point of view

By dyobokki

12.5K 1.6K 206

[heroine of you spin off] It was just how it went. More

πŸŒ™
Ruang BEM
Kamera Kiki
Salah Sangka
Formulir Band
Ankle Sprain
Audisi Band (a)
Audisi Band (b)
Foto & Sheila On 7
Brownies
Brian, Wina, Dan Kantin
Resah
Hari Bersamanya
The Beginning And The Farewell
The Untold Things
Rest Area
Si Sulung Dan Si Bungsu
Cerita Dari Bang Sandi
Made Up
Antara Jishaka Dan Saras
Skripsi
Nuraga Dan Tugas Akhir
Graduation
And Now Jakarta
Janendra Adimas Wicaksono
Saras Atau Vidya?
Very First Kiss, They Think
Delicate
Message In The Bottle; Abrian
Sweet Nothing; Nuraga (1)
⭐️ The Projector, Context, and Playlist

Jadi... Nggak Usah?

399 53 6
By dyobokki

Ayu menggaruk kepalanya, jemarinya sedaritadi nggak berhenti ketik-hapus pesan yang akan dia kirimkan pada Aga.

Seharusnya hari ini Ayu menemani Aga mengerjakan tugas di kafe milik teman Aga. Tapi, sudah hampir sore dan tugas kelompok Ayu belum juga selesai. Apalagi Aga sudah menanyakan kapan Ayu akan selesai dan kalau bisa kabari Aga sesegera mungkin.

Ayu rencananya ingin mengganti hari saja, tapi kemarin mereka sudah janji bahkan sampai Ayu berani-beraninya menautkan jari kelingkingnya dengan Aga. Berarti, janjinya nggak boleh dilanggar kan?

Ah, bodo amat. Tanya dulu aja.

Ayu nggak peduli apapun lagi, yang penting dia bilang dulu dengan Aga. Masalah Aga marah atau nggak, Ayu sudah nggak peduli.

"Lo kenapa sih, Yu? Kayak orang kebingungan gitu?" Tanya Tasya yang ada di hadapan Ayu.

"Hehe nggak apa-apa." Jawab Ayu kikuk.

Ia menggigit kuku jempolnya, kakinya di bawah bergoyang, menunggu balasan Aga.

Hah? Nyusul?

"Lo punya pacar ya?" Kali ini gantian Imelda yang bertanya.

Bola mata Ayu langsung melebar mendengar spekulasi teman-temannya.

"Pacar apaan? Nggak ada." Sangkal Ayu dengan cepat.

"Habis lo chatan serius banget, kayak lagi nungguin balesan pacar lo yang lagi ngambek." Sambung Imel.

"Kali aja lo kena cinlok pas jadi panitia dies natalis, Yu." Canda Tasya.

"Dih... Mana ada. Boro-boro ada cinlok, pada puyeng sama divisi masing-masing."

"Haha kan kali aja, Yu. Udah banyak tau fenomena jatuh cinta waktu kepanitiaan. Kalo ada celah kosong mah kenapa nggak.  Gue bilangin aja nih, jangan pernah pokoknya baper sesama panitia. Hukumnya wajib." Jelas Tasya lagi.

"Wajib? Kayak ibadah aja."

Ayu kembali memfokuskan dirinya ke layar laptop, menyembunyikan dirinya yang salah tingkah. Dan berharap Aga nggak menghampiri dirinya kalau memang dia akan menyusul ke sini.

Semoga dia duduk dimana dulu gitu. Pokoknya jangan disini. Maluuu.

Sebisa mungkin Ayu langsung menyelesaikan tugasnya agar saat Aga datang nanti, teman-temannya juga sudah selesai dan pulang.

Dua jurnal sudah Ayu review di bagian pendahuluan, sudah ia tambahkan daftar pustaka juga. Tinggal menunggu Tasya dan Imel menyerahkan hasil bagian dari mereka dan Ayu yang merapikan.

"Yu, udah nih punya gue. Langsung email ya." Ujar Imel.

"Okay."

Kurang dari satu menit, Ayu sudah mendapatkan email dari Imelda. Ia langsung menggabungkan dengan pendahuluan yang sudah Ayu buat.

"Yu, gue juga udah kirim ya."

Lengkap. Semuanya lengkap. Ayu melirik sebentar pada jam tangannya. Sepuluh menit lagi, Ayu berusaha menyelesaikan ini sepuluh menit.

"Gue sama Tasya balik duluan nggak apa-apa, Yu?" Tanya Imel yang sudah menutup laptopnya.

"Eh... Iya nggak apa-apa, nanti gue balik sendiri kok."

"Mel, itu Nuraga komting Arsi bukan sih?"

Hah? Nuraga? Komting? Jadi dia ketua angkatan jurusan arsi? Baru tau deh. Kok Tasya sama Imel lebih tau ya?

Ayu langsung mengalihkan matanya pada Tasya yang sedang menunjuk ke pojok kafe, dimana Aga sedang anteng duduk dengan sebuah laptop di depannya.

Loh, udah sampe ternyata. Untung duduk di sana dulu dia.

"Ihh... iya... makin ganteng aja nggak sih?"

Hah? Ganteng darimananya? Perlu dicuci mata kalian berdua kayaknya.

"Yu, itu si Aga kan? Bukannya dia juga jadi panitia dies natalis?" Ayu langsung berpura-pura menoleh ke arah Tasya, lalu melirik ke arah meja Aga.

"Oh... Iya. Dia wakil ketua, biasa pasangan sama Ajun." Jawab Ayu dengan senyum kecil.

Selanjutnya Ayu nggak mendengar apa yang Imel dan Tasya bicarakan, karena ia sendiri juga nggak terlalu fokus dan buru-buru agar ini selesai, sehingga Aga nggak perlu menunggunya terlalu lama. Ia lalu menggerakkan tangannya di atas kursor untuk merapikan margin dan paragraf dari tugas literature review ini.

"Ayunda, kita balik ya. Beneran nggak apa-apa ditinggal sendiri?" Ujar Imel.

"Iya beneran nggak apa-apa. Hati-hati ya, nanti gue kirim ke grup tugas yang udah rapi. Langsung disubmit ya." Balas Ayu.

Tasya dan Imel berdiri dan melambaikan tangan mereka pada Ayu. Dengan senyum lebar, Ayu balas melambai pada mereka berdua yang sudah keluar dari kafe dan pulang dengan motor yang Tasya bawa.

Ayu langsung menengok ke arah Aga, ternyata cowok itu sedang menyampirkan tasnya, mengangkat laptop dan satu cup es kopi yang Ayu nggak tau itu jenis minuman kopi apa, dan berjalan ke arah Ayu.

"Sorry banget nunggu lama." Nada bicara Ayu terdengar sangat bersalah.

Aga langsung duduk di hadapannya, meletakkan laptop miliknya di depan laptop Ayu.

"Udah selesai?" Tanya Aga.

Ayu mengangguk pelan, "Maaf ya jadi malah lo yang nungguin gue nugas. Terus kita mau ke kafe mana? Yuk langsung jalan aja, sekarang gue yang nemenin lo nugas."

Aga tergelak renyah. Dan itu sukses membuat kedua alis Ayu terangkat bingung.

"Kebetulan banget, ini kafe yang gue maksud, jadi kita nggak usah pindah. Tugas gue juga udah selesai kok."

"Hah? Serius?"

"Iya. Nungguin kabar dari lo tadi, sekalian aja gue selesaiin tugas. Lagian lu serius banget ngerjain tugasnya, gue chat berkali kali juga nggak direspon. Jangan-jangan nggak sadar ya gue dateng daritadi?"

Ayu langsung mengecek ponselnya dan benar saja Aga sudah mengiriminya pesan hampir tiga puluh menit yang lalu. Membuat Ayu semakin merasa bersalah. Ini sih jatuhnya Aga yang menunggu Ayu nugas, bukan sebaliknya.

Bibir bawah Ayu maju, bingung harus minta maaf dalam bentuk apalagi.

"Kan janjinya gue dimaafin kalau nemenin lo nugas—"

"Berarti nggak jadi dimaafin gitu?" Potong Aga langsung.

"Terus gimana? Kita mau ngapain?"

"Ya duduk aja di sini, ngobrol, atau mau nambah minuman? Mau nyemil nggak? Kue disini enak, mau gue pesenin? Rasa apa? Coklat?"

"Gue aja yang pesenin, sebagai permintaan maaf karena udah ngelanggar janji kemarin."

Ayu hendak berdiri, namun langsung ditarik lembut oleh Aga untuk kembali duduk.

"Diem di sini, biar gue aja."

Ayu hanya bisa membatu di tempat, melihat Aga sudah berdiri di depan konter dan memesan sesuatu. Sekembalinya, Aga membawa dua piring berisi masing-masing satu slice kecil kue coklat yang terlihat sangat menggoda mata Ayu.

"Sebelum makan, gue mau ngajuin syarat dulu."

Ayu memundurkan tubuhnya sedikit, menunggu Aga untuk bicara lebih lanjut. Ia jadi penasaran apa syarat yang akan Aga keluarkan.

"Apa?"

"Dimulai dari lu pegang garpu ini," Aga menunjuk garpu kecil di atas piring, "Berhenti ngomong 'sorry' atau 'maaf' buat hari ini di depan gue."

Ayu yang bingung hanya menatap Aga lurus, meminta penjelasan dengan sejelas-jelasnya.

"Daripada lo minta maaf karena udah bikin gue nungguin lo nugas, coba diganti 'Thank you, udah mau nungguin gue.'" Melihat Ayu yang masih memasang raut bimbang, Aga meluruskan punggungnya, "Gimana? Paham nggak?"

Iya. Ayu paham dengan kalimat Aga. Tapi, Ayu nggak paham kenapa ia harus mengucapkan itu. Kenapa harus mengganti kata maaf dengan terima kasih yang jelas-jelas berbeda jika diucapkan. Maaf untuk meminta maaf jika berbuat salah dan terima kasih diucapkan ketika orang berlawanan melakukan hal yang baik untuk diri kita.

"Gini, kalau lu bilang maaf terus-terusan kayak gitu, orang tersebut mungkin akan ngerasa sungkan. Tapi, coba kita ganti pakai kata terima kasih, mereka tuh akan merasa dihargai. Jadi, dibanding harus minta maaf dan bikin canggung dua duanya, mending ganti pakai terima kasih. Gimana? Sampe sini udah ngerti?"

Ayu yang sedaritadi lamat-lamat memerhatikan ucapan Aga, mulai paham sekarang. Ia mengangguk pelan.

"Berarti lo sungkan dong setiap gue bilang maaf terus-terusan?"

Aga mendengus sebentar, "Bukan gitu, tapi jangan selalu sering minta maaf padahal lo nggak melakukan kesalahan apa-apa."

Padahal Ayu minta maaf karena merasa nggak enak sudah hampir membatalkan janji dengan Aga.

"Thank you udah mau nyusul kesini, Ga. Thank you juga udah mau nungguin gue." Ujar Ayu dengan senyum tipis, "Makasih udah mau luangin waktu ngerjain tugas lebih dulu dan makasih buat makanannya."

Senyum lebar Aga nggak bisa ia pungkiri ketika Ayu selesai dengan kalimatnya. Ia langsung memberikan Ayu garpu kecil dan menggeser kue coklat itu ke depan Ayu agar ia makan. Ia menunggu Ayu untuk menyantap kuenya. Begitu gadis itu menggigit potongan kue yang ada di garpu, wajahnya langsung sumringah karena rasa coklat yang meleleh dalam mulutnya.

"Masih jam segini." Aga melirik jam yang tertera di layar kanan bawah laptopnya, "Habis dari sini mau kemana?" Tanya Aga lagi.

Ayu melihat keluar lewat pintu kaca kafe yang langsung mengarah ke jalanan. Langit sudah menampakkan masuk waktu petang. Karena besok hari sabtu dan jadwalnya adalah hanya rapat, mungkin Ayu juga nggak melakukan apa-apa di kost. Tapi, cukup bingung jika ditanya ingin kemana.

"Bingung." Jawab Ayu pelan, mulutnya masih mengunyah kue coklat.

Bingung mau kemana. Kalau diem disini juga bingung mau ngobrol apa. Bingung kenapa harus ada Aga di sini.

"Ya udah ngobrol aja." Ucap aga.

"Ngobrolin apa? Bingung."

"Apa aja."

"Apa ya? Nggak tau... Nggak ada topik yang kepikiran. Lo aja coba yang nanya-nanya ke gue. Asal jangan tanya tentang kuliah, udah pusing."

Aga nggak kuasa untuk menahan senyumnya. Sebisa mungkin ia terlihat santai di depan Ayu.

"Tadi pagi makan apa?"

"Lontong sayur depan kostan."

"Enak?"

"Enak."

"Semalem tidur jam berapa?"

Eh... Pertanyaannya kok...

Ayu sedikit berpikir sebelum menjawab. Bukan berpikir tentang jawaban dari pertanyaan Aga, tapi berpikir tentang jenis pertanyaan yang cowok itu lempar.

"Jam satu." Lanjut Ayu.

"Tadi siang makan apa? Sama siapa?"

Lho... Kok...

"Makan soto di kantin fakultas sama... ada temen— Sebentar kok pertanyaannya template banget."

"Template gimana?"

"Template kayak anak SMA lagi pdkt." Balas Ayu pelan.

"Kan katanya disuruh tanya apa aja."

Eh iya juga sih...

"Berarti lo bohong ya nggak pernah pacaran."

"Loh kok gitu?"

"Itu buktinya tau template pdkt anak SMA."

Lah dikira gue nggak punya temen kali waktu sekolah.

"Ya emang nggak pernah pacaran, tapi masa nggak pernah deket sama cowok juga." Ujar Ayu sedikit sinis.

Satu ujung bibir Aga tertarik, ia menyesap sedikit es kopi latte yang sudah seperempat gelas ia minum.

"Berarti gue ketahuan dong lagi pdkt."

Alis Ayu bertaut, kadang dia nggak mengerti dengan pertanyaan ambigu Aga yang seperti ini.

"PDKT? Sama... gue?" Jari telunjuk Ayu menunjuk pada dadanya.

"Coba dipikir, emang sama siapa lagi?" Balas Aga santai, lalu mulai mencomot sedikit potongan kue coklat milik Ayu.

"OHHH— Wina ya?" Balas Ayu sedikit antusias, mulai sadar dengan arah pembicaraan Aga.

Dia sebenarnya hanya menyangkal pikirannya, nggak ingin terjebak lagi dalam perangkap Aga yang ujung-ujungnya pasti akan bilang kalau ini hanya candaan.

Jujur, sikap Aga yang seperti ini mengingatkan Ayu pada seseorang yang dulu pernah dekat dengannya semasa SMA. Meskipun Ayu nggak pernah pacaran, tapi dia nggak senaif itu masalah percintaan. Dulu cowok yang sempat mendekati Ayu nggak pernah sebercanda ini, tapi tingkahnya sama persis dengan Aga, suka meledek. Bedanya cowok yang dulu dekat dengan Ayu, benar terang-terangan kalau dia memang suka dengan Ayu.

Kalau Aga? Ayu terlalu bingung dengan sikap cowok itu yang bertindak sesukanya. Di hari ini akan dekat dengan Wina, lalu hari berikutnya dia meledek Ayu, lalu pindah lagi ke Wina. Terkadang karena alasan itu, Ayu selalu menepis spekulasi bahwa Aga sedang menyukainya. Dia benar-benar membentengi diri dengan perisai Aga menyukai Wina. Bukan Ayu.

"Iya deh nanti gue bilangin Wina kalau lo suka sama dia." Ujar Ayu penuh percaya diri.

"Kok jadi Wina sih?"

Tuh kan... Ayu kembali bingung, "Terus kalau bukan Wina siapa dong? Dhiska? Nadine? Sherin?"

Aga mendenguskan nafasnya gusar di depan Ayu, menyedot kopinya dengan banyak nggak seperti tadi.

"Pikirin sendiri aja." Jawab Aga lempeng.

"Yah... ngambek." Goda Ayu dibalas lirikan sinis dari Aga.

"Tapi lo serius bener-bener nggak paham sama maksud omongan gue tadi?"

Bola mata Ayu melirik ke kanan dan ke kiri secara bergantian, bibirnya terkatup rapat. Bingung dengan jalan pikiran Aga dan apa maunya.

"Gue diem aja deh, takut salah ngomong." Ucap Ayu akhirnya, mengabaikan pertanyaan Aga.

Habisnya gimana, gue nyebut diri sendiri dia ngalihin pertanyaan, nyebutin nama cewek-cewek disuruh mikirin sendiri. Aneh banget. Sumpah.

"Dijawab Ayu, kalau orang nanya tuh."

"Lah habis, lo nggak jelas banget. Bisa nggak sih to the point aja? Pusing muter otaknya, udah tau otak gue nggak selancar Wina." Gerutu Ayu sedikit kesal.

Nggak mungkin kan dia naksir sama gue? Aduh... nggak mau ge-er.

Entah ini yang keberapa kalinya Aga sudah mendengus kasar di depan Ayu. Cowok itu menutup laptopnya, lalu ia masukkan ke dalam ransel yang ia letakkan di kursi samping. Ayu memperhatikan gerakan Aga, kenapa Aga membereskan barangnya?

Di pikiran Ayu saat ini Aga mungkin kesal dengannya dan bisa saja meninggalkan Ayu sendiri di sini.

"Kok beres-beres? Mau pulang?" Tanya Ayu dengan hati-hati.

"Beres-beres doang, Ayu. Laptop gue ngeganggu, nggak bisa bebas ngeliat muka lo waktu ngobrol, nyempit-nyempitin meja juga."

Ayu menggigit bibir bawahnya. Menunggu Aga selesai beres-beres memasukkan semua barang di atas meja dan hanya meninggalkan ponselnya.

"Udah?" Tanya Ayu lagi.

"Udah." Aga membetulkan posisi duduknya, "Lanjut mau ditanya lagi apa nggak?"

Mata Ayu mengerjap dua kali, kalau nggak ditanya lagi pasti nanti mereka semakin canggung dan hanya diam saja. Kalau ditanya pasti pertanyaan yang Aga berikan terkadang aneh menurut Ayu. Ia lalu melihat pada tangan Aga yang sudah nggak ada perban yang menutupi lukanya, dengan itu Ayu bisa melihat telapak tangan Aga yang terjahit.

"Tangannya—"

Belum sempat Ayu melanjutkan, Aga menghadapkan telapak tangannya pada Ayu.

"Aman. Gue naik motor kok kesini, nih buktinya selamat bisa ketemu sama lo."

Ayu tersenyum tipis, "Besok buka jahitan kan?"

"Mau ikut?"

"Apa?"

"Buka jahitan ke klinik."

"Tapi, gue nggak bisa nyetir motor."

"Gue yang nyetir, Ayu."

Ayu berpikir sejenak dengan terdiam. Dengan begitu Aga menunggunya dan mengharapkan jawaban iya dari Ayunda.

"Nggak deh, takut." Begitu alasan yang Ayu keluarkan.

"Kan nunggu di luar ruang tindakan."

"Nggak apa-apa, lo aja, atau minta temenin Ajun? Haidar? Atau siapa tuh kemarin— Theo ya?"

Aga mungkin sedikit kecewa, tapi bagaimanapun dia nggak mau memaksa Ayu dan sekalipun cewek itu sudah bilang "tidak", bukan bagian Aga untuk memaksa.

Minuman coklat miliknya yang sudah hampir habis, Ayu sesap sampai hanya bersisa es batu yang mencari sedikit demi sedikit. Menikmati keheningan hanya antara ia dan Aga. 

Suasananya nggak semenegangkan tadi bagi Ayu. Bukan menegangkan sih— lebih tepatnya, sedikit canggung karena Ayu nggak tahu jika berhadapan dengan Aga harus mengobrol dengan topik apa, karena mereka berdua yang baru kenal selama beberapa bulan. Itu pun kalau mengobrol hanya membahas tentang acara.

"Ayu." Suara panggilan dari Aga yang cukup tenang, sukses membuat Ayu memaku perhatiannya pada Aga.

Lelaki itu menarik nafas dalam secara diam-diam.

"Kalau kemarin gue bilangnya gue minta lu nemenin kesini bukan karena tugas gimana?"

Bibir bawah Ayu tergigit pelan, "Ya... Nggak apa-apa."

"Maksudnya— Kalau gue nggak pake alasan ngajak kesini buat nemenin nugas, tanggapan lo gimana?"

"Ya itu... Nggak apa-apa. Emang kenapa?"

"Waktu Brian ngajak lo keluar, tanggapan lo gimana?"

Ayu semakin bingung dengan arah pembicaraan Aga yang ujung-ujungnya pasti membawa-bawa Brian. Atau jangan-jangan Aga sengaja mengajak Ayu kesinu hanya untuk mencari tahu tentang Brian?

"Ya... Gue senang."

"Sama gue nggak senang?"

"Senang kok." Balas Ayu singkat seolah pertanyaan Aga nggak berpengaruh apa-apa terhadap perasaannya.

"Waktu Brian ngajak lo keluar, apa yang lo pikirin?"

Ayu menalan potongan kue yang baru saja ia gigit, mengusap ujung bibirnya dengan ibu jari karena ada krim coklat yang tertinggal di sana.

"Dia ngajak gue makan karena dia bilang gue udah ngedukung Enam Hari."

"Udah itu aja?"

Ayu mengangguk singkat.

"Kalau gue yang bilang minta lo nemenin gue nugas di kafe, apa yang lo pikirin?"

"Berarti Aga butuh temen buat nugas di kafe. Sama biar gue dimaafin." Di ujung kalimat Ayu menyelipkan nada candaan.

Sayangnya Aga seperti nggak bereaksi dengan candaan Ayu. Wajahnya masih terlihat sangat datar. Tapi, aslinya Aga mengerti kok Ayu sedang bercanda.

"Tahu nggak, kalau Brian atau gue bohong dengan alasan-alasan itu?"

Dahi Ayu mengkerut, garpu kecil yang ia pegang ia putar-putar secara asal. Matanya masih menatap Aga lurus, begitupun Aga sendiri.

"Muka lo jangan serius begitu, Ayu. Jelek banget kayaknya."

Kan mulai bercandanya nggak lucu.

Mata Ayu mendelik sebal ke arah Aga. Bibir bawahnya maju hingga dua senti. Sementara itu Aga merasa puas sudah melihat wajah Ayu yang kebingungan.

"Btw, gue belum bilang kalau gue udah maafin lu."

"Yah... Terus gimana?" Nada bicara Ayu terdengar sedih, "Jadi, kita musuhan gitu?"

Aga terkekeh sedikit, "Sebelum gue bilang 'gue maafin', harus nurutin permintaan gue dulu."

"Mana bisa begitu?" Protes Ayu, dia nggak terima dengan ide Aga barusan.

"Ya bisa aja... Kan lo yang minta maaf. Selama belum gue kasih maaf, ya harus turutin dulu permintaam gue."

Kesabaran Ayu benar-benar dihabiskan disini. Ia mengacuhkan Aga. Pura-pura nggak mendengar apa yang lelaki itu ucapkan.

"Oke, permintaan pertama—"

"Loh, kok udah permintaan pertama aja?"

Ayu nggak terima Aga bertindak hanya satu pihak begini, kan belum ada kesepakatan. Belum ada deal. Lagipula Ayu kira tadi Aga nggak serius dengan ucapannya. Nah... Kalau kayak begini Ayu semakin bingung dimana letak omongan Aga yang serius atau bercanda.

"Loh, tadi diem aja. Diem itu tandanya iya."

"Kan gue belum bilang iya. Belum deal. Belum sepakat."

"Okay. Deal! Udah kan? Permintaan pertama, habis ini makan sate ayam di deket pasar Antapani."

Mulut Ayu menganga saking nggak percaya dengan tindakan Aga. Semakin lama Ayu merasa Aga semakin semena-mena.

Wah... nggak bisa dibiarin ini.

"Nggak bisa begitu dong, kan gue—"

"Udah habis kan kuenya, langsung kesana aja. Udah laper banget gue."

Aga sudah meraih ranselnya dan bangun dari kursi. Berjalan dahulu meninggalkan Ayu. Sementara Ayu yang masih heran dan ucapannya belum selesai karena dipotong Aga, langsung memasukkan laptopnya ke dalam tas dan segera menyusul Aga.

—-

"ASTAGA DHISKA!"

Ayu memegang dadanya yang hampir melompat keluar ketika ia baru saja keluar dari kamar kostnya dan melihat Dhiska muncul di depan pintu kamarnya dengan masker wajah berwarna putih dan dengan handuk yang melilit rambutnya.

"Ih... apaan deh lebay. Emang gue setan?" Protes Adhiska dengan cara bicara yang aneh, mulutnya tidak bisa terbuka bebas karena masker yang hampir kering.

"Iya muka  lo ngagetin kayak setan, tiba-tiba muncul gitu."

Adhiska hanya mendelik, "Mau ke kamar mbak Saras ya? Ikut dong."

Ayu berjalan mendahului Dhiska yang mengikuti dari belakang.

"Iya. Gue mau tidur di kamar mbak Saras."

Ayu berhenti di depan kamar mbak Saras sebelum mengetuk pintunya.

"Gue cuci muka dulu. Nanti gue nyusul." Dhiska berlari kecil ke dalam kamarnya.

Ayu tersenyum kecil lalu mengetuk pintu kamar mbak Saras dua kali.

"Mbak, ini Ayu."

"Masuk!"

Setelah mendapat izin dari mbak Saras, Ayu langsung menarik knop pintu, lalu masuk ke dalam kamar mbak Saras. Nggak lupa Ayu langsung menutup kamarnya lagi. Ia langsung menghambur ke atas kasur mbak Saras, memeluk tubuh cewek yang lebih tua dua tahun darinya itu.

"Cie... yang habis first date. Gimana? Cerita dong." Goda mbak Saras.

Ayu malu dan menenggelamkan wajahnya di dalam pelukannya dengan mbak Saras.

"Bukan first date, mbak. Nemenin nugas." Jawab Ayu setelah ia mendongakkan wajahnya dan menghadap mbak Saras.

Pelukan Ayu terlepas, ia lalu membaringkan tubuhnya di sebelah mbak Saras yang sedang duduk bersender pada tembok dan mengerjakan tugas magang.

"Itu first date berkedok tugas, Ayu."

Sebelum Ayu mengelak lagi, ia memiringkan posisi badannya. Jari telunjuknya mengusap pelan pada lengan mbak Saras yang masih sibuk mengetik huruf sana sini.

Suara pintu terbuka terdengar, Ayu tahu itu Dhiska, jadi dia nggak menengok sama sekali. Dhiska menyusul dan ikut berbaring di sebelah Ayu.

Kebetulan kasur di kamar mbak Saras memang lebih besar dari yang lain, karena mbak Saras lebih dulu ngekost disini, di saat kost ini baru saja jadi dan baru tersedia beberapa kamar saja. Bisa dibilang mbak Saras adalah sesepuh kost. Alias penghuni pertama.

"Tapi, aku tuh nggak tau dia emang suka tuh beneran suka apa emang bercanda aja. Nggak ngerti pokoknya."

"Kenapa? Ayu ditembak sama Aga?" Sambar Dhiska yang baru saja datang.

"Ngarang." Balas Ayu sambil memukul bokong Dhiska.

Dhiska yang nggak terima langsung membalas menggelitik perut Ayu, hingga mbak Saras harus melerai keduanya, karena Ayu tertawa terbahak karena kelitikan dari Dhiska.

"Bukan Aga yang nggak serius kali, tapi lo yang nggak peka." Ujar Dhiska lagi setelah suasana mulai kondusif.

"Nggak ngerti deh gue, dia ngeledekin mulu terus habis itu pasti bilangnya bercandaaaa terus. Tapi, mukanya tuh kayak serius."

"Tapi, kamu suka nggak sama Aga?"

Pertanyaan mbak Saras berhasil membuat Ayu terdiam.

"Nggak tahu..." Jawab Ayu pelan.

"Coba, Yu, sekali-kali lo ladenin aja kalau Aga ngeledekin lo. Let it flow. Iya kan mbak?"

Mbak Saras hanya mengangguk sebentar.

"Ladenin kayak gimana?"

"Misal Aga mulai bercanda bercanda lagi, coba lo tanggepin aja. Biarin gitu, ikutin aja cara dia bercanda gimana. Biar lo juga nggak kentara kalau lo tuh denial juga sama perasaan lo."

Ayu mulai mengerti dengan ucapan Dhiska. Mungkin iya, Ayu juga nggak boleh bersikap terlalu sering menyangkal. Apa besok Ayu coba saja kalau Aga mulai meledeknya lagi?

I get greedy, wanting our relationship to get a bit closer
Just one step, that much closer
My monologues, my whispers
You might be curious too

It's because I like you
Even though I have on a cold face
My heart isn't like that, it's a lie
But foolish you makes me frustrated

—-

Continue Reading

You'll Also Like

291K 37.8K 61
[Tersedia Di Shopee] Di dunia ini banyak terjadi pertemuan. Silih berganti, orang asing satu dengan orang asing lainnya. Ada yang sekadar bertemu pan...
3.2K 903 18
Bayu Arkan Wibisono, seorang Pria yang berprofesi sebagai Arkeolog berumur 27 tahun dihadapkan oleh tawaran yang menggiurkan dari Ayuni Ardhanareswar...
295K 22.8K 104
"Jadi, saya jatuh dan cinta sendirian ya?" Disclaimer! Ini fiksi nggak ada sangkut pautnya di dunia nyata, tolong bijak dalam membaca dan berkomentar...
4.6K 395 19
Starving, Fasting by Annelies Shofia AU, OOC! Tokoh-tokoh HP menjadi muslim dan menjalankan puasa Ramadhan. Banyak ulah yang akan terjadi selama mere...