Guns & Yuta ✓

By intoyourlove

1.1M 196K 121K

Haruma Rui tanpa sengaja melihat sesuatu yang seharusnya tidak ia lihat. Semua menjadi semakin gila disaat Yu... More

Trailer
Prologue
1. What Say You
2. Authority
3. A Gun
4. Have A Sweet Dream
5. High
6. Love Doesn't Hurt
7. Fuck You!
8. All Right, Lion
9. I Saved You
10. I'll Try
11. Lied
12. The Truth
13. Done
14. Always
15. Heaven on Earth
17. I Love You
18. Sunshine
19. Reputation
20. Look After You
21. Truly Yours
22. And I'll Win
23. Your Game
24. God
25. Too Much
26. The Hell
27. Let's Break His Throne
28. Burn Him
29. Key
30. She's Dead
31. Ciao, Amore
32. Deadly
33. Here
34. Evilest Evil of All Time
35. Guns and Yuta
Epilogue

16. Frightened

34.3K 5.9K 5.3K
By intoyourlove

Gue duduk di kursi meja rias dan ngaca di dalam kamar sambil mengaplikasikan lipstik di bibir gue. Jam 8 pagi ini gue lagi siap-siap mau ke kampus. Waktu tangan gue selesai mengoleskan lipstik di bibir, tiba-tiba gue keinget sama kejadian semalam.

Yuta kissed me...

Gue langsung naruh lipstik di atas meja rias dan senyum-senyum gak jelas, ngerasa jadi cewe paling bahagia di bumi ini. Pipi gue panas banget waktu ngingat itu, omg... can i be honest that i want more?

Ibaratnya, siapa yang gak mau? Udah gue bilang, bibir Yuta tuh dope banget. Waktu dia nyium gue rasanya kayak lagi di surga, alias gue mau lagi.

Gue menghela nafas dan natap diri gue di kaca lalu senyum. "Hello, Yuta's soon to be wife..." ucap gue dengan penuh percaya diri sebelum gue melakukan pose kiss bye.

Duh, gak kebayang kalo gue beneran jadi Nakamoto Rui. Astagah, cakep banget marga dia kalo disandingi sama nama gue. Jelas ini tanda-tanda kalo gue sama Yuta emang jodoh.

Gue menggeleng sambil menghela nafas sebelum berdiri dari kursi dan ngambil tas yang gue taruh di atas meja rias.

"Come on, Peanut." gue manggil Yuta si anjing dengan suara kecil sambil ngejentikin jari gue, berharap dia yang tadinya goleran di kasur langsung nyamperin gue.

Dan ya, dia nyamperin gue dengan langkah imutnya. Gue menuju pintu kamar dan ngebuka benda itu. Yuta si anjing langsung keluar dan gue biarin aja soalnya gue mau ngampus. Waktu gue keluar kamar, hidung gue nyium aroma perfume Yuta dan gue tebak dia baru aja lewat.

Mata gue langsung terbelalak bersamaan dengan suara pekikan gue yang keluar. Langsung aja gue lari buat nyari keberadaan Yuta. Gue harus ngeliat dia dulu supaya semangat ngampus okay.

Gue berhenti lari tepat di pertengahan tangga saat gue ngelihat Yuta siap pergi sama dua orang bodyguard di belakangnya. Gue senyum tersipu malu karna ngelihat dia ganteng banget hari ini.

"Na Yuta!" panggil gue.

Dia yang tadinya melangkah jadi berhenti karna panggilan gue, bodyguard-nya pun ikut berhenti dan pada noleh ke gue. Dia balik badan 90° supaya bisa ngelihat gue dengan jelas.

Gue masih senyum manis. "Have a good day!" pesan gue.

Dengan wajah tanpa ekspresinya dia natap gue sejenak, kemudian dia ngebuang nafas berat tanpa ngerespon omongan gue. Dengan sangat monoton, dia main ngelanjutin langkahnya gitu aja, bodyguard-nya pun cuma ngikutin pergerakan Yuta.

Alis gue menyatu. Apa? Gitu doang? Kenapa dia nyuekin gue? Gak! Ini gak bisa diterima!

Buru-buru gue turun tangga dan lari ke arah Yuta. Dengan alis menyatu nuntut penjelasan, gue ngehadang dia. Kedua tangan gue terentang, gak ngebiarin dia ngelanjutin langkahnya.

"Jawab!" kesal gue. "Kalo orang bicara dijawab! Main pergi-pergi aja!"

Gue berhenti ngerentangin tangan dan berdesis sambil menyipitkan mata. Gue menerka-nerka sebenernya kenapa dia gak jawab omongan gue dan wajahnya hambar banget. Tapi gak heran sih, Yuta punya banyak mood jadi gue sendiri udah mulai terbiasa.

"Get out of my way, miss Haruma." suruh Yuta dengan strict-nya.

"Kamu aneh banget," kata gue. "Is somehing wrong?"

Yuta diam beberapa saat. "Nothing." jawabnya seadanya.

Gue makin bingung, alis gue menyatu sembari mata gue fokus ke wajahnya. Lo tuh sebenernya apa sih Nakamoto? We had our first kiss, and now you're acting like we never really had one!

Buat gue, itu hal yang besar. Gue pikir Yuta udah beneran jatuh ke gue. Tapi ngelihat respon dia pagi ini ㅡsetelah apa yang kita lakuin tadi malam, ngebuat gue jadi mempertanyakan orang di depan gue ini. Am i matter in his life after all?

Gue ngebuang nafas kecil. "Okay, mungkin mood kamu lagi gak bagus," ujar gue berusaha mikir positif. "But at least try to smile a little." pesan gue.

"Nothing to smile about in my life." celetuknya langsung, wajahnya serius banget seolah-olah dia emang gak main-main.

Gue terdiam gak percaya natap dia. Alis gue semakin menyatu. Gue kebingungan sekaligus ngerasa gak terima. Jujur, gue tersinggung sama perkataan dia. 'Nothing' katanya? Apa selama ini dia gak ngelihat gue?

Shit, padahal mood gue tadi bagus banget tapi karna Yuta, mood gue justru kayak kehempas entah kemana. Gue kesel.

"Tell me," kata gue sambil maju selangkah ke dia, nantang Yuta. "Can't you see my effort?" kesal gue.

"Effort buat apa hm?" tanya Yuta balik. "Usaha untuk kerjaan kamu? Yes, you're doing great, miss Haruma."

Gue natap dia dengan sorot gak percaya dan menggeleng kecil. "Fuck you." umpat gue penuh penekanan sebelum gue dengan lancang pergi gitu aja.

Gue udah melangkah lumayan jauh sampai Yuta tiba-tiba ngeluarin suaranya. "You know," bukanya, ngebuat gue berhenti jalan tapi gak membalik badan. "Saya pikir akan lebih baik kalo ada jarak antara kamu dan saya, Rui. Let's make some boundaries." celetuknya.

Gue ketawa kesal dan balik badan buat ngelihat wajah Yuta. "But i don't want to." jawab gue dengan tegas kemudian.

Yuta bungkam sepersekian detik. "Have you ever seen me as a man, Rui?" tanya Yuta dengan serius. "If it's so, please respect my decision."

"Respect goes both ways!" lantang gue dengan nada tinggi, gak terima sama keputusan Yuta. "Both of the man and the woman. Saya gak mau punya boundaries sama kamu, end of the story. I know it sounds crazy, but... I think i fell for you..." jelas gue. "I love you, Na Yuta."

•••••

Gue duduk di meja kantin kampus sambil melamun dan nganduk-ngaduk makanan di piring gue tanpa sadar. Gue kepikiran soal perdebatan gue dan Yuta tadi pagi. Brengsek, gue bangun pagi dengan mood yang enak banget dan sekarang justru mood gue kayak gak tersisa 1% pun.

Gue cuma gak percaya kalo Yuta mau ngasih jarak antara gue dan dia. I mean- setelah gue ngerasa dekat dan terhubung sama dia, dia justru mau ngebangun sekat? Geez, dia ini apa sih? Batu?

Gue berusaha banget buat dekat sama dia dan gue bisa bilang itu gak mudah karna Yuta adalah orang yang stricly rasional, dia lebih concern terhadap apa yang akan menjadi dampak di plot hidupnya daripada apa yang menyenangkan dia. Padahal belakangan ini gue udah ngerasa dekat sama dia, gue pikir gue udah ngehancurin es-nya tapi ternyata gue salah.

Gue ngebuang nafas dan natap piring gue yang isinya udah tercampur- campur gak karuan. Tadi sih lumayan lapar, tapi karna keasikan melamun, gue jadi gak lapar lagi.

Gue ngedorong piring ke depan dan mangku pipi gue pake sebelah tangan dengan lesu. Cape banget menghadapi seorang Nakamoto Yuta, gak cuma menguras otak dan pikiran tapi juga menguras emosi dan perasaan.

Drrt... Drrt...

Hp yang ada di kantong jas kuliah gue getar. Masih dengan posisi sebelah tangan mangku pipi, gue ngerogoh saku jas dan berusaha nemuin benda yang bergetar itu. Gue ngaraih ponsel ke depan wajah dan ngebaca nama orang yang nelpon gue.

"Shit." umpat gue dengan suara kecil sebelum gue menghela nafas dan berhenti mangku pipi.

"Rui!" buka orang itu dengan semangat. "Apa kabar huh? Kenapa gak pernah ke rumah belakangan ini?"

Ya, benar sekali, itu papanya Yoshi. Apa tadi? Kenapa gue gak pernah ke rumahnya? Jelas aja Yoshi belum ngomong kalo gue sama dia udah putus. Lagi pula gue juga males ke rumah dia kalo cuma untuk dimintain bantuan buat mata-matain Yuta.

"Eum...." gue bergumam, pura-pura ngerasa ragu dan gak enak, padahal gue lagi kesel. "Kayaknya Yoshi belum bilang deh sama om..." ucap gue.

"Huh?" papa Yoshi kebingungan. "Bilang apa? Om baru balik dari rumah sakit dan tante bilang kamu gak pernah ke rumah belakangan ini. Yoshi pun gak bilang apa-apa sama om." katanya.

"Rui udah putus sama Yoshi om." jawab gue.

Beberapa saat gue gak ngedenger suara papa Yoshi, mungkin dia kaget atau gimana. Gue nyandarin punggung di kursi dan tangan kiri gue meluk perut, sedangkan tangan kanan gue nempelin hp ke telinga.

Om Kanemoto tiba-tiba ketawa, kedengeran percaya. "Kamu ini bisa aja bercandanya!" katanya kemudian.

Gue menghela nafas. Asli, cape banget gue sama keluarga lo, parasit semua. Dan, bodohnya kenapa gue baru sadar setelah pacaran bertahun-tahun sama anaknya?

"Rui gak bercanda om." kata gue. "Udah nyaris seminggu Rui putus sama Yoshi."

Lagi-lagi om Kanemoto terdiam. "Kamu serius?" tanyanya, shock dan gak percaya.

Gue merhatiin kuku-kuku tangan kiri gue, bener-bener gak peduli alias gue udah gak ada urusan sama lo. "Iya om." jawab gue kemudian.

"Astagah..." kagetnya dengan suara kecil. "Kenapa bisa putuh huh? Coba bilang sama om biar om yang bicara sama Yoshi."

Fuck? Lo kira gue mau balikan sama anak lo si tukang selingkuh itu? I deserve better than Yoshi. Udah habis rasa gue buat Yoshi, cuma kesal yang tersisa.

"Gak usah om," tahan gue. "Rui emang udah gak mau balikan sama dia." kukuh gue.

Papa Yoshi terdiam sepersekon. "Rui... What happend?" tanyanya. "Ayo kita bicarain baik-baik, kita diskusiin sama-sama. Pasti ada jalan keluar."

"Udah ketemu kok jalan keluarnya om. Putus adalah satu-satunya jalan keluar." skak gue, mungkin kedengaran pedas. "Rui mutusin Yoshi karna dia selingkuh, he dumped me. Satu-satunya dosa yang gak bisa dimaafin wanita ya selingkuh, Om. Kalo Yoshi melakukan kesalahan yang lain, Rui masih bisa terima. Tapi kalo udah masalah selingkuh, gak ada lagi kata 'kembali kayak dulu'." final gue.

"Selingkuh?" bahkan om Kanemoto kedengeran kaget. "Mungkin kamu cuma salah paham. Masa iya Yoshi selingkuh?" kata papanya, masih coba ngebela anaknya yang kurang ajar itu.

"Rui lihat pake mata Rui sendiri apa yang hampir mereka lakuin om. Bukan dari orang lain, tapi Rui secara langsung ngelihat itu. So, gak ada salah paham di sini, semuanya memang nyata begitu." jelas gue dengan strict.

Kebanyakan gaul sama Yuta omongan gue jadi agak berbobot. Walaupun kadang-kadang doang. Kalo lagi gak mood gini anehnya omongan gue malah berbobot, ketika mood gue naik omongan gue malah gak jelas total.

"Tapi apa harus putus, Rui?" kata papa Yoshi, kayak maksa gue harus sama anaknya. "Tapi kamu masih mau ngebantu om kan?"

See, apa gue bilang. Ini bukan karna dia peduli sama gue tapi ini cuma karna dia takut kehilangan mata-matanya.

"Maaf, Om." jawab gue.

•••••

Gue jalan menuju pintu utama rumah Yuta karna baru pulang dari kampus. Sebenernya dari gerbang tadi gue ngelihat banyak mobil terparkir dan gue bertanya-tanya sebenernya lagi ada acara apa.

Waktu gue sampai di pintu utama, pas banget mau ngebuka pintu, tiba-tiba ada mobil yang datang. Gue berhenti gerak dan merhatiin mobil itu dengan alis yang berkerut heran.

Gak lama pintu penumpang belakang terbuka dengan digeser dan keluarlah Shotaro dari dalam mobil. Dia langsung sadar sama kehadiran gue. Terbukti dia langsung nunjuk gue dengan ekspresi kagetnya.

"Oh? Haruma Rui?" tanyanya.

Badan Shotaro tiba-tiba di dorong dari belakang pake tongkat jalan sama penumpang lain yang mau keluar dari mobil karna Shotaro ngehalangin jalan.

"Minggir, Tuan Muda." ucap seorang pria paruh baya yang tadi ngedorong Shotaro.

Shotaro langsung menyingkir dan ketawa kecil, ngebantu pria paruh baya itu buat turun dari mobil. Sepengelihatan gue dia udah lumayan tua, mungkin umurnya sekitar pertengahan 60-an. Berdirinya juga dibantu tongkat jalan walaupun dia kelihatan sehat. Bukan tua bangka gitu tapi masih paruh baya dengan badan yang cukup berisi ㅡkayak guru olahraga yang perutnya buncit karna kebanyakan makan duit renang.

"Papa, ini Rui yang waktu itu Taro ceritain." ucap Shotaro yang berdiri di sebelah orang yang dia sebut papa itu. "Rui, ini papa saya, Osaki Hitada." perkenalannya.

"Oh Rui yang cemewew-nya Yuta itu?" tanyanya ke Taro.

Huh? Apa maksud beliau?

"Iya, yang itu." jawab Shotaro.

Papanya cuma ngangguk-angguk paham dan gak lama pintu rumah terbuka, ngebuat gue kaget bukan main dan langsung reflek menyingkir dari depan pintu.

Beberapa saat mata gue dan Yuta bertemu, tapi kita gak ngasih ekspresi apapun. Cuma ngelirk gitu doang dan Yuta langsung natap om Hitada.

"Ayah?" buka Yuta. "Ternyata sudah sampai."

Gue otomatis nyatuin alis kebingungan. "Ayah...?" bingung gue dengan suara kecil.

Yuta nyamperin om Hitada dan mereka ngobrol kecil sebelum Yuta ngebawa om Hitada masuk ke dalam rumah. Yuta bener-bener nyuekin gue by the way, dan itu nyebelin banget. Gue gak ngerti apa maunya.

Setelah keduanya masuk, gue ngebuang nafas berat lewat mulut. Baru aja mau ikutan masuk, Shotaro tiba-tiba ngeluarin suaranya.

"What is that between you two?" tanyanya, ngebuat gue noleh ke arah dia. Shotaro diam sebentar sebelum dia terkekeh kecil dan nyamperin tempat gue berpijak. "Kenapa kelihatan kayak lagi musuhan sih?" tanyanya lagi waktu dia udah berdiri di depan gue.

Gue melengos pasrah. "Dia yang musuhin saya. Nyebelin banget!" gerutu gue.

Shotaro ketawa bentar. "These lovers." cibirnya kemudian.

Alis gue menyatu. "These?" bingung gue kenapa dia pake kata jamak. "Ya, saya emang suka sama dia tapi dianya enggak, okay? Tadi pagi dia bahkan bilang mau ngasih boundaries antara saya sama dia! What on earth was that about?!" gak terima gue.

"Did he?" tanya Shotaro, kelihatan gak kaget.

"Ya!" emosi gue. "Nyebelin gak sih! Bisa-bisanya dia bilang begitu!" kesal gue.

Shotaro bergedik, tapi dia beneran gak kaget. "Mungkin dia takut." katanya kemudian.

Gue terdiam natap Shotaro dengan penuh bingung.

"Karna setau saya dia juga lagi jatuh cinta." kata Shotaro, ngundang keheranan gue. "Kamu tau Yuta orang macam apa, Rui. Dia cuma takut."

•••••

Gue ngelihat Yuta duduk di kursi pantry minibar setelah mutar-mutar keliling rumah cukup lama. Akhirnya ketemu! Lancang aja gue nyamperin dia dan duduk di sebelahnya. Yuta lagi neguk alkohol di gelasnya. Waktu gue tiba-tiba duduk di sebelahnya, dia ngelirik gue sebentar tapi tetap ngelanjutin kegiatan minumnya.

Gue micingin mata. "Shotaro bisikin aku semuanya." celetuk gue kemudian.

Dia ngelirik gue. Wajahnya tanpa ekspresi, gue gak tau dia marah, kesel, terganggu atau apa. "Bisikin soal apa?" tanya Yuta kemudian.

"Soal kamu yang ke rumah sakit."

"Jesus." sebut Yuta, buru-buru dia nuangin alkohol dari botol ke gelasnya dan diminum dalam sekali tegukan.

"I just can't believe that..." kata gue dengan suara kecil.

Yuta ngelirik gue, sedikit tajam. Kemudian dia ngebenerin posisi duduknya jadi lebih menghadap ke gue. Sebelah tangannya di taruh diatas meja. "Well... Now you know." ujar Yuta.

Gue menghela nafas dan natap dia sendu. "Kenapa gak bilang dari awal?" jujur, gue agak kecewa karna Yuta gak ngasih tau gue langsung.

Yuta juga menghela nafas kecil. "Yang penting sekarang kamu sudah tau kan. What else can i say, Rui?"

Gue ngeraih sebelah tangan Yuta dan ngelus tangan dia lembut, gue masih natap dia sendu. "Kalo punya batu ginjal, seharusnya kamu cerita dari awal." kata gue.

Yuta membeku karna ucapan gue. Gue tau dia lagi mengalami masa berat karna batu ginjal, Shotaro told me that. Dia bilang kemaren dia sama Yuta pergi ke rumah sakit karna batu ginjal Yuta. Seharusnya gue lebih peduli sama Yuta, gimana bisa gue gak tau kalo dia sakit?

Gue senyum simpul. "Itu gak memalukan kok... Kenapa gak pernah cerita..." ucap gue.

Yuta langsung narik tangannya dari genggaman gue, micu gue buat ngerutin alis gue. Dia ngambil botol alkohol dan langsung neguk isinya dengan brutal.

"Gak usah malu, Na Yuta..." ucap gue.

Dia naruh botol alkohol kembali ke atas meja dengan sedikit bertenaga. Masih dengan tangan yang megang botol di atas meja, dia nunduk, kayak ngambil nafas dan nyabarin diri. It's okay, gue tau dia malu karna gue berhasil tau soal batu ginjalnya, gue ngerti.

Gue ngelus punggung Yuta. "Enggak apa-apa kalo mau nangis, nangis aja." suruh gue.

"Saya gak mau nangis." tekan Yuta, masih dengan posisi yang sama.

"Cowo boleh nangis kok. Apalagi kalo kena batu ginjal."

Gue ngedenger Yuta ngebuang nafasnya lewat mulut. "Shut up, Rui." katanya kemudian.

"Apa batu ginjal butuh operasi?"

Yuta langsung noleh gue dan nepis tangan gue yang tadinya ngelus punggung dia. Alisnya nyatu kesal. "Saya gak kena batu ginjal okay!" belanya.

Gue terdiam dengan kerutan dipertengahan alis gue.

"Saya sehat, jadi jangan ngomongin batu ginjal lagi." kata Yuta.

Gue ngelirik ke arah lain setengah detik sebelum kembali ke mata Yuta. "But he told me so..." ucap gue.

"Jesus," sebutnya sambil ngebuang muka dan menggeleng kecil. "I'm gonna kill him soon." ujarnya dengan suara kecil.

Ada keheningan beberapa saat sampai gue ngebuka mulut. "But," buka gue, ngebuat fokus Yuta kembali terpusat di gue. "He also told me another thing." kata gue.

Yuta nyatuin alisnya, dia kayak nungguin hal yang mau gue ucapin.

"He told me that you fell for me." ucap gue. Seolah-olah terskak dengan ucapan gue, Yuta terdiam natap gue dan neguk liurnya. "And you're afraid... Is that so, Nakamoto?"

Butuh beberapa detik buat denger respon Yuta. "You wanna hear a lie?" tanyanya, gak gue respon, gue diem aja. "I'm not falling for you." katanya.

Tunggu... Apa itu artinya tuduhan gue bener? Yuta beneran jatuh buat gue? Senyum gue ngembang. Lagi-lagi hati gue kayak dalam fase musim semi alias penuh bunga-bunga. Rasanya pengen langsung nari-nari bahagia.

"R-really...?" tanya gue, masih gak percaya.

"You heard that, Rui."

Senyum gue makin lebar. "Then why are you avoiding me? Apalagi pake bilang mau ngebuat boundaries..." gue butuh penjelasan.

Dia natap gue cukup lama dan kemudian dia menghela nafas. Kedua tangan Yuta nyelipin rambut gue kebelakang telinga dengan hati-hati sebelum dia nangkup kedua pipi gue dengan lembut. Senyum gue yang tadinya lebar jadi memudar karna gue terkesima dan tersihir sama wajah Yuta, gue ngerasa wajahnya indah banget. Terlebih tatapannya sangat menenangkan.

"Because it's frightened me." katanya dengan suara kecil.

Gue gak ngebalas apa-apa. Mulut gue keluh, rasanya gue mau terus-terusan natap wajahnya. Hati gue kerasa teduh banget, gue suka perasaan ini.

"I look at you, and just love you. And it terrifies me..." lanjutnya masih dengan tone suara yang sama. "It terrifies me, what i would do for you, Haruma."

Gue jadi gak bisa ngeluarin kata-kata karna terlalu banyak yang mau gue sampaikan. Gue natap dia dengan mata yang berkaca-kaca. Gue gak percaya Yuta beneran selembut ini...

"I've changed everything for you, Rui... and i'm scared." lanjutnya.

"You... You can trust me..." kata gue dengan suara kecil, itu juga susah payah gue keluarin.

Dia senyum tipis dan ngecup bibir gue singkat, tatapannya teduh, lemah, dan halus. "I know." katanya kemudian, dengan suara yang nyaris gak kedengaran. "But i'm also afraid of hurting you... Everyone says i'm a monster Rui, you know that. I don't want to break you." ucapnya tulus.

"That's not true..." bela gue, gak setuju.

"Sadly that's true." katanya. "You tell me, when is a monster not a monster hm? I'mㅡ"

"When you love it." potong gue, ngebuat Yuta terdiam membatu seraya natap mata gue dengan sedikit terkejut. "I love you."

To Be Continued...

Continue Reading

You'll Also Like

960K 111K 46
Ketika Jeno yang terlalu naif akan perasaan nya pada sang tunangan, lebih memilih bertahan pada ego untuk terus bersama sang kekasih di bandingkan me...
4K 838 39
[FOLLOW DULU SEBELUM MEMBACA✓] End : 22/05/02 Ini merupakan kisah cinta ringan seorang gadis bernama Kim Dahyun yang di cap sebagai trouble maker di...
868K 101K 62
[COMPLETED] "Let's stop seeing and texting each other... and if by chance we met in the street, let's pretend like we didn't know each other." Start...
395K 47.9K 57
[COMPLETED] "She's a bad bad girl and you should know that." Start 15/09/2019 Finish 13/03/2020 #533 fanfiction 19/12/19 Copyright © 2019 by peachan...