The Only Exception [END]

By clarissagc

1.4M 149K 8.3K

Pesahabatan yang dibangun Ane, Genta, dan Karen hancur lebur kala Karen-calon istri Genta-secara tiba-tiba me... More

Prologue
1. Impuls
2. Kesepakatan
3. Mantra Sialan Ariadne
4. Persiapan Singkat
5. Persiapan Terakhir
PENGUMUMAN
6. Réception de Mariage
7. Tuntasnya Sebuah Janji
8. Anything for My Ane
9. Pindah
10. Istrinya Genta
11. Konsep Hadiah
12. Tantangan dari Teman Lama
13. Tentang Sang Pencari Afeksi
14. Tungguin Istri Saya Dulu, Sus
15. Ketiduran
16. Mr. & Mrs. G.O.D.
17. Tipsy
18. Massimo Dutti
19. Tukar Kamar
20. Cemburu?
21. Malam yang Terjadi Begitu Saja di Antara Kita
22. Awkward
23. Best Friend with Benefit
24. Elegi Ariadne
25. Jujur
26. Pertemuan Dua Sahabat
27. Sempurna
28. Nestapa Sang Aphrodite
29. Emoji of a Wave
30. Move On
31. Mengambil Hati Sang Aphrodite

Epilogue

105K 6.4K 571
By clarissagc

"Aku nggak mau kamu dateng-dateng ke kantor lagi," ucap Ane dengan melipat tangannya di depan.

"Kenapa sih Ne? Kamu takut aku disukain sama temen-temen kantormu? Lagian bukannya enak ya, kamu tiap hari ada yang antar jemput, nemenin lembur—"

"Nggak gitu! Aku risih aja, Ta," jawab Ane jujur.

Genta diam sejenak. Pria itu tetap fokus dengan kemudi untuk memarkirkan mobilnya dengan tepat. Hatinya seperti tercubit. Niat baiknya justru membuat perempuan yang ia cintai merasa risih dan terbebani.

"Ya udah, maaf.." lirih Genta. "Besok-besok aku jemput kamu di basement ya."

"Nggak usah. Aku pingin bawa mobil sendiri, Ta. Buat apa aku beli mobil kalau ujung-ujungnya nggak aku pakai karena tiap hari diantar jemput kamu?" jawab Ane. Mobil Genta sudah terparkir, kemudian perempuan itu langsung turun tanpa menunggu jawaban Genta. Keduanya berjalan masuk ke dalam rumah.

"Kamu yakin nyetir sendiri?" tanya Genta saat menutup pintu ruang tamu. Keduanya berjalan menaiki anak tangga menuju kamar setelah sebelumnya mencopot sepatu dan menaruhnya di rak bawah tangga. Genta tahu bahwa Ane sudah bisa menyetir, ia hanya tak rela melepas Ane bepergian ke kantor sendirian tanpa diantar olehnya. Ane juga tidak pernah membawa mobil ke kantor sebelumnya. Genta takut Ane tidak lancar di jalan menuju kantornya. Semenjak Ane kembali berkantor di Next, Genta tak pernah absen untuk mengantar jemput Ane setiap hari meski perempuan itu sudah membeli mobil baru untuknya.

"Iya. Lagian nggak enak Ta, orang-orang kantor bisa mikir kamu nggak ada kerjaan gara-gara tiap sore jemputin aku di kantor. Kamu seenggak megang proyek gitu emangnya?" ujar Ane saat memasuki kamar mereka.

Genta terbahak sembari menutup pintu kamar. "Ada kok Ne, tenang aja, suami kamu ini banyak megang proyek kok. Cuma udah nemu celahnya aja untuk bisa balik cepet jemput istrinya di kantor."

"Apa? Kamu suruh junior kamu yang ngelembur?"

"Itu salah satunya. Lagian kalau aku nemenin kamu lembur, aku kan juga sambil kerja," bela Genta.

"Ya tapi—"

"Ya udah kalau kamu maunya gitu. Besok bawa mobil sendiri ya. Berani kan?" tanya Genta sembari membuka satu persatu kancing kemeja kerjanya dan membuangnya sembarang di lantai.

"Ta?" panggil Ane.

"Ya?"

Ane tak langsung menjawab. Perempuan itu kemudian mendekati Genta dan meraba dada telanjang Genta. "Eits, kenapa nih?" tanya Genta dengan senyum smirk-nya kemudian menggenggam tangan kecil Ane.

"Apa ini?" tanya Ane kemudian menatap Genta lekat-lekat.

"Bagus nggak?" alih-alih menjawab, Genta justru balik bertanya.

"Kamu kapan buat tato? Duh norak banget sih!" ujar Ane menahan senyumannya. Perempuan itu kemudian memukul-mukul dada Genta dan Genta balas merengkuhnya dalam pelukan.

"Kok kamu nggak ngomong ke aku?" tanya Ane dengan suara teredam.

"Biar surprise. Bagus kan?" bisik Genta.

Ane tak tahan untuk tidak tersenyum. Sebuah tato kecil tepat di dada kanan Genta. Tato tulisan Ariadne dengan huruf sambung membuatnya merona. "Kenapa nama aku?"

"Perlu aku jelasin?" kekeh Genta.

"Perlu lah!" jawab Ane.

"Oke. Tapi sambil mandi ya?" bisik Genta yang sukses membuat pipi Ane semakin panas.

Bagi Genta, meski nama Ariadne sudah terpatri di dalam hatinya, rasanya belum cukup bila nama itu tidak terpatri juga di tubuhnya. Genta memutuskan untuk mengabadikan nama Ane di tubuhnya, tepat di dada bagian organ hatinya berada. Ariadne, perempuan yang sukses membuatnya bertahan pada satu hati. Ariadne, satu-satunya perempuan yang ingin ia bahagiakan sepanjang sisa hidupnya. Ariadne, perempuan yang menjadi pelabuhan terakhir hatinya.

***

8 tahun kemudian..

Delapan tahun bukanlah waktu yang singkat untuk dilalui. Namun bersama Genta, waktu terasa cepat berlalu. Pernah berpisah dan saling membohongi diri membuat mereka sadar akan pentingnya kejujuran dan kesetiaan. Butuh usaha tidak mudah bagi Genta untuk membuat Ane kembali percaya padanya. Hingga akhirnya waktu itu tiba, Ane kembali bertekuk lutut kepadanya, mempercayakan hatinya kembali pada Genta, dan menggantungkan masa depan seutuhnya pada sahabatnya itu.

Mengubah status dari yang semula sahabat menjadi suami bukan hal yang mudah bagi perempuan yang kini tengah hamil besar. Semula ia pikir akan mudah melaluinya dengan Genta. Namun ternyata salah, dinamika rumah tangga yang ia jalani tidak sama seperti yang lalu saat semua masih abu-abu. Menjalani kehidupan rumah tangga dengan Genta membuat Ane harus meredam egonya, termasuk mengubah cara pandangnya terhadap Genta yang semula adalah sahabat menjadi suami, kepala rumah tangga yang harus ia hormati.

Semua berjalan begitu lancar. Genta menjadi sosok yang tidak pernah Ane lihat sebelumnya. Genta banyak mengalami perubahan. Bahkan Ane baru mengetahui sisi lain sahabatnya ini setelah menjalani rumah tangga dengan Genta. Pria cuek yang egois itu menjadi pria penuh cinta yang bahkan tak pernah memikirkan bahagianya sendiri sebelum bahagia orang lain terpenuhi. Dalam sembilan tahun pernikahannya, Genta hampir tidak pernah marah selama delapan tahun belakangan. Hal tersebut cukup membuat Ane geram hingga kerap kali ia yang memunculkan masalah hingga kerikil-kerikil bermunculan. Bosan, katanya. Ane tidak suka dengan sesuatu yang flat. Ane butuh dinamika. Namun Genta tak pernah menciptakan dinamika itu, hingga akhirnya Ane yang kerap kali menciptakannya.

Family man adalah kata yang pantas disematkan pada Genta. Mencurahkan kasih sayang, materi, dan waktu sepenuhnya untuk keluarga. Ia dapat membagi waktu antara bekerja, kehidupan sosial, dan keluarganya. Bahagia untuk Genta saat ini bukan lagi datang dari segelas alkohol atau perempuan-perempuan cantik yang dahulu singgah dan pergi di hatinya. Bahagia untuk Genta saat ini adalah berkumpul dengan keluarga kecilnya, Ane, Gala, Gavy, dan dua jabang bayi yang masih berada dalam kandungan Ane.

Pagi yang cerah di hari Sabtu. Ane berjalan tertatih menaiki anak tangga dengan perut besarnya. Dibukanya pintu kayu warna putih itu dan dengan setengah berteriak, ia memanggil Genta.

"Genta, tolong bukain susu Gavy yang baru dong. Ada di rak paling atas. Sekalian buatin ya. Marsih lama banget ke pasar," perintah Ane dengan sebelah tangan yang memegangi pinggangnya untuk menopang badan. "Ini pada ngapain nih di sini?" lanjut Ane bertanya dengan raut wajah heran.

Pemandangan Sabtu pagi ini cukup aneh. Biasanya Gala dan Gavy akan menonton TV. Namun hari ini Gala tengah duduk di meja belajarnya dengan buku-buku yang terbuka lebar dan Genta yang hadir mendampingi. Sementara Gavy, bocah 4 tahun itu tengah bermain Barbie di atas karpet dengan sesekali berteriak-teriak.

"Mama!" teriak Gavy kemudian menghampiri Ane yang masih di ambang pintu. Anak perempuan itu kemudian mengalungkan tangannya untuk memeluk paha Ane. Sebelah tangan Ane kemudian mengelus rambut panjang Gavy.

"Lagi ngajarin Gala matematika. Gala kan Senin ulangan umum," jelas Genta. "Sebentar ya Gal, ada tugas dari ibu negara yang harus dilaksanakan segera," kata Genta pada Gala disusul dengan dirinya yang langsung melenggang keluar kamar. Anak laki-laki itu mengangguk paham kemudian melanjutkan menulis pada bukunya.

"Ada yang susah nggak?" tanya Ane menghampiri Gala dan duduk di sisinya.

"Nggak, gampang kok. Papa udah ngajarin. Aku udah jago," kata Gala bangga.

"Pintar. Gala rajin ya, Sabtu pagi udah belajar," komentar Ane.

"Iya. Kan kata Papa belajar jangan ditunda-tunda. Biar besok aku boleh main seharian. Boleh ke rumah Eyang Putri juga main PS," ujar Gala. Gala sangat dekat dengan orang tua Ane. Semenjak pindah ke rumah yang dekat dengan orang tua Ane, Gala dan Gavy sering kali menghabiskan akhir pekan di sana. Gala dan Gavy sangat dekat dengan Rinda. Apa yang tidak mereka dapat dari orang tuanya, Rinda dan Hardi dengan senang hati akan memberikan. Termasuk PlayStation yang hanya ada di rumah orang tua Ane sejak Genta menaruhnya ke sana agar tidak sering dipakai bermain anak-anaknya.

"Bagus. Tapi kalau Gala capek, Gala boleh istirahat. Bisa lanjut besok ya Nak," ujar Ane. Ane tahu bahwa Gala adalah anak cerdas yang sangat pandai. Ia tak mau kalau anak pertamanya itu terlalu ambisius hingga lupa menikmati senangnya bermain di usia kanak-kanak.

Suara pintu terbuka membuat Ane menoleh. Genta hadir dengan segelas susu hangat di tangannya. "Susu.. susu.. Princess Gavy mau susu nggak? Kalau nggak mau, nanti Papa minum," goda Genta.

Gavy yang sedang bermain Barbie langsung menaruh bonekanya kemudian berlari menghampiri Genta. "Mau! Susu aku!" sambutnya langsung mengambil gelas susu dari tangan Genta.

"Udah nomor berapa Gala? Ada yang sulit nggak?" tanya Genta menghampiri Ane dan Gala yang tengah duduk bersisian.

"Sepuluh. Kurang kalimat jawabnya aja, tapi lagi aku isi."

"Siap, nanti Papa periksa ya," ujar Genta. Pria itu berdiri di belakang Ane kemudian dengan perlahan-lahan, ia memijat tengkuk Ane. "Capek?" tanya Genta.

"Hmm. Eh Ta, besok anter aku ke salon ya, aku pingin meni-pedi. Si Sinta yang biasanya sama aku shift masuknya besok," kata Ane.

Genta menggaruk tengkuknya. "Jam berapa Ne?"

"Sore palingan."

"Kenapa nggak pagi aja? Jam 11an gitu?" tawar Genta.

Ane mengangkat sebelah alisnya. Tak biasanya Genta keberatan dengan pintanya. "Kenapa? Kamu pergi besok?"

"Ya.. kan lebih enak pagi Ne. Sorenya bisa istirahat di rumah. Kamu bisa ke rumah eyang juga temenin anak-anak," jawab Genta. "Nanti aku tungguin," lanjutnya. Ane berpikir sebentar, namun suara dentingan ponsel Genta yang tergeletak di atas meja belajar Gala mengalihkan perhatian Ane. Matanya langsung tertuju pada layar ponsel yang menyala karena adanya pesan masuk itu.

Bono: Udh gue book ya. Yg cancel golf besok wajib bayarin semua

Ane memutar kepalanya hingga menoleh ke arah Genta. "Jadi ini alesan kamu nyuruh Gala belajar di Sabtu dari pagi-pagi, biar kamu Minggunya bisa bebas tugas ngajarin Gala karena mau golf?" tanya Ane.

"Ng-nggak.. aduh.." jawab Genta salah tingkah, terlebih saat Gala juga ikut menatap ayahnya dengan mata polos tak mengerti apa-apa itu.

"Ya udah, Gal. Yuk belajarnya diselesaikan, biar besok Papanya bisa main golf seharian," kata Ane kemudian mengelus kepala Gala dan bangkit berdiri untuk meninggalkan kamar Gala.

"Mama kenapa Pa?" tanya Gala polos saat Ane menutup pintu. "Papa mau main golf? Gala ikut ya?"

"Duh, ibu negara lagi ngambek nih Gala. Papa dalam masalah besar," ujar Genta hiperbola.

"Emang kenapa Mama ngambek? Mama mau ikut golf?"

"Biasa, masalah perempuan. Kamu lanjutin dulu ya belajarnya," jawab Genta tergesa kemudian ia langsung buru-buru keluar kamarnya.

Ane sedang selonjoran di sofa ruang keluarga saat Genta menghampiri. Perempuan itu juga sedang mengunyah keripik kesukaannya. "Sayang," panggil Genta. Pria itu selalu menggunakan panggilan sayang bila sedang merayu Ane.

"Golf aja. Udah bayar kan?" kata Ane sambil mengunyah.

"Terus kamu gimana? Ke salonnya naik apa?"

"Ya aku nyetir lah," jawab Ane enteng.

"Eh enggak ya. Pokoknya kamu nggak boleh nyetir," larang Genta. Melihat kondisi kehamilan ketiga sekaligus keempat Ane ini, Genta melarang Ane menyetir sendiri. Perut besarnya membuat Genta ngeri membayangkan Ane bila menyetir.

"Terus gimana? Aku harus tahan nggak meni-pedi? Kukuku kan udah panjang. Udahlah, lebay banget sih. Kamu golf ya golf aja. Sekalian cuci mata tuh, cady-cady di sana kan cantik-cantik. Montok, bohay, aduhay. Kapan lagi lihat yang begituan kan? Di rumah ngelihatnya bumil terus, bosen kan? Sumpek," ujar Ane.

"Sayang..."

"Hussh.. hush.. sana-sana. Aku lagi nggak mood," usir Ane dengan mengibaskan tangan pada Genta.

"Sayang, maaf. Sumpah aku minta maaf. Gimana caranya biar dimaafin?" sesal Genta sembari mencoba meraih tangan Ane.

"Nggak usah deket-deket aku. Aku bilang aku lagi bad mood. Sana-sana, kamu ajarin Gala lagi," jawab Ane sembari menghempaskan tangan.

Genta mengusap parasnya, kemudian ia membuka ponselnya untuk mengetikkan pesan.

G.O.D.: Sorry bro-bro, gue absen lagi ya

Selesai mengetikkan pesannya, Genta langsung memeluk Ane dari belakang. "Hei, jangan ngambek dong. Maafin aku ya. Habis aku takut kamu nggak izinin. Jadi niatku baru izin besok saja deh. Aku nggak jadi main kok besok," kata Genta kemudian mengecup pipi Ane.

"Reschedule?" tanya Ane curiga. Ane memang tidak suka Genta bermain golf dengan teman-temannya ini. Menurutnya, teman-teman Genta yang ini membawa pengaruh buruk. Kebanyakan dari mereka belum menikah dan sering bergonta-ganti pacar. Bahkan, menurut Ane salah satu alasan mereka golf di Bumi Golf—tempat golf yang mereka rencanakan—itu adalah untuk menggoda cady-cady cantiknya.

"Nggak. Aku batalin," jawab Genta sembari tersenyum. Ia kemudian mengangkat kepala Ane untuk ia pangku dengan menjadikan pahanya sebagai bantalan. "Golfnya cuma dapet seneng berapa jam doang. Tapi Sayangku ngambeknya bisa lama. Pusing aku kalo kamu ngambek, Ne," kekeh Genta.

"Hmm," gumam Ane yang sedang meredam bunga-bunga di hatinya.

"Jangan bete yaa? Besok kan ke salon sama aku. Aku juga pingin creambath," ujar Genta yang membuat Ane melengkungkan senyumnya.

Kebersamaan mereka terjeda saat ponsel Ane berdenting dan memunculkan notifikasi pesan masuk dari Anya. Senyum manis Ane langsung berganti menjadi senyum masam. Kemudian ia menyodorkan ponselnya ke arah Genta. Keduanya kemudian saling bertatapan malas.

Anya: Kak di rumah?

Anya: Aku main ya. Di rumah penuh lampir

"Fix, pasti dia nginep," ujar Genta yang dibalas anggukan malas Ane. "Kamu kayaknya perlu bilangin Anya deh."

Ane mendecak. "Yaudahlah, dia ke sini juga nggak rugiin kita. Gavy sama Gala jadi ada temen."

"Ya tapi dia sampai kapan tiap ada masalah selalu berlindung di balik ketek kakaknya? Udah nikah lama loh, masa masih kekanakan gitu sih jalan pikirnya?"

"Aku udah capek nasehatin Anya. Tapi gimana ya, di satu sisi mertuanya juga rese. Dika juga.. Dia tuh anak mami banget sih, nggak tegas jadi laki-laki. Ya begitulah drama-drama seatap dengan mertua. Apalagi mertua kayak Tante Tuti."

Genta mengganti posisinya, kini ia menaruh kepalanya di pangkuan Ane. "Kalau aku pikir-pikir, ini salah Anya juga sih yang dari dulu manja dan selalu andalin orang tua. Jadi pas nikah dia kaget, sudah nggak bisa ngandalin orang tua."

"Nggak sepenuhnya gitu juga sih Ta. Nggak enak juga posisinya. Anya udah lakuin semua permintaan orang tua Dika loh. Bayangin, Anya yang lagi berjaya di karier akuntannya harus resign cuma karena kena sindir Tante Tuti terus. Kasian banget sekarang dia di rumah cuma ngurus anak sama mertua. Mana suami dinas melulu. Stress tau jadi Anya. Kalo aku dia sih langsung deh aku beli rumah sendiri. Bodo amat mau dicaci-maki mertua. Mental health dan ketenteraman jiwa lebih penting," kata Ane.

"Anya juga kabur-kaburan tiap ada masalah. Gimana mau selesai coba Sayang? Apa perlu aku yang ngomong sama Anya?"

"Jangan dimarahin loh tapi adikku. Kalau mau, kasih tau aja pelan-pelan supaya dia berani speak up. Dia kayaknya lebih ngedengerin kakak iparnya ketimbang kakaknya sendiri," cibir Ane.

"Iya iya, nanti aku ngomong yaa," jawab Genta kemudian mengecup perut besar Ane. "Adek lagi apa?"

"Lagi bobo," jawab Ane.

"Kamu nggak cute deh, Ne. Jawabnya sambil tiruin suara anak kecil gitu looh," komentar Genta.

"Ewhh. Kamu alay banget sih, Ta. Udah mau 40 juga," ujar Ane.

"Eh masih jauh ya. Enak aja kamu," kekeh Genta. "Ne, kalau aku pikir-pikir, kata-katanya Bu Endang bener juga ya. Anak kita banyak," lanjut Genta.

"Sebenernya ini karena kamu yang tersugesti kata-kata dia aja. Kalau dia nggak bilang anak kita banyak, mungkin kita cuma program satu anak aja. Kan kamu tuh yang dari dulu nggak mau diajak program," kata Ane.

"Nggak apa-apa lah Ne, biar pas tua kita banyak yang jagain," jawab Genta yang dibalas tawa pelan Ane.

"Thank you ya, Ta," ujar Ane.

"Buat?"

"Buat segalanya. You are the only exception. Kalau nggak karena kamu yang ngajakin nikah dulu, mungkin sekarang aku masih kesepian, sendirian di apartemen meratapi nasib. Thank you ya Ta udah buat aku percaya cinta, ajarin aku patah hati, mencintai, dan bisa nggak bosen sama orang. If I did anything right in my life, it was when I gave my heart to you," ujar Ane.

Genta tertawa pelan. Bibirnya melengkungkan senyum manis, senyum yang mampu memikat Ane sembilan tahun yang lalu. "Inget nggak dulu aku kalau kamu sedih, aku selalu ngomong 'don't be afraid of the dark. Because I always shine upon you' kan? Itu bukan sekadar bualan loh Ne, aku serius setiap ngomong itu. Dulu aku pikir aku bakal temanin kamu selamanya sebagai sahabat. Ternyata justru Tuhan kasih lebih. Aku bisa temanin kamu sebagai sahabat, partner, sekaligus suami. Love you, Ane. I won't have the capacity to give you the entire world however I guarantee you, I will be a man who is just for you," jawab Genta dengan mesra.

The End.

***

Akhirnya selesai juga cerita ini. Terima kasih untuk semua pembacaku yang udah setia menunggu cerita ini. Kalian luar biasa hebatnya untuk men-support aku yang notabene penulis amatir. Meski aku jarang balas komentar, sesungguhnya aku selalu pantau komen kalian lewat email.

Sama seperti cerita-ceritaku yang lain, cerita ini punya makna tersendiri untukku. Kalau Mighty Love kubuat saat aku berjuang masuk kampus kuning, Prahara kubuat saat aku berjuang keluar dari kampus kuning, Save the Best for the Last kubuat saat aku berjuang mencari kerja, Let It Pass kubuat saat aku berjuang sebagai budak korporat, dan cerita ini, The Only Exception, sangat berarti untukku karena kubuat saat aku berjuang untuk menjadi abdi negara. Mohon maaf karena kemarin aku sempet lama update karena aku sedang sibuk-sibuknya bekerja sebagai abdi negara. Next, mungkin ceritaku udah bukan berlatar HRD dan lawyer lagi.. Karena aku dan pacarku (yang menjadi sumber risetku akan kehidupan para lawyer) kini sudah tidak lagi menjadi budak korporat hahaha.

Terima kasih kepada Mbak Betterbuilt, Mbak Halugirl, dan Mbak Agnes (agak lupa usernamenya), karena mereka dari awal cerita ini dibuat sering banget komen dan nanyain aku kapan update. Maaf ya aku jarang membalas komentar kalian yang super banyak itu.

Akhir kata, sampai bertemu di project lainnya! Salam sehat dan bahagia selalu. G.

Mbak Ane, Bang Genta, dan Mas Bagas pamit undur diri yaa. Daah!

Continue Reading

You'll Also Like

242K 20.7K 40
[COMPLETE] Selama dua tahun, Aruna selalu membenci bulan Februari. Karena di bulan itu diputuskan oleh Firo pacarnya yang saat itu begitu dia cintai...
2.3M 29.1K 28
"Lebarkan kakimu di atas mejaku! Aku ingin melihat semua yang menjadi hakku untuk dinikmati!" desis seorang pemuda dengan wajah buas. "Jika aku meny...
1.7M 56.4K 69
Cinta atau Obsesi? Siapa sangka, Kebaikan dan ketulusan hati, ternyata malah mengantarkannya pada gerbang kesengsaraan, dan harus terjebak Di dalam n...
759K 70.7K 54
Aluma bersumpah bahwa kaum lelaki semuanya setara. Setara dengan aligator bermuka dua. Diputuskan seminggu sebelum menikah oleh mantannya membuat Al...