Ephemeral [TERBIT]

By cindyspt_

222K 31.3K 7.8K

Ephemeral, waktu yang begitu singkat dan semua yang ada didunia tidak lah kekal. Sosok remaja ini akan membaw... More

Ephemeral
1. Masa lalu
2. Akhir masa lalu
3. Mimpi buruk
4. Ketakutan Jeno
5. Apa dia lebih penting?
6. Sosok rapuh yang kuat
7. Ukiran berwarna merah
8. Senyum dibalik luka
9. "Tuhan, kapan Jeno bahagia?"
10. Jatuhnya air mata
11. "Jeno rindu ayah yang dulu"
12. Munculnya konflik
13. "Jeno capek bang.."
14. Tidak sendirian
15. Jeno itu siapa?
16. Jurang yang dalam
17. Penyelamatan
18. Arti seorang adik
20. Sudah lelah
21. Tentang Aksa
22. "Ayah jahat, tapi Jeno sayang"
23. Air mata kekecewaan
24. Hati yang sudah mati
25. Penyesalan yang sia-sia
26. Kebahagiaan yang semu
27. Luka yang membekas
28. Lupa yang membawa luka
29. Dia sudah bahagia
30. Teka-teki kehidupan
31. Pahlawannya telah pergi
32. Sakit yang berkelanjutan
33. Diselamatkan bersama luka baru
34. Kehilangan lagi
35. Tangis dan tawa
36. Maaf berujung petaka
37. Bertemu Bunda
38. Perjuangan terakhir
39. Hampir menyerah
40. Bahagianya sudah nyata
Catatan terakhir
Mari dibukaโœจ
VOTE COVER!!
OPEN PO!!
PENGUMUMAN PO!
Ayok dibuka๐Ÿ’ƒ

19. Antara rindu dan sepi

4K 671 197
By cindyspt_

"Merindukan seseorang yang jauh diluar negara tidak sesulit merindukan seseorang yang jauh diluar alam semesta."

Hai readers, disapa balik gak nih authornya hehehe🙌🏻✨

-√-

-

Sendirian, remaja itu kini sedang terbaring lemah sendirian di ranjang pesakit itu. Sudah sehari berlalu dan sebenarnya remaja itu sudah sadar, namun saat membuka matanya ia tidak melihat siapa-siapa. Akhirnya ia kembali menutup matanya bersamaan dengan cairan bening yang turun dari matanya.

Harapan remaja itu hanyalah sosok Ayah dan kakak yang akan menemaninya saat ia sedang dalam kondisi seperti ini. Namun sayangnya lagi-lagi itu semua hanyalah suatu keinginan yang akan sirna begitu saja tanpa terkabulkan.

"Gue tau lo udah bangun Jen, lo udah gapapa?"

Jeno membuka matanya dan menatap ke suara yang baru saja menanyakan kabarnya. Lagi-lagi hanya suara itu yang membuatnya tersenyum.

"Udah gapapa."

Nean mendekati Jeno dan membantu Jeno untuk duduk dan meminta remaja itu untuk menggerakkan kaki serta tubuhnya secara perlahan. Setelahnya Nean duduk di sebelah Jeno dan tangannya bergerak memotong apel yang ada di meja.

"Jujur sama gue, lo bisa jatoh sampe kayak gini emang bener karena liat sosok itu, atau didorong sama gengnya Bara?"

Jeno tersenyum kecil, "Ini murni gue jatoh sendiri kok, justru si Verkan malah mau nolongin gue tapi gak sempet."

Nean menghela nafasnya kasar, "Gue gak mau lo kenapa-napa Jen, ini udah kali ke berapa lo keluar masuk rumah sakit terus. Kalau lo sampe kenapa-napa gue cuma bisa nyalahin diri gue sendiri karena gak bisa jagain lo."

"Jangan nyalahin diri lo, Nean. Umur manusia cuma Tuhan yang tau, semua kehidupan manusia juga ditulis sama Tuhan yang artinya alur kehidupan manusia kedepannya cuma Tuhan yang tau karena dia yang nulis kan?"

"Ibarat kata kalau besok gue mati, itu bukan berarti gue udah lelah, itu artinya kisah hidup gue yang ditulis sama Tuhan itu udah selesai, udah tamat. Semua kematian juga gak bisa dikaitkan sama lelah atau depresi. Gak ada yang kebetulan di dunia ini, semuanya udah dirancang, jadi selama masih hidup, kita harus bahagia."

Entah sejak kapan air mata Nean mengalir begitu saja, "Bego, lo suruh gue bahagia? Lo sendiri gimana hah?!"

Jeno mengambil tisu di sampingnya dan menghapus air mata Nean dengan tisu itu sembari tersenyum lebar, "Gue bahagia kok, cuma cara gue bahagia aja yang beda dari yang lain."

"Bodoh."

Kekehan kecil keluar dari mulut Jeno entah menertawakan Nean atau menertawakan hidupnya yang dipenuhi oleh kata pura-pura dan kepalsuan.

"Hal yang paling bikin gue bahagia itu kalau bisa dapet nilai sesuai yang Ayah mau. Ayah pengen gue jadi kayak Bang Jaevir. Abang tuh seakan-akan sempurna banget ya, ibarat abang tuh pohon yang udah berbuah banyak jadi paling dijaga sama Ayah sampe-sampe disini masih ada benih kecil yang baru mau tumbuh gak dirawat."

Nean menatap Jeno, "Kita cocok jadi adek kakak gak sih? Lo digituin bokap lo, gue digituin sama nyokap, hehe serasi."

Jeno tertawa membuat Nean juga ikut tertawa, selama beberapa detik mereka lupa bahwa mereka baru saja sedih dan sekarang semesta memaksa mereka untuk tertawa kemudian menjatuhkan mereka kedalam kesedihan lagi.

"Ne, jangan sakit, kalau gue pergi nanti gak ada yang bisa jenguk lo lagi."

"Lo gak akan pergi kemana-mana gak usah aneh-aneh. Lagian kalau nanti gue sakit juga masih ada papa, dia kan bisa jagain gue."

Jeno tersenyum, "Ayo taruhan, pasti gue duluan yang mati."

"Heh, ngapain taruhan tentang kematian sih? Gak usah aneh-aneh deh, Jen."

"Gue gak aneh-aneh, gue bicara fakta."

"Emang lo sakit keras apa sampe bisa mati cepet gitu? Dahlah omongan lo udah ngelantur jadi males gue."

Sementara yang diajak bicara hanya tertawa melihat muka Nean yang cemberut.

"Gimana kalau gue emang mati duluan, Ne?"

Di sisi lain, kini Wira dan Edric kembali ke rumah sakit untuk mengecek kondisi Jeno, tak lupa Wira membawa Hesta juga. Ia telah mengurus semua surat pengunduran diri untuk adiknya itu, setelah tau bahwa ini bukan kali pertamanya orang-orang itu memukuli Hesta.

Hesta mengikuti Wira dari belakang, entah kenapa ia sangat takut untuk menemui majikan Wira. Selama ini Wira tidak pernah bercerita apapun tentang majikannya, sesekali pemuda itu hanya mengejek majikannya karena aneh dan Hesta hanya bisa tertawa mendengarnya.

Namun ia belum pernah tau apapun tentang anak-anak dari majikan Wira, bagaimana kalau anak itu tinggi besar, galak, bertato. Ah, semakin memikirkan itu semakin sakit kepala Hesta.

"Hey, Jeno. Kamu udah sadar?"

Jeno menatap kearah Wira dan Edric yang masuk ke ruangannya, namun seketika itu juga atensinya berubah kearah pemuda yang ikut bersama Wira dan Edric tapi nampaknya pemuda itu sedikit ketakutan.

"Gue belom sadar bang, ini cuma arwah yang gerak."

"Oalah, hai arwah, saya Wira."

"Goblok."

Jeno dan Nean tertawa melihat Edric memukul keras kepala Wira dan mereka berdua kembali terlibat kedalam pertengkaran. Sementara Jeno kembali menatap pemuda yang ada dibelakang Wira, sesekali pemuda itu nampang tertawa kecil melihat Wira dan Edric yang bertengkar.

"Lo tuh demen banget mukul kepala gue, kalau gue pendarahan otak gimana?"

"Heh mana ada mukul gitu doang bisa pendarahan otak?"

"Siapa tau kan? Terus tau-taunya mati, terus otak gue lo ambil terus lo jadiin otak-otak goreng."

"Wir, lo kalo lemot boleh, tapi jangan bodoh ya? Ribet di gue Wir, lo gak kasian sama gue makin hari makin kurus ceking gara-gara mulut lo."

"Loh gapapa kan kalau kurus?"

Edric tersenyum kecut, "Gapapa sumpah gapapa, demi Alek kaga ngapa-ngapa. TAPI LO MIKIRLAH ANJENK."

"Alek siapa anjrot, pacar lo Dric?"

"Wira sialan!"

Pertengkaran masih kembali berlanjut membuat perut Jeno dan Nean hampir kram karena tertawa. Akhirnya setelah beberapa menit lamanya mereka berhenti bertengkar dan barulah Jeno bisa kembali bersuara.

"Bang, itu siapa yang dibelakang?"

"Ini? Ahh ini Hesta, adik saya."

Hesta segera mengangkat kepalanya saat Wira menyebut namanya dengan sedikit takut, pemuda itu tersenyum pada Jeno.

"S-saya Hesta, s..salam kenal."

Jeno kaget saat Hesta membungkukkan badannya didepan Jeno, dengan cepat Jeno menyuruh Hesta untuk mengangkat tubuhnya.

"E-eh, jangan kayak gini dong, Jeno lebih muda dari kakak, lagian Jeno udah banyak denger tentang kakak dari Bang Wira."

Hesta melihat Jeno yang berbicara dengannya menggunakan kata-kata yang sangat sopan lengkap dengan senyuman yang diukir di wajah itu.

"Kok lucu..gue kira anaknya bakalan galak terus tatoan gitu.."

"Jen, kamu manggil Hesta kok pake kakak? Sama saya aja abang."

"Soalnya Bang Wira bar-bar, kalau Kak Hesta tuh bawaannya kalem jadi lebih enak diajak bicara."

"Heh tidak semudah itu ferguso, kamu jangan ketipu sama tampang kalemnya, nih anak bisa jadi psikopat Jen."

Jeno menjitak pelan kepala Wira, "Bodo amat, gak percaya."

Hesta hanya bisa tertawa melihat Wira yang ternyata sangat akrab dengan anak tuannya sendiri, andai jika Hesta punya adik, apa adiknya akan selucu Jeno?

"Kak Hesta, emang Bang Wira tuh lahir gak normal ya?"

"Hah? Kok nanya gitu Jen?"

"Gak tau kenapa, pengen tau aja."

"Salah keluar pas lahir kali."

Ruang rawat itu kembali rusuh saat Edric menjawab pertanyaan Jeno membuat kedua pemuda itu kembali bergelut dan sekarang cara mereka bertengkar dengan mencubit satu sama lain.

"Tengkar lagi dong, geli banget-Hmmph."

Jeno menutup mulutnya kala tiba-tiba saja ada sesuatu yang bergejolak di perutnya dan membuatnya ingin muntah.

Hesta yang melihat itu segera mengeluarkan kantong hitam yang ia simpan di tasnya lalu memberikannya kepada Jeno.

Hoekk..hoekk..

Ia mengelus pelan punggung Jeno sementara yang lainnya hanya bisa menatap Jeno dengan tatapan khawatir.

"Jangan dicengkeram perutnya nanti malah kram. Sandaran aja."

Jeno hanya menuruti Hesta setelah ia selesai dengan acara muntahnya. Ia rasa tidak ada yang salah dengan tubuhnya tapi entah kenapa ia tiba-tiba saja muntah.

"Asam lambung kamu naik ya? Ini muntahannya cairan bening doang," kata Hesta sambil mengikat kantong plastik bekas muntahan Jeno.

Akhirnya Jeno baru ingat jika ia belom makan sejak kemarin pantas saja sekarang perutnya terasa sakit.

"Kamu tunggu bentar ya, kakak beliin bubur, kalau asam lambung jangan makan yang keras-keras."

Melihat Hesta yang ingin pergi membuat Wira langsung mencegatnya, "E-eh biar gue aja yang beli, sekalian mau beli kopi sama ni bocah."

"Masih lagi, jangan minun kopi kak."

"Sekali aja bolehlah ya?"

"Kalo gitu gue beli bubur sendirian aja."

"Eh buset yaudah iyaa, gak minun kopi gue. Udah disini aja jangan kemana-mana."

"Ck yaudah sono, ini Jeno keburu kelaparan nungguin lo."

Wira langsung berlari keluar namun baru berlari sebentar ia kembali masuk ke dalam ruangan Jeno.

"Kenapa lagi?"

"Ketinggalan."

Dengan cepat Wira menarik Edric hingga pemuda itu hampir jatuh, saat baru saja bersyukur karena tidak jatuh sayangnya muka mulusnya menabrak pintu ruang rawat Jeno yang membuat Edric berteriak dan Wira kaget.

"Apaan sih bego, kaget gue!"

"Muka gue kehantam pintu gara-gara lo Wir! Anjrot lah."

"Ohh gue kira kenapa."

"Matamu rak popo! Tak keplak ndasmu mlayang!" (Matamu gapapa! Gue pukul kepala lo melayang!.)

Secepat kilat Wira berlari menghindar dari Edric sedangkan Edric tidak kalah cepat berlari mengejar Wira.

Jeno dan yang lain melihat mereka hanya bisa mengelus dada dan menggelengkan kepalanya pusing.

"Kak, kenalin nih, Nean."

Hesta melihat Nean dan tersenyum, "Saya Hesta."

"Nean bang."

"Habis ini kakak tinggal di rumah Jeno? tanya Jeno to the point.

"Emm, kata Kak Wira sih gitu ya, tapi kayaknya saya mending ngekos daripada repotin-"

"Eh jangan! Gapapa tinggal sama Jeno, biar rumah jadi rame."

"Emangnya di rumah kamu sepi?"

"Sepi kasih sayang."

Mendengar itu Hesta langsung paham kondisi Jeno, katakanlah Hesta itu orangnya sangat peka. Ia bisa menebak bahwa Jeno kurang mendapat kasih sayang dari orang tuanya.

"Yaudah saya tinggal di rumah kamu, tapi kamu harus janji satu hal sama saya."

"Apa tuh?"

"Gak boleh sedih, boleh sih tapi gak boleh sampe ganggu pelajaran yang lain."

Jeno tersenyum, secepat inikah Hesta paham tentang dirinya? Apa sekarang Hesta bisa menukar posisi Jaevir sebagai kakak Jeno?

"Iya janji, tapi jangan manggil pake saya gitu, bilang aja kakak atau apa gitu biar keliatan akrab, jangan kayak Bang Wira."

Hesta tertawa, "Oke Jen, pake kakak aja yaa."

"Nah gitu kan enak."

Setelahnya mereka hanya menghabiskan waktu untuk mengobrol satu sama lain sambil menunggu Wira dan Edric kembali dengan bubur ditangan mereka.

Tanpa mereka sadari, Jeno sedari tadi tersenyum memperhatikan Hesta yang berinteraksi dengannya dan Nean. Jeno merasa hatinya sedikit lebih hangat, jika keluarga tidak bisa memberi dia semangat, maka ia masih punya teman yang merupakan benteng kedua baginya untuk berlindung.

Jadi tidak ada alasan bagi Jeno untuk menyerah bukan?

-

Kini keluarga Altezza sedang berkumpul tentunya tanpa kehadiran si bungsu ditengah-tengah mereka.

Keheningan mendominasi ruang keluarga itu, sedangkan dinding rumah menjadi saksi bisu adanya perdebatan yang sebelumnya terjadi diantara mereka yang kini disambut oleh keheningan.

"Ayah serius? Jaevir belom siap."

"Serius, Ayah serius banget. Ayah cuma mau kalian punya sosok Ibu yang baik dan bisa ngasih kalian kasih sayang saat Ayah lagi sibuk ngurusin kerja."

"Tapi kalau emang Ayah lakuin itu buat Jaevir sama Jeno, harusnya Ayah bahas ini sama Jeno juga, kenapa cuma sama Jaevir?

Dirga menghela nafasnya kasar, "Handphone dia gak aktif, harusnya dia udah pulang kan hari ini? Wira sama Edric juga gak ada kabar."

Mendengar itu membuat Jaevir mengernyitkan dahinya, seketika berbagai pemikiran buruk tentang Jeno muncul di otaknya, membuatnya khawatir jika adik kecilnya itu dalam bahaya.

"Jaevir mau nyusul Jeno."

"Duduk Jaevir. Ada Wira sama Edric pasti mereka jagain Jeno disana."

"Tapi-"

"Duduk!"

Jaevir menghela nafasnya kasar, akhirnya mau tidak mau ia kembali menaati ucapan Ayahnya. Ia duduk sambil menatap wanita yang duduk disamping Dirga dengan mata elangnya, ia tidak suka dengan cara wanita itu memegang lengan Dirga didepan matanya.

"Serius Ayah milih wanita kek gini? Mending bunda dulu. Cantik, baik, kalem lagi, yang ini agak ambigu," batin Jaevir.

"Jadi gimana nak? Kamu setuju kan?"

Pertanyaan Dirga membuat Jaevir tersadar dari lamunannya.

Dengan berat hati Jaevir mengangguk, "Terserah Ayah aja, yang penting Ayah bahagia, kita juga bahagia kok."

Dirga tersenyum lalu berhamburan memeluk putra sulungnya, " Terima kasih nak."

"Iya Yah. Yaudah Jaevir mau ke kamar dulu ya, masih banyak tugas yang belom selesai." Dirga mengangguk.

Setelah Jaevir pergi dari situ, Jessica tersenyum puas, akhirnya perlahan ia bisa mendapatkan Jeno.

"Sebentar lagi Jeno sama bunda ya, walaupun harus nikah sama si tua jelek ini, asal bisa dapet kamu gapapa kok," batin Jessica.

"Jes? Kok kamu bengong? Kenapa hm?"

Jessica sesegera mungkin menatap Dirga dan tersenyum, "Ah enggak kok gapapa, cuma tadi kaget aja ternyata kamu punya 2 anak ya?"

"Iyaa, aku punya 2 anak, mereka semua permata buat hidupku, tapi ya cara aku ngajar mereka emang keras makanya anakku yang bungsu agak kurang ajar, soalnya susah diajar pake cara keras."

"Aku udah ketemu sama Jaevir, si Jenonya kapan?"

Dirga mengernyitkan dahinya, pertanyaan Jessica membuatnya sedikit heran seperti ada yang sudah direncanakan wanita itu.

"Hm, pertanyaannya membagongkan," batin Dirga.

"Maksudku, sebelum jadi ibu dari anak-anak kamu, aku harus kenal dekat sama mereka, kalau enggak nanti mereka gak sayang sama aku gimana?"

Dirga tersenyum, "Gak perlu khawatir, Jeno itu anaknya gampang deket sama orang lain, apalagi sama calon ibunya sendiri."

Wanita itu tersenyum lebar dan memeluk erat Dirga membuat laki-laki itu membalas pelukannya dengan semakin erat.

"Makasih udah nerima aku mas."

"Makasih juga udah mau jadi ibu atas anak-anakku."

Jaevir melihat itu semua, ia melihat Dirga yang bermesraan dengan wanita yang nantinya akan menjadi ibunya. Tapi jujur Jaevir lebih menyayangi Bundanya, wanita yang sedang bersama Dirga sekarang terlihat mencurigakan.

Belum lagi dirinya yang sangat kesal kala Dirga tidak memberitau ini kepada Jeno juga dengan alasan bahwa anak itu sedang tidak ada di rumah dan Dirga tidak ingin membuang waktunya.

Pandangan Jaevir kini tertuju pada Bi Ima yang tidak sengaja lewat dan menatapnya dengan tatapan sendu.

"Bibi.."

Bi Ima yang paham dengan kondisi Jaevir saat ini langsung memeluk erat anak itu dan mengusap lembut punggungnya.

"Bi, Jaevir rindu Bunda. Sampai kapan harus bohong sama Jeno kalau sebenernya Bunda udah meninggal bukan benci sama Jeno.."

"Lama kelamaan Jeno pasti tau nak, kamu gak akan bisa sembunyiin hal kayak gitu selamanya. Saran bibi kalau Jeno tau, kamu harus jelasin pelan-pelan ke dia ya? Bibi yakin dia pasti bisa ngertiin kok."

Jaevir menangis dalam diam, ia memeluk erat Bi Ima dan membayangkan bahwa yang sedang ia peluk sekarang adalah Bunda.

"Bi, Bibi masih nyimpen foto Bunda? Jaevir kangen sama Bunda."

"Ada dong, semua yang kamu suruh simpen dulu masih lengkap di kamar Bibi."

Jawaban Bi Ima membuat Jaevir tersenyum lebar, setelahnya mereka pergi ke kamar Bi Ima dan Jaevir sedang melihat foto Bunda yang terlihat sangat cantik dengan senyumannya yang begitu indah, menambah rindu Jaevir semakin menjadi-jadi.

"Bunda cantik banget ya Bi. Bunda tuh perempuan pertama yang Jaevir cinta. Gak ada yang bisa gantiin posisi Bunda."

"Iya nak, dulu Bibi pernah diceritain, katanya Bunda kamu dulu tuh sering dikejar sama banyak cowok loh. Eh tau-taunya nikah sama Tuan Dirga."

Jaevir terkekeh kecil, "Padahal Ayah jelek, Bunda salah milih orang."

Bi Ima hanya tertawa mendengar jawaban Jaevir andai jika Bundanya masih ada disini, pasti keluarga kecil itu akan semakin lengkap.

"Bi Ima."

"Hm?"

"Dulu Bunda meninggal karena lahirin Jeno, tapi perjuangan Bunda gak sia-sia ya. Jeno pas masih kecil lucu banget. Terus kata-kata terakhir dari bunda yang masih Jaevir inget cuma Jaevir disuruh sayang dan gak boleh benci sama Jeno. Padahal kalau Jaevir mau benci sama Jeno bisa lho Bi. Tapi ternyata gak segampang itu."

"Jangan benci Jeno, mau gimana pun dia tetap adik kamu, janji sama Bibi kamu harus jagain dia oke? Dia cuma punya kamu Jae. Kamu lihat sendiri kan sifat Tuan Dirga ke Jeno kayak gimana?"

Jaevir tersenyum, "Jaevir janji bakalan selalu jaga Jeno. Walau nantinya bakal ada ribuan orang yang benci sama dia, Jaevir bakalan jadi yang terdepan buat jagain dia."

"Bagus, itu baru namanya seorang kakak."

Pemuda itu kembali memeluk Bi Ima sambil memejamkan matanya, berharap bahwa Bunda ada didepannya dan juga memeluknya seperti ini. Pasti akan terasa jauh lebih hangat.

"Walau Bunda meninggal karena lahirin lo, susah ya buat gue benci anak selucu lo."

-

Ada yang mau lihat bundanya Jaevir sama Jeno?

Jeno pas kecilnya kayak gini, gemoy banget🥺

-

Hai semua ketemu lagi, semoga sehat selalu ya, gak kerasa udah sampe chapter segini weh, makasih banyak dukungannya!!

Book ini mulai dari sepi sampe bisa rame kayak gini bersyukur banget😭❤️

Semoga part ini gak membosankan yaa

Jangan lupa vote sama ramein komen yaa, kalau mau komen yang lucu-lucu boleh juga itung-itung buat penghibur author😭👍🏻

Lanjut part 20?

Salam hangat

Cindy🍁-

Continue Reading

You'll Also Like

4.7K 697 11
ยฐโ€ข Menceritakan Tentang (name) Yang Berada Di Group Band Laki Laki โ€ขยฐ Band Itu Terdiri Dari ~ (name) ~ Suna ~ Semi ~ Sakusa ~ Tsukishima ยฐโ€ข Tida...
21.3K 2.1K 26
-sinopsis- Namanya Jeno, pemuda yang selalu tersenyum menawan, dan senyum itu selalu terpasang di raut wajah pucatnya. Saat tersenyum matanya akan me...
132K 9.6K 36
setidaknya walau ini sakit aku lega karna hingga di akhir hidupku aku bisa membuat kalian bahagia. meskipun harus menukar rasa sakit dengan kebahagia...
320K 37K 42
โLo tanya kenapa gue benci banget sama lo?! Okey! Gue benci sama lo, Karena kita lahir dari rahim yang sama!!โž หšStart 25.08.19 [END] (Bukan BXB) copy...