CERAUNOPHILE [Completed]

By Listikay

11.7K 2.3K 546

Sama halnya dengan sebuah lilin di tengah gelapnya malam, seperti itulah hubungan benang raja dengan sang gun... More

Prolog
1. Dewa Guntur
2. Benang Raja
3. He's dangerous
4. Terlalu dalam
5. Di bawah rinai hujan
6. Beban lara
7. Menetap
8. Hangat tanpa dekap
9. Bukan sekedar menapaki
10. Titik temu
11. Adiwarna
12. Tidak berujung
13. Kita ini apa?
14. Suatu sore
15. Fall in love
16. Eksentrik
17. Liar
18. The night
19. Sepenggal kalimat
20. Killer lightning
21. Memeluk rindu
22. Dawai asmara
23. Lakon luka
24. Hilang untuk pulang
25. Binar
26. Senandung senja
27. Ujung koridor
28. Ingin bersua
29. Mungkin lelah
30. Sebuah rahasia
31. Renjana
32. Singkat
33. Retrouvailles
34. Segenap rasa
35. Menawan
36. Membuka luka lama
37. Lean on you
38. Menampik rasa takut
39. Nestapa
40. Kubangan hitam
41. Tertegun
42. Lebih ringan
43. Beranjak sembuh
44. Hilang arah
45. Broken
46. Akhir
47. Akhir (2)
48. Seutas karsa
49. Menjelang pagi
50. Pulang
Epilog
Mengikis Rasa

Extra Part

164 14 34
By Listikay


Nunggu 10k masih jauh banget kayaknya, jadi mari kita gas aja.

Ini agak panjang, biar kangennya agak ilang.

Belom direvisi lagi, mager banget wkwk maapkeun kalo banyak typo.

***

“Mama!”

Pelangi baru saja memasuki ruang tengah setelah selesai menjemur baju di halaman belakang kala seorang gadis kecil yang paling banter berusia tiga berlari ke arahnya.

“Kamu minum es?!” Pelangi memekik garang.

“Ndong!” Dia tampak tidak peduli dengan noda coklat yang mengotori sekitar mulutnya, kedua tangannya terjulur ke atas, meminta gendong.

“Kamu minum es?!” Pelangi bertanya sekali lagi.

Lentera— anak itu justru nyengir lebar, menampilkan giginya yang masih jarang-jarang. “Es enak, Mama!” serunya kelewatan girang.

“Dibilangan jangan minum es, bandel banget,” omel Pelangi, sudah seperti mamak-mamak di luar sana. “Nanti sakit. Mau umbelen kamu?”

“Umbel enak, Mama!”

Pelangi mendengus lelah. Jujur saja, dia lebih memilih mengerjakan semua pekerjaan rumah seorang diri tiap hari daripada harus  mengurus anak ini.

“Mama, ndong!”

“Sini cuci tangan dulu.” Pelangi mengandeng tangan Lentera menuju dapur. Sama seperti kebanyakan anak sebayanya, tingkahnya kadang menjengkelkan. Juga memusingkan kalau sudah banyak tanya.

“Siapa tadi yang ngasih kamu ice cream?” tanya gadis itu sambil membasuh tangan serta mulut Lentera di wastafel dapur.

“Papa!”

“APAAN ORANG DIA YANG MINTA!” Seruan dari ruang tengah terdengar menggelegar sampai-sampai membuat Lentera sempat tersentak kaget, ekspresinya justru terkesan menggemaskan.

“Hihhh, kayak maung ya, Mama.” Bocah itu bergidik ngeri sambil menatap Pelangi.

“Iya.” Setelah selesai, dia beralih membawa Lentera dalam gendongannya. “Kamu nih juga anak maung.”

“Bukan Mama, ihh!” Lentera berseru tidak terima. “Aku anak pintar!”

“PINTER KOPET!!” Rayden yang tengah tiduran di atas sofa dengan mata terpejam ikut menyahut tanda tak setuju. Sebelah tangannya ia gunakan untuk menutupi matanya.

Sambil mendudukkan diri di sofa lain yang kosong, Pelangi berucap, “Lain kali kalo minta ice cream jangan dikasih deh, Den.” Sebelum mendekap Lentera yang duduk di pangkuannya. Menempelkan kepala anak itu di dadanya dan menepuk-nepuk pantatnya.

“Maunya sih gitu. Ya tapi gimana orang bocahnya ngamuk! Guling-guling di tengah jalan. Kucing lewat aja juga dicekek ama dia.” Rayden melirik Lentera dengan sinis.

Meskipun ia sering mencium-cium wajah anak itu tanpa henti sampai-sampai membuatnya menangis, atau ingin memitingnya karena kelewatan gemas, tetap saja Rayden merasa jengkel.

Sementara yang ditatap sibuk memberontak di pelukan Pelangi.

“Kamu mau ngapain, sih?”

“Nggak mauuuuu…” Lentera masih saja memberontak.

“Udah sini bobo.”

“Nggak mau bobo maunya main, Mama…”

“Kan tadi mainnya udah lama, sekarang harus bobo dong,” bujuk Pelangi dengan sabar, Namun terkesan percuma karena Lentera sudah berhasil merosot dari pangkuannya dan beralih menghampiri Rayden yang sudah memejamkan matanya kembali.

Tiap kali melihat Rayden rebahan, Lentera terlihat begitu antusias duduk di atas perutnya, lalu mengencot-encot sambil tertawa bahagia.

Seolah sudah hafal, Rayden dengan cepat membuka matanya dan buru-buru beranjak dari posisi semula. “Hayo mau apa Lo, hah?”

Lentera ndusel-ndusel di paha Rayden sambil mengerucutkan bibirnya. “Papa, mau main.”

“Main tuh yang wajar, lah. Lo kata nggak sakit apa perutnya kalo diencot-encot gitu.”

“Papa…”

“Aku dudu bapakmu!”

“Papa…” Anak itu mengulurkan kedua tangannya, meminta gendong.

Rayden mendengus, meski begitu ia tetap beranjak berdiri dari duduknya dan mengendong Lentera seperti yang bocah itu minta.

“Papa, ini apa?” Lentera memainkan salah satu tahi lalat di wajah Rayden dengan tangan kecilnya.

“Tahi lalat,” jawabnya ogah-ogahan. “Banyak tanya deh nih bocah satu.”

“Tai lalanya lucu kayak boneka aku.”

“Ya kali tainya Lala nemplok di muka gue.” Dia melirik Pelangi.

“Apaan deh!”  Yang dilirik berseru sembari beranjak berdiri. Rayden kira ia akan kena gebuk, namun perkiraannya salah kala Pelangi justru melewatinya begitu saja.

“Mau kemana?”

“Bikinin susu biar anaknya mau tidur.” Pelangi menyahut tanpa menoleh ke belakang.

Saat ia kembali dari dapur, Lentera sudah menyandarkan kepalanya di sebelah bahu Rayden dengan mata terpejam.  “Beneran udah tidur, Den?” tanyanya memastikan dengan suara lirih.

“Iya.” Rayden ikutan bisik-bisik.

Pelangi bergumam sambil memandang Lentera yang sudah memejamkan matanya, “Cepet banget.”

“Kecapekan nih pasti dianya.”

“Iya kali, main mulu nggak bisa diem. Pindahin ke kamar aja deh mendingan,” saran Pelangi.

“Bentar, biar pules dulu.”

“Duduk aja biar nggak pegel.”

Rayden menurut, mendudukkan diri di sofa sepelan mungkin dengan sebelah tangan terus mengusap punggung mungil Lentera.

Pelangi menaruh botol susu di atas meja, lantas ikut duduk di sebelah cowok itu. Dia menaruh dagunya di atas bahu Rayden yang kosong sambil berbisik pelan, “Capek banget…”

“Ya sama.” Rayden menoleh ke samping. “Awas dulu.”

Ia sempat mengerutkan kening meskipun tetap menuruti ucapan cowok itu. Ternyata, Rayden hanya mengubah posisi duduknya agar punggungnya bisa bersandar di sofa.

“Udah sini senderan lagi.”

Dia mendekat sebelum beralih menyandarkan kepalanya di bahu Rayden seperti sebelumnya. Lega karena akhirnya bisa duduk-duduk santai sambil senderan. Namun hanya beberapa saat karena setelahnya,

“Papa kenapa rambutnya nggak dikucir juga kayak aku?”

Keduanya yang semula sama-sama memejamkan mata sontak melotot lebar.

“Lah?”

“Bocah kurang ngajar malah ngibul!”

Lentera— atau yang lebih sering dipanggil Rara malah nyengir lebar dengan wajah polosnya.

“Nggak usah meringis!” sentak Rayden kelewatan sebal. “Sawan nih gue lama-lama.” Cowok itu beralih mendudukkan Lentera di sofa kosong sebelahnya, lantas menarik Pelangi ke dalam dekapannya.

“Papa!”

Rayden bodo amat, justru mengeratkan rengkuhannya sembari menghirup aroma rambut Pelangi dalam-dalam.

“Papa!”

“…”

Lentera beralih memanggil Pelangi. “Mama!”

“Apa?”

Lalu berganti menatap Rayden lagi. “PAPA!!”

“PAPAAA!!!

Pelangi berusaha melepaskan diri dari rengkuhan Rayden, namun tentu saja tenaganya tidak ada apa-apanya dibandingkan cowok itu. “Den, kasian itu bocahnya.”

“Biarin aja. Suruh siapa ganggu orang pacaran.” Rayden cuek saja.

Lentera yang semula dahinya sudah mengerut— menandakan anak itu akan segera menangis— sekarang justru melongo heran sebelum melontarkan pertanyaan dengan wajah penuh penasaran. “Pacaran itu apa, Papa?”

“Yayang-yayangan.”

“Yayang-yayangan itu apa?”

“Gini nih.” Rayden menjauhkan badannya sebelum menangkup wajah Pelangi dengan tangan besarnya. Pelangi jelas heran, belum sempat menunjukan protes kala Rayden dengan cepat mengecupi seluruh wajahnya.

“DEN!” Tentu saja dia kaget, matanya melotot dengan kedua tangan berusaha menjauhkan wajah Rayden, melirik Lentera penuh waspada.

“Ohh… gitu…” Sementara anak itu mengangguk paham. “Aku juga suka yayang-yayangan sama Jio tau Papa.”

Rayden terperangah, lantas memekik, “SALAH PERGAULAN BUSEETTT!!”

Lentera memang sering bermain bersama anak tetangga sebelah yang bernama Jio, usia mereka juga hanya terpaut empat bulan.

Rayden kira mereka hanya bermain bonceng-boncengan vespa mini atau lari-larian sana-sini seperti yang biasa ia lihat, namun kedua anak itu justru melakukan tindakan tak senonoh yang tidak patut dipuji.

“Jio suka cium-cium aku, aku juga suka cium-cium Jio.” Meski sempat kaget karena teriakan Rayden, Lentera tetap melanjutkan ceritanya. “Aku sama Jio yayang-yayangan.”

Pelangi buru-buru menyambar, mengontrol situasi, “Potongin mangga mau nggak?” Karena anak itu hanya akan anteng kalau sudah disuguhi buah apapun itu, juga kalau ditontonin cocomelon— itupun hanya berlangsung sebentar karena Lentera mudah bosan.

“Mauuu!!!”

“Oke.” Gadis itu beranjak bersamaan dengan Lentera yang ikut berdiri, berpindah gelendotan ke badan Rayden. Kedua kaki kecilnya berpijak pada pangkuan Rayden. Tangan dia memainkan rambut pendeknya, dan Rayden membiarkan saja.

“Heuummm… wanginyaaaa.” Si bocah bergumam, menghirup rambut Rayden dalam-dalam. Setelah puas, ia berganti menjelajah wajah Rayden. Memasukkan jarinya ke lubang hidung.

“Tangannya, tangannya.” Cowok itu memperingati, membuat Lentera menarik tangannya keluar.

Pandangan keduanya sama-sama berada di obyek yang sama, tepat di jari mungil Lentera.

“Buset hoki amat lu dapet upil.”

Mulanya Rayden memang ketawa-ketawa saja sambil memandang harta harun di jari kecil Lentera, tapi hanya berlangsung sebentar karena setelahnya ia melotot begitu melihat bocah itu memasukkan jarinya ke dalam mulut. Menelan upil Rayden tanpa ragu.

“HEH!”

“Heuummm… enaknyaaaa.”

Rayden menoleh ke belakang penuh waspada, lantas menghembuskan nafas lega saat tidak melihat batang hidung Pelangi. Menandakan gadis itu masih sibuk di dapur. Kalau sampai Pelangi melihatnya, dia sudah pasti mengomel dan menyalahkannya.

Dewa Guntur itu memposisikan telapak tangannya di depan mulut Lentera. “Jorok anjir. Lepehin sini.”

Lentera menggeleng, menepuk-nepuk perutnya sendiri. “Udah masuk sini, Papa.” Lantas setelahnya mulai tidak bisa diam, kembali megunyel-unyel Rayden . Bahkan sampai menginjak sesuatu yang tidak seharusnya.

“ASU BAJINGAANNN!!!” Rayden buru-buru melempar Lentera ke sofa kosong sebelahnya, menciptakan raut wajah anak itu yang terlihat kian kaget bercampur bingung. Dan untungnya dia tidak jatuh terpental ke lantai.

Pelangi yang entah sudah sejak kapan berdiri di belakang Rayden refleks memukul pelan mulut cowok itu. “Mulutnya!”

“BURUNG GUE DIINJEK!!” serunya menggebu-gebu dengan wajah yang sudah memerah.

“Asu jingan hihi.”

Pelangi berganti melotot ke arah Lentera yang cengar-cengir dengan wajah polosnya. “Ini lagi! Nggak boleh ngomong gitu. Jelek.” Kemudian buru-buru menyodorkan mangkuk kecil berisi potongan mangga. “Nih.”

Jelas saja Lentera langsung sibuk memasukan potongan mangga ke dalam mulutnya tanpa mempedulikan tatapan permusuhan Rayden.


“Ih, mana dielus-elus lagi.” Pelangi bergumam tanpa sadar sembari memalingkan wajahnya.

“YA SAKIT!!”

“Heuummm… enaknyaaa.” Gumaman Lentera yang sedang menikmati potongan mangga dengan khidmat semakin membuat Rayden jengkel, ingin sekali memites bocah itu.

Pelangi yang melihatnya lantas menggerakkan tangan, menepuk-nepuk bahu Rayden sambil menahan senyuman. “Sabar,” ucapnya kemudian.

“Papa!”

Keduanya sontak menoleh, mengikuti arah pandang Lentera yang matanya sudah menampakkan binar bahagia—  menatap pada Lembayung yang muncul bersama Senja di belakangnya.

Rayden menurunkan Lentera dari sofa lantaran dia tampak kesusahan turun karena terburu-buru, bahkan nyaris nyungsruk. Setelah itu dia berlari dengan semangat ke arah Lembayung yang langsung menggendong dan menciumi wajahnya dengan gemas.

“Tadi nakal nggak?”

“Nggak, Papa. Aku anak pintar!”

Senja mengeluarkan tissue basah dalam tasnya, membersihkan mulut serta tangan Lentera yang lengket karena mangga. “Udah bobo belum?”

“Boro-boro bobo.” Pelangi yang menyahut. “Kata Rayden dia aja nyekek kucing yang lewat tadi.”

Rayden mengangguk, menambahkan, “Minta es cream. Udah salah pergaulan itu bocah, katanya suka cium-ciuman ama Jio buset dah.”

“Iya, Papa!” Lentera justru menyahut bangga. “Aku sama Jio yayang-yayangan!”

“Astagfirullah…” Kalau sudah begini, Lembayung hanya bisa nyebut.

“Lain kali nggak boleh gitu ya, Sayang?” Berbeda dengan Senja yang akan menasehatinya pelan-pelan.

Lentera ini anak pertama Lembayung dan Senja. Hanya saja memang kalau tidak ada orang tuanya, dia akan otomatis memanggil Pelangi dengan sebutan Mama dan Rayden dengan sebutan Papa.

Lentera sengaja dititipkan ke Pelangi karena orang tuanya harus menjenguk teman Lembayung di rumah sakit— dimana anak sekecil Lentera tidak diperbolehkan masuk—  sekaligus mampir di salah satu cabang reustaurant Senja.

“Nggak boleh, Mama?”

“Nggak boleh. Nanti kucingnya nangis lho kalo kamu cekek gitu. Kasian, kan, kalau dia nangis?”

Lentera mengangguk, lantas bergumam, “Maapin aku ya, Meong.”

“Rara kalau mau nyium, cium Papa aja, ya?” Senja meneruskan. “Jangan Jio, kalau sama Jio salim-saliman aja. Oke?”

“Oke, Mama,” jawab anak itu dengan suara lirih, seakan betul-betul merasa bersalah.

Lembayung menunjuk pipinya sendiri sambil berkata, “Sini cium Papa dulu dong.” Yang lantas segera dituruti putri kecilnya.

“Kayak gambaran kita besok ya, Tung?” Rayden yang dari tadi menyaksikan adegan tersebut berbisik pelan di sebelah telinga Pelangi.

“Iya.” Pelangi menyahut tanpa sadar, ikut bisik bisik.

“Aminin, Tung!”

“Amin.” Herannya, dia menurut lagi.


“Aminin, Den!”

“Amin Ya Allah.”

***

“MAA!!”

“MAMAAAA!!”

“MAMAKEEEE!!!!”

Pelangi mendengus saat mendengar teriakan itu menggelegar memenuhi seisi rumah. Ia melangkah kakinya mendekati sumber suara, lebih tepatnya ke kamar Rayden.

Rana meminta tolong padanya, kata beliau Rayden sedang sakit—  Pelangi betulan tidak tahu karena chatnya dari semalam sama sekali tidak dibalas cowok itu— dan meskipun anak laki-lakinya sudah segede bagong, dia tetap tidak mau ditinggal sendirian di rumah kalau sedang sakit.

Padahal Rana sedang banyak kerjaan di bakery miliknya yang belakangan ini berkembang cukup pesat.

“MAAKKK YA ALLAH TOLONGINNNN ANAKMU INII!!!!” Rayden masih saja berteriak dengan dramatis kala Pelangi sudah sampai di depan pintu kamar.

Dia segera membukanya tanpa mengetuk lebih dulu. “Apa sih teriak-teriak?”

Rayden yang tengah tengkurap di atas kasur refleks mengangkat kepalanya sedikit. Matanya kelihatan sayu, bibirnya juga lebih pucat dari biasanya.

“Sini…” gumam cowok itu dengan lirih sembari merebahkan kepalanya kembali seperti semula, menatap Pelangi dengan mata sayunya dari tempatnya berbaring.

Pelangi menurut, berjalan mendekat sebelum menaruh punggung tangannya di atas dahi dan leher Rayden secara bergantian. “Anget.”

“Pusing banget pala gue,” adunya setengah merengek. Membuat gadis itu segera mendudukkan diri di sisi kasur sebelah Rayden.

“Udah makan? Udah minum obat?” Tangan Pelangi bergerak membelai rambut Rayden yang berantakan.

“Udah…”

“Ya udah tidur aja biar pusingnya ilang kan.”

“Nggak bisa tidur! Badan gue nggak enak banget ini gimanaaaa??” Cowok ini masih saja merengek.

“Mau gue enakin nggak?”

Rayden yang masih merasa lemas sontak melotot kaget. “ENAKIN APAAAN ANJIRR?!”

“Lo nih udah tau pusing masih aja teriak-teriak.” Pelangi menepuk-nepuk pahanya. “Sini coba palanya.”

Dia mulanya hanya diam, namun setelah itu tetap melakukan perintah Pelangi. Merebahkan kepalanya di atas paha gadis itu yang langsung dipijit penuh kelembutan.

“Enak nggak?”

Ia mengangguk pelan.

“Mendingan nggak pusingnya?” Pelangi bertanya lagi.

“Iyaaa…”

“Ya udah gih tidur.” Pelangi menyarankan, dengan telaten masih memijit pelan kepala Rayden. “Bisa sakit juga ternyata,” lanjutnya kemudian. Selama mengenal Rayden, tidak pernah sekalipun ia mendapatinya Rayden sakit.

Dia betulan jarang sakit. Sekalinya sakit, ternyata merepotkan juga.

Rayden yang matanya sudah terpejam tiba-tiba menyambar, “Rayden juga manusia.”

“Halah, manusia jadi-jadian baru iya.” Pelangi tentu saja mencibir. “Tidur buruan!”

“Jangan pulang, ya? Di sini aja, Tung.”

“Hmm.”

“Kalau pas bangun Lo nggak ada, gue aniaya ntar.” Dia berlagak memberi ancaman. Membuat si gadis mendengus pelan.

Kehidupan Pelangi perlahan membaik seiring berjalannya waktu. Meskipun mungkin dia tidak akan benar-benar sampai di titik ‘sembuh’.

Dia merasa pikirannya tidak lagi sesempit dulu.

Gadis itu sering menjenguk Ayah Zoe sambil membawa makanan— tidak ada satupun orang yang tahu, dan jangan sampai Rayden tahu.

Hanya karena satu kesalahan dia tidak bisa melupakan seribu kebaikan beliau begitu saja. Mungkin perhatian yang beliau berikan dulu terkesan sepele, tapi untuk Pelangi itu sangat berarti.

Ayah Zoe sering memberikan apa yang tidak pernah Pelangi rasakan.

Kasih sayang seorang Ayah.

Kalau dihitung, berarti hubungan Rayden dan Pelangi sudah berjalan lebih dari empat tahun. Jangan kira semua berjalan mulus-mulus saja, dulu mereka juga sempat putus. Panjang sebenarnya kalau harus diceritakan dari awal.

Pelangi yang memutuskan, dan Rayden yang mengiyakan. Mungkin karena mereka sama-sama sudah lelah beradu argumen.

Dunia keduanya jadi seperti jungkir balik. Pelangi yang biasanya ceria jadi pendiam, bahkan sering melamun dan tidak memperhatikan penjelasan Dosen. Tiap malam, dia juga sering menangis diam-diam.

Rayden yang biasanya penuh lawakan, jadi terlihat awut-awutan. Wajahnya jadi terkesan judes dan dingin. Rambutnya selalu berantakan, kantung matanya menghitam, matanya merah seolah kurang tidur, bau rokok menguar pekat karena dalam sehari dia bisa menghabiskan dua sampai tiga dus rokok.

Sampai saat itu Pelangi berpikir. Kalau bukan sama Rayden dia mau sama siapa? Siapa yang bisa mengerti dia sama seperti yang Rayden lakukan? Siapa yang bisa menenangkannya tiap kali ada petir kalau bukan Dewa Guntur?

Nggak ada.

Cuma Rayden.

Dan mungkin untuk Rayden, masih banyak gadis yang lebih cantik dari Pelangi di luar sana. Tapi yang seperti Pelangi?

Nggak ada.

Mereka nggak bisa, kalau nggak sama-sama.


****

Continue Reading

You'll Also Like

2.1M 125K 42
Kanaya Tabitha, tiba tiba terbangun di tubuh seorang figuran di novel yang pernah ia baca, Kanaya Alandra Calash figuran dingin yang irit bicara dan...
491K 39.4K 26
ace, bocah imut yang kehadirannya disembunyikan oleh kedua orangtuanya hingga keluarga besarnya pun tidak mengetahui bahwa mereka memiliki cucu, adik...
ALZELVIN By Diazepam

Teen Fiction

3.8M 227K 28
"Sekalipun hamil anak gue, lo pikir gue bakal peduli?" Ucapan terakhir sebelum cowok brengsek itu pergi. Gadis sebatang kara itu pun akhirnya berj...
828K 71.7K 44
Setelah kematian ibunya Rayanza yang tadinya remaja manja dan polos. Berubah menjadi sosok remaja mandiri yang mampu membiayayi setiap kebutuhan hidu...