Pagi tadi, Pelangi terbangun dengan rasa pusing luar biasa yang menguasai kepala. Dia bahkan mual dan muntah-muntah. Perlahan, ingatannya kembali pada kejadian semalam. Dimana dia berniat ke minimarket dan berujung dikepung sekolompok begundal kampret itu.
Pelangi ingat bagaimana ia berteriak meminta tolong, bagaimana ia diseret menuju tempat sepi dengan air mata berderai. Terakhir, ia hanya ingat saat dipaksa meminum minuman keras.
Setelah itu, dia tidak ingat apa-apa. Dia tidak tahu bagaimana ia bisa terbangun di kamarnya sendiri.
Gadis itu mungkin sudah berpikir macam-macam jika dia tidak merasa tubuhnya baik-baik saja. Itu artinya, mereka tidak macam-macam, kan?
Namun, tidak baik-baik saja dalam artian lain lantaran ia harus berakhir di UKS saat jam pelajaran sedang berlangsung.
Elen tentu berniat menemani Pelangi dengan senang hati agar bisa sekalian bolos pelajaran, namun Pak Botak melarangnya keras-keras. Yang berakhir membuat Pelangi terbaring sendirian dalam ruangan serba putih.
"Lah?"
Pelangi terperangah kala wajah seseorang tiba-tiba saja menyembul tepat di depan wajahnya, karena teknisnya, ia sedang berbaring dengan posisi miring. Dan wajah itu muncul dari balik punggungnya.
"Kok nangis?" Rayden dibuat heran.
Gadis itu diam saja. Terlalu lemas untuk menyahut.
"Dia emang gitu kalo lagi sakit." Pelangi tahu betul jika itu suara Elen. "Jarang sakit, tapi sekalinya sakit—,"
"Nyusahin?" Rayden memotong.
"Bukan," sahut Elen setelah tiba di hadapan Pelangi. "Sekalinya sakit dia ampe nangis."
"Oh."
Jika sedang begini, Pelangi sering kali membayangkan andai saja Ibu masih ada. Pasti akan ada yang merawatnya tanpa kurang. Memperhatikannya tanpa henti. Menyayanginya tanpa pamrih.
"Gue beliin roti kalo Lo males makan nasi." Elen menaruh sebungkus roti dan air mineral di atas nakas kecil. Setelah itu dia beranjak. Hendak mengumpulkan buku sebagai hukuman kecil dari Pak Botak yang sempat ia abaikan setelah jam istirahat.
"Tadi udah sarapan?" Rayden bertanya setelah pindah posisi. Yang tadinya berada di belakang punggung Pelangi, kini berganti di hadapan gadis itu.
Pelangi menggeleng samar.
Dia bangun kesiangan. Mbak sedang pulang kampung. Dan Alan sudah tidak ada di rumah. Lengkap sudah.
Rayden bergerak menghapus bercak air mata di sekitar mata gadis itu. "Jelek banget Lo kalo gini," ucapnya kemudian. "Ya itu makan, lah."
Pelangi menggeleng lagi.
"Modar Lo lama-lama kalo nggak makan. Mau gue lolohin?"
"Lolohin?" Pelangi bertanya dengan suara lirih.
"Suapin."
"Nggak."
"Mau minum paramex?"
"Nggak."
"Oskadon pancen oye, mau?"
"Nggak."
"Mau minum air putih?"
"Nggak."
"Mau gue kelonin?"
"Nggak!"
Rayden berdecak. "Ya terus Lo maunya apa?"
"Tidur."
"Ya tidur, lah. Repot amat gitu aja."
"Nggak bisa."
"Lo nggak merem ya gimana bisa molor, Bego." Rayden mengusap wajah Pelangi dari atas. Sudah seperti membantu orang yang baru meninggal agar matanya tertutup rapat.
Namun, Pelangi justru melek lagi. Membuat Rayden kembali berdecak. Lalu, cowok itu bertanya serius, "Lo mau gue anterin pulang aja?"
Pelangi menggeleng. Tentu menolak lantaran di rumah tidak ada siapa-siapa. Yang ada ia semakin ngenes jika pulang sekarang.
"Mending Lo ngoceh." Pelangi menyeletuk.
"Hah?"
"Biar gue bisa tidur."
Rayden diam sejenak. Lantas memilih duduk di sisi ranjang tempat Pelangi berbaring. Cowok itu sudah siap buka mulut, tapi justru tiba-tiba saja mengerang dan kembali berdiri.
"ASU, MANUKKU GEJEPIT!" teriaknya, masih dengan wajah yang ketara menahan sakit.
"Hah?" Pelangi kontan melongo. "Gimana bisa?"
"MANA GUE TAHU!" Rayden memekik, emosi sendiri. Lalu kembali mengaduh.
"Sakit?" Pelangi yang mulanya sedang dalam mode males ngomong, kini justru banyak tanya.
"MENURUT, LO?!"
"Brisik!"
Rayden menoleh, menatap seseorang yang berbaring di pojokan dengan badan yang ditutupi selimut sepenuhnya.
"COCOTMU, BRISIK!" Rayden malah makin emosi.
Pelangi menoleh ke belakang punggungnya. Bertepatan dengan seseorang yang wajahnya menyembul dari balik tirai gorden, menatap ke arah keduanya dengan pandangan seolah memperingati— dia pasti anggota PMR yang sedang berjaga.
Pelangi lantas menatap ke arah Rayden. Matanya melotot sempurna. Seolah berkata, mingkem kalo manuk Lo nggak mau kejepit dua kali!
"Fine." Rayden pasrah, lantas menarik kursi dan mendudukkan diri di sana. "Lo kenapa, sih? Pusing?"
"Nggak tahu." Pelangi menjawab lirih. "Badan gue nggak enak, semuanya... tapi pusing juga."
"Mau dipijit?"
Sontak saja, Pelangi mengulurkan sebelah tangannya dengan senang hati.
Rayden mendengus sebelum meraihnya. Lantas memijitnya dengan perlahan. "Papa pernah bilang, katanya pijitan gue enak."
"Papa Lo nggak bohong."
Jawaban Pelangi membuat Rayden seratus persen yakin jika Pelangi tengah keenakan sekarang.
"Dia nggak pernah bohong kali."
"Nggak kayak anaknya. Tukang ngibul."
Rayden berdecak. Lalu kembali berujar, "Dulu, waktu gue umur tiga tahun. Mama pernah pergi."
"Minggat?" Pelangi menatap Rayden dengan pandangan seolah tak percaya. Apakah dulu, rumah tangga orang tua Rayden pernah hampir retak?
"Nggak, lah!" bantah Rayden cepat.
"Terus?"
"Kakek gue sakit, maunya dirawat ama Mama. Terus, lima hari gue ditinggal di rumah bareng Papa doang."
"Terus?" Pelangi cosplay jadi tukang parkir.
"Dulu gue anaknya bandel. Kalo mau dimandiin, gue suka lari nggak pake baju. Nggak pake celana, telanjang bulat udah."
"Eww, emangnya Lo nggak malu gitu?"
"Namanya juga masih bocil!"
"Terus Lo lari kemana?"
"Jalanan, keliling kompleks. Kadang ke rumah tetangga juga. Yakin sih pasti Papa nahan malu banget pas ngejar gue sambil teriak-teriak."
"Teriak-teriak gimana?"
Rayden berdeham, mengubah suaranya menjadi lebih berat. "Ray, awas lho nanti burungnya terbang!"
"Terbang beneran nggak, tuh."
"Enggak. Soalnya gue pegangin kan."
"Idih." Pelangi bergidik. "Terus?"
"Terus apa ya?" Rayden kelihatan berpikir. "Kalo Papa tidur di sofa gue suka iseng botakin bulu mata Papa, atau nggak motong kolor di celana Papa. Nanti pas Papa bangun, berdiri, terus celananya melorot ampe bawah."
"Anak biadab."
"Terus gue balik teriak."
"Papa, awas lho nanti burungnya terbang!" Itu kejadian lima belas tahun lalu, namun Rayden masih mengingat dengan jelas bagaimana dia cekikikan setelah itu. Atau bagaimana Papa buru-buru menarik celananya ke atas sambil menahan malu.
Mungkin, buat Papa, lima hari tanpa Mama adalah sebuah mala petaka. Tapi buat Rayden, lima hari hanya bersama Papa di rumah adalah sebuah kuasa yang luar biasa.
Dia bisa bertindak sesukanya tanpa takut dijewer Mama, tanpa khawatir dipukul pantatnya oleh Mama, dan tanpa omelan Mama yang luar biasa panjang macam jalan kenangan.
Jika Rayden diberi alat pemutar waktu— seperti milik McGonagall yang diberikan pada Harmony Grainger dalam serial Harry Potter— sudah pasti dia akan memutar waktu pada masa itu.
Dia hanya ingin menyaksikan ulang bagaimana Mama yang galak bisa sepenyayang itu, juga Papa yang sering pasrah dan membelanya habis-habisan. Rayden ingin melihat Mama yang terlihat cantik namun pemarah, juga setia dan selalu menyayangi Papa. Atau melihat Papa yang menyanyi keluarganya tanpa batasan.
Salah satu harapannya... dia ingin menyelamatkan satu nyawa tiga tahun silam.
Papa.
Cowok itu tampak melamun. Pelangi sudah akan protes, "Den, cerita Lo tuh gaje." Namun urung setelah dia menatap ke arah Rayden.
Bagaimana tatapannya terlihat sayu. Hanya dengan begitu saja, Pelangi tahu jika Rayden sangat menyayangi Ayahnya. Dia tahu jika cerita Rayden mungkin terdengar tidak menarik untuk orang lain, tapi tidak buat Rayden. Mungkin itu salah satu memory indah cowok itu yang tidak bisa dibeli dan diputar ulang.
"Dari tadi kok ngomongin burung. Terbangin aja deh sekalian daripada diomongin mulu." Seseorang di pojokan kembali bersuara. Dari suaranya, jelas dia perempuan.
Rayden bergerak cepat melepas salah satu sepatunya, bersiap melempar namun gagal karena Pelangi menahannya. Jika dedemit di pojokan itu cowok, sudah pasti Rayden ajak baku hantam sekalian.
Ujung-ujungnya, Rayden hanya mampu berdecak dengan wajah muram.
"Rayden."
"Hmm." Dia menyahut ogah-ogahan.
"Tadi waktu bangun tidur gue ngerasa aneh, deh."
"Ngompol??"
"Nggak, lah." Pelangi menyahut jengah. "Baju gue... ada wangi parfum Lo."
"Ohh."
Jelas karena semalam Pelangi nempel-nempel cowok itu. Setelah mandi, Rayden memang tidak sempat menyemprotkan parfum, dia yakin aroma parfumnya melekat pada jaket yang ia pakai semalam.
"Kok bisa, ya?" Pelangi bertanya-tanya.
"Soalnya..." Rayden tidak langsung melanjutkan kalimatnya.
"Hm?"
"What is on your mind is what is over your."
Setelahnya, Rayden beranjak detik itu juga tanpa kata.
****
Telat lagi. Sempurane.
Susah amat ya mau lebih produktif wkwk.
Btw thank udah meluangkan waktu buat baca.
Thank juga udah ngikutin cerita ini ampe sini.
Dan jangan bosen juga🙂
See yep!
Bingung juga kenapa jodoh orang cakep banget.
01-02-21.