Belum ada 24 jam lho ini komenannya udah menuhin target😭👏, kalian bales dendam nih ceritanya sama aku?
Yaudah deh, happy reading! Aku yakin pasti kalian suka sama part ini😝
Btw GC masih buka, klik link di bio ya!!
***
"Gue takut."
Alan yang sedang fokus menyetir langsung menoleh ke arah Erlan. "Maksud lo?"
"Gue takut Ara gamau maafin gue. Ucapan gue tadi terlalu menyakitkan, Al. Gue takut dia gamau ketemu gue."
Alan memutar bola matanya malas.
"Salah sendiri asal nyeplos, nyesel kan lo." Bukannya memberi Erlan solusi Alan malah semakin membuat temannya tak karuan. Salahkan saja tingkah Erlan yang seperti ABG labil.
Alan menarik napas pelan. "Wajar Ara kecewa, ucapan lo itu seakan minta untuk bercerai. Istri mana yang gak sakit hati suaminya bilang gitu? Apalagi dia lagi hamil. Ibu hamil itu sensitif. Lo juga, gabisa banget ngontrol ucapan. Jadi boomerang kan buat lo." Jelas Alan menyadarkan Erlan.
"Gue harus apa?" Erlan menatap Alan dengan pandangan sendu. Untuk pertama kalinya ia benar-benar sekacau ini karena perempuan.
"Pake nanya lagi, minta maaf lah!" Ketus Alan. Laki-laki itu keluar terlebih dahulu karena mereka sudah sampai di rumah sakit milik Erlan tempat Ara dirawat.
"Buruan! Malah bengong lo." Seru Alan melihat Erlan yang masih terdiam.
Laki-laki ini sedari tadi selalu emosi jika melihat wajah Erlan. Dirinya saja sudah begini bagaimana Azka nantinya. Membayangkan itu membuatnya bergidik ngeri.
"Apapun terjadi lo harus bisa nyelesain ini semua El." batin Erlan menyemangati dirinya sendiri.
Erlan kemudian turun dari mobil, mereka berdua berjalan menuju ruangan Ara. Keduanya sama-sama diam, hanya terdengar langkah kaki yang berjalan menuju tujuan.
Dari kejauhan kedua laki-laki ini bisa melihat Azka yang tengah mengobrol dengan Arsen. Langkah Erlan semakin berat, ia sudah tahu apa yang akan terjadi setelah ini.
"Ka," panggil Alan menghentikan obrolan kedua orang berbeda usia itu. Pandangan Azka menajam melihat sosok Erlan yang terdiam di sebelah Alan.
Tangan Azka terkepal kuat, ia segera berdiri dan melyangkan pukulan ke wajah Erlan.
Bug!
"Mau ngapain lagi lo kesini. Gak puas lo udah nyakitin adik gue?" Azka menatap Erlan marah.
"Gue mau ketemu istri gue, Ka."
Bug!
Alan meringis, entah sudah berapa kali pukulan mendarat di wajah tampan Erlan. Bahkan laki-laki itu diam tidak membalas, sedikit was-was karena Alan tahu pukulan Azka benar-benar kuat.
"Masih nganggep dia istri lo? Cih!"
Saat Azka ingin melayangkan pukulan lagi, Alan dan Arsen segera menahan laki-laki ini melihat kondisi Erlan yang sangat tak berdaya. Bisa-bisa Azka membunuh suami dari adiknya sendiri.
"Woy! Emosi boleh tapi jangan bego, anjing. Lo gak liat wajah Erlan udah bonyok kaya gini? Mau lo tambahin lagi atau mau lo buat dia mati?" Alan menahan tubuh Azka. Tatapan laki-laki itu masih menajam menatap Erlan.
"Biarin aja si pengecut ini mati." Geram Azka mencengkram kerah kemeja Erlan.
"Om mohon Azka, jangan seperti ini. Kita selesaikan masalah ini baik-baik. Om sama seperti kamu, sangat marah dengan kelakuan Erlan. Tapi sebejat apapun dia tetap anak om, om juga gaakan terima kalau anak om kenapa-napa."
"Tolong ingat, ini dirumah sakit. Kasihan Ara kalau sampai dengar kalian ribut. Kamu mau bikin dia stres? Dokter juga tadi bilang kalau Ara gaboleh banyak pikiran, itu akan mempengaruhi janinnya, calon keponakan kamu." Arsen menatap Azka dengan tatapan memohon.
"Bener apa yang dikatakan om Arsen. Lo mau ponakan lo gapunya bapak kalau lo bunuh Erlan. Wajar Erlan kecewa Ka, dia merasa gak dianggap sebagai suami." Alan bermaksud menengahi.
"Jangan mewajarkan hal yang gak wajar." Sahut Azka masih emosi.
Pintu ruangan Ara terbuka, Shenna menyembulkan kepalanya namun ia enggan menatap Erlan walaupun kondisi anaknya yang memprihatinkan.
"Azka, dipanggil sama Ara." ucap Shenna lembut membuat Azka melepaskan cengkraman tangan di kerah kemeja Erlan.
Tanpa sepatah-katapun laki-laki itu masuk meninggalkan ketiga laki-laki yang menatapnya nanar.
"Kamu tunggu disini dulu, biar Daddy yang ngomong sama Azka. Alan tolong bawa Erlan buat ngobatin lukanya."
"Baik om." Alan memapah Erlan pergi ke UGD untuk mengobati luka Erlan.
Erlan tidak menolak, tubuhnya sedari tadi sangat lemas ditambah dengan pukulan Azka yang mampu membuatnya tak bisa berkutik. Belum sampai di UGD kesadaran Erlan mulai hilang, samar-samar ia mendengar teriakan Alan yang memanggil petugas medis.
***
"Apa yang akan Papa lakukan pada gadis itu." Venus berucap seraya meneguk segelas wine miliknya.
Saat ini Venus tengah berada di sebuah private room tempat berlangsungnya rapat untuk rencana menyerang kedua Narvadez dan Lergan. Namun, Edward pergi terlebih dahulu untuk menyiapkan kejutan untuk Mona. Venus baru muncul setelah rapat selesai. Jadinya ia tidak tahu menahu tentang rencana Papanya dan Edward.
"Papa mau jual dia kepada Edward. Mona akan dijadikan umpan untuk menghancurkan keluarga Narvadez dan Lergan. Tapi sebelum itu mungkin Edward akan sedikit bermain dengan gadis itu." Oscar dan Venus terkekeh. Keduanya kembali meneguk segelas wine.
"Lantas rencana apa yang akan dilakukan Edward setelah mendapatkan Mona."
"Dia akan mengancam gadis itu untuk melakukan semua rencana Edward, termasuk membunuh Zarra dan Erlan."
"Apa kita ikut turun tangan?"
"Tentu saja, untuk membalaskan dendam kita." Seringai muncul di wajah keduanya.
Dibalik itu semua terdapat orang yang tersenyum licik mendengar pembicaraan mereka lewat earphone yang ia kenakan. Satu persatu bukti sudah ia dapatkan, tinggal menunggu kejutan yang akan didapatkan oleh tikus-tikus bodoh ini.
***
Malam harinya, Erlan mengendap masuk ke dalam ruangan Ara. Setelah pingsan tadi ia memutuskan untuk beristirahat sebentar memulihkan pikirannya.
Dengan bantuan Eroz ia bisa mendatangi kamar inap Ara di jam yang menunjukkan pukul 1 malam. Erlan berjalan mendekati ranjang Ara, istrinya tampak tertidur pulas. Walau terlihat pucat namun kecantikan natural Ara tidak bisa ditutupi.
Tangan Erlan meraih tangan Ara, di genggamnya tangan mungil istrinya. Erlan duduk di kursi yang berada di samping ranjang Ara, ia menelungkupkan kepala di tangan Ara menumpahkan tangisannya di tangan yang ter-infus. Erlan menangisi kebodohan dirinya sendiri.
"Maafin aku, Sayang."
"Maafin Daddy."
Erlan makin terisak, dadanya tersa sesak melihat mata sembab istrinya. Tambahan rasa sakit di wajahnya karena pukulan dari Daddynya, Alan, Papi Ara, bahkan ditambah lagi oleh Azka benar-benar seperti membunuhnya. Namun Erlan sadar mereka melakukan itu karena ia melakukan kesalahan yang fatal. Erlan mewajarkan itu.
Ia tak peduli lagi pada lukanya, sekarang ia hanya membutuhkan pelukan Ara. Erlan benar-benar rindu dimanja istrinya.
"Ergh." Erang Ara merasa terusik dengan suara dan berat di tangannya karena ulah Erlan.
"Sayang,"
Ara yang menyadari kehadiran Erlan mengalihkan pandangannya menatap ke samping. Ia menghempas tangan Erlan saat merasa genggaman tangan mereka mengerat.
"Untuk apa kakak kesini lagi. Belum puas sama ucapan kakak tadi? Atau kakak kesini mau minta jawaban Ara soal pertanyaan tadi?" Ara mencerca Erlan dengan pertanyaan, ia tidak menyadari wajah penuh lebam suaminya.
"No, I'm sorry."
"Aku emosi, aku gak sadar ngucapin kalimat itu. Sayang, maafin kesalahan aku. Ini terlalu berat buat aku, aku mohon." Erlan memandang nanar istrinya. Sebenci itukah Ara hingga enggan menatapnya.
"Ngucapin kata maaf emang gampang banget. Ara tau kakak emosi, kecewa. Tapi apa harus ngucapin kalimat itu? Ara lagi hamil! Anak kakak, anak kakak disini, diperut Ara. Dan teganya kakak ngucapin kalimat yang gak mau Ara denger sampai kapanpun." Air mata Ara turun, badannya bergetar seiring dengan isakan yang keluar dari mulutnya.
"Ara benci sama kakak!"
Deg!
Hati Erlan terasa tercabik-cabik. Keduanya sama-sama menangis, ego masing-masing yang membuat keadaan semakin menjauh.
"Kenapa kamu gak jujur dari awal. Kalau kamu jujur keadaan gak akan kaya gini, Ra."
Ara memberanikan diri menatap Erlan. Matanya menajam, "Kakak gaakan ngerti!" Bentak Ara.
"Gimana kamu tau aku gak akan ngerti kalau kamu gak bilang dari awal? Belum cukup pukulan, cacian yang aku terima dari semuanya? Gak ada yang bisa ngerti di posisi aku, Ra. Apa aku harus mati dulu biar kalian maafin aku?" Erlan berusaha mengontrol sedikit emosinya, ia tidak mau semakin membuat Ara membencinya.
Ara menatap Erlan dalam. Ia baru menyadari luka lebam menghiasi wajah tampan Erlan. Penampilan nya jauh dari kata rapi, mata laki-laki itu pun sembab. Ara tahu Erlan pasti dihajar habis-habisan oleh Papi dan Abangnya.
Sedikit rasa kasihan muncul di hati Ara, bagimanapun Erlan adalah suaminya, Ayah dari bayi yang dia kandung. Ah, kenapa Ara jadi ingin memeluk Erlan. Pasti ini bawaan bayinya yang tidak tega melihat keadaan ayahnya.
Namun Ara segera menepis itu semua, ia masih cukup kecewa dengan sikap dan ucapan Erlan.
"Pergi dari sini!" Usir Ara.
Erlan menggeleng.
"PERGI!"
Erlan masih diam di posisinya. Ia takkan pergi sebelum masalah ini selesai.
"AKU BILANG PERGI!" Teriak Ara kencang yang mampu di dengar oleh Arsen dan Xavier yang menunggu di luar. Keduanya langsung berlari masuk keruangan Ara.
"Usir dia Papi, Ara gamau ketemu dia."
"Sayang, jangan teriak. Ingat kandungan kamu." Xavier menghampiri putrinya, dan membawa Ara kepelukannya. Mencoba menenangkan Ara, ia tidak tahu apa yang terjadi kepada keduanya.
"El, kita pergi ya. Ara butuh waktu, jangan sampai istri kamu stres, kamu gak kasihan sama Ara? Kamu gak takut dia dan calon anak kamu kenapa-napa?" Arsen mencoba membujuk Erlan.
"Erlan mau sama Ara, Dad."
"Daddy tau, tapi ini bukan waktu yang tepat."
"Pulang Erlan, kamu pulihkan dulu luka mu. Setelah itu Papi akan mengijinkan kamu kemari menjenguk Ara."
"Papi mohon," Xavier menatap memohon kearah menantunya.
Erlan mengangguk pasrah, sebelum ia pergi, ia ingin mengusap perut istrinya namun tangannya terlebih dulu ditepis oleh Ara.
"Jangan sentuh dia, di-dia tidak sudi disentuh kamu."
Erlan mendundukkan wajah. Ia tersenyum getir mendapat penolakan Ara. Air matanya kembali membanjiri wajah Erlan, menimbulkan rasa perih karena mengenai lukanya.
"Aku pergi tapi untuk kembali."
Setelah kepergian Erlan dan Arsen, Ara menumpahkan tangisannya di pelukan sang Papi. Ia benar-benar bingung, Ara akui ia sangat membutuhkan Erlan saat keadaan dirinya yang tengah mengandung, namun gengsinya lebih besar mengalahkan keinginannya.
"Ara takut Kakak beneran ninggalin Ara. Dia pasti kecewa banget sama Ara." Lirih Ara.
"Kamu harus tau, sekecewa apapun Erlan. Dia tetap menyayangi dan mencintai kamu. Jangan berpikir macam-macam, ada Papi disini. Ara harus yakin dan tenangkan hati kamu. Nanti kita bicarain ini sama Erlan ya."
Ara mengangguk. "Ara pengen dipeluk Kakak."
-to be continue-
HALO SEMUA GIMANA PART INI?
YANG KEMARIN BILANG KONFLIKNYA KOK CEPET BANGET SELESAI? Ett tidak secepat itu 😝
Satu kata untuk ERLAN YUK👉
1k komen bisa?
UDAH SIAP PART SELANJUTNYA?
RAMAIKAN KOLOM KOMENTAR YAA☠️☠️
ARE YOU READY⁉️
____
Terima kasih sudah membaca ELARA, jangan lupa VOTE dan COMMENT biar aku semangat ngetiknya! 🥰💜
____
UDAH SIAP BUAT PART 43? SPAM KOMEN BIAR AKU CEPET - CEPET UPDATE!
AKU MAU LIAT ANTUSIAS READERS ELARA YANG PADA GERCEP INI!! ❤️🔥❤️🔥
⛓FOLLOW IG: @kanarsv⛓
READY BUAT PART SELANJUTNYA?
SPAM KOMEN APA AJA DISINI!
•••••
TANDAI JIKA ADA TYPO ATAU KESALAHAN PENULISAN YA!
Thank you 💜
See you next part!