I'm Studying in a School Full...

By racchie-

350 4 3

Khairando "Nao" Mulkillah adalah seorang siswa SMA, dan ia baru saja memasuki SMA Kasuwari 3. Ia adalah orang... More

I. Perkenalan - Pembagian Kelas Para Siswa Baru
II. Kapan Terakhir Kali Kamu Bisa Makan Enak?
III. ...dan Kapan Terakhir Kali Kamu Bisa Tidur dengan Nyenyak?
IV. Kamu Tahu di mana Letak Kesalahanku Sekarang?
V. Apakah Teman-temanmu Sekarang Lebih Kuat daripada Aku?
VI. Apakah Mereka Semua Menyukaimu?
VII. Bagaimana dengan Orang-orang yang Tidak Menyukaimu?
VIII. Apakah Kamu Sendiri Sudah Banyak Belajar Sampai Saat Ini?
IX. Tapi Apakah Kamu Sendiri Sudah Jadi Lebih Kuat Sekarang?
X. Kuharap Kamu Menjawab Semua Pertanyaanku dengan "Baik-baik Saja"
XI. Dengan Temanmu yang Sekarang, Aku Harap Kamu Tak Akan Melupakanku Juga
TRIVIA I
XII. Sesi Peralihan - The End of Beginning
XIII. Scapegoat
XIV. Intention
XV. Love & Hate Relationship
XVI. Appointment
XVII. Carry On
XIX. Concealing Foes

XVIII. Question & Confession

4 0 0
By racchie-


Gue digotong Hamzah sama Sulaiman buat masuk ke dalem kelas. Selama digotong, gue bisa ngelihat anak-anak lainnya berjejer di sekitar kelas gue entah gara-gara khawatir atau cuma sebatas penasaran. Seakan-akan kelas gue mau ngadain pentas musik kecil-kecilan yang bakal nampilin Zico dan Kamil sebagai tamu utamanya. Percayalah, meskipun salah satu di antaranya adalah orang aneh, tapi kalau diatur seperti itu mereka bisa jadi pesaing Dua Lipa dengan nama panggung Dua Lipan.

Sesampainya di kelas, gue udah bisa langsung berdiri. Rasa sakitnya udah ilang, tapi ritme nafas gue jadi ancur gara-gara shock. Si Sulaiman langsung nawarin botol minumnya ke arah gue (sambil memaksa gue buat duduk di meja yang diduduki Gilza).

"Thanks, Man," ucap gue sambil menerima botol minum Tupperware Eco-nya yang berwarna hitam. Bagi kalangan ibu-ibu, nilai barang ini mungkin bisa disetarakan dengan sebongkah batu Black Onyx.

"Santai."

Orang-orang langsung nyusul masuk ke dalem kelas dengan terburu-buru. Pas si Shakila yang terakhir masuk, dia langsung nutup pintu kelas dengan wajah yang cemas. Bisa jadi pula pikirannya bercabang sehingga tak muluk merasa cemas, namun juga dengan pikirannya yang seakan-akan terus bercabang. Otak Shakila secara tak sadar sudah disetarakan dengan sistem pemerintahan. Jangan salah sangka--hal itu juga tercermin ke dalam semua perilakunya.

Kebanyakan anak-anak dari kelas gue yang ikut tawuran barusan kembali ke kelas dalam keadaan yang setengah bingung. Bagi beberapa orang, tawuran ini merupakan pengalaman pertama mereka, dan pastinya mereka cukup penasaran mengapa tawuran berhenti begitu saja. Rasa penasaran itu juga pasti muncul kepada sosok Joker yang datang secara tiba-tiba. Tahu-tahu bawa Muldam, tahu-tahu ngajak ribut. Gue sendiri bingung. Kayaknya gue sendiri nggak bakal terlalu bingung seandainya diajak Pak Herman ke rumahnya dan menemukan sebuah kandang aligator. Setelah itu, dia bakal bilang, "Oh, itu sebenernya anak Bapak yang saya kutuk."

Kadar bingungnya pasti bakal lebih minim daripada kejadian yang satu ini.

Setelah menutup pintu keras-keras, Shakila langsung menopang tubuhnya di atas meja terdekat dengan papan tulis sambil mengatur nafasnya.

"Mulai sekarang," kata dia dengan penjedaan. Entah untuk membuat efek dramatis atau ini semua gara-gara kondisinya yang kurang stabil.

"Jangan ada yang kelahi sama kakak kelas kecuali kalo diserang."

Langsung terbesit suatu penolakan dari dalam diri gue. Tapi hal kedua yang gue rasain adalah semacam empati kepada teman-teman satu kelas lainnya yang juga mempertanyakan kebijakan si Shakila ini. Gue masih terlalu capek buat nyari tahu alesan Shakila bisa ngomong kayak gitu. Kita juga pasti berpikiran hal yang sama. Salah satu di antara kita yang masih bertenaga harus bisa mengungkapkan pikirannya.

"Nao," sahut Gamaliel dari bangku belakang. "Semua ini kan ide lo, dan nggak serta-merta ide lo tuh nggak ada tujuannya. Kebanyakan dari kita emang ngikut doang, tapi seenggaknya, sebagai temen satu kelas, gue juga pengen tahu tujuan lo yang sebenernya."

Suara Gamaliel mendapat dukungan dari teman-teman lainnya. Sejujurnya gue paling nggak suka kondisi yang kayak begini, seakan-akan memberi tekanan kepada gue bahkan sebelum gue sempat bicara. Untung aja nggak ada Rafly dan Rangga sekaligus yang sekalinya opresif bisa ngebikin orang stres sampai ngamuk kemudian ngancurin proyektor kelas.

"GAM, LO INI PAHAM, GAK, KONDISI SEKOLAH KITA KAYAK GIMANA?!" dari tulisannya pun gue gak perlu ngasih tahu siapa yang baru aja ngomong.

"Gue paham--harusnya lo pada juga paham. Bukan berarti gue gak tahu arti perkelahian yang dilakuin orang-orang di sekolah ini. Tapi gue butuh penjelasan lebih sama apa yang pingin si Nao capai. Kalo ujung-ujungnya jadi orang terkuat dan gak bakal ada perubahan yang berarti, itu sama aja bohong."

Ungkapan Gamaliel ada benarnya. Sejujurnya, gue mulai merasakan suatu gelombang dengan frekuensi yang sama, yang terbaca dalam pemindai otak gue. Dia mungkin satu pemikiran dengan gue, makanya dia mau ngikut bantu tawuran sama Kak Muldam.

"Maksud lo apa, sih?" tanya Andre.

"Maksudnya, kalo gue cuma kepingin jadi orang terkuat di sekolah ini, itu sia-sia," kata gue, membuka mulut pada akhirnya. "Karena pada akhirnya, cita-cita gue gak bakal kecapai. Gue gagal ngebikin lingkungan sekolah yang nggak ada hierarkinya."

"Hierarki apaan?" tanya Monica, mencoba menghancurkan suasana.

"Kekuasaan, lah," jawab gue seadanya. "Kalo misal gue berkuasa, bakal ada orang lain yang pengen ngerebut posisi gue. Sederhananya gitu. Jadi, perkelahian bakal terus muncul, dan ada kalanya proporsinya gak bakal seimbang. Nantinya kita bakal kalah telak."

"Hmmm, terus, maksud anda jangan berkelahi dengan kakak kelas itu gimana, ya?" tanya Sulaiman kepada Shakila.

Kita semua langsung dibikin heboh sama Sulaiman yang bisa-bisanya ngomong serius pada kondisi yang seperti ini. Gue pikir dia setengah bercanda (ketahuilah, tipe candaan orang ini emang sok-sokan sophisticated), tapi wajah dia setengah mengancam. Shakila mungkin bisa ditekan dengan cara yang seperti ini, tapi bisa jadi juga dia jadi salah tingkah. Emang kalo dipikir-pikir dua orang terdekat gue di kelas ini sama-sama susah ditebak.

"Gara-gara cowok tadi," jawab Shakila. "Yang barusan ngegotong Kak Muldam sama nonjok Nao."

"Yang nendang gue juga, anjrit," kata Andre. Dia murung sendirian gara-gara kita cuekin dia.

"Nao, dia itu orang paling kuat di sekolah kita, kan? Si Joker?" tanya Shakila kepada gue.

"Iya."

Orang-orang di kelas langsung heboh. Hal yang paling banyak diungkapkan dari mereka adalah, "Gue baru tahu ada orang kayak gitu di sekolah ini." Ya iyalah, orangnya aja lebih doyan nongkrong di kamar mandi cowok daripada tongkrongannya Gamaliel-Aurellio.

"Gue gak tahu apa yang terjadi, tapi kayaknya dia baru mau ngeluarin taringnya sekarang ini," tambah gue.

"Tapi gue mau tanya dulu, ada yang keberatan sama keputusan gue barusan, gak?" tanya Shakila.

Hening. Jujur, hening yang aneh.

"Guys," kata Shakila sambil mengangkat kedua lengannya kembali. "Gue mungkin pernah bilang kalau kondisi sekolah kita emang dipenuhin berandal, tapi gue juga punya semangat yang sama kayak yang Nao punya. Gue pingin budaya di sekolah kita bergeser ke arah yang lebih positif. Emang ngilangin budaya kayak ginian itu susah, tapi minimal kita ngurang-ngurangin dampak balas dendam yang sering kejadian gara-gara adanya hierarki barusan--kalo pake bahasanya si Nao."

"Lo berdua ada benernya," timpal Gamaliel. "Perkelahian itu wajar, tapi bukannya dijadiin ajang perebutan kekuasaan kayak gini."

"Gue setuju, tapi apa yang kira-kira bakal kita lakuin ke depannya?" tanya Monica.

"Gue masih belom kebayang kalo soal itu. Suka-suka kalian aja. Asal jangan macem-macem sama kakak kelas dulu," timpal Shakila sambil berjalan ke arah bangkunya. "Gue mau cabut duluan. Kalo ada yang punya ide bagus, besok bisa kita bicarain lagi."

Hamzah menoyor punggung gue dengan terburu-buru. Begitu gue melihat ke arah wajahnya, dia langsung menggerakkan kepalanya sedikit ke arah Shakila.

"Hah?"

"LO TEMENIN DIA SAMPE GERBANG, BEGO."

Lantaran khawatir juga kalau-kalau Shakila bakal ditendang dari belakang oleh lawan sebelumnya, akhirnya gue pun menemani dia sampai ke gerbang sekolah.

"Ah! Shakila, maaf telat!!" seru Marsha pada saat Shakila baru saja keluar kelas.

"Gue gak apa-apa, coba lu periksa anak-anak yang lain, takutnya cedera atau gimana."

"Maaf, tadi ngurusin si Lathifa dulu!"

Dalam hal apaan? Gue mulai mikir yang nggak bener.

"Sha, gue temenin lo sampe ke gerbang, ya?" kata gue setelah menyusul dia untuk berjalan bersamaan.

Awalnya, Shakila nggak menimpali apa-apa. Entah proses internal semacam apa yang tengah dialaminya. Tapi gue berharap agar dia nggak banting setir dan memutuskan sendiri dengan cara yang ekstrem. Misal, dia bakal nendang siapapun yang berjarak 10 meter dari posisi dia sekarang dengan gaya tendangan Kesatria Baja Hitam. Mending kalo korbannya anak seangkatan, asal jangan kakak kelas apalagi guru-guru.

"Nao, boleh pinjem lengan lo?" tanya dia tanpa ngelihatin gue.

"Hah? Kenapa emangnya?" balas gue sambil mengangkat tangan kanan gue yang berada paling dekat dengan tubuhnya saat itu.

"Lengan, Nao, bukan tangan."

Shakila tiba-tiba saja menggenggam lengan bawah gue dengan kedua tangan, kemudian disusul dengan kepalanya yang bersender di tepi pundak gue. Pada saat itu, otak gue konslet dengan instan, dan dada gue mulai kepanasan secara harfiah. Kepala gue juga kerasa mau meledak gara-gara kepanasan. Lubuk hati gue berkata, "ADA APA GERANGAN SAMA SI SHAKILA INI?!" kemudian ikut konslet juga.

"Gue belom bisa jadi ketua kelas yang baik kalo gini caranya," kata dia. "Tapi kalo ada tempat buat bersandar, beban di pundak rasanya ngilang gitu aja."

Satu-satunya proses dalam diri gue yang masih bekerja saat itu adalah proses indrawi untuk mencerap apa-apa yang terjadi di lingkungan gue. Seolah-olahnya, data itu cuma masuk ke dalam arsip untuk dikelola oleh agen yang berwenang. Tapi sayangnya, agen itu baru aja disetrum gara-gara data sebelumnya telah mengejutkannya dengan cara yang tidak rasional. Singkat kata, gue cuma diem ngedengerin apa yang pengen Shakila omongin. Gue kurang bisa menerka apa-apa yang terjadi jauh di dalam hatinya melalui omongan.

"Nao," tegur dia. Seakan-akan dia paham kalo gue sama sekali nggak bisa ngasih respon hanya melalui lengan yang dia genggam.

"U-uh, iya? Gue dari tadi ngedengerin, kok."

"Baguslah," kata dia. "Gue mau ngomong sesuatu yang penting."

"Kenapa?"

"Gue mau kenal lebih jauh lagi sama lo," katanya. "Kita mungkin punya banyak kesamaan, tapi masih ada banyak perbedaan yang mau gue pelajarin. Gue pingin mewujudkan cita-cita lo. Eh, cita-cita kita semua, maksudnya."

Gue menghela nafas secara perlahan.

"Artinya..." ucap gue singkat gara-gara lupa ngambil nafas yang banyak. "Ini tuh semacam pengakuan, gitu ya?"

Shakila mengangguk tanpa menggeser kepalanya dari tepi pundak gue.

"Gue sendiri gak yakin kalo cita-cita gue bakal tercapai atau nggak. Tapi,  di ujung cerita, gue gak bakal nyesel sama apa yang gue lakuin, pada akhirnya. Terlepas itu bakal tercapai atau nggak," tutur gue.

"Gue nggak pernah nyesel sama keputusan yang gue buat," kata Shakila dengan artikulasi yang sangat lancar.

Hal itu ngebikin gue jadi agak bersalah. Sedikit demi sedikit, kenangan waktu SMP tiba-tiba muncul dan tanpa gue sadari, jumlahnya sudah semakin banyak.

"Gue masih butuh jawaban dari lo," kata Shakila. "Atau, lo sendiri yang bakal ngakuin perasaan itu ke gue?"

Gue mikir panjang waktu itu. Tapi apapun yang gue pikirin waktu itu dapat dengan mudah ditepis oleh wacana Shakila. "Gue gak pernah nyesel sama keputusan yang gue buat." Bukan berarti Shakila merupakan tipe yang nggak pernah perhitungan sama keputusan yang dia bikin. Tapi, kayaknya gini: apapun hasilnya, dia punya pemikiran kalo hasil itu berada di luar kuasa dirinya sendiri.

Kondisi itulah yang jelas menghantui gue selama ini. Gue jadi mempertanyakan banyak hal, sebenernya. Apakah jalan yang sedang gue tempuh adalah jalan yang tepat?

Seandainya Shakila berada di posisi gue, dia pasti nggak bakal mikirin tepat atau nggaknya posisi dia sekarang. Kalo tepat, ya syukur, kalo belum tepat, maka masih harus berusaha lebih jauh lagi.

Sejujurnya, gue mulai ngerasa cocok sama dia.

"Gue juga pengen belajar banyak dari perbedaan yang kita punya," kata gue. "Lo mau kan jadi pacar gue?"

Jawabannya sudah pasti. Shakila meraba lengan gue ke bawah untuk menggapai tangan gue, kemudian mencengkramnya sekuat tenaga. Gue juga menerima cengkramannya dengan rasa yang sama. Kita berdua memperpendek jarak langkah kita. Seandainya ada momen yang paling bakal dirindukan selama masa SMA, mungkin salah satunya adalah momen yang sedang gue dan Shakila alami saat ini.

Dan kita gak mau buru-buru ngilangin sensasi itu dari dalam hati kita masing-masing pada saat itu.

Continue Reading

You'll Also Like

ARSYAD DAYYAN By aLa

Teen Fiction

2M 109K 59
"Walaupun وَاَخْبَرُوا بِاسْنَيْنِ اَوْبِاَكْثَرَ عَنْ وَاحِدِ Ulama' nahwu mempperbolehkan mubtada' satu mempunyai dua khobar bahkan lebih, Tapi aku...
551K 59.1K 37
"Jangan lupa Yunifer, saat ini di dalam perutmu sedang ada anakku, kau tak bisa lari ke mana-mana," ujar Alaric dengan ekspresi datarnya. * * * Pang...
2.3M 156K 49
FOLLOW DULU SEBELUM MEMBACA!! "𝓚𝓪𝓶𝓾 𝓪𝓭𝓪𝓵𝓪𝓱 𝓽𝓲𝓽𝓲𝓴 𝓪𝓴𝓾 𝓫𝓮𝓻𝓱𝓮𝓷𝓽𝓲, 𝓭𝓲𝓶𝓪𝓷𝓪 𝓼𝓮𝓶𝓮𝓼𝓽𝓪𝓴𝓾 𝓫𝓮𝓻𝓹𝓸𝓻𝓸𝓼 𝓭𝓮𝓷𝓰𝓪�...
MARSELANA By kiaa

Teen Fiction

407K 19.6K 47
Tinggal satu atap dengan anak tunggal dari majikan kedua orang tuanya membuat Alana seperti terbunuh setiap hari karena mulut pedas serta kelakuan ba...