan seulas senyum palsu, hal itu membuat cowok sawo watang disana terkekeh ringan.


"Sesuai rencana?" Senja mengangkat ibu jarinya ke udara. Menarik sudut bibirnya lebih tinggi. Tidaka ada yang tau apa yang keduanya bicarakan sekarang.

"Lebih bagus jauh dari punya lo,"

"Anjir, nggak usah diperjelas."

Sebuah dehaman menghentikan percakapan rahasia mereka. Bu Indah, wali kelasnya menatap Senja penuh selidik.

"Bahas apa kalian?" aura panas terasa sekali disini, "Bukan apa-apa, Bu."

Meski tak percaya, Indah sebenarnya tak peduli. Hanya ada satu yang ingin perempuan itu tanyakan, "Dari tadi sama Pak Ponco, Ja?"

Nafas Senja tercekat, dia hampir lupa dengan yang satu ini. Wali kelasnya suka Ponco. Sangat suka.

"I-iya, Bu. Tapi sama yang lain juga tadi."

"Sama yang lain di menit terakhir. Sisanya cuma berdua." Senja mendelik. Bukan, itu bukan Shendy. Tapi si ketua kelas, Hamzah.

"Zah---"

"Gue lihat semua. Lo sama Pak Ponco berduaan, lagi ngitungin roti sobek juga 'kan?"

Sial, kenapa jadi begini?

"Hamzah! Lo bikin nyawa gue terancam, njir!" sahut Shendy panik, karena dia yakin akan disalahkan jika sampai Senja tau kalau dia yang memberi tau rencana mereka pada Hamzah.

Atensi Indah beralih pada gadis disampingnya, menatap intens Senja dengan sorot cemburu yang kian jelas.

"Ngitung roti? Roti apa?"

Senja gelagapan dibuatnya. Apa iya dia harus bilang kalau roti yang dimaksud itu abs seorang Ponco Alamsyah.

"Itu--anu--"

"Roti buat hajatan!"

"Hajatan? Siapa yang mau menikah?" niat baik Shendy ternyata salah besar. Wali kelasnya itu malah terlihat semakin memojokan Senja. Habis sudah riwayatnya.
"Bu Indah nggak tau, ya? Jadi gini, sebagai pendukung dan fanbase terbesar antara Senja dan Pak Ponco. Mereka itu ada rencana untuk men----"

Dugh!

Tepat sasaran. Sebelum Hamzah semakin jauh berbicara, penghapus papan tulis yang tak berdosa itu sudah lebih dulu melayang kearahnya. Menghantam tepat dikening cowok itu.

"Sakit, Ege! Keterlaluan---"

"Bacot. Diem atau gue patahin leher lo!"

"Gue ngomong fakta 'kan? Bukan gosip murahan---mphh!" Shendy dengan tergesa membekap mulut Hamzah yang memang duduk disebelahnya. Semua orang menyaksikan drama sekolah ini khidmat. Sudah biasa juga.

"Zah, udah! Susah banget dikasih tau!" sungut Shendy yang ikut kesal dengan mulut lemes temannya ini.

"Bu, apa pelajaran kita isinya bakal kayak gini semua? Mempermasalahkan Senja sama Pak Ponco yang katanya ngitung roti sobek?" Justin, saingan ketat Senja dikelas. Cowok malas bicara untuk hal-hal selain 'nilai'. Harap maklum namanya anak ambis.


"Kalau iya, saya ijin tidur." sambungnya datar tak bertenaga.

"Tidur? Lo tidur dikelas? Bisa?" Dila menyahut dengan tampang kaget dan kesal yang bercampur, lebih seperti julid sebenarnya.

"Gue capek, les sampai malem. Belum lagi tugas hari ini yang harusnya dikumpulin, tapi kayaknya Bu Indah lebih tertarik bahas perkara roti sobek. Nggak ada manfaatnya buat gue, mending dipakai tidur." tatapan takjub dari hampir semua mata kini tertuju pada cowok berkacamata itu.

Justin tak peduli. Dia hanya berusaha memanfaatkan keadaan, kalau tidak mendapat pelajaran setidaknya dia bisa mendapat tidur.

"Hidup lo isinya cuma tugas, nilai, sama kelas, ya?"

Indah berdeham pelan. Dia tentu sadar makna terselubung dari kalimat Justin barusan.

"Sudah sudah, kamu duduk, Ja." final perempuan itu, dia tak mau kelasnya kacau karena masalah seperti ini.

Senja tersenyum. Untuk kali ini, Justin benar-benar menyelamatkannya.

"Untuk Nathan, maaf karena kekacauan ini. Padahal kamu baru saja masuk," kalimat Bu Indah sukses membuat senyum leganya pudar.


•••••


"

Senja!" suara cowo yang tadi membuatnya naik darah kembali terdengar.


"Ja, gue panggil nengok kek! Elah!" Hamzah mengguncang tubuh Senja pelan.

"Jangan pegang-pegang, gue nggak kenal sama lo!" katanya tanpa mengalihkan pandangannya dari layar ponsel.

"Nah loh, ngambek tuh Senja." celetuk yang lain dari belakang, "Jangan baper dong, Ja--"

"Apa?" Hamzah menggeleng pelan saat Senja menatapnya tak biasa.

"Gue minta maaf. Nih, gue beliin es krim strawberry kesukaan lo. Biar seger, biar lo nggak marah-marah lagi, sebagai tanda permintaan maaf gue juga. Sorry, tadi gue kebawa suasana aja makanya ngomong gitu."

Senja menatap es krim yang dibawakan Hamzah dengan serius, lalu beralih menatap orang yang memberikannya.

"Kenapa nggak yang matcha?"

Cowok itu kelimpungan, dia lupa! Gadis satu ini 'kan maniak matcha.

"Itu---anu--matcha abis."

"Iya habis! Daripada yang coklat? Mending ini lah," begitu alibinya sambil mengangkat es krim itu, "Lo nyogok?"

"Iya," jawab Hamzah jujur.

"Lo kira gue mau?"

"Lo nggak mau?"

"Cowok emang suka gitu, ya? Minta maaf tapi nggak tulus, mainnya nyogok lagi." sinisnya sambil mengambil bungkusan itu dari tangan Hamzah. "Kalau udah gini 'kan gue terpaksa makan,"

Hamzah berusaha tidak memaki gadis ini, ditarik nafas panjang untuk mengisi kembali kesabarannya. "Kenapa terpaksa?"

"Sayang... "

"Iya?"

Senja menoleh cepat, dia mendelik. Membuat Hamzah buru-buru kabur sebelum kena hantam, "Aku mau ke kantin dulu, yang!"

Ulah Hamzah berhasil membuat anak-anak dikelas tertawa, "Hamzah bego!!"

•••••

Terima kasih, buat yang udah baca.

Sayang deh hahaha

Masih mau lanjut?

Bingtang sama komen, biar ada semangat lanjutinnya....

Okey deh, see you ^ω^

#DanumSenja
#tbc

Ipagpatuloy ang Pagbabasa

Magugustuhan mo rin

2K 536 9
tentang renjana yang terukir Amerta dalam bait-bait aksara, kemudian menjadikannya prosa nan dikara. -tentang rasa hati yang terukir dalam bait-bait...
505 56 5
Sebelum baca follow dulu ya, cmiwww><
100K 8.2K 27
[ Season 2 Kota Bandung dan Biru ] "Tentang mereka yang berusaha tetap hidup agar tidak mati di tangan diri sendiri." Januarta Dirgantara coba tanya...
5.2K 467 22
"Apa kamu pernah mendengar tentang Eccedentesiast?" "Yang kutahu Eccedentesiast adalah seseorang yang selalu tersenyum walaupun senyumannya palsu."...