The Only Exception [END]

Від clarissagc

1.3M 146K 8.2K

Pesahabatan yang dibangun Ane, Genta, dan Karen hancur lebur kala Karen-calon istri Genta-secara tiba-tiba me... Більше

Prologue
1. Impuls
2. Kesepakatan
3. Mantra Sialan Ariadne
4. Persiapan Singkat
5. Persiapan Terakhir
PENGUMUMAN
6. Réception de Mariage
7. Tuntasnya Sebuah Janji
8. Anything for My Ane
9. Pindah
10. Istrinya Genta
11. Konsep Hadiah
12. Tantangan dari Teman Lama
13. Tentang Sang Pencari Afeksi
14. Tungguin Istri Saya Dulu, Sus
15. Ketiduran
16. Mr. & Mrs. G.O.D.
17. Tipsy
18. Massimo Dutti
19. Tukar Kamar
20. Cemburu?
21. Malam yang Terjadi Begitu Saja di Antara Kita
22. Awkward
23. Best Friend with Benefit
25. Jujur
26. Pertemuan Dua Sahabat
27. Sempurna
28. Nestapa Sang Aphrodite
29. Emoji of a Wave
30. Move On
31. Mengambil Hati Sang Aphrodite
Epilogue

24. Elegi Ariadne

34.8K 4.2K 580
Від clarissagc

Guys aku minta bantuannya vote cover di akhir part ini yaa.

***

Aku terbangun saat kurasakan tubuh Genta bergerak di belakangku. Dengan keadaan baru saja sadar, aku masih mendapati tangan kirinya yang melingkar di perutku. Aku berbalik ke arahnya dan mendapati pria itu yang sudah terbangun tengah memandangiku sambil tersenyum. Tangan kanannya terjulur ke atas untuk ia jadikan bantal kepalanya.

"Hmm," erangku kemudian berusaha bangkit. Aku butuh kamar mandi. Aku butuh gosok gigi, cuci muka, dan menata rambutku. Genta tidak boleh melihat belek di kedua mataku dan mencium bau nafasku di pagi hari.

"Mau ke mana?" tanyanya melihatku berdiri.

"Stay!" cegahku saat tangan Genta ingin meraihku.

"Galak," katanya kemudian tertawa kecil. Sementara aku langsung masuk ke dalam kamar mandi untuk melakukan ritualku. Astaga, padahal aku tidak pernah seperti ini sebelumnya. Aku tidak pernah peduli penampilanku seperti apa di pagi hari pada mantan-mantanku dulu. Namun entah kenapa aku seakan takut Genta melihatku dalam kondisi kacau.

Aku baru keluar kamar mandi saat kupastikan diriku lebih baik. Mukaku sudah segar, nafasku sudah wangi, dan rambutku sudah kuikat. Namun yang kudapati adalah Genta yang kini terpejam. Dasar dia, tahu begitu aku tidak usah repot-repot.

***

"Makan Ne," sapa Tante Rinda saat aku turun ke bawah. Di meja makan, Papa tengah duduk membaca koran sambil melirikku.

"Iya Tante," kataku kemudian mengambil tempat di depan Papa. Tante Rinda masih menata makanan sementara Anya dan Genta belum turun ke bawah.

"Enak tidurnya?" tanya Tante Rinda basa-basi.

"Woh nyenyak. Iya kan?" imbuh Papa sambil melirikku. Sementara aku hanya tertawa pelan.

"Syukurlah. Mana Genta?" tanya Tante Rinda yang tak mengerti.

"Masih mandi. Nanti nyusul."

"Yaudah, ini kalau mau makan duluan. Tapi pepesnya belum jadi ya."

Aku langsung mengambil piring dan menaruh nasi beserta lauknya ke piring. Kami memang tidak pernah saling menunggu untuk sarapan bersama. Biasanya kami makan apabila sudah tersaji makanan di meja makan tanpa harus menunggu semua lengkap.

"Mbok mulai manggil mama lagi," ujar Papa tiba-tiba saat aku tengah menyantap makanku.

"Udah nggak apa-apa," kata Tante Rinda menolak pembahasan Papa.

"Nggak elok didengar. Apa nggak malu kalau di depan keluarganya Genta sama Dika. Kemarin manggilnya tante, dilihatin Mbak Tuti terus."

"Ya nggak apa-apa. Kalau Ane nggak nyaman ya nggak usah dipaksa, Mas," kata Tante Rinda. "Tambah Ne lauknya. Kamu makin kurus loh."

Aku diam tak menjawab Papa maupun Tante Rinda. Melanjutkan makan lebih baik daripada menanggapi permintaan Papa yang tak akan pernah kulaksanakan. Memanggil Tante Rinda dengan sebutan Mama lagi? Sungguh aku tidak sudi.

"Kamu rasain nanti kalau jadi orang tua, kalau anakmu nggak mau manggil Mama," ujar Papa lalu mendengus malas. Kalimatnya barusan jelas ditujukan kepadaku.

Aku menaruh sendok dan garpu dengan kasar ke piringku hingga menimbulkan denting yang cukup keras. Jujur saja, aku paling tidak suka kalau masalah ini diungkit kembali. Aku bisa menerima Tante Rinda jadi ibu sambungku, tapi kalau Papa tidak menghargai pilihanku untuk tidak lagi memanggilnya "Mama," jelas aku tidak terima.

"Maksudnya, Papa nyumpahin aku jadi pelakor? Terus bersikap sok innocent mentang-mentang anaknya suamiku masih kecil dan bisa dibodohi?" tanyaku sinis.

"Pikiranmu buruk. Malu sama umurmu, kayak gini masih dibahas," kata Papa.

Aku tertawa getir. "Papa juga harus malu, udah berumur tapi nggak mau mengakui kesalahan. Aku udah besar loh Pa, udah bisa memahami dan menerima kalau Papa sama Tante mengakui semuanya. Aku juga nggak bakal cerita ke Anya kok tentang dosa-dosa kalian," kataku.

Papa diam seribu bahasa. Kulihat ia mengeratkan rahangnya dan menatapku tak senang. Sementara Tante Rinda di sampingnya mencoba menenangkan dengan mengelus punggung Papa.

"Bicaramu udah seperti perempuan benar aja. Kalau bukan Genta, nggak ada yang mau nikah sama kamu," ujar Papa menusuk tepat ke ulu hatiku.

"Mas!" sergah Tante Rinda. "Kamu yang nggak bisa jaga omongan!" bentaknya membelaku.

Aku tak bisa menahan kala air mata begitu cepat keluar dari pelupuk mataku dan kini menetes di pipi. Aku termangu. Papa benar. Ia sangat benar. Kalau bukan Genta, tidak ada yang mau menikahiku. Mana ada yang ingin menikahi perempuan bebas yang hanya tahu bersenang-senang saja. Perempuan ambisius, kotor, genit, sok cantik, dan segala cibiran yang selalu kudapatkan dari dulu. Papa benar, hanya Genta yang mau menikahiku. Itu juga karena simbiosis konyol yang sebentar lagi akan usai.

"Setidaknya aku nggak akan selingkuh sampai buat pasanganku mati sia-sia dan nggak mengakui kesalahannya ke anakku sendiri."

"Kamu nggak tahu apa-apa! Kamu nggak kenal Hera, Ane. Nggak berhak kamu menghakimi Papa."

"Apa yang bisa dibela dari perselingkuhan?" tanyaku menjeda. "Aku juga nggak akan pernah tahu Mama gimana, Papa gimana, dan pernikahan kalian dulu gimana kalau Papa bahkan nggak mau ngakuin dosa-dosa Papa, yang bahkan sebenarnya udah kebongkar. Papa juga loh yang bertahun-tahun menutupi itu sama aku sampai aku tahu sendiri. Apa pernah Papa mencoba kasih penjelasan ke Ane kecil yang pas itu terluka? Papa cuma marah, marah, dan marah ke aku. Papa cuma ngebela Tante Rinda dan balik ngata-ngatain aku sok tahu dan ikut campur urusan orang dewasa. Terus aku harus gimana selain menyimpan pikiran buruk tentang kalian berdua?"

Papa terdiam. Begitu juga dengan Tante Rinda yang menangis. Selalu saja perempuan itu menangis tiap pembicaraan ini terjadi. "Udah lah Pa, balik lagi ke poin awal. Kalau gini terus ya sampai mati, sampai kapan pun aku nggak akan pernah sudi manggil Tante Rinda jadi Mama lagi. Cukup aku digoblok-goblokin dulu," kataku menjeda. "Cukup ya? Nggak usah lagi ada pembahasan kayak gini. Bahkan aku pikir pembahasan kayak gini udah berakhir pas aku kuliah dulu. Kenapa sekarang dibahas lagi sih? Aku udah nerima kalian berdua kok. Aku juga nerima Tante. Aku sayang kok sama Tante, aku nggak benci sama kalian. Aku cuma kecewa aja kenapa sampai aku besar, aku nggak pernah dapat penjelasan dari sesuatu yang udah kupertanyakan dari dulu.

"Satu lagi Pa, harusnya Papa makasih sama aku karena aku menikah sama Genta. Jadi Papa bisa menikahkan anak kesayangan Papa sama Tante. Kalau bukan karena Genta juga, aku nggak bakal percaya dan berminat buat nikah. Dan semua itu karena Papa yang ngebentuk pribadi aku jadi kayak gini sekarang," kataku menyelesaikan.

Makanan di piringku bahkan belum setengahnya tandas. Namun aku sudah kehilangan minat untuk makan dan berlama-lama di sini. Dengan menghapus sisa air mataku di paras, aku meninggalkan ruang makan, menyisakan Papa dan Tante Rinda berdua saja. Bahkan aku belum sempat minum untuk menyelesaikan makanku. Aku ingin pergi dari rumah ini. Secepatnya.

"Ane," lirih Genta. Kulihat ia tengah berdiri di balik partisi bambu yang memisahkan ruang makanku dan tangga. Tanpa mengindahkannya, aku berlari naik ke tangga menuju kamarku dengan Genta yang mengikuti.

Sesampainya di kamar, Genta langsung menutup pintu. Kemudian ia mendekapku erat, membiarkan aku masuk ke dalam pelukannya. Air mata yang tadi sempat kutahan, kini tumpah kembali. Aku menangis padanya lagi karena hal yang sama seperti 9 tahun lalu saat kami kuliah dan aku menceritakan semua padanya.

Aku jarang menangis, sangat jarang menangis. Satu-satunya hal yang membuatku kerap menangis hanyalah sakit di tiap siang pertama aku menstruasi. Selebihnya, aku jarang menangis. Aku bahkan lupa caranya meluapkan kesedihan dengan menangis bagaimana. Bahkan aku sering bingung bagaimana seseorang bisa menangis meraung-raung sembari bercerita. Saat ini aku memang sedang menangis, tapi aku menangis dalam diam dan hanya menjadikan Genta sebagai peganganku. Tak membutuhkan waktu lama sampai berjam-jam untuk meluapkan air mata. Nyatanya, cukup semenit dua menit aku dalam posisi ini, kemudian aku menarik diri dari pelukan Genta. Aku sudah puas menangis.

Genta menyeka air mataku dengan ibu jarinya. Kemudian ia menatap manik mataku dan memberi senyum keteduhan. "Pulang yuk?" tanyanya. Mungkin saking lamanya kami mengenal, Genta seperti bisa menebak isi pikiranku. Aku langsung mengangguk.

"Kita sarapan di mekdi aja ya? Lagi pingin fast food nih gue," katanya lagi yang kuangguki.

"Genta," panggilku.

"Ya?"

"Lo denger ya?" tanyaku memastikan. Ia hanya tersenyum simpul.

"Semuanya?" Dan ia mengangguk.

***

"Gila gue udah lama nggak naik kereta, makin maju aja nih Indo," komentar Genta tak henti-hentinya sejak kami naik MRT. Di kesempatan ini aku mengajak Genta mencicipi transportasi baru kebanggaan ibukota Jakarta. Dia yang semula selalu meremehkan aku yang naik MRT setiap hari, kini ia hanya tersenyum keki. Nyatanya naik MRT jauh dari bayangannya selama ini.

"Makanya jangan sotoy kalo belum pernah coba."

Genta terkekeh menanggapi. Mobil Genta tadi kami parkir di Plaza Blok M, kemudian kami naik MRT dari stasiun di depannya. Arah tujuan kami hari ini adalah Kota Tua. Kami ingin mengunjungi Kota Tua lagi setelah sekian lama kami tidak ke sana lagi. Terakhir kami mengunjunginya adalah saat mengerjakan tugas sejarah Pak Santoso kelas 11. Saat itu kami diminta pergi ke museum dan membuat laporan. Jadilah kami ke Kota Tua karena aku tak cukup nyali untuk ke Museum Satria Mandala meski lebih dekat dengan sekolah kami.

Kalau kalian pernah menonton adegan Reply 1988 saat Jung Pal melindungi Deok Sun dari guncangan bus dengan cara merangkul dari belakang, inilah yang sedang Genta lakukan. Satu tangan Genta menggenggam pegangan tangan gantung, sementara satu tangannya yang lain merangkulku agar aku tidak terjatuh. Sebenarnya aku ingin mengatakan padanya bahwa ini sangat tidak perlu. Kalau ia mau melindungiku dari guncangan, bukan di MRT tempatnya. Sungguh, apa yang Genta lakukan sekarang adalah sia-sia karena memang bahkan tubuhku tidak terhuyung sama sekali. Tapi aku tidak mau membuatnya malu. Aku sadar sejak kejadian pagi tadi, Genta menjadi protektif padaku. Ia seakan melindungiku, menjagaku dari apa saja yang bisa mencelakaiku karena ia tahu hatiku habis terluka tadi.

Kami turun di Stasiun Dukuh Atas untuk kemudian berjalan ke Stasiun Sudirman. Dari sana kami akan naik kereta menuju Jakarta Kota. Kami memang sengaja untuk menaiki transportasi kereta hari ini. Sebenarnya bisa saja Genta membawa mobilnya tadi, tapi hari ini Genta harus menurut untuk mencicipi transportasiku sehari-hari.

"Mana dompet sama HP lo?" kataku saat kami sudah di peron.

"Buat apa?" tanyanya namun tetap menyerahkan ponselnya padaku.

"Jangan taruh HP di saku, bahaya banyak copet. Taruh tas gue aja ya?" kataku lalu menyimpan ponselnya dalam tasku. Genta tidak membawa tas, hanya aku saja yang membawa. Sehingga kini tasku dijadikan tempat penyimpanan dompet dan ponsel kami.

"Jangan hilang loh Ne, nanti nggak bisa bayar listrik bulan ini nih kita," katanya. "ATM tabungan kita kan ada di dompet," lanjutnya.

"Gimana sih, kan bisa pakai m-Banking kalau hilang."

"Iya ya. Hehehe," kekehnya. "Ne, lo tiap hari juga serame ini kalau di stasiun?"

"Iya. Bedanya kalau workday isinya kebanyakan orang-orang kantoran. Kalo weekend gini kan kebanyakan keluarga pada mau liburan, jadi kerasanya kayak lebih crowded aja."

"Hmm pantesan. Eh aduh! Hati-hati dong bro kalo jalan!" bentak Genta pada seorang pria yang sedang membawa dus plastik besar di atas kepalanya. Dus pria tadi sempat mengenai kepalaku sehingga aku oleng.

"Udah Ta. Biasa tau kayak gini di stasiun. Lo sih kurang jauh mainnya," kataku.

"Ya dia bego. Bisa nyelakain orang tuh. Udah tahu bawa kardus gede bukannya naik mobil."

"Nggak semua orang di sini punya mobil tau. Udah deh, lo sekali-sekali harus menengok realitas kehidupan Jakarta yang jarang terlihat. Ini belum seberapa."

"Lo paling parah apa emang Ne?"

Aku mengingat-ingat kejadian paling parah yang pernah kualami di stasiun. Ah, aku jadi teringat 4 tahun lalu saat aku pulang kerja. Ada seorang pria yang menggesekkan alat kelaminnya ke pantatku.

"Pernah ada cowok gesek kelaminnya ke pantat gue. Kaco nggak sih?"

"Anjir! Lo lapor polisi nggak? Kok gue nggak tahu sih? Pelecehan anjir bahaya banget."

Aku tertawa. "Pas itu gue balik badan buat teriakin orang itu. Lo tau apa? Seisi peron pada ngelihatin gue dan malah ibu-ibu pada nyeletuk, 'kalau nggak mau desek-desekan nggak usah naik kereta mbak, naik mobil aja.' Gila kan? Karena gue juga udah capek sekaligus malu dilihatin satu peron, ya gue pergi aja ngejauh dari orangnya," kataku.

Perbincangan kami terhenti saat kereta kami tiba. Aku dan Genta langsung melangkah masuk. Sebenarnya Genta enggan naik karena gerbong terlihat penuh. Namun aku memaksa karena menurutku ini tidak seberapa penuh ketimbang kereta pagi dari Jurangmangu ke Tanah Abang.

"Kalo pas kejadian ada gue, udah gue hajar itu orangnya."

"Buset, takut kakak," kataku sambil tertawa. "Selow selow, nyatanya gue nggak apa-apa kan sampai sekarang?"

"Nah yang gini-gini ini yang melanggengkan pelecehan seksual. Nggak ada tindakan tegasnya."

Genta benar sih. Namun kalau kondisinya sepertiku dulu, bagaimana bisa aku melaporkan saat orang-orang yang menyaksikan justru menyudutkan dan membuatku malu?

Perjalanan menuju Jakarta Kota membutuhkan waktu tak sampai satu jam. Kami baru saja keluar dari stasiun dan kini berjalan di trotoar menuju Museum Sejarah Jakarta. Sepanjang perjalanan kami terus mengobrol. Genta menjadi lebih banyak bicara hari ini. Ia terus menggodaku dan melontarkan leluconnya yang benar-benar garing. Ini baru tengah hari namun kesedihanku pagi tadi sudah sirna terganti bahagia bisa berjalan bersama sahabat.

"Lo nggak mau gue fotoin?" tawarnya saat kami sudah di alun-alun.

"Boleh," kataku sembari menyerahkan ponsel padanya. Genta langsung mengatur posisiku kemudian mencari angle yang tepat untuk memfoto.

"Wefie yuk pake kamera gue," katanya yang kuiyakan.

"Tangan lo panjang banget sih, suka mencuri ya?" ejekku melihat tangan Genta yang panjang sudah bagaikan tongsis saja.

"Kurangajar lo," katanya tak terima sambil memiting kepalaku. Dia juga mengabadikan momen ini dalam beberapa kali foto.

"Yang bagus dong, gue nggak proper nih," kataku kemudian mengatur posisi yang lebih baik. Aku tersenyum di depan kamera sembari membentuk pose peace dan memejamkan satu mata, sedangkan Genta merangkulku dari samping kemudian memfoto kami pada pose ini.

"Masuk yuk. Berani kan lo?" ajak Genta.

"Berani lah! Yuk," kataku. Genta memang paham aku yang penakut pada hal-hal gaib apalagi di tempat yang terkenal dengan cerita horornya.

Aku sangat berterima kasih pada Genta untuk hari ini. Ia sangat bisa membuat mood-ku yang semula buruk menjadi pulih kembali. Dari dulu, hanya dia yang tahu bagaimana caranya membuatku mampu menikmati hidup. Genta selalu punya topik pembicaraan yang membuatku larut dan nyaman. Segala perlakuannya kepadaku membuatku merasa cukup memiliki satu sahabat. Aku tidak butuh Karen, tidak butuh Edgar. Aku hanya butuh satu Genta di dalam hidupku dan itu sudah lebih cukup.

***

Ada hal yang paling aku tidak suka, yakni bila bermain ke rumah eyang. Sebulan atau dua bulan sekali, Tante Lena selalu menjemputku di rumah, mengajakku menginap di rumah Eyang dari hari Jumat malam dan baru kembali ke rumah hari Minggu. Sesungguhnya aku lebih senang di rumah bersama Papa, Mama, dan Anya. Meski Anya belum bisa sepenuhnya nyambung dengan obrolanku, tapi dia selalu menurut untuk diajak bermain. Adik kecilku itu penurut dan lucu. Aku senang menata rambutnya, menjadikannya objek bermainku, partner bermainku, dan menyuruhnya ini dan itu. Semua karena Anya masih tujuh tahun dan dia selalu menganggapku sebagai bos-nya. Mungkin ini terkesan pembodohan, tapi aku bahkan membayar Anya dengan permen agar ia mau menjadi kacung bermainku.

Kata mereka, aku punya dua mama. Mama kandungku sudah meninggal saat aku kecil, aku bahkan tidak punya memori jelas tentangnya. Dan mamaku yang sekarang, Mama Rinda, adalah mama sambung. Dari dulu aku menggunakan istilah mama sambung, istilah paling sopan dan baik yang selalu Papa gunakan. Tapi akhirnya aku mengetahui bahwa mama sambung itu adalah istilah lain dari mama tiri. Dari sinetron-sinetron yang ada di TV, aku juga paham bahwa mama tiri sering diberi stigma jahat. Tapi itu tidak berlaku untuk Mama Rinda. Bagiku, Mama Rinda sangat baik. Mama sering membelaku bila Papa marah. Mama Rinda yang selalu memandikanku, menyisir rambutku, memasak, dan semuanya ia lakukan bagaikan mama kandungku. Bahkan menurutku Mama lebih baik dari Papa.

Sudah dari hari Jumat malam aku di rumah Eyang. Eyang hanya tinggal berdua dengan Tante Lena, adik dari mama kandungku. Itulah mengapa aku tidak suka bila disuruh menginap di rumah Eyang, alasannya karena sepi. Eyang sudah tua dan tidak bisa diajak bermain. Sementara Tante Lena, dia memang masih muda namun belum menikah. Jadinya aku tidak ada teman bermain yang seumuran bila sedang menginap di rumah Eyang karena Papa, Mama, dan Anya tidak pernah ikut menginap di sana.

"Main di kamar dulu ya, Ane. Tante lanjutkan masak dulu. Jangan berisik nanti Eyang bangun," kata Tante Lena menasehati.

"Oke. Tan aku ngerjain PR aja ya. Aku boleh pinjam kalkulator?" tanyaku.

"Loh kok pakai kalkulator? Matematika ya?"

"Iya Tante. Soalnya ada banyak, Tan," kataku jujur.

"Yaudah, coba cari di laci meja kerja Tante ya."

"Oke, thank you Tan."

Tangan kecilku merogoh laci meja kerja Tante Lena yang berada di sudut kamarnya untuk mencari kalkulator. Namun ada satu benda yang membuatku penasaran. Kutemukan sebuah kaleng seperti kaleng biskuit bertuliskan nama Kota London dengan gambar London Bridge di sisinya. Rasa penasaranku membuncah dan mendorongku untuk melakukan hal yang—mungkin—lancang, yaitu membukanya.

Aku menemukan foto Mama Hera—mama kandungku—di sana. Aku tahu ini adalah foto Mama Hera karena foto Mama Hera menggendongku waktu bayi terpajang di kamar tidurku. Aku belum perah melihat foto itu sebelumnya, foto yang menampilkan empat sekawan yang bisa kutebak adalah Mama Hera, Papa, Mama Rinda, dan aku tidak tahu siapa satu pria sisanya. Saat aku membalik foto itu, kutemukan tulisan tangan yang kurasa milik Mama Hera.

Ini di London Bridge bersama Mas Hardi, Rinda, dan Adnan. Datang ke wisudaku ya Len, nanti kuajak kamu keliling kampusku. Kalau bisa nanti kamu kuliah di sini juga. Oh ya, kasih tahu bapak dan ibu kalau aku hamil. Usianya baru 5 minggu. Semoga sehat-sehat ya.

London, 1st January
Mbak Hera.

Ada satu hal yang kutangkap dari foto ini. Di foto ini mungkin Mama sedang mengandungku. Papa mungkin sedang mengunjungi Mama yang sedang mengenyam pendidikan di London. Aku tahu bahwa Papa bukan berkuliah di London. Jadi mungkin saat ini ia sedang mengunjungi Mama. Tapi ada yang kubingung, mengapa ada Mama Rinda juga di foto ini? Aku bahkan baru tahu kalau Mama Rinda mengenal Mama Hera. Kupikir Mama Rinda tidak tahu tentang Mama Hera karena dulu setiap kutanya seperti apa Mama Hera itu, Mama Rinda hanya mengatakan "pasti Mama Hera itu cantik dan baik karena kamu seperti dia." Jadi kupikir Mama Rinda tak mengenal mama kandungku.

Aku membongkar lagi isi kotak itu. Kutemukan juga beberapa gantungan kunci bernuansa Kota London. Ada pula hiasan kulkas, pena, dan terakhir adalah sebuah surat usang yang ditulis di kertas yang sudah menguning. Aku membukanya, dengan penasaran membacanya yang mungkin merupakan surat dari Mama Hera untuk Tante Lena.

Apa kabar Len? Kuharap baik-baik ya. Kalau kamu kekurangan uang, kabari aku lho. Jangan terlalu sering bermain meski London itu seru! Di sini, Ane sudah bisa makan nasi. Jadi aku tidak perlu buat bubur resep ibu lagi yang baunya tidak enak itu. Kamu pasti akan pangling melihat Ane. Aku selalu cerita ke dia kalau aku punya adik cantik bernama Lena yang sekarang berkuliah di London. Dia pasti akan familier saat bertemu kamu.

Lena, sepertinya aku akan menceraikan Mas Hardi. Aku sudah tidak tahan lagi dengan pengkhianatannya yang kemarin kuceritakan padamu. Bagaimana kira-kira respons bapak dan ibu kalau tahu niatku ini? Apakah kamu mau membantuku untuk membujuk mereka agar paham? Hanya Ane yang menjadi kekuatanku saat ini. Aku tidak peduli bila bercerai nanti aku akan jadi janda dan tidak mendapat harta. Asal Ane tetap bersamaku, aku merasa cukup.

Rasanya sakit, Len. Hatiku tak lagi hangat saat dipeluk Mas Hardi. Bayang-bayang itu terus menghantuiku. Tangannya itu, tangan yang selalu memberikan kehangatan untukku, juga merupakan tangan yang selalu ia gunakan untuk memeluk Rinda. Len, jangan jatuh cinta. Jangan menyerahkan hatimu seutuhnya pada pria. Mereka semua bajingan. Aku tidak mau adikku berakhir sepertiku. Aku ingin mati saja, Len. Semakin lama, napasku rasanya makin berat. Pengkhianatan Hardi dan Rinda begitu besar di belakangku. Aku tidak kuat, Len.

Jakarta, 3 September
Mbak Hera.

Mungkin ini akibat bila aku lancang melakukan sesuatu. Aku membaca yang tak seharusnya kubaca. Mungkin aku terlalu kecil untuk memahami ini semua. Namun aku bisa merasakan luka di hati saat membaca itu semua. Bagaimana bisa Papa dan Mama Rinda ternyata berselingkuh di belakang? Kebingunganku ini harus diluruskan karena dari paragraf terakhir surat Mama, yang kutangkap adalah mama meninggal karena sakit hati, bukan kecelakaan.

Aku berlari ke luar, menemui Tante Lena yang sedang memasak di dapur. Ia langsung terkejut saat mendapatiku tengah memegang kotak kaleng yang ia simpan di laci.

"Tante," lirihku sembari menyodorkan padanya. "Tante ini apa?"

Tante Lena menelan ludah. Ia lalu mematikan api kompor kemudian menuntunku ke ruang tamu. Di sana ia menceritakan semuanya. Sesuatu yang menorehkan luka pada batinku. Sesuatu yang membuatku kecewa pada Papa. Sesuatu yang membuatku tak sudi lagi memanggil Mama untuk Tante Rinda. Sesuatu yang mengubah diriku dan menghancurkan rasa percayaku pada orang tua. Dan sesuatu yang membuat Papa tidak lagi mengizinkanku menginap di rumah Eyang selamanya.

***

Ada beberapa hal yang mau aku sampaikan:

1. Update next part kalo udah sampai 700 votes yaa. Yuk vote ;)

2. Hidup Ane roller coaster banget ya? Sebentar seneng, sebentar sedih, terus senang lagi haha. Kalo ada yang nggak dipahami dari part ini, boleh ditanyakan di sini yaa, nanti kubantu jawab.

3. Pada kebayang kan gimana jadi Ane? Intinya dia tuh udah tau semuanya tapi hanya dari versi Tante Lena. Papanya nggak mau mengakui, Tante Rinda pun juga. Mereka cuma menuntut Ane untuk menjalankan apa yang udah terjadi tanpa harus membuka cerita lama. Sementara Anya, dia sama sekali nggak tahu tentang perselingkuhan Hardi-Rinda. Anya paham kalo Ane itu anak Hardi sama istri sebelumnya. Cuma Anya nggak tau sisi kelam orang tuanya yang membuat Ane enggan memanggil Mama lagi ke Tante Rinda.

4. Maaf kalau banyak kalimat rumpang, aku nggak baca ulang sebelum publish hehe. Maaf juga kalau karakter Ane terkesan menye di sini, aku lagi mengulik sisi jiwanya yang penuh luka.

5. Terakhir, tolong bantu pilih cover yaa. Kalau bagusan yang (A) silakan comment "A" dan kalau bagusan yang (B) silakan comment "B." Terima kasih!


COVER

(A) ini yang saat ini aku pakai

(B)

Продовжити читання

Вам також сподобається

815K 77.1K 51
Ini adalah Kisah dari Kila. Kila Prastika yang ternyata memiliki seorang bapak kos yang kebelet kawin ... "Nikah sama saya, kosmu gratis seumur hidu...
70.8K 4.3K 16
Reno si murid nakal kesukaan si guru bk tampan, yaitu Marva ⚠️bxb, non baku⚠️
722K 84.4K 105
"Ta-pi saya sedang sakit, Pak. Uhuk...uhukk..." Bhiru melengkapi sandiwaranya dengan berpura-pura batuk dan berharap pak Ranu akan iba lalu percaya b...
125K 19.2K 37
"Btari memang sedang hamil beberapa bulan, tapi sayangnya suaminya lebih dulu meninggal karena covid bahkan sebelum Btari tahu dirinya hamil." Alaska...