•••
Aku menunggu giliran untuk mengaji, dengan Nuha dan Balqis juga tapi kami beda ustadzah. Di belakang barisan ku banyak santri putri yang umurnya masih jauh dariku, aku sendiri sudah 17 tahun sedangkan mereka sepertinya terpaut umur 2 tahun lebih muda dari umurku.
Tapi untuk menuntut ilmu aku menanam rasa malu ku itu, karena aku belajar agar pintar bukan untuk mendapat gelar.
Ketika di depanku sudah menyelesaikan ngajinya giliran aku berhadapan langsung dengan Ustadzah Maryam. Aku masih teringat bayang-bayang ketika Bang Sauqi menjariku huruf hijaiyah di masa SMP ku. Dan sempat aku sekolah TPQ namun sangat sebentar dan itu pun berlangsung hanya untuk membaca Juz Amma.
Pertama ketika Ustadzah Maryam membuka lembaran Al-Qur'an aku menggelengkan kepalaku ragu.
"Ustadzah, Hazna masih belum fasih dan lupa hukum tajwid, sama tanda-tanda waqaf juga," ucap ku pelan lalu di sambut baik oleh beliau dengan senyumannya yang hangat.
"Nggak papa, yang penting Hazna sudah tahu huruf hijaiyah lebih dulu. Tentang tajwid dan waqaf nanti Hazna belajar pelan-pelan lagi sama Ustadzah, yah?" tanya beliau membuat aku menggangukkan setuju.
Selepas membaca Al-fatihah, Ustadzah Maryam membimbingku kembali untuk membaca surat Al-Baqarah. Membaca ayat pertama di awalan surat Al-Baqarah saja aku masih salah, tapi beliau dengan sabar mengajariku.
الۤمّۤ ۚ
Ustadzah Maryam memberi tahu padaku tentang hukum yang benar. "Nah di awal surat Al-Baqarah ada hukum bacaan Mad Lazim Harfi Musyba' yang biasanya di temui di permulaan surat. Cara bacanya harus ringan dan tidak memakai tasydid. Dan di mana Hazna juga harus bacanya panjang sebanyak 6 harakat, jangan kaya tadi kependekan."
"Biar lebih jelas kita artikan saja dengan 6 ketukan, jadi ketika Hazna baca harus panjangnya sesuai 6 ketukan."
"Hazna paham Ustadzah," seruku menampilkan deretan senyuman dan kembali membaca nya sesuai perintah beliau.
Lamanya membaca Al-Qur'an di surat Al-Baqarah aku baru sampai surat ke 5, teman-teman santri lainnya pun mengerti tentang diriku yang masih baru. Mereka bahkan mencoba membaca Al-Qur'an mereka sendiri dengan hikmat dan namun tanpa suara, sangat membuat hati terasa nyaman bila terus berada di sini.
"Jazaakillaahu khoiron, Ustadzah," kataku mengucapkan terima kasih, dan salim pada beliau.
Akhirnya ketika aku keluar dari kelas, Nuha dan Balqis ternyata masih menungguku. Mereka tipikal teman yang setia, aku beruntung bisa berteman dengan keduanya. Ini sudah saatnya waktu untuk sholat dhuhur dan di lanjutkan dengan jam makan siang.
Jalan kami di iringi oleh tawa selalu, sikap humoris Balqis mampu membuat ku tertawa terpingkal, sedangkan Nuha sendiri mendengus samar.
"Dengan Mbak Hazna?" ucap santri perempuan padaku.
Aku pun mengangguk, lalu menaikkan alisku bertanya.
"Temen Mbak yang namanya Putri manggil-manggil nama Mbak terus di pusat kesehatan, dia pingsan di sana, udah ada Erin juga kok. Tapi kayaknya Putri maunya ketemu sama Mbak saat matanya kebuka," terang dia memberi tahuku.
Raut wajahku berubah menjadi khawatir, sementara Nuha dan Bilqis hanya mendengar. "Kalo begitu Hazna mau ke sana, Nuha sama Iqis mau ikut?" tawar ku di balas dengan gelengan.
"Iqis sama Nuha setelah Isoma di suruh Ustadzah Jihan buat bantu bersih-bersih di halaman, jadi nggak bisa. Maaf yah Iqis nggak bisa nemenin," ucap Balqis menjelaskan.
"It's oke, Hazna pergi dulu," pamit ku pada keduanya mengikuti santri perempuan tadi.
Sampainya di pusat kesehatan seperti 1 hari yang lalu ketika aku jatuh pingsan kini pintu ruangan tertutup, aku pun bingung dengan sikap aneh santri itu yang sudah lebih dulu mendorong ku agar aku masuk.
"Kok sepi?"
"Oh itu, Putri ada di bilik belakang paling pojok. Aku sampe sini aja ya nggak bisa ikut masuk, mau ada kunjungan dari Budhe soalnya." Aku meresponnya dengan senyuman kecil.
"Iya nggak papa kok, makasih udah nganterin Hazna kalo gitu."
Masuk ke dalam ruangan begitu sunyi, aku pun menuju bilik di mana dia tadi memberitahuku bahwa Putri ada di sana.
Dengan langkah ragu aku menekan saklar agar sepenuhnya lampu menyala, apalagi bilik yang Putri gunakan tepat berada di samping toilet membuat aku merasa takut akan berbagai pikiran nyeleneh yang ada di otakku ini.
***
"Joy?"
Mata Joy lalu berkedip, "Astaghfirullah Gus Athar buat saya kaget."
"Ada apa?"
"Anu--" Bicara gugup Joy membuat Gus Athar bingung.
"Saya mau ngambil obat Magh buat Neira, dia pingsan lagi setelah di hukum. Pas saya lewat eh malah Ustadzah Jihan nyuruh saya buat ngambil." Ucapan Joy spontan saja membuat Gus Athar langsung khawatir.
"Kalau begitu biar saya saja yang ngambil, ada berkas penting juga yang saya lupa taruh di pusat kesehatan. Tolong beri tahu Ustadzah Jihan untuk jangan kasih makanan pedes buat Nei, karena dia setelah pingsan pasti selalu mintanya yang aneh-aneh," pungkas Gus Athar.
Joy menganggukkan kepalanya mengerti, "Baik Gus. Joy akan inget pesan Gus Athar, kalo gitu Joy pergi dulu. Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh," pamit Joy lalu salim.
"Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh," balas Gus Athar. "Nei Nei, kamu selalu bikin saya khawatir." Lanjutnya bergumam sambil memijit keningnya sendiri.
Begitu menunggu lama untuk pintu kamar mandi terbuka aku hanya duduk di brangkar yang kosong. Ini sudah 15 menitan lho aku berdiam diri bagaikan patung. Apa Putri sedang berimajinasi di kamar mandi?
Bunyi aliran air pun sampai sekarang aku tidak mendengarnya, begitu menyebalkan. Untuk saja dia sudah aku anggap sebagai teman baik jika bukan, mungkin aku sudah memilih untuk rebahan di kasur.
"Utii? Kalo pup jangan lama-lama yaaa."
Sekarang aku akan memanggil Putri dengan sebutan Uti. Itu merupakan panggilan kesayanganku padanya, sangat cute.
Blam!
Tubuhku langsung berjingat kaget turun dari brangkar, apalagi mataku yang sudah melotot ketika mendengar suara tadi. Aku bahkan untuk meneguk ludahku sendiri saja susah, ketika membayangkan siapa gerangan yang menutup pintu sekencang itu.
Ketika melihat pintu tertutup sempurna aku menahan tangis, sepertinya aku di jebak. Hanya ada diriku sendiri disini, berarti sedari tadi aku berbicara sendiri? Ya Allah, Hazna nggak bisa bayangin kalo ada yang nyaut beneran dan itu bukan manusia.
Aku pun berusaha mendobrak pintu menggunakan punggungku namun bukannya berhasil malah hanya rasa sakit yang aku dapatkan.
Hingga langkah ku tak sengaja mundur, punggung ku seperti tertabrak sesuatu yang keras lagi.
"Hazna punya Allah," tegar ku menahan rasa takut. "Kalo setan emang bener-bener mau godain Hazna, biar nanti Hazna bacain Ayat kursi, pasti nanti kamu kaya cacing kepanasan!" sungut ku lanjut dan terdengar kekehan kecil.
Kekehan itu sangat khas, aku langsung menjauh lalu memutar tubuhku. "Aaaaa, setannya ganteng mirip jodoh Hazna!!" teriakku kencang lalu menutup wajahku menahan malu.
Beliau, Gus Athar melewati ku mencoba membuka pintu agar terbuka dengan berbagai caranya. Namun sama sekali tiada hasil, wajahku sudah sangat masam.
"Gus Athar ngapain bisa ke sini juga? Hazna kok nggak tahu kalo ada orang yang masuk ya," kata ku menjaga jarak.
"Saya mau ngambil obat Magh dan berkas penting yang satu hari lalu tertinggal di sini," seru Gus Athar.
Gus Athar punya sakit lambung?
Aku berpikir dalam hati ketika beliau menjawab dengan kata-kata itu, kasihan sekali Gus gantengnya Hazna ini.
Ketika masih melamun, tiba-tiba saja pintu terdobrak kembali.
Brakkk!!
Gus Athar yang tidak tahu pun terdorong kebelakang hingga dia kini berada tepat di atas tubuhku. Aku menahan nafas ketika bibirnya itu sangat dekat sekali dengan hidungku, seperti akan mencium. Tak bisa aku lakukan selain membeku di tempat.
"Astaghfirullahalazdim, kalian!" lantang Gus Fadhlan dengan suara besarnya.
•••
Deg-deg-deg
Adegan dalam bab ini bukan di sengaja, tapi tanpa sengaja.
Love, -Wii