point of view

By dyobokki

12.6K 1.6K 206

[heroine of you spin off] It was just how it went. More

🌙
Ruang BEM
Kamera Kiki
Salah Sangka
Formulir Band
Ankle Sprain
Audisi Band (a)
Audisi Band (b)
Foto & Sheila On 7
Brownies
Jadi... Nggak Usah?
Brian, Wina, Dan Kantin
Resah
Hari Bersamanya
The Beginning And The Farewell
The Untold Things
Rest Area
Si Sulung Dan Si Bungsu
Cerita Dari Bang Sandi
Antara Jishaka Dan Saras
Skripsi
Nuraga Dan Tugas Akhir
Graduation
And Now Jakarta
Janendra Adimas Wicaksono
Saras Atau Vidya?
Very First Kiss, They Think
Delicate
Message In The Bottle; Abrian
Sweet Nothing; Nuraga (1)
⭐️ The Projector, Context, and Playlist

Made Up

331 47 6
By dyobokki

⚠️Trigger Warning // Sexual Harrasment ⚠️

---

Sudah hari ke-dua setelah insiden Ayunda dan Aga bertengkar di depan kost Ayu. Dan sejak itu pula Ayu benar-benar nggak mengabari Aga sama sekali. Aga pun juga tidak menghubungi Ayu. Ayu merasa mereka benar-benar sudah berakhir. Sejak Aga mengatakan bahwa ia ingin menyudahi semuanya. Dan sejak saat itu, Ayunda juga berusaha menjalani hari-harinya seperti biasa. Meskipun nyatanya ia tidak baik-baik saja.

Ia merindukan Aga, tapi di satu waktu ia masih merasa kesal saat Aga benar-benar menunjuknya sebagai seseorang yang tidak bisa apa-apa. Seolah Ayu adalah anak kecil yang perlu dititah dan harus ditemani.

"Aku kayaknya putus..." Ayu bercerita pada Dhiska dan mbak Saras malam ini.

Setelah Ayu pulang dari kuliah, menenangkan diri dan mandi, ia pergi ke kamar mbak Saras dan ada Dhiska di sana juga. Ayu meletakkan kepalanya di paha mbak Saras dan mbak Saras yang mengelus kepala Ayu.

"Kayaknya..." Jelas Ayu lanjut.

"Kan masih kayaknya, Yu." Balas Dhiska, "Gue kalo jadi Aga juga bakal marah sih. Lo nekat banget habisan, pake segala mau mancing pelaku pelecehan seksual. Mana nggak bilang ke gue sama mbak Saras lagi. Nekat sama bego nggak ada bedanya, Yu."

Ayu terkekeh miris, "Kalo gue kebanyakan mikir, justru nggak bakal nekat. Kalau bilang ke kalian juga nggak bakal dibolehin pasti."

"Ya iyalah, Ay. Kamu ambil risiko, bahayain diri kamu sendiri. Coba kalau dia nggak cuma ngeluarin alat kelaminnya, tapi dia bawa kamu ke tempat sepi gimana?"

Tangan Ayu memainkan kaus Saras, "Tasya sama Imel, temenku, kemarin aku suruh jaga-jaga di deket situ. Padahal kemarin hampir aja si bapak itu udah hampir buka resleting celananya dan aku udah siap-siap kamera HP, eh Aga dateng... Kabur deh pelakunya."

"Psikopat banget lo, Yu... Demi Tuhan, gue nggak pernah ketemu orang se-gila lo. Bener-bener nggak ada takutnya." Sindir Dhiska.

"Tapi, tenang, gue udah dapet foto si pelaku. Pas dia nanya alamat, gue buka HP, pura-pura buka maps, padahal gue buka kamera. Plat nomor sama jenis motornya juga dapet hehe."

"Sinting banget ini anak, seriusan." Dhiska menyenggol bahu mbak Saras mendengar Ayu yang sempat-sempatnya cengengesan padahal hal yang ia lakukan membahayakan dirinya sendiri, "Iya sih dapet clue tentang pelaku, tapi tuh hubungan lo sama Aga, di ambang jurang."

Ayu membenam wajahnya di paha Saras dan mengerang tidak jelas di sana.

"Nggak tau.... Masih kesel sama Aga. Tapi, kangen...."

"Lo nggak jelas banget, Yu... Dosa apa si Aga naksir cewek kayak lo."

---

Sudah hari ketiga.

Dan perang dingin masih berlanjut. Aga berkali-kali mengecek ponselnya, berharap ada balasan pesan dari Ayu.

Setelah ia mendinginkan kepala dan sadar dengan tindakan dan egonya saat pertengkaran waktu itu, ia menghubungi Ayu untuk meminta maaf. Namun, gadis itu hanya membaca pesannya saja. Tidak di balas sekadar satu katapun.

Kekalutan itu mulai menyelimuti Aga. Ia benar-benar tidak ingin bertengkar dengan cara saling diam begini. Ia takut... Takut hal-hal seperti apa yang ia dan Bima alami terjadi lagi.

Ia berniat menyelesaikan tugasnya sesegera mungkin dan menghampiri Ayu.

"Bang..." Suara Ajun dari luar terdengar.

"Masuk, Jun." Sahut Aga.

Pintu kamarnya terbuka dan Ajun masuk. Cowok itu masih menggunakan kemeja berwarna biru tua dan celana hitam, bahkan tas ranselnya masih tersampir di punggungnya. Ajun duduk di pinggir kasur Aga, memasang senyum simpul andalannya.

"Kenapa lu?" Tanya Aga.

"Masih berantem nggak sama mbak Ayu?"

Alis Aga mengkerut, bingung dengan Ajun yang datang tiba-tiba menanyakan hubungannya.

"Kata siapa gue berantem sama Ayu?" Aga mengalihkan matanya dari Ajun dan lanjut mengerjakan tugasnya.

"Ada lah pokoknya."

Aga mengacuhkan Ajun dan lebih memilih tugasnya yang lebih penting. Karena jika tugasnya selesai, ia pasti akan cepat bertemu Ayunda dan meluruskan semuanya,

"BTW, pelaku pelecehan seksual yang kemarin rame banget udah ketangkep, bang."

Jari Aga yang tadi sedang mengetik, tiba-tiba berhenti dan langsung menoleh pada Ajun.

"Serius? Ada yang lapor lagi?"

"Iya. Ada yang lapor, lengkap pake foto si pelaku, tipe motor, plat nomor motor, tempat kejadian, dan jam kejadian."

"Bisa lengkap banget?"

"Hebat kan yang ngelapor?"

"Iya hebat." Aga hanya mengangguk dan fokusnya kembali pada laptop, namun telinganya tetap mendengarkan Ajun.

"Tau nggak siapa yang lapor?" Ajun mendekat pada Aga.

"Mana gue tau, Jun. Gue kan bukan anak BEM."

"Mbak Ayunda."

Jawaban dari Ajun kembali membuuat fokus Aga buyar, ia memandang Ajun lekat, untuk meyakinkan ucapannya sungguhan atau tidak.

"Mbak Ayunda yang ngelapor ke BEM kemarin. Waktu kejadiannya sama banget waktu lo lagi buru-buru jemput dia malam itu. Ternyata mbak Ayunda sengaja mancing pelakunya, dibantuin dua temennya yang jaga-jaga di dekat sana. Untung si pelaku pakai modusnya masih sama, nanya alamat. Pas pelaku nanya alamat, mbak Ayu pura-pura buka maps, padahal dia buka kamera buat foto pelaku."

Aga masih terpaku mendengar cerita dari Ajun, masih setengah tidak percaya dari apa yang dia dengar.

"Gue nggak tau gimana dia bisa tenang dan nggak takut sama sekali, soalnya selama ini kita susah cari pelaku karena korban yang lebih dulu ketrigger dan karena shock mungkin nggak sempet ingat muka pelaku apalagi buat merhatiin ciri-cirinya. Dan ini mbak Ayu... Sengaja mancing pelakunya. Sinting emang pacar lu bang."

Nuraga... Lu emang tolol banget.

Aga menyibakkan rambutnya ke belakang dan mengacaknya asal. Sekarang ia merasa bodoh sendiri.

"Lebih kerennya lagi, alasan mbak Ayunda ngelakuin itu, karena dia nggak mau ada korban lagi. Mungkin karena dia tau kali ya rasanya harus terpaksa pulang malem jalan kaki sendiri apalagi sebagai cewek. Ambil risiko gede banget tuh."

Tanpa berpikir lebih panjang, Aga langsung menutup laptopnya dan menyambar jaket yang ada di belakang pintu.

"Jun, nanti tutupin kamar gue." Aga memakai jaketnya dan buru-buru keluar dari kamar.

---

Aga sudah berdiri di depan fakultas psikologi, menunggu Ayu keluar. Sudah berlalu sepuluh menit dan beberapa mahasiswa mulai keluar dari gedung. Aga melongok dan berjinjit, menunggu batang hidung Ayu muncul.

Dan yang ditunggu akhirnya keluar, sedang bercengkerama dan tertawa girang dengan lawan bicaranya. Saat mata bulat itu menangkap Aga, senyumnya luntur seketika. Aga berjalan mendekat, Ayu berpamitan pada teman-temannya dan berjalan melewati Aga. Benar-benar mengabaikan lelaki itu.

"Ayu..." Aga berbalik, berusaha mengejar Ayu.

Namun, Ayu berjalan lebih cepat, berusaha menjauh dari jangkauannya.

"Ay."

"Ayu, dengerin aku dulu."

Ayu sama sekali tidak menggubris, kakinya menuruni tangga dengan cepat, dia benar-benar menghindar kali ini. Rasa takutnya pada Aga kembali muncul. Dadanya terasa sesak mengingat kejadian malam itu di depan kostnya.

"Ayunda, tolong berhenti sebentar."

Entah berapa jauh lagi Ayu ingin menghindar. Ia masih kesal melihat wajah itu yang dengan seenaknya pernah menghakimi Ayu sebagai sosok yang tidak bisa melakukan apa-apa.

"Ayu, sebentar aja."

Akhirnya tangan itu berhasil meraih lengan kecil Ayu. Ayu memutar bola matanya malas. Enggan berbalik untuk menghadap Aga.

"Kalau mau berantem jangan di sini." Ucap Ayu dengan nada dingin.

"Nggak... Aku nggak ngajak kamu berantem. Mau ngajak ngobrol sebentar."

Ayu hanya diam dan membenarkan tali ransel yang tersampir di bahunya. Sat tangannya masih tertahan oleh Aga. Ayu memberikan dirinya waktu untuk berpikir selama tiga detik. Sekaligus membantu mencairkan suasana hatinya.

1... 2... 3...

Sepertinya memang tanpa dipikirkan jawaban Ayu adalah, iya. Ia membuang nafas sejenak, badannya berbalik, menghadap ke arah Aga yang sedang menatapnya datar.

"Iya."

Aga tersenyum kecil dan tangannya beringsut untuk menggenggam tangan Ayu. Mengajaknya berjalan menuju tempat parkir.

---

Ayu hanya berdiam di atas motor Aga ketika lelaki itu berkeliling membawanya entah kemana. Berkeliling Bandung tanpa tujuan. Dari Asia Afrika, lanjut ke jalan Riau, lalu memutari Braga. Ia juga sangat enggan membuka mulut untuk bertanya.

Dan pada akhirnya pemberhentian terakhir mereka adalah, Kost Bu Ami.

Ayu sempat bingung kenapa Aga membawanya ke sini. Setelah Ayu turun dari motor, Aga pun turun. Ayu melepas helmnya dan diletakkan di atas jok motor.

"Mau ngomong apa?" Tanya Ayu pada Aga dengan sedikit ketus.

Aga yang baru saja meletakkan helmnya memandang Ayu datar, "Di dalem... Ngobrol di kamarku aja, nggak enak di sini, nanti kedengeran yang lain."

Giliran berantem kemarin, nggak malu ngomel-ngomel depan kost?

"Yuk masuk."

Aga melangkah di depan Ayu, Ayu hanya mengikuti sambil melihat-lihat kost bu Ami yang tumben sangat sepi. Semua kamar tertutup rapat dan sunyi. Aga mendorong pintu kamarnya yang sepertinya tidak Ajun kunci, karena tadi ia menitip pada Ajun untuk menutup pintu karena Aga buru-buru menghampiri Ayu.

Ia mempersilakan Ayu masuk lebih dahulu dan menutup pintu kamarnya. Ayu langsung duduk di pinggir kasur Aga, kepalanya menunduk, sejujurnya ia masih merasa takut dengan Aga karena pertengkaran mereka beberapa hari lalu.

Masih tertancap jelas di ingatan Ayu bagaimana malam itu sangat kacau dan kata perpisahan hampir terucap. Dan... Kalimat menyakitkan yang terlontar dari mulut Aga, membandingkan diri Ayu dengan Wina, menghakimi Ayu.

Ia bisa merasakan kasur Aga bergerak, lelaki itu sudah duduk di sebelahnya, menghalangi pandangan Ayu dengan memberikan satu paper bag kecil. Ayu menoleh, hendak bertanya apa maksud Aga memberikan ini.

"Sebagai permintaan maaf, buat tiga hari yang lalu."

Ayu menerima paper bag itu dan membukanya, isinya adalah buku binder berwarna ungu yang bisa diisi jika kertasnya sudah penuh dengan tulisan.

Jadi, maksudnya nyogok biar dimaafin?

Ayu memasukkan kembali binder ke dalam paper bag dan meletakkan di bawah tempat tidur Aga. Matanya masih tidak ingin menatap Aga sama sekali. Ayu masih merasa jengkel.

"Maaf, Ay. Aku nggak tau lagi harus bilang apa selain maaf."

Ayu hanya diam, memainkan jemarinya satu sama lain.

"Aku nggak tau kamu mau dengerin ini atau nggak, tapi aku mau ngomong, jelasin ke kamu biar kita nggak salah paham."

Ayu mengangguk singkat, masih dengan kepala yang menunduk.

"Harusnya aku dengerin kamu malam itu, tapi aku kalut, aku marah, aku bingung sama diriku sendiri. Aku takut kamu kenapa-kenapa, denger cerita dari Ajun dan bang Sandi tentang kasus itu. Aku langsung kepikiran kamu, yang ada di pikiranku cuma mau kamu pulang dengan selamat." Aga menjeda omongannya, tangannya meraih tangan Ayunda, "Ay, kalau kamu kenapa-kenapa, hal pertama yang bisa aku salahin adalah diriku sendiri. Aku yang akan marah sama diriku karena nggak bisa jagain kamu."

Air mata Ayu mulai terjatuh dari matanya mengenai celana hitam yang ia kenakan.

"Maaf, ucapanku nyakitin kamu malam itu. Aku nggak bermaksud ngatur kamu, nggak bermaksud nganggap kamu lemah, aku tahu kamu bisa jaga diri kamu sendiri." Aga menarik nafasnya, "Aku ngerti kamu nggak mau ngerepotin aku. Tapi, Ay, itu tugas kamu, repotin aku kapanpun. Kamu bebas minta jemput, minta aku temenin, minta sekedar bantu nitip beli makanpun boleh. Jangan sungkan sama aku, oke?"

Ayu mengusap wajahnya yang sudah basah karena air mata.

"Soal Wina... Aku nggak bermaksud ngebanding-bandingin kamu sama dia, Ay. Nggak pernah sama sekali di pikiran aku buat milih Wina. Aku bahkan nggak tau sifat Wina kayak gimana... Aku cuma asal ngomong aja malam itu. Nggak ada niat banding-bandingin kamu sama dia."

Akhirnya kepala Ayu terangkat perlahan dan mulai menoleh pada Aga. Tangan Aga bergerak untuk mengusap pipi Ayu, menghapus sisa air mata yang sudah membanjiri wajahnya.

"Ga..." Ayunda berusaha berbicara, ia sesenggukan sejenak, "Nggak mau putus..."

"Iya... Aku juga nggak mau." Aga tersenyum pada Ayunda.

Genggaman tangan itu mengerat, menyalurkan rasa maaf yang tidak bisa terucapkan oleh kata, hanya rasa bersalah yang masih tertinggal dan entah sampai kapan akan tertanam di benak masing-masing.

"Aku nggak tahu kamu malam itu emang lagi berniat mau jebak si pelaku, Ay. Kamu hebat berani ambil risiko. Tapi, kalau bisa jangan lakuin hal yang bikin diri kamu rugi. Yang kamu lakuin itu bahaya. Meskipun kamu lakuin itu bareng teman kamu, tapi pelaku itu laki-laki, tenaganya lebih kuat dari kamu. Kalau temen-temen kamu nggak bisa bantu gimana?"

Tangan Aga berpindah mengusap kepala Ayunda.

"Sejujurnya, malem itu aku juga takut... Takut banget. Tapi, aku nggak bisa diam aja. Aku nggak bisa liat temen-temenku was-was hanya karena pulang malem balik dari kuliah. Bukan salah kita sebagai perempuan pulang malem, Ga. Aku nggak mau perempuan-perempuan lain juga nggak ngerasa aman hanya karena perjalanan pulang ke rumah, ke tempat di mana harusnya mereka istirahat. Kenapa harus perempuan yang jadi korban? Aku nggak mau ada lagi yang harus ngalamin hal yang bahkan aku nggak sanggup pikirin."

"I know... Aku ngerti kok... Maaf ya kamu harus ngalamin ini, pacarku hebat kepikiran buat ngelindungin teman-temannya. Tapi, kamu harus inget, ada diri kamu sendiri juga yang harus kamu jaga. Kalau bisa, cerita ke aku... Kabarin aku, Ay. Nggak perlu mikir kamu bakal ngerepotin aku atau nggak."

Ayunda tersenyum simpul mendengar kalimat Aga yang cukup menenangkan dan rasanya... hangat. Selama sembilan belas tahun hidup, Ayu tidak pernah mendengar seseorang mengatakan kalau Ayu juga berharga. Selama ini yang Ayu dengar hanya, Ayu harus melindungi orang lain, Ayu yang harus mengalah, Ayu yang harus jadi contoh yang baik.

Hingga... Ayu kewalahan sendiri, selalu memendam semuanya seorang diri, karena ia merasa masalahnya hanya merepotkan orang lain.

"Sekarang, nggak perlu kamu nanggung beban sendiri, bagi beban kamu ke aku. Aku bakalan seneng kalau kamu yang minta. Cerita apapun yang ganggu pikiran kamu."

"Maaf kalau aku masih suka nutupin banyak hal, Ga. Aku kebiasa hidup sendiri, jadi kalau aku disuruh cerita bukannya aku nggak mau, tapi aku bingung harus cerita apa. Ujung-ujungnya selalu aku pendam terus aku jadi lupa."

Aga mengangguk paham. Masih banyak sisi dari Ayunda yang harus ia pahami, ada saja setiap harinya, bagian dari Ayunda yang terkadang masih membuat Aga bertanya, apakah ini benar Ayunda? Karena terkadang, Ayu benar-benar memiliki sisi yang tidak terduga. Contohnya saja ini. Aga kira, mengenal Ayunda hanya dibutuhkan waktu singkat. Tapi, untuk mengenal Ayu, Aga membutuhkan waktu selamanya.

"Oh iya... Tentang pertanyaan kamu, yang bilang kalau aku nyesel pacaran sama kamu, jawabannya aku nggak pernah nyesel. Nggak pernah sama sekali."

Ayu mengangguk pelan, "Iya... Maaf ya. Ini pertama kalinya kita berantem hebat kayak gini. Pasti ke depannya lebih banyak lagi ya, Ga, berantem-berantem kayak kemarin lagi?"

"Mmm... Pasti akan ada. Dan aku nggak suka kita marahan sampe kamu diemin aku kayak gitu. Aku... langsung keinget Bima, Ay."

Tatapan Ayu berubah menjadi nanar, "Aku nggak bales chat kamu karena aku masih takut." Suara Ayu berubah pelan di ujung.

"Iya... Aku tau kok. Cuma, aku jadi sadar aja, oh ini yang Bima rasain waktu dia berkali-kali ngechat aku dan nggak pernah aku bales. Sakit ya rasanya. Aku jadi makin ngerasa bersalah sama Bima."

"Ssshh... Bima bakalan sedih di atas sana kalau denger kamu nyalahin diri sendiri terus."

Aga terkekeh miris dengan karma yang Bima kirimkan secepat ini dan sialnya lewat Ayunda. Kenapa dua-duanya harus orang yang Aga sayangi.

"Makanya itu, kita kalau marahan jangan sampe diem-dieman begini. Aku nggak suka, Ay. Kita bikin kesepakatan gimana?"

"Kesepakatan?"

"Iya. Kalau nggak ada yang ngajak ngomong selama 24 jam, yang ngajak ngomong duluan, permintaannya harus diturutin."

Alis Ayu mengkerut, "Mana bisa begitu?"

"Bisa lah... Kalau nggak gitu nanti kita perang dingin terus. Kan aku bilang aku nggak suka berantem sampe diem-dieman begini."

Ayu mendengus pasrah, "Iya... Yang ngajak ngomong duluan ya yang harus diturutin permintaannya?"

"Iya. Setuju?"

"Setuju aja."

Aga mengacak rambut Ayunda, mereka berdua saling melempar tawa dan suasana sudah mulai mencair. Tangannya terulur, mengelus sisi pipi Ayu yang ia rindukan.

"Jadi, ini udah baikan?" Tanya Ayu.

Aga mengangguk pelan.

"Beneran nggak putus kan?" Tanya Ayu lagi sambil menggigit bibir bawahnya.

"Nggak. Nggak ada yang mau putus lagian juga."

"Ada!"

"Siapa?"

"Kamu! Waktu berantem katanya mau udahan aja, aku panik tau. Aku kira kita beneran bakalan putus."

"Nggak akan putus, kecuali kamu udah nggak sayang lagi sama aku. Itu pun nanti bakal aku usahain."

"Gombal."

Mereka berdua terkekeh. Kali ini Aga menambah satu tangan lagi untuk menangkup pipi Ayunda yang satunya. Mereka hanya saling bertukar tatap beberapa detik.

"Boleh?" Tanya Aga dengan suara berat yang pelan.

Ayunda mengizinkan dengan mengangguk kecil. Kepala mereka berdua mulai saling mendekat dengan mata yang saling terpejam, Ayu bisa merasakan nafas hangat Aga dan--

BRAKK

"BANG AGA— EH BUSET!"

Sontak mereka berdua langsung saling menjauh. Ayu mulai salah tingkah, menggaruk kepalanya dan membuang muka, tidak ingin melihat siapa tadi yang tanpa permisi membuka pintu kamar Aga.

"The, ketuk dulu kalau mau masuk." Bisa-bisanya suara Aga masih terdengar sangat santai.

Sementara jantung Ayu rasanya hampir keluar dari tempatnya.

"Sorry, bang. Lanjutin aja." Teriak Theo yang sepertinya sudah agak jauh dari kamar Aga.

Ayu tahu itu suara Theo. Beberapa detik kemudian, Ayu bisa mendengar suara pintu tertutup rapat.

Ayu menoleh pada Aga dengan tatapan kesal, "Aduh... Gimana itu? Aku malu banget tadi Theo masuk tiba-tiba, nanti dia cerita ke temen-temen kamu lagi. Ih... Aku mau pulang. Nggak mau kesini lagi."

Ia menyambar tasnya dan berdiri, hendak melengos dari kamar Aga.

"Ya ampun, Ay. Tunggu. Aku anterin kamu balik."

—-

Ayu menggeser jarinya pada layar ponsel, mengangkat video call dari Aga. Dan begitu tersambung wajah Aga sudah memenuhi layar handphonenya. Ia spontan tersenyum lebar melihat Aga yang sepertinya sudah mengantuk, sedang bersender pada kursi meja belajarnya.

"Kamu udah ngantuk ngapain ngajak video call."

"Kata siapa aku ngantuk?"

"Mata kamu kayak sayup-sayup gitu."

"Oh ini." Aga menunjukkan satu botol minyak kayu putih pada Ayu, "Tadi aku habis balurin minyak kayu putih ke leher, agak panas."

"Kamu sakit lagi?"

"Nggak... Biar hangat aja."

"Kamu ada jahe nggak? Minum rebusan jahe kalau gitu."

"Nggak butuh jahe, lebih butuh kamu. Kayaknya lebih hangat kalau dipeluk sama kamu."

Ayu memutar bola matanya sebal, "Pokoknya ya aku nggak mau ke kost kamu lagi."

"Loh? Kok gitu? Dicariin bu Ami loh nanti."

"Kamu tutup mulut Theo dulu."

"Iya iya... Nanti aku urusin masalah Theo. Dia disogok pake roti bakar juga udah diem."

Ayu membenarkan posisinya dan berbaring, menarik selimut hingga dadanya.

"Udah mau tidur, Ay?"

"Udah jam satu lewat." Ayu mengerjap sebentar, sebenarmya ia belum mengantuk, hanya saja, besok harus bangun lebih pagi karena ada mata kuliah awal, "Mana dongengnya?"

"Mau aku bacain apa? Timun Mas? Keong Mas? Atau mas Aga?"

Ayu terkekeh geli, "Dongeng mas Aga tuh dongeng jenis apa? Fabel? Legenda? Jenaka? Atau mitos?"

"Lebih ke sage kayaknya. Ceritanya tentang cowok namanya Nuraga yang suka sama satu perempuan."

Ayu mengangkat satu alisnya, "Siapa ceweknya?"

"Hmm... Kalau aku sebutin ciri-cirinya kayaknya nggak yakin kamu bakal kenal."

Loh? Aga pernah suka sama cewek lain sebelum pacaran sama gue?

"Kamu pernah naksir cewek lain ya sebelum pacaran sama aku?" Ayu memotong pembicaraan.

Merasa Ayu mulai terpancing, Aga melanjutkan pembicaraannya.

"Dengerin dulu. Jadi ada satu cewek, nggak perlu aku sebutlah inisialnya, nanti kalau kamu tau kamu iri sama dia."

Kening Ayu semakin mengkerut, kenapa tiba-tiba berubah jadi membicarakan perempuan lain.

"Dia ini orangnya pekerja keras, selalu ngebantu orang lain dimanapun dan kapanpun, dan nggak memandang orang lain itu siapa. Anaknya pemalu, lucunya dia nggak bisa nutupin kalau lagi malu, pasti pipinya merah."

Ayu ada merasa ada yang janggal dari cerita Aga.

"Kalau baru kenal, pasti yang orang lihat itu senyumnya yang lebar dan tulus, kayaknya emang dia udah terbiasa senyum setiap hari. Mm... Terus apa lagi ya? Kalau dilihat dari luar, pasti keliatan kayak orang penakut, tapi ternyata dia sepemberani itu."

Melihat Ayu yang begitu serius mendengarkan ceritanya, Aga menahan senyum.

"Baru-baru ini katanya dia berhasil ngelaporin pelaku pelecehan seksual, ngebahayain diri sendiri, demi teman-temannya. Heran aku... Dia nggak ada bosennya buat lindungin orang, padahal diri dia sendiri juga perlu dijaga. Jadi, rasanya aku mau jaga dia terus setiap hari."

Senyum di bibir Ayu tidak bisa tertahan lagi begitu sadar yang Aga bicarakan adalah dirinya.

"Udah segitu aja ceritanya, nanti kamu iri sama dia."

"Ish... Ngapain aku iri sama diriku sendiri?"

"Emang ngomongin kamu? Aku gak sebut nama kamu loh."

"Tau ah!"

Kalau Aga ada di sampingnya pasti Ayu sudah melempar bantal ke wajah Aga.

"Haha... Tapi, Ay, ngomongin tentang kakak kelas kamu dulu yg mau pacarin kamu buat dipamerin, actually i'd do the same kalo aku beneran ketemu kamu pas sma dulu. Ya bedanya aku pertama mau pacarin kamu dulu karena aku suka, pamernya belakangan."

Wajah Ayu merengut, "Kok gitu sih?"

"Pamer maksudku disini not in a bad way. Aku mau pamer ke ibuku kalau pacarku itu kamu, Ayunda, cuma ada satu di dunia dan aku yang beruntung dapetin kamu. Aku juga mau pamer kalau aku laki-laki yang beruntung bisa jadi pacar pertamanya haha."

"Pede banget kamu."

Aga tertawa kecil di seberang sana, "Bener kan?"

"Iya sih, tapi kenapa bangga banget gitu jadi pacar pertamaku?"

"Biasa aja sebenernya."

"Dasar."

Ayu membenarkan posisi bantalnya dan Aga yang sepertinya bergerak untuk berbaring di atas kasur juga dengan posisi miring dan wajah yang cukup dekat dengan layar.

"Terlebih lagi, yang mau aku pamerin adalah, dia Ayunda, someone who I lay my safe place before. Seseorang yang nggak pernah ninggalin aku bahkan waktu aku kacau karena pulang dari pemakaman Bima."

Mata Ayu mulai berkaca-kaca.

"Sejujurnya waktu itu aku udah siap kalau kamu bakal jauhin dan anggap aku orang jahat karena ceritaku waktu itu."

Raut Aga berubah sangat serius. Dia menjeda sejenak dan matanya berkedip pelan beberapa kali.

"But the moment I opened my eyes when you wake me up, the thing that I thought first was that you, I really make sure you won't leave me and still beside me. And there you were. The reassurance I really felt when I saw you that morning, that made me fall deep and deeper for you, Ayunda."

"Ah... terharu..." Ayu menyesap ingusnya dan air mata yang sudah berhasil turun.

"Terharu karena nggak ngerti ya aku pake bahasa inggris?"

"Enak aja! Aku ngerti ya!"

"Baru dipuji segitu udah terharu kamu. Udahlah, nanti kamu malah tinggi hati."

"Ish... Orang terharu masa nggak boleh? Kamu nih, kemarin aku nangis karena tugas juga nggak boleh."

"Haha yaudah... Aku bolehin nangis sepuasnya. Udah ya aku ngantuk banget, Ay."

"Hmm..."

"Good night , Ay. Jangan mimpiin aku."

Ayu mematikan sambungan video telefon mereka masih dengan senyum yang tersemat.

"Siapa juga yang mau mimpiin dia."

You took the time to memorize me
My fears, my hopes and dreams
I just like hanging out with you
All the time
All those times that you didn't leave
It's been occurring to me
I'd like to hang out with you
For my whole life

—-

Chapter ini ditulis untuk teman-teman penyintas pelecehan seksual. I'm so sorry if you've through that kind of tragedy. Semoga kita semua punya teman seperti Ayunda yang mau maju buat ngelindungin para perempuan di luar sana dari kejahatan seksual dan semoga kita bisa seberani Ayunda untuk melawan. Nggak mudah jadi korban kekerasan/pelecehan seksual karena pasti rasa trauma dan ketika speak up harus dapet cemooh yang bilang kalau hal ini nggak terlalu penting. But this thing matter! Dan sangat disayangkan kita sebagai perempuan harus melakukan banyak hal agar ngerasa aman. Stay safe everyone👼💜



setelah kepergok theo

Continue Reading

You'll Also Like

5.4K 622 21
Kim Seokjin adalah seorang mantan detektif yang kini menjadi otak dari semua kasus penipuan besar tanpa pernah ketahuan. Bae Joohyun adalah seorang a...
580 112 9
Hi, this is my fifth story It's about romantic comedies but later I'll add other genres to make it more fun So, just read on . . let's go to my sto...
275K 43K 97
Siapa saja yang ada di dalam keluargamu? Ayah? Ibu? Kakak? Adik? Kalau disini ada Mas, Abang, Aa dan Adek. Sepi, ya? Tambah orang lagi yuk, biar rame...
13.4K 899 6
Kebahagiaan, kehangatan, kebersamaan yang telah terjalin setelah sekian lama telah tergores oleh sebuah luka yang tak termaafkan. Kesalahan dimasa la...