Ephemeral [TERBIT]

By cindyspt_

222K 31.3K 7.8K

Ephemeral, waktu yang begitu singkat dan semua yang ada didunia tidak lah kekal. Sosok remaja ini akan membaw... More

Ephemeral
1. Masa lalu
2. Akhir masa lalu
3. Mimpi buruk
4. Ketakutan Jeno
5. Apa dia lebih penting?
6. Sosok rapuh yang kuat
7. Ukiran berwarna merah
8. Senyum dibalik luka
9. "Tuhan, kapan Jeno bahagia?"
10. Jatuhnya air mata
11. "Jeno rindu ayah yang dulu"
12. Munculnya konflik
13. "Jeno capek bang.."
14. Tidak sendirian
15. Jeno itu siapa?
16. Jurang yang dalam
17. Penyelamatan
18. Arti seorang adik
19. Antara rindu dan sepi
20. Sudah lelah
21. Tentang Aksa
22. "Ayah jahat, tapi Jeno sayang"
23. Air mata kekecewaan
24. Hati yang sudah mati
25. Penyesalan yang sia-sia
26. Kebahagiaan yang semu
27. Luka yang membekas
28. Lupa yang membawa luka
29. Dia sudah bahagia
30. Teka-teki kehidupan
31. Pahlawannya telah pergi
32. Sakit yang berkelanjutan
33. Diselamatkan bersama luka baru
34. Kehilangan lagi
35. Tangis dan tawa
36. Maaf berujung petaka
37. Bertemu Bunda
38. Perjuangan terakhir
39. Hampir menyerah
Catatan terakhir
Mari dibuka✨
VOTE COVER!!
OPEN PO!!
PENGUMUMAN PO!
Ayok dibuka💃

40. Bahagianya sudah nyata

5.6K 530 98
By cindyspt_

"Aku membuka mataku dan yang kutemukan adalah kebahagiaan yang sesungguhnya, kebahagiaan yang selama ini aku idam-idamkan seumur hidupku."

Hai semua ketemu lagi, semoga part ini buat mood kalian naik yaa hehe💓

-√-

-

5 bulan kemudian.

Waktu berlalu sangat cepat menyisakan kenangan indah juga kenangan buruk bagi semua makhluk hidup di dunia.

Semesta selalu melihat kehidupan manusia, menunggu siapa saja yang akan kembali menyalahkannya atas semua masalah yang terjadi.

Kini cuaca sedang tidak terlalu bersahabat, matahari yang biasanya bersinar dengan terik sekarang sudah tertutup dengan awan, membuat langit menjadi terlihat mendung.

Terlihat tiga orang laki-laki yang tengah menginjakkan kaki mereka di kuburan yang tertata rapi dengan bunga-bunga yang berada di atasnya.

Melihat nama di makam itu membuat mereka kembali mengingat masa lalu yang penuh dengan kebahagiaan walaupun kesedihan lebih mendominasi masa lalu itu.

"Marven?"

Johnny sedari tadi melihat Marven yang hanya melamun dan duduk di sebelah kuburan itu. Tatapan matanya yang kosong membuat hati Johnny terasa dicabik-cabik.

Andai ia bisa mengubah dan memperbaiki masa lalu, pasti semua ini tidak akan pernah terjadi dan sosok itu pas masih ada bersama mereka hingga saat ini.

"Ayo pulang dek, kita udah lumayan lama disini."

Marven menggelengkan kepalanya, "Duluan aja, masih mau disini.."

"Abang tau lo sedih, tapi kalau lo terus-terusan kayak gini yang ada lo sakit Ven."

Johnny membungkukkan tubuhnya dan merangkul Marven, "Ga biasanya kamu sedih sampai kayak gini kan? Kamu mikirin apa hm?"

"Gapapa, cuma lagi pengen aja, Pa."

"Jangan gitu nak, kamu tau kalau Papa gak bisa lihat anak Papa kayak gini? Kita pulang ya?"

"Duluan aja, Pa. Nanti Marven bisa pulang sendiri."

"Kamu pikir Papa mau biarin kamu sendirian disini?"

Pemuda itu hanya terdiam sambil memandang batu nisan yang ada didepannya. Sosok itu benar-benar membuatnya rindu hingga rindu itu tak dapat lagi ia ungkapkan dengan sebuah kata-kata.

Air mata? Entahlah, itu benar-benar tidak membantunya untuk lepas dari rindunya. Bahkan sekedar untuk mengeluarkan air mata saja ia juga tidak bisa.

Ia kembali hanyut dalam pikirannya sendiri, memori lamanya kembali terulang membuatnya benar-benar ingin menghentikan otaknya sekarang juga. Ingin sekali ia menghapus semua memori itu walaupun memori tersebut dapat dibilang sebagai memori yang indah.

"Ven, ayo pulang."

"Duluan aja, tolong jangan ganggu gue dulu. Gue masih mau disini."

Satya dan Johnny saling menatap satu sama lain. Satya hanya menunggu keputusan dari Johnny karena ia tidak tahu apakah Johnny memperbolehkan Marven untuk tetap disini sendirian.

"Kamu mau pulang nanti aja?" Marven mengangguk kecil.

"Yaudah, Papa sama Satya tunggu di mobil ya? Kamu luapin dulu semua yang kamu pendam, jangan ditutupin lagi. Kalau udah selesai kamu bisa langsung ke mobil."

Tidak menjawab, Marven masih sibuk mencabuti rumput liar yang sedikit mengganggu dan membuat kuburan yang ia lihat itu terlihat tidak indah.

Akhirnya Johnny memilih untuk mengajak Satya ke mobil dan membiarkan Marven untuk memiliki waktunya sendiri dan menenangkan dirinya juga.

Tidak hanya meninggalkan putranya sendirian, sebenarnya ia juga meminta Wira dan Edric untuk menjaga Marven dari jauh untuk memastikan bahwa anak itu baik-baik saja.

"Papa yakin mau ninggalin Marven disana sendirian?"

"Ada Wira sama Edric yang bantu ngawasin dari jauh, lagian adek kamu juga butuh waktu sendiri juga kan? Dia butuh waktu buat ikhlasin semua ini."

"Tapi ini udah lama, Pa. Apa waktunya buat ngelupain sama ikhlasin semuanya masih kurang?"

Johnny tersenyum kecil, "Satya, setiap orang itu gak ada yang sama. Ada yang bisa hapus kesedihan dalam kurun waktu singkat ada juga yang gak bisa dan kita gak bisa maksa mereka buat gak sedih dan merasa kehilangan karena kita juga gak pernah tau apa aja yang udah mereka alami selama hidupnya ini."

"Iya sih, cuma kalau liat Marven yang kayak gini terus bikin Satya merasa gagal jadi seorang Kakak buat dia karena Satya gak bisa buat dia bahagia."

"Kadang penyembuhan diri seseorang itu gak serta merta harus ada orang disisinya yang bantuin dia, karena banyak orang yang lebih milih buat mendam semua kesedihannya dan mencoba buat berdamai dengan diri sendiri tanpa bantuan orang lain. Orang yang kayak gitu biasanya berusaha buat ngobatin semua lukanya sendirian."

Satya terdiam, ia tidak tau harus mengatakan apa karena sebenarnya yang dikatakan Johnny barusan itu benar, hanya saja jika harus melihat adiknya berjuang sendiri dengan kesedihan dan masa kelamnya, hal itu membuat Satya merasa gagal sebagai seorang Kakak yang baik.

"Satya..cuma takut kalau Marven tiba-tiba drop lagi, Pa. Walaupun udah lama dia sembuh, tapi kan sama aja."

"Adek kamu itu kuat, dia bahkan bisa ngelewatin semua penyakitnya dulu dan lihat sekarang? Dia bisa hidup layaknya anak-anak normal diluar sana lagi, hebat kan? Bahkan Papa sendiri gak pernah nyangka kalau dia bisa sembuh."

Pemuda itu menghela nafasnya kasar, "Emang masa lalu tuh gak bisa di lupain ya, Pa. Ada aja nanti tiba-tiba keulang lagi di otak, apalagi kalau masa lalunya kelam pastikan bayanginnya kayak sesak tapi ya gak bisa ngomong apa-apa lagi."

Johnny mengangguk, ia paham maksud Satya hanya saja ia tidak ingin membahas pembahasan yang seperti ini.

"Oiya nanti kamu mau langsung pulang sama Marven atau ikut Papa ke rumah sakit?"

"Aku ikut Papa aja deh, bosen juga dirumah."

Walaupun ia tengah diberikan masa untuk liburan tapi ia memilih untuk sering mengunjungi rumah sakit dan memantau keadaan disana. Barangkali ada yang butuh bantuan, sebagai dokter ia harus siap untuk memabantu.

"Marven masih disana, Pa?"

"Kalau Wira sama Edric belum balik berarti dia masih ada disana. Udah jangan khawatirin dia sampai kayak gitunya. Lagian kan udah ada Wira sama Edric pasti Marven aman kok."

"Iya boss siap deh."

Johnny mengacungkan jempolnya dan membuat Satya ingin sekali menarik jempol itu, namun ia urunngkan niatnya sebelum ia benar-benar membangun seekor singa yang sedang tidur.

"Oiya, kuliah kamu gimana, Sat? Lancar?"

"Hehe lancar banget, Pa..tolong jangan manggil Sat, panggil Satya aja."

"Lah suka-suka Papa dong, kamu anak siapa coba?"

"Anak Bapak John terhormat."

"Dasar kurang ajar."

"TERUS MAU AKU JAWAB ANAK SIAPA?! YAKALI ANAK IKAN PAK?"

Pria itu hanya tertawa kala melihat Satya yang kini tengah mengomel. Melihat Satya yang seperti ini rasanya membuat hidup Johnny berwarna dan tidak selalu gelap. Candaan yang dibuat Satya memang terkadang suka kelewatan tapi Johnny berusaha menganggap itu satu usaha Satya untuk membuatnya tersenyum dan melupakan semua kesedihannya.

Disisi lain, Marven masih sibuk memperhatikan makam yang ada didepannya dan air matanya jatuh tanpa ia sadari. Air mata itu sudah tidak berarti lagi baginya, karena mau air mata itu keluar atau tidak, kesedihannya tidak akan berkurang.

Sudah lama sejak kejadian itu menewaskan sosok yang paling ia sayangi di dunia ini, namun tetap saja ia masih tidak terima dengan semua itu. Masih sulit untuknya merelakan kepergian sosok itu.

"Kenapa dunia kejam ya? Kehilangan orang yang kita sayang rasanya berat banget ya?"

Marven memeluk batu nisan tersebut dan kembali menangis dengan sedikit lebih kencang. Tubuhnya bergetar hebat, bahkan Wira dan Edric yang menatapnya dari jauh hanya bisa terdiam dan memilih mengalihkan pandangan mereka karena tidak kuat melihatnya.

"Andai bisa ngulang masa lalu, pasti gak akan kayak gini. Udah cukup ya? Jangan bawa Jeno pergi juga ya, Ma? Cukup Marven kehilangan Mama, jangan lagi..Marven pasti bakalan jagain Jeno kok, jadi jangan bawa dia sama Mama dulu.."

Makam yang sedari tadi Marven lihat adalah makam milik Yuna, mengingat sudah sangat lama sejak kejadian dimana Yuna meninggal namun tetap saja ia masih tidak bisa untuk mengikhlaskan kepergiaannya itu.

Bahkan sekarang ini mengingat kondisi Jeno, membuatnya kembali berpikir bahwa sewaktu-waktu bisa saja Yuna membawa Jeno pergi dari kehidupan mereka juga. Dan jika hal itu benar-benar terjadi, ia tidak tahu lagi bagaimana harus kembali menghadapi kematian orang yang sangat ia sayangi.

-

Setelah menghabiskan waktu mereka untuk berkunjung ke makam Yuna, disinilah mereka kembali berkumpul, di rumah sakit dimana orang yang mereka sayangi tengah dirawat.

Marven dan Satya masuk ke ruang rawat Jeno sedangkan Johnny masih menanyakan perkembangan Jeno pada rekannya yang merawat Jeno selama ini.

"Kamu mimpi apa sih, Jen? Enak banget tidurnya sampe gak bangun-bangun. Kamu gak kasian liat abang-abangmu disini nungguin kamu terus? Kamu gak kasian juga sama temen-temen kamu yang udah rindu sama kamu buat balik kuliah? Si Candro Candro tuh yang paling kaget pas tau kamu koma, Jen."

"Candra, Bang."

"Apapun itu dah beda A sama O doang."

Marven menggenggam tangan Jeno, "Udah lima bulan Jen, lama banget sih tidurnya..gak kangen sama kita apa? Bangun dong, habis itu kita kerjain Bang Satya bareng-bareng."

"Emang punya adek gak ada akhlak semua ya."

Ia hanya tertawa kecil kala melihat Satya yang mulai memanyunkan bibirnya, pandangannya kini mulai beralih kembali pada Jeno. Ia mengambil kain yang ada di meja dan mengelap keringat yang mengalir di wajah pemuda itu.

"Bang, AC nya kurang dingin ya? Kok Jeno sampe keringetan gini?"

"Gila ini udah dingin banget perasaan ya, mungkin dia lagi lari-lari kali di mimpinya."

"Emang orang koma hidup di dunia lain?"

"Mana saya tau, saya kodok."

"Amin."

"Sialan."

Masih sibuk mengelap keringat Jeno, tiba-tiba saja Wira dan Edric masuk kedalam ruang rawat itu dan membawakan mereka makanan. Johnny lah yang menyuruh mereka untuk membeli makanan itu untuk Marven dan Satya karena Johnny tau bahwa putra-putranya itu belum makan dari pagi.

"Makan dulu yok, ini udah saya beliin makanan kesukaan kalian. Tuan bilang kalian belum makan dari pagi kan?"

"Nanti aja Bang, lagi gak nafsu makan."

"Dasar Satya, ada aja alasannya. Makan dulu!"

Satya bergidik ngeri kala Edric sudah bersuara, entah kenapa ia melihat Edric seperti sosok monster karena auranya juga tidak terlalu enak. Walau ia tahu kalau Edric tidak kalah baik dengan Wira.

"Hehe iya ini makan, Bang. Asli lo serem banget Bang, merinding hamba."

Edric menatap Satya dengan tatapan bingung, ia tidak tahu bahwa dirinya dianggap menyeramkan padahal ia juga tidak melakukan sesuatu seperti pembunuhan.

"Udah gak perlu dipikiran Bang, gue asal nyeplos aja tadi." Edric mengangguk.

"Nih makan dulu, jangan gak makan lagi." Satya menyodorkan nasi dengan lauk ayam itu pada Marven.

"Jeno gak makan, Bang?"

"Kalau lo gak makan, lo mau buat dia sedih? Orang koma masih bisa denger lho, kalau dia denger lo gak makan sama aja lo bikin Jeno sedih."

Mendengar penjelasan Satya barusan membuatnya langsung mengambil makanan itu dan memakannya dengan sangat lahap. Satya hanya terkekeh kecil melihat adiknya itu, menyebalkan tapi tetap sangat ia sayangi.

Wira dan Edric menyarankan agar mereka memakan makanan mereka diluar dan setelah menyelesaikan acara makan itu mereka kembali masuk ke ruang rawat Jeno. Mereka sedikit kaget kala melihat air mata yang mengalir dari mata Jeno, dengan cepat Satya dan Marven mendekati Jeno dan menghapus air mata itu perlahan.

Melihat air mata itu sudah kering, Marven kembali duduk di samping Jeno dan ia menjatuhkan kepala di pinggir ranjang Jeno guna mengistirahatkan dirinya walau hanya sebentar.

"Jeno pasti bangun kan, Bang?"

Satya mengangguk, "Pastilah, emang dia mau kemana sampe gak bangun?"

"Gak tau, perasaan gue gak tenang aja dari tadi."

Melihat Marven yang terlihat pusing memikirkan Jeno membuat Satya menghela nafasnya pelan. Ia mendekati Marven dan mengacak rambut itu perlahan, "Tenang aja, gue yakin dia gak akan kenapa-napa. Dia pasti bakalan bangun kok."

"Janji?"

"Iya janji."

Wira dan Edric memilih untuk keluar dari ruang rawat Jeno dan memberikan ruang kepada Satya dan Marven untuk menjaga Jeno.

Mereka mendudukkan diri di ruang tunggu dengan perasaan yang campur aduk. Melihat keadaan Jeno yang terlihat seperti orang yang benar-benar sekarat saat itu membuat Wira benar-benar tidak tega, ia bahkan tidak bisa kembali membayangkan hal itu.

Sama seperti Wira, Edric juga merasakan hal yang sama. Pasalnya ini adalah kali pertamanya ia benar-benar panik kala melihat kondisi Jeno yang sangat parah itu. Saat pertama melihat Jeno dalam kondisi seperti itu, otaknya benar-benar terasa berhenti dan badannya juga tidak bisa ia gerakan sesaat.

"Wir, maafin gue."

Wira menatap bingung ke arah Edric, "Hah? Maaf buat apa coba?"

"Coba aja kalau waktu itu gue ngikutin kata-kata lo buat periksa Jeno di kamarnya, pasti kejadian kayak gini gak bakal terjadi kan? Gue benci diri gue yang terlalu positif dan selalu mandang remeh semua masalah di sekitar gue. Gue-"

"Udah, jangan merasa bersalah, Dric. Karena disini gue juga salah, andai dari awal gue nyadar kalau Jeno nyembunyiin rasa sakit itu dari kita semua."

"Tapi yang penting si nenek lampir itu udah dihukum berat, Dric. Untung aja ada cctv jadi kita juga bisa tau siapa yang bikin Jeno kayak gini. Jujur gue pengen bunuh dia pake tangan gue sendiri boleh gak sih?"

"Lo mau gantian ditangkep polisi?"

"Gue gak tahan asli, dulu gue kira dia udah mati tapi tiba-tiba muncul dan buat Jeno sampe kayak gini. Maunya dia apasih?! Gak ada beda banget sama si satu Dirga eek tuh."

Edric tidak tahu harus menjawab apa karena ia tidak tahu juga apa yang sebenarnya diinginkan oleh Jessica pada Jeno. Tapi mendengar bahwa wanita itu sudah dipenjara membuat Edric sedikit lega.

"Daripada di penjara mendingan dihukum mati gak sih? Gedeg banget gue sama tuh wanita."

"Udah sabar, yang penting sekarang dia lagi nikmatin hukumannya sama kayak si Dirga."

"Emang mereka berdua cocok banget jadi pasangan, sama-sama punya penyakit jiwa."

Mendengar perkataan Wira membuat Edric tertawa. Tidak salah juga sih, karena mereka berdua memang sangat cocok jika dilihat-lihat.

Ditengah-tengah pembicaraan mereka tiba-tiba saja Marven keluar dari ruang rawat Jeno dengan tergesa-gesa membuat Wira dan Edric menjadi panik takut jika ada hal buruk yang terjadi.

"B-Bang, dokter dimana? Tolong panggilin dokter sekarang.."

Tanpa banyak bertanya Edric langsung berlari memanggil dokter sedangkan Wira mendekati Marven dan mencoba untuk menenangkan anak itu.

"Kenapa sama Jeno? Dia gapapa kan?"

Marven menatap Wira dan tersenyum lebar, "Jeno udah sadar, Bang. Tapi dia masih gak mau respon pertanyaan kita.."

Entah kenapa hati Wira ikut senang kala mendengar bahwa Jeno sudah bangun dari komanya, saking senangnya ia sampai memeluk Marven dan membuat anak itu terkejut.

"Bang?"

"Doamu udah dijawab Tuhan, doa kita semua."

Marven tersenyum kecil dan memeluk balik Wira, "Iya Bang, Tuhan masih ngasih Jeno kesempatan buat hidup. Habis ini kita harus bener-bener jaga dia ya, Bang?"

"Pasti, tanpa kamu suruh pun saya bakal pertaruhin nyawa saya buat Jeno."

"Gak segitunya juga, Bang.."

"Gapapa."

Tak lama kemudian dokter datang dan segera memeriksa kondisi Jeno, dokter itu datang bersama dengan Edric dan juga Johnny. Mendengar Jeno sudah sadar membuat hati Johnny terasa sangat lega dan seketika semua pikiran buruk yang ada di kepala Johnny sudah hilang.

Saat dokter memeriksa Jeno, disitu Jeno sudah mulai bisa merespon pertanyaan yang diajukan dokter dan dokter itu juga tersenyum melihat Jeno.

"Jeno udah bebas dari masa komanya, gak lama lagi dia sudah bisa beraktivitas seperti biasa dan nantinya ia akan diperbolehkan untuk pulang dari rumah sakit."

Mereka semua yang mendengar itu dapat menghela nafasnya lega. Setelah sekian lama menunggu agar Jeno sadar akhirnya semua doa mereka sudah terkabulkan.

"Makasih banyak, maaf kalau gue selalu repotin lo."

"Ck, udah tugas gue sebagai dokter. Lagian apa salahnya bantu sahabat sendiri?"

Johnny tersenyum kecil, "Sekali lagi makasih banyak."

"Sama-sama, anak lo emang bener-bener kuat John, gue salut sama dia. Jaga dia baik-baik habis ini."

"Pasti!"

Setelah dokter itu pergi, mereka langsung masuk ke ruang rawat Jeno. Dapat mereka lihat Jeno yang perlahan mulai terseyum saat melihat mereka semua. Wira sedang menahan air matanya agar tidak menangis sedangkan Edric hanya bisa menepuk jidatnya kala melihat Wira yang kembali bertingkah.

"Jeno, bisa denger Papa?" Jeno mengangguk pelan.

"Ada yang sakit? Perut atau kepala atau apapun?" Jeno menggelengkan kepalanya.

"Hah..baguslah."

Jeno masih menatap Johnny dan tangannya perlahan berusaha meraih wajah Johnny. Menyadari itu Johnny langsung menarik tangan Jeno dan membawa tangan itu ke wajahnya.

"Kenapa, Jen?"

"J-Jeno..b..beruntung masih b-bisa lihat kalian..makasih."

Johnny tertawa kecil, "Kamu memang anak kuat, Papa selalu percaya kalau kamu pasti bangun dan sekarang kamu udah bangun. Kamu tahu gak kita semua kangen banget sama kamu, jangan tidur lama-lama lagi ya."

"Emang..Jeno tidur berapa lama, Pa?"

"Lima bulan."

Jeno mengalihkan pandangannya dari Johnny. Ia koma selama lima bulan, bukankah itu sangat merepotkan mereka semua? Entah kenapa hidup Jeno hanya bisa merepotkan orang-orang terdekatnya. Andai dia lebih berhati-hati pasti hal seperti ini tidak akan terjadi. Lalu selama ini bagaimana dengan kuliahnya? Bagaimana dengan teman-temannya?

"Maaf.."

"Ngapain minta maaf, Jen?" Kini giliran Satya yang membuka suara.

"Maaf..udah ngerepotin banget.."

Johnny menggelengkan kepalanya, "Kamu gak pernah repotin kita sama sekali, Jen. Kita semua keluarga, gunanya keluarga itu buat saling mendukung dan melindungi satu sama lain kan?"

Mendengar jawaban Johnny membuat mata Jeno mulai memburam dan akhirnya setetes kristas bening itu jatuh begitu saja dari matanya. Bagaimana tidak menangis, selama ini ia sama sekali tidak tahu arti keluarga yang sebenarnya sampai ia menemukannya disini.

"Jangan nangis ya? Papa gak mau kamu sedih lagi. Mulai sekarang kamu harus belajar terbuka sama kita semua ya? Papa gak akan marah mau sebesar apapun masalah yang kamu punya atau kamu buat, itu yang Papa ajarin ke semua anak-anak Papa."

Jeno mengangguk, "Habis ini Jeno janji gak akan nyusahin lagi, Jeno juga bakal belajar buat lebih terbuka, Pa."

Johnny mengelus lembut surai coklat milik Jeno, "Itu baru anak Papa."

Mereka semua mendekati Jeno dan memeluk anak itu dengan penuh kasih sayang, berharap pada Tuhan agar tidak ada lagi kejadian seperti ini dimasa yang mendatang agar mereka bisa hidup dengan tenang dan damai bersama-sama.

Setelah sekian lama berusaha keluar dari masa lalunya yang sangat kelam, kini Jeno perlahan mulai menemukan arti kebahagiaan menurut versinya sendiri.

Kebahagiaan tidak semata-mata harus selalu terpenuhi dengan sebuah materi, terkadang kebahagiaan seseorang hanya bisa terbentuk dari keluarga yang mendukung mereka dan keluarga yang benar-benar sayang kepada mereka.

Dukungan dari keluarga itu lebih penting dari apapun. Memberikan anak mereka uang lalu membiarkan mereka tumbuh sendirian di dunia yang mengerikan ini adalah suatu perbuatan yang kejam. Karena seharusnya anak itu dibesarkan dan didewasakan oleh keluarga.

Namun banyak anak yang dibesarkan dan didewasakan oleh kehidupan karena mereka sudah tidak percaya apa itu arti kebersamaan dalam keluarga.

Gabriel Jevano Altezza, dengan ini menyatakan bahwa dirinya sudah menemukan arti keluarga yang selama hidupnya ini sempat menghilang dan sekarang ia sudah bisa merasakan apa yang dinamakan kebahagiaan oleh semua orang diluar sana.

Perjuangannya selesai, semua perjuangannya sudah terbayar dengan baik setidaknya selama ia masih hidup di dunia ini. Ini sudah lebih dari cukup baginya, menghabiskan hari-harinya bersama keluarga dan keluar dari masa lalu yang sangat kelam.

Dia berhasil, dia bahagia.


----The End----































































Hai semua semoga sehat selalu yaa, akhirnya setelah berbulan-bulan bikin story ini kerja keras author udah kebayar semua hehe.

Pertama-tama author mau bilang terimakasih sebanyak mungkin buat kalian semua yang udah sempetin buat baca 'Ephemeral'. Author gak tau gimana cara makasih lagi sama kalian, dukungan kalian bener-bener bikin author semangat banget buat nulis, sayang kalian banyak-banyak💓💓

Ada yang merasa endingnya agak gantung? Hehe author sengaja buat gini karena rencananya mau bikin Ephemeral jadi buku. Nah disitu nanti bakalan ada beberapa part tambahan dan juga ending yang sebenernya dan endingnya bisa aja mirip sama yang disini, bisa juga beda yaa.

Author mau bikin Ephemeral dalam bentuk fisik itung-itung biar bisa bantu ekonomi keluarga hehe, selain itu ini juga udah jadi impian author sejak dulu buat punya buku buatan sendiri.

Kira-kira ada yang mau megang Ephemeral dalam bntuk fisik gak nih?

Author bakal sebisa mungkin dan sebaik mungkin susun ulang alur-alur Ephemeral biar kalau jadi di bukuin kalian bacanya bisa lebih ngefeel dan ga pusing✨

Sekian dulu dari author ya, sekali lagi terimakasih banyak buat semangatnya, jangan lupa vote sama ramein komen yaa.

Kita jumpa lagi di epilog Ephemeral dan cerita selanjutnya, bye-bye semuaa🙌🏻💓

Salam hangat

Cindy🍁-

Continue Reading

You'll Also Like

697K 40.3K 55
[BROTHERSHIP STORY] 🚫 Bukan bxb, yaoi, ataupun bl Update sesuai mood dan kalau lagi ada ide ‼️ Ceritanya cuma oneshoot-twoshoot, tapi kadang lebih
43.1K 3.1K 20
💚💚💚🌱🌱🌱🌱🌱 Jangan lupa buat tinggalin jejak kalian ya...1 vote sangat sangat berarti bagiku🥺 Walaupun udah end,tetep vote ya,,, Dia Na Jaemin...
681K 32.6K 38
Alzan Anendra. Pemuda SMA imut nan nakal yang harus menikah dengan seorang CEO karena paksaan orang tuanya. Alzan kira yang akan menikah adalah kakek...