utopia (segera terbit)

Galing kay tinvthinks

5.7M 966K 181K

"Tunggu, jadi gue satu-satunya cewek di kelas ini?" Singkatnya, Dara si anak emas sekolah akan menduduki kela... Higit pa

START
01 || Perkenalan
02 || Bu Puspa
03 || Ketua Kelas
04 || Tanggung Jawab
05 || Kasus Alfa
06 || Alasan Dara
07 || Kasus Alfa (2)
08 || Kebiasaan
09 || Pembenci Topeng
10 || Tiny Cafe
11 || Kelas Unggulan
12 || Fake Friend
13 || Pak Rizky (Fucek)
14 || Hukuman (1)
15 || Hukuman (2)
16 || Hukuman (3)
17 || Kekesalan Kio
18 || Mabar, Kuy!
19 || Pasangan Kelima?
20 || Foto Polaroid
21 || Ikutan Bolos
22 || Good Day
23 || Haje Demen Sempak Kakak?
24 || Pengurus Kelas
25 || Asep dan Alerginya
26 || Tawuran
27 || Penyelesaian Masalah
28 || Percobaan Mengontrol Diri
29 || Petasan Bom Farzan
30 || Ketahuan, deh
31 || Diskriminasi Nilai
32 || Alfa, Cowok dengan Luka
33 || Perihal Plester
34 || Confess
35 || Si Tengil
36 || Kata Kio
37 || Kemeja Dio
38 || Jadi ini Mahardika
39 || Asep Anak Polos Rupanya
40 || Misi Dara
41 || FesGa
42 || Perkelahian yang Terulang Kembali
43 || Lagi-lagi IPA 2
45 || Kenyataan yang Menyakitkan
46 || Cerita di TPU
47 || Akhirnya Jalan Keluar
48 || Lega dan Bebas
49 || Ada Apa Sebenarnya?
50 || Konsep IPS 5
51 || Penampilan IPS 5
52 || Sebenarnya, Ini Ersya
53 || Siapa itu Kevin?
54 || Family Problem
55 || Tolong, ya?
56 || "Secepatnya."
57 || Kejutan Tak Terduga
58 || Keputusan Akhir Pak Tegar
59 || Obrolan dengan Kevin
60 || Akhirnya
61 || Terungkap Sudah

44 || Di Luar Ekspektasi

69.6K 13.7K 2.4K
Galing kay tinvthinks

FesGa kali ini benar-benar nasib yang sangat sial. Mereka kalah di semua perlombaan, entah benar atau tidak sepertinya IPA 2 memang sudah merencakan hal ini dari awal. Sebenernya mereka tidak habis pikir, kenapa para kutu buku gila ranking itu mau membuang tenaga hanya untuk membuat IPS 5 seperti ini? Drama banget.

"Jan, tadi pak supirnya udah lo chat?"

Farzan memeriksa ponselnya dahulu, hendak melihat apakah chat yang ia kirim tadi sudah dibalas oleh supir angkot pribadi mereka. Setelah memastikan semuanya aman, ia memberi jempol kepada Andra. "Udah di depan dia."

Sepanjang koridor semua atensi tertuju pada mereka. Entah perasaan Dara saja atau bagaimana, ia merasa mereka lebih memerhatikan dirinya. Ah, tentu saja. Mengembuskan napas pelan, ia rasa akun lambe sekolah yang tadi diungkit oleh Bell dapat asupan baru.

"Ra, lo mending ke tengah, dah," titah Ardi seraya memerhatikan sekitar.

Dara tersenyum kemudian menggelengkan kepalanya. "Gak usah."

Alfa kembali memastikan, "Serius gapapa? Kita udah biasa kayak gini. Sedangkan lo baru pertama kali."

Dara menarik napas panjang dan menghentikan langkahnya. Berbalik, menatap para temannya dengan tajam. "Kalian remehin gue, ya?"

Farzan mendekat pada Dio kemudian berbisik, "Nah loh, harimaunya balik."

"Gue denger, ya!" balas Dara spontan menunjuk dan memelototi Farzan.

Farzan dengan otomatis mengangkat kedua tangannya. Dengan wajah tegang ia berkata, "Oke. Kalem, Ra."

Dara memicingkan kedua matanya, menatap mereka satu persatu dengan sengit membuat mereka secara spontan ikut mengangkat kedua tangan. Kini Dara seakan memergoki para cowok tersebut tengah melakukan hal yang buruk.

"Gue gapapa, kok. Udah gue bilang, gue gak peduli mereka mau bilang apa. Nanggapi orang-orang kayak gitu gak bakal ada abisnya," terang Dara membuat mereka semua menurunkan kedua tangan dan kembali berjalan.

Walaupun agak lega, rasa bersalah masih basah di hati. Mereka sadar, Dara ada di posisi ini karena tingkah laku mereka. Kini rasa menyesal menyeruak, membuat semua mulut bungkam tak berani mengeluarkan sepatah dua kata.

"Bentar."

Dara kembali menghentikan langkahnya, diikuti oleh yang lain. Membalikkan badan, mereka menangkap raut wajah sebal pada ketua kelas tersebut. "Kalian kok kalem?"

Farzan melipat kedua tangannya di depan dan tersenyum tipis. "Kita 'kan kalem, Ra."

"Bapak lu kalem," sambar Ardi langsung. "Asli, kalo denger kata kalem bawaannya gue emosi mulu."

"Emosi kenapa, tuh?"

"Keinget emak-emak yang ngatain Tarjan kalem anying."

Farzan menggeplak kepala Ardi. "Lo kalo iri bilang!"

"Gak iri, Zan. Cuman miris liat tuh ibu-ibu lo kibulin pake muka sok kalem lo."

"WIHH MANTEP NIH ASEP!" Ardi berteriak heboh sembari menepuk tangan, kemudian masih dengan raut bangga mereka saling ber-high five.

"Stres nih dua bocah," celetuk Ersya.

"Sirik aja, Ca."

"Gue hajar lo, Di."

"Jangan dong say———WOI ANJIR ITU MOBIL MEWAH NGAPA PADA DISERBU?"

Seruan heboh Ardi mengalihkan atensi yang lain. Serempak menganga tak percaya, mereka mendapati angkot pribadi mereka tengah dikerubungi oleh para penghuni sekolah yang hendak menumpang. Mungkin mereka kira angkot tersebut tengah beroperasi seperti biasa.

Dengan bergegas mereka berlari menuju angkot tersebut. Dalam hati, Dara berdoa semoga supir angkot tersebut tidak gelap mata dan meninggalkan mereka karena memilih banyaknya orang yang hendak memakai jasanya.

"WOI, WOI!"

"OKE, PARA TANTE, OM, DUDA, JANDA, SILAHKAN KELUAR DARI MOBIL PRIBADI KITA, YA," seru Farzan heboh seraya berusaha membatalkan niat orang-orang untuk naik.

"WOI KAGAK LIAT APA INI ADA TULISAN?" Ardi menunjuk kertas yang masih menempel kokoh di jendela angkot dengan ekspresi sangar yang dibuat-buat, membuat Dara, Alfa, dan, Asep tertawa keras. "INI TULISAN REPAN GEDE KAYAK ANUNYA, DILIAT DONG."

"Gila," Revan menggeleng tidak paham dengan tingkah Ardi.

"INI MOBIL PRIBADI KITA, UDAH DISEWA, SAYANG. JADI PERGI YA CARI ANGKOT LAEN. GAK ADA NEBENG-NEBENG. NGESOT LO SONO," seru Andra yang sudah ada di dalam angkot dan menyuruh satu persatu dari calon penumpang itu segera pergi.

"Masuk, Ra!"

Dara mengangguk dan mengambil tempat paling belakang sendirian. Sedangkan yang lain menyusul ke tempat yang kosong. Asep menepuk supir yang mengendarai angkot.

"Berangkat, Pak."

"Oke!"

Selama perjalanan Dara tidak banyak bicara. Pikirannya sangat kacau. Tidak dengan para cowok tersebut yang masih bisa ribut dan heboh. Ia harusnya tidak heran sih, mereka memang sulit kehabisan energi.

"Ra, lo mikirin apa?"

Dara tersentak kecil. Dengan senyum tipis cewek itu menjawab, "Enggak, gak mikirin apa-apa."

Alfa menyipitkan kedua mata kepada Dara. "Gak usah pake bo'ong."

"Seriusan," Dara diam sebentar, memikirkan jawaban selain memikirkan apa yang harus ia lakukan saat ditanyai di rumah nanti. "Bukti. Gue mikirin buktinya."

"Oiye." Ardi menoleh ke arah Dio. "Tadi kenapa lo yakin banget bisa dapetin bukti?"

Dio melirik Ardi sekilas lalu membasahi bibirnya yang mendadak kering. "Lewat di otak doang."

"LEWAT DOANG?" pekik Ardi tidak percaya. "ASTAGFIRULLAH DIO AYO ANYING SINI GUE JEDOTIN KEPALA LO."

Alfa menoyor kepala cowok itu. "Gue kira lo beneran ada buktinya tai."

Dio tidak membantah perkataan Alfa dan Ardi. Ia hanya mengangkat kedua bahunya. "Perasaan gue bilang kalo kita ada bukti."

Dara diam sejenak. Perasaannya juga begitu, ada yang mengganjal. Seperti ada hal penting yang terlupakan Tapi sayangnya sebagian besar pikirannya sudah tersita ke masalah bagaimana menghadapi keluarganya nanti, sehingga dirinya tidak bisa berkonsentrasi.

Andra mengembuskan napas berat. "Kenapa tadi kita gak pidio———"

"OH, IYA!"

Gubrak!

Farzan yang sempat jatuh terjungkal langsung buru-buru duduk ke tempatnya. "Kenapa, Ra? Kenapaaa?"

"VIDEONYA!" Dara menatap mereka dengan berbinar. Ia menoleh ke arah Dio yang sepertinya mengingat hal yang sama dengannya.

"Video apaan? Repan ada link baru?" tanya Ersya heran sembari menggaruk belakang kepalanya yang ditanggapi oleh toyoran dari Revan.

"Bukan," jawab Dara. Ia mengambil ponselnya yang baru diberi oleh Dio. Dengan semangat ia duduk di tengah-tengah, agar para cowok itu juga dapat dengan leluasa melihat apa yang direkam oleh tetangganya itu.

Asep mengangguk paham. "Ohh, video yang tadi lo suruh."

"Kenapa gue bego banget astagaaa!" Dara merutuki dirinya sendiri karena tidak bisa mengingat hal sepenting ini tadi.

"Bentar," celetuk Andra. "Kalo lo bego terus kita apaan dong anying."

Dara menatap Andra kemudian tersenyum lebar. Ia mengacungkan kedua jempolnya. "Kalian pinter! Lo juga, Dra!" setelah itu ia kembali sibuk dengan ponselnya, mengabaikan Andra yang mendadak resah karena tingkahnya.

"Video apaan sih, anjir. Gue kek orang bego."

"Tadi gue sempet nyuruh Dio buat ngerekam pertandingan karena gue mau beli minum buat kalian," sahut Dara seraya memutar video yang di rekam oleh Dio. "Walaupun bentar siapatau bisa jadi bukti."

Mereka semua hening, dalam diam memerhatikan video yang tengah diputar itu. Namun beberapa detik kemudian, serempak mereka menangkap kejanggalan dari video tersebut.

"Buset, ini make efek blur apa gimana. Gak jelas anying kayak masa depan," gerutu Ardi bingung sembari menggaruk tengkuknya.

"KOK BUREM? PERASAAN PAS GUE PEGANG JELAS-JELAS AJA," seru Dara panik sembari melihat ke arah Dio. Raut wajah senang dan bahagia itu secepat kilat diganti dengan rasa kecewa sekaligus tidak percaya.

"Lo sebelum ngerekam megang apaan, bego?" tanya Alfa pada Dio yang di sampingnya.

Dio diam sejenak mengingat hal apa saja yang ia pegang saat pertandingan dimulai. Setelah tahu, ia menatap Revan kemudian memejamkan matanya dengan kuat, dalam diam merutuki diri sendiri. "Gorengan Revan."

"DIO BEGO!"

"Fiks," Alfa sedikit berbalik untuk melihat Revan, "gorengan lo haram."

Dara menggigit bibir bawahnya. Harapannya kembali pupus. Ia tidak tahu lagi harus bagaimana. Padahal tadinya dirinya sudah senang karena merasa mendapatkan jawabannya. Tapi ternyata hal itu tidak berlangsung dengan lama.

Melihat hal tersebut, yang lain turut bersedih. Mereka juga ikut merasakan harapan yang sudah pupus itu. Terutama Dio yang merasa bahwa dirinya lah yang menyebabkan hal ini. Revan juga merasa bersalah karena memberi akses bagi si wakil ketua kelas untuk mencomot gorengannya.

Untuk pertama kalinya, angkot itu terasa sepi.

***

Hal pertama yang Dara lihat saat menapaki kakinya di lantai rumah adalah kedua orang tuanya yang duduk di ruang tamu, beserta Kio dengan wajah tegangnya. Ia meringis pelan, memang hukuman skorsing agak kelewatan.

"Mama udah tau. Wali kelas kamu nelepon Mama tadi," sambut Fara saat Dara sedang menghampiri mereka. "Ara, kamu mau jadi anak bandel, ya?"

"Ma, dengerin penjelasan Ara dulu," sela Tio sembari mengelus lengan istrinya tersebut.

Dara meneguk ludahnya dengan kaku. Padahal sedari tadi ia sudah mempersiapkan diri untuk hal ini. Tapi bagaimana bisa goyah dengan semudah ini?

"Kelas kita gak salah, Ma. Kita difitnah," ungkap Dara dengan setitik harapan agar keluarganya percaya. "Ini kita lagi nyari bukti."

"Bukti apa? Wali kelas kamu juga udah sertain videonya." Fara mengembuskan napas berat.

"Ma, tenang." Tio menatap anak sulungnya tersebut. "Ara, ingat. Kamu udah mau lulus."

Dara menatap mereka dengan sorot mata memohon. "Tapi aku serius, Pa. Kita gak salah."

"Buktinya kamu dan teman-temanmu diskors. Kalo kalian gak salah kenapa kalian dapet hukuman?" sahut Fara langsung. "Kamu udah kelas 12, udah besar, udah tau mana yang benar mana yang buruk. Kenapa kamu gak kayak adik kamu aja? Tenang, gak pernah mau buat masalah. Kamu harusnya yang jadi panutan buat adik kamu!"

Kio berdecak. Ia tidak suka suasana ini. "Ma...."

"Kamu contoh Kio, Ara. Adik kamu pernah dihukum kayak gini? Wali kelasnya pernah nelepon Mama atau Papa karena buat masalah? Gak pernah. Adik kamu baik, tenang, pinter di sekolah. Tapi kamu? Kamu diskors, Ara. Seminggu. Kenapa jadi bandel? Apa karena pengaruh temen-temen baru kamu itu?" cecar Fara berturut-turut pada anak sulungnya itu.

Si bungsu berdecak kesal. Kali ini ia menggerakkan tangan ibunya kala melihat Dara yang diam membatu. "Mama, stop."

"Ara? Kenapa diem aja?" Fara bangkit berdiri, menatap Dara dengan marah. "Ara, Mama———"

"PERMISI! TANTE! OM!"

Semua mata langsung tertuju ke arah pintu depan. Sejenak mereka semua saling melempar tatapan bingung, kemudian Kio berjalan ke pintu depan untuk menengok siapa yang datang, walaupun di otaknya sudah terpikirkan beberapa nama ketika mendengar suara gaduh dan heboh yang samar.

"Tuhkan bener. Mau ngapain, Bang?"

"Ketemu bonyok lo," jawab Dio. "Ada?"

Kio mengangguk dan mempersilahkan mereka masuk. Pemandangan pertama kali yang mereka lihat adalah Dara dan ibunya tengah berhadapan sedangkan ayahnya duduk memegang lengan istrinya. Ah, sepertinya dugaan mereka benar.

Dara melirik mereka sekilas. Kemudian dengan ekspresi yang dingin ia menatap sang ibunya dengan kesal dan lari menuju dapur.

"ARA! MAMA BELUM SELESAI NGOMONG!"

"Maaf lancang, Tante. Tapi, boleh gak saya aja yang nyamperin Dara?"

***

au ini apa banget astaga

Ipagpatuloy ang Pagbabasa

Magugustuhan mo rin

288K 26.7K 31
[JANGAN LUPA FOLLOW] Bulan seorang gadis yang harus menerima kenyataan pedih tentang nasib hidupnya, namun semuanya berubah ketika sebuah musibah me...
562K 43.6K 29
Hanya Aira Aletta yang mampu menghadapi keras kepala, keegoisan dan kegalakkan Mahesa Cassius Mogens. "Enak banget kayanya sampai gak mau bagi ke gu...
319K 19K 36
JANGAN LUPA FOLLOW... *** *Gue gak seikhlas itu, Gue cuma belajar menerima sesuatu yang gak bisa gue ubah* Ini gue, Antariksa Putra Clovis. Pemimpin...
298K 13.7K 18
Level tertinggi dalam cinta adalah ketika kamu melihat seseorang dengan keadaan terburuknya dan tetap memutuskan untuk mencintainya. -𝓽𝓾𝓡𝓲𝓼π“ͺ𝓷�...