Gamaphobia

Von Lin_iin03

87.8K 8.7K 444

Kegagalan pernikahan kedua orangtua dan Kakaknya membuat Pramesti Ayunindya takut melangkahkan hubungannya de... Mehr

1. Pramesti Ayunindya
2. Randu Kalandra
3. Momen Akward
4. Nikahan Wisnu
5. Bujuk Rhevan
6. (bukan) Sesi Curhat
7. Break
8. Gagal Kenalan
9. Congratulations
10. Bertemu Lagi
11. Kekecewaan Ayu
12. Bertukar Pikiran
13. Kepedulian Randu
14. Strategi Randu
15. Usaha Terosss
16. Pertanyaan Tidak Tepat
17. 520?
18. Menunggu Chat
19. Korban Drakor?
20. Kondangan Sendirian
21. Oalah, Saya Pikir Siapa
22. Kedatangan Tamu
23. Masak Bareng
24. Menjelaskan
25. Mari Menjalankan Misi
26. Ke Gap
27. Mission Com... eh, Failed?
28. Gagal Ijab Sah?
29. Kesempatan?
30. Official?
31. Ketularan
32. Terima Kasih
33. Kumpul Bareng
34. Izin Nikah??
35. Oh, Oke
36. Kehilangan Kabar
37. Nasehat Ajeng
38. Mulai Terbuka
39. Jenguk Camer
40. Kehilangan
41. Nikahan Hana
42. Dipermainkan Takdir?
43. Sebut Randu Bodoh
44. Marahnya Hana
46. Akhir Cerita Kita?
47. Merayakan Kesedihan
48. Sulit Mengakui?
49. Rencana Febi
50. Final
Numpang Promo
promo again

45. Penyesalan Randu

1.5K 138 23
Von Lin_iin03

******

"Aku sangat sayang sama Ayu, Han. Sumpah demi Allah, aku udah nggak ada perasaan apa-apa lagi sama Nadia." Randu mengerang frustasi, "demi Tuhan, Nadia udah jadi istri orang. Aku nggak mungkin masih menyimpan perasaan ke dia."

Hana mulai menguasai emosinya. "Terus kenapa Mas Randu begini?"

Randu menghela napas sambil menggeleng. Pikirannya kalut, ia merasa benar-benar bersalah dengan Ayu. Dalam hati, ia memaki dirinya sendiri. Kenapa dirinya sebodoh ini?

"Nggak tahu, Han, semua terjadi begitu aja." Randu meremas rambutnya putus asa, "Mas nggak bisa mikir."

"Makanya jadi orang jangan terlalu baik," dumal Hana, "biar nggak gampang dimanfaatin orang begini."

Dengan pandangan tidak terima, Randu melotot tajam ke arah wanita itu.

Hana mendesah. "Ya, abis Mas Randu tuh bikin gemes tau. Ngapain sih sok-sokan perhatian sama mantan. Nggak penting banget," decak Hana makin sebal, "kalau udah gini siapa yang repot? Mas Randu sendiri kan? Masa aku sama Mas Rishwan nunda bulan madu cuma buat ginian? Mas Randu nggak kasian sama aku?"

Randu terdiam. Ia merasa bersalah. Akibat kecerobohannya, semua harus mendapatkan getahnya. Ia jadi semakin tidak enak terhadap sang adik ipar. Ya Tuhan, tidak berguna sekali dirinya.

"Sorry, kalian berangkat besok aja gimana? Mas pe--"

"Nggak usah aneh-aneh," potong Hana buru-buru, "urusin masalah Mas Randu sama Mbak Ayu dulu. Setelah itu beres, baru kita berangkat. Udah, Hana pulang duluan. Abis minta maaf ke Mbak Ayu, jangan lupa tidur. Muka Mas Randu kuyu banget, jadi makin jelek." Ia berdecak sambil geleng-geleng kepala lalu keluar dari ruangan Randu.

Selepas kepergian sang adik, Randu memilih duduk. Tubuhnya lelah luar biasa, lelah fisik maupun psikis. Ia memejamkan mata sejenak. Randu merasa benar-benar butuh tidur sekarang.

Brak!

Randu terlonjak kaget, saat pintu ruangannya tiba-tiba dibuka dengan kasar. Tak lama setelahnya, seorang pria dengan perawakan tinggi masuk dengan ekspresi tidak bersahabat. Randu menelan salivanya dengan susah payah. Ia mengenal pria ini. Pria ini adalah suami Nadia. Buru-buru Randu berdiri menyambut pria itu, ia butuh menjelaskan kronologi kejadian sebelum suami Nadia ini menghajarnya. Karena kalau dilihat dari kilatan amarah pria itu, sepertinya suami Nadia benar-benar siap menghajarnya habis-habisan.

"Selamat--"

Bughh!

Belum selesai Randu menyapa suami Nadia, pria itu lebih dulu melayangkan pukulan keras pada wajahnya. Randu sedikit shock. Ia merasakan sudut bibirnya perih. Sialan. Apa-apaan pria ini? Batinnya tidak terima.

"Maksud anda apa?" protes Randu tidak terima.

"Harusnya saya yang tanya begitu, maksud anda apa berani mengambil tindakan tanpa izin saya. Anda pikir, anda siapa? Anda bahkan tidak mencoba menghubungi saya untuk memberitahu kondisi istri dan anak saya. Dokter macam apa anda ini?" Suami Nadia tampak tersenyum mencibir, "kenapa? Anda masih berharap pada istri saya. Makanya anda berbuat hal semacam ini?"

Randu mengeram tertahan. "Sialan!" umpatnya pelan, "maksud lo apa?"

Persetan dengan sopan santun dan yang lainnya. Randu sudah terlanjur tersulut emosinya. Demi Tuhan, ia sudah tidak tahan sekarang.

"Kamu pikir saya tidak tahu, kalau kamu adalah mantan istri saya."

Randu mendengus tidak percaya. "Terus kenapa kalau gue mantannya istri lo? Lo merasa tersaingi? Lo ngerasa insecure sama gue? " cibirnya sengak.

Kini giliran suami Nadia yang tersulut emosi. "Jaga ucapan lo! Lo nggak tahu gue ini siapa?"

"Gue nggak peduli. Asal lo tahu, gue udah berkali-kali bujuk istri lo buat hubungi lo atau seenggaknya keluarga lo. Tapi, istri lo sendiri yang nolak. Harusnya lo berterima kasih sama gue, karena udah bantu nyelamatin mereka, bahkan mau jagain mereka. Bukannya marah-marah nggak jelas begini. Kalau lo mikir gue masih ada rasa sama istri lo, sorry, bro, lo salah besar. Gue udah punya calon istri sendiri. Jadi, sekarang, gue minta dengan sangat. Bisa keluar dari ruangan gue? Gue sibuk," usir Randu berusaha untuk sopan, sambil menunjuk ke arah pintu.

Raut wajah tak terima terlihat jelas pada wajah suami Nadia. Pria itu mengumpat samar, lalu keluar dari ruangan Randu dengan perasaan kesal.

Randu akhirnya bernapas lega, setelah pria itu benar-benar meninggalkan ruangannya. "Sialan! Nggak seharusnya gue terlibat dalam urusan rumah tangga orang lain," umpatnya sambil mengerang kesal.

*****

Setelah berhasil menenangkan diri, Randu akhirnya langsung bergegas menuju bangsal umum. Ia perlu segera menemui Ayu dan meminta maaf padanya, sebelum masalah bertambah pelik. Ayu harus mendengarkan penjelasannnya.
Selain itu, ia juga perlu melihat kondisi sang kekasih secara langsung. Perasaan khawatir itu kembali timbul, saat teringat kondisi Ayu yang sempat drop sampai memerlukan tranfusi darah.

Astaga, calon tunangan macam apa dirinya ini?

"Mau ngapain, Ran?"

Randu langsung menoleh. "Mbak Ajeng?" desisnya panik.

Dengan susah payah, ia menelan salivanya. Perasaannya tidak enak. Ekspresi wajah Ajeng benar-benar sedang tidak bersahabat.

"Mau ngapain?" ulang Ajeng sambil menyilangkan kedua lengannya di depan dada.

"Jenguk Ayu."

"Ayu lagi istirahat. Nggak bisa diganggu. Mending lo pergi, urusin mantan lo itu. Di sini Ayu udah ada keluarga yang jaga kan? Nggak perlu kehadiran lo di sini. Mending lo balik ke mantan lo itu, dia nggak ada yang nemenin kan?"

Mampus. Ia sedang disindir terang-terangan kalau begini ceritanya.

"Mbak, jangan gitu dong. Aku ngaku salah. Tapi sumpah demi--"

"Nggak usah bawa-bawa Tuhan. Gue nggak peduli sama urusan lo. Lo nggak usah sok akrab sama gue, ngerti! Kita nggak jadi ada hubungan keluarga. Gue nggak sudi ngebiarin adik paling berharga yang gue milikin lo sakitin begini. Pergi lo!" usir Ajeng judes, "Ayu nggak butuh cowok gagal move on kayak lo."

Randu menggeleng tegas. "Jeng, plis, bantuin gue. Gue sayang sama adek lo, lo harus bantuin gue biar bisa baikan sama dia," pintanya dengan nada memelas.

Ajeng mendengus tidak percaya. "Lo bahkan langsung menanggalkan embel-embel Mbak saat manggil gue? Sekarang lo jujur sama gue, lo sebenernya emang nggak pernah serius kan sama adek gue kan dari awal?"

Randu melotot tidak terima. Loh, kenapa jadi begini? Batinnya frustasi. Bukannya Ajeng sendiri yang tadi meminta agar dirinya tidak sok akrab. Lantas kenapa perempuan ini kembali protes saat ia menanggalkan embel-embel Mbak saat memanggil perempuan ini. Sebenarnya, mereka ini seumuran, bahkan Randu lebih tua beberapa bulan dibanding Ajeng. Jadi, kalau Ajeng tidak ingin dirinya terkesan sok akrab, bukannya memang seharusnya ia menanggalkan panggilan Mbak?

"Loh--" Randu hendak memprotes tapi kalah cepat dengan Ajeng.

"Sorry, Ran, gue nggak bisa bantu lo," potong Ajeng tiba-tiba, "jujur, gue tahu, lo pasti punya alasan atas sikap lo kemarin. Tapi tetap aja, gue kecewa sama lo karena lo udah ngecewain Ayu. Lo harus tahu, Ayu sempat punya trauma sama pernikahan karena gue pernah gagal. Lalu di saat dia mulai berani melangkah ke jenjang yang lebih serius, lo kecewain dia. Bisa lo bayangin gimana perasaan Ayu saat ini?"

Tubuh Randu mendadak mematung. Perasaan bersalah kian menghantam. Sumpah demi Tuhan, ia tidak menyangka kalau semuanya akan jadi seperti ini.

"Gue mengaku salah," lirih Randu.

"Sekarang mending kalian sama-sama intropeksi diri dulu! Tanyain ke diri kamu, Ran, apa bener Ayu adalah orang yang benar-benar kamu sayangi dan ingin kamu nikahi."

Randu menghela napas, kemudian mengangguk pasrah. "Baik, kalau emang menurut Mbak Ajeng ini jalan terbaik. Aku bakal turutin, titip salam buat Ayu. Bilangin ke dia, aku minta maaf karena udah bikin dia kecewa. Tapi satu hal yang pasti, aku beneran sayang dan cinta sama Ayu. Mungkin Mbak Ajeng masih ngeraguin aku, tapi aku serius dengan ucapan aku. Aku pamit, Mbak." Sambil mengintip ke arah dalam, melalui kaca kecil pada pintu untuk melihat kondisi Ayu meski hanya sekilas, Randu kemudian memutuskan untuk segera enyah dari hadapan Ajeng. Hatinya jujur sakit, tapi, ia juga sadar, kalau Ayu jauh lebih sakit daripada yang ia rasakan.

#######

"Ayu belum hubungin lo juga setelah kejadian itu?"

Randu menggeleng pasrah sebagai jawaban. Setelah dimarahi Hana habis-habisan waktu itu, Randu berusaha untuk menemui Ayu. Berniat meminta maaf dan menjelaskan semuanya. Tapi sepertinya ia datang terlambat. Ajeng bahkan secara terang-terangan mengusirnya, saat ia ingin menemui Ayu. Wanita itu bilang, kekasihnya belum mau bertemu dengannya. Kecewa jelas ia rasakan.

"Lo nggak mau coba hubungin dia duluan?" Gilang bertanya sekaligus memberi saran.

Randu kembali menggeleng. "Enggak, Lang, Ayu minta gue untuk nggak hubungi dia sebelum dia sendiri yang hubungi gue."

Gilang menyugar rambutnya ke belakang. "Lo juga sih yang bego, Ran. Ngapain sih pake acara sok-sokan jadi pahlawan kesiangan, nolongin mantan gitu? Mau modus lo?"

Randu tersinggung. "Lang, iya, gue tahu, gue bego. Gue ngaku salah. Bisa nggak sih lo ngasih gue solusi atau apa gitu kek, hibur gue. Karena percuma, mau lo nyalahin gue sampai bibir lo berbusa sekalipun, nggak akan merubah apapun, bangsat! Semua udah kejadian," serunya tiba-tiba emosi.

Akhir-akhir ini ia sudah cukup tertekan dengan hubungan Ayu yang kian merenggang. Ia sudah cukup kenyang disalahkan. Bahkan pihak suami Nadia pun sempat menyudutkannya. Demi Tuhan, ia hanya ingin membantu Nadia saat itu. Bukan karena status mereka yang pernah pacaran, melainkan karena mereka dulu mengenal cukup dekat. Niatnya baik. Ia kasian dengan Nadia dan ia hanya ingin membantu. Itu saja. Ia tidak mengharapkan imbalan lebih. Tapi apa yang justru ia dapat, disudutkan dan disalahkan orang-orang. Bahkan hubungannya dengan Ayu terancam bubar jalan. Bagaimana ia tidak nyaris gila dan emosi setengah mati?

Gilang menatap Randu galak. "Lo yang bangsat," balasnya tak kalah emosi, "Udah tahu mau tunangan malah ngurusin bini orang. Nggak ada otak lo? Emang dasar brengsek lo!" lanjutnya sembari mengumpat kesal.

Randu menghela napas sambil meraup wajahnya frustasi. "Sorry, Lang, gue kebawa emosi. Gue nggak maksud ngatain lo."

Gilang mengangkat kedua bahunya. "Gue juga sorry kalau gitu. Tapi, maaf, kalau gue emang sengaja pengen ngatain lo. Biar otak lo yang geser itu bener dikit. Percuma kalau karier lo bagus, tapi soal ginian lo payah"

Randu menjambak rambutnya frustasi. "Gue stress banget akhir-akhir ini, Lang. Rasanya gue kayak mau mati aja kalau hubungan gue sama Ayu nggak menunjukkan titik terang."

"Ya udah, mati aja sono lo! Nggak rugi sih gue," balas Gilang cuek.

"Ay!" tegur Febi sambil meletakkan secangkir teh untuk Randu, ia kemudian menghampiri Gilang dan langsung menjewer kuping sang suami. Pria itu mengaduh dan protes. Febi membalas dengan tatapan galaknya.

"Mulut kamu tuh, ya, Randu itu lagi putus asa. Frustasi. Sebagai temen yang baik tuh harusnya kamu ngasih support, syukur-syukur ngasih saran. Bukannya malah nyuruh dia bunuh diri. Nanti kalau dia beneran nekat gimana? Kamu mau tanggung jawab?" omel Febi panjang lebar dengan nada sedikit berbisik.

"Ya, abis salah dia sendiri, Ay. Randu yang bego," elak Gilang tidak terima disalahkan. Nada suaranya biasa saja, tidak sedang berbisik sedikit pun. Ekspresinya pun terlihat tidak bersalah.

Randu diam saja, tak mengelak sedikit pun.

"Kamu pikir, yang pernah bego Randu doang? Kamu nggak pernah gitu?"

Seketika, bibir Gilang tertutup rapat. Sebagai seorang pria yang sering kali kesulitan untuk memahami kaum Hawa, tentu saja ia pernah melakukan kebodohan, yang nyaris serupa dengan Randu. Tapi bukan berarti harus diingatkan lagi kan? Toh, itu hanya masa lalu.

"Oke, oke, sayang. Kamu sekarang temenin Kalila main aja ya, biar aku ngobrol berdua sama Randu," saran Gilang menyuruh Febi segera pergi dari ruang tamu.

Bukannya langsung menurut, Febi malah melotot. "Awas kalau macem-macem!"

"Iya, Ay," Gilang mengangguk patuh, lalu menyuruh Febi segera berdiri.

Kali ini Febi menurut. "Ran, gue tinggal dulu, ya. Kalau ini Bapak macem-macem! Teriak aja panggil gue, nanti gue bantuin."

Sambil mencoba memaksakan senyumnya, Randu mengangguk.

"Ay, udah, sana! Jangan terlalu perhatian sama Randu, nanti aku cemburu."

"Sadar umur ya, tolong!" peringat Febi sebelum meninggalkan keduanya.

"Bini gue perhatian sama lo karena kesepakatan bersama, Ran, jangan ge er. Gue terlalu gemes pengen maki-maki lo, jadi Febi yang bertugas buat kasih lo dukungan."

Randu tersenyum getir. "Kalian patner hidup yang luar biasa."

Gilang terkekeh. "Keliatannya. Pecitraan doang kita sih kalau ada lo, aslinya ya, nggak usah ditanya lah."

Mau tidak mau Randu ikut terkekeh.

"Udahan lah galau nya, lo cowok elah. Lembek amat," ledek Gilang mencibir.

"Berat, Lang," aku Randu jujur.

Gilang menghela napas. "Kan ini konsekuensi dari sikap lo sendiri. Ya, terima aja. Udah kejadian juga kan, kayak lo bilang tadi."

"Emang salah ya, gue tuh nolongin Nadia cuma karena kasian. Itu aja. Gue nggak ngarep dia bakalan minta ngajakin gue balikan, Lang. Gue sadar posisi gue, gue sayang Ayu, Lang. Gue cinta sama dia, perasaan gue ke Nadia sudah hilang dimakan waktu. Jauh sebelum gue ketemu Ayu."

Gilang menggeleng. "Enggak, Ran, nggak salah kok nolongin orang. Gue tahu lo orang baik dan nggak tegaan. Tapi, sifat nggak tegaan lo ini nih, yang sering kali bikin kita-kita kadang suka gemes. Lo kalau udah nolongin orang tuh suka nggak bisa mikir jernih, suka nggak nyadar kalau efek dari niat baik lo justru bikin lo sendiri kena masalah."

Randu diam.

"Nadia nggak ada niat gitu buat bantu ngomong."

Randu mengangguk. "Gue tolak, ini masalah gue sama Ayu. Gue nggak mau ngelibatin dia juga dalam masalah ini."

Gilang berdecak gemas. "Tapi Nadia emang terlibat dari awal, Ran."

"Gue sama Ayu sepakat untuk nyelesaiin berdua tanpa melibatkan siapa pun."

"Terus lo ke sini mau ngapain?"

"Gue butuh temen, elah, Hana dan Rishwan udah balik ke Bandung. Mau main ke rumah Lingga capek di sana dengerin Vallery ngomel terus. Gue nggak bisa sendirian, takut tiba-tiba nekat. Gue kangen banget sama dia, Lang."

"Kalau kangen, ya, telfon. Ajak ketemu."

Randu menggeleng. "Bro, lo kalau lagi ada masalah sama Febi, dulu sebelum nikah, pasti pernah kan berada di fase di mana lo pengen bener-bener sendiri kan? Pas pengen sendiri tiba-tiba Febi hubungin lo? Lo pasti milih untuk makin menjauh dulu kan? Nah, gue nggak mau Ayu gitu."

"Tapi, bro, gue cowok sedangkan Ayu cewek. Kita beda spesies. Cowok kalau lagi minta waktu sendiri, ya berarti dia emang butuh waktu sendiri nggak bisa diganggu gugat, diganggu dikit kita akan kesel dan makin menjauh. Tapi kalau cewek, biasanya dia bilang butuh waktu sendiri hari ini, bisa jadi besoknya kita sebagai pihak cowok udah harus usaha buat bujuk. Kalau enggak kitanya disangka nggak mau berjuang."

"Masa gitu sih, Lang?"

"Ya, sebagian gitu. Nah, pertanyaannya Ayu yang gitu juga nggak?"

Randu terdiam sambil berpikir keras.

Gilang terkekeh saat melihatnya. "Semakin lo berusaha keras nyari jawaban atas kemauan perempuan, maka semakin susah lo nemuin jawabannya."

"Kenapa gitu?"

"Karena perempuan itu rumit.  Selamanya kita nggak akan benar-benar tahu apa yang mereka mau." Gilang terkekeh, "boro-boro kita, merekanya sendiri aja kadang suka bingung."

Setelahnya Randu kembali terdiam dan tenggelam dalam pikirannya.

Tbc,

Bantu koreksi typo ya🤭

Weiterlesen

Das wird dir gefallen

169K 25.9K 28
Swipe right. Dua kata yang tidak asing untuk pengguna dating apps. Bermula saat Liora merasa iri dengan teman-temannya yang sudah punya pacar, akhirn...
180K 12.4K 55
Naksir bapak kos sendiri boleh gak sih? boleh dong ya, kan lumayan kalau aku dijadikan istri plus dapet satu set usaha kosan dia
2.9K 290 39
Jangan terlalu berharap pada keadaan, apalagi berharap agar semua ekspetasimu berjalan semulus yang kau inginkan. Karena, inilah takdir. Tidak ada si...
4.3K 459 50
[Based On True Story] Orang-orang bilang takdir tak bisa diubah. Dan aku mempercayai hal itu meski ada takdir yang bisa diubah―dengan doa dan usaha t...