CERAUNOPHILE [Completed]

By Listikay

11.7K 2.3K 546

Sama halnya dengan sebuah lilin di tengah gelapnya malam, seperti itulah hubungan benang raja dengan sang gun... More

Prolog
1. Dewa Guntur
2. Benang Raja
3. He's dangerous
4. Terlalu dalam
5. Di bawah rinai hujan
6. Beban lara
7. Menetap
8. Hangat tanpa dekap
9. Bukan sekedar menapaki
10. Titik temu
11. Adiwarna
13. Kita ini apa?
14. Suatu sore
15. Fall in love
16. Eksentrik
17. Liar
18. The night
19. Sepenggal kalimat
20. Killer lightning
21. Memeluk rindu
22. Dawai asmara
23. Lakon luka
24. Hilang untuk pulang
25. Binar
26. Senandung senja
27. Ujung koridor
28. Ingin bersua
29. Mungkin lelah
30. Sebuah rahasia
31. Renjana
32. Singkat
33. Retrouvailles
34. Segenap rasa
35. Menawan
36. Membuka luka lama
37. Lean on you
38. Menampik rasa takut
39. Nestapa
40. Kubangan hitam
41. Tertegun
42. Lebih ringan
43. Beranjak sembuh
44. Hilang arah
45. Broken
46. Akhir
47. Akhir (2)
48. Seutas karsa
49. Menjelang pagi
50. Pulang
Epilog
Extra Part
Mengikis Rasa

12. Tidak berujung

166 51 13
By Listikay

"Kira-kira Rayden ngapain, ya?" tanya Cakra sembari menerawang. Setelahnya, dia menenggak air mineral di tangannya hingga tinggal setengah. "Aneh banget itu makhluk, nggak kayak biasanya."

"Khilaf sampe mana dia?" Daffin menyahut. Sudah akan rebahan, namun segera ditarik Cakra dengan cepat. Pasalnya, Daffin yang bisa dibilang tampan itu mudah sekali tertidur. Asal rebahan, dalam hitungan menit dia pasti sudah terlelap.

Mungkin jika ada hujan badai, dia juga tidak mungkin bangun dan melarikan diri. Mentok-mentok, hanya melek sebentar lalu lanjut molor. Seperti saat dia di rumah Zoe waktu itu.

Buat Daffin, tidur memang sesuatu yang harus diutamakan.

"Mana ada cowok yang khilaf kalo ceweknya Lala," celetuk Zoe. Sekarang ini, mereka tengah istirahat sejenak. Setidaknya sampai keringatnya mengering dan tidak merasa gerah lagi.

"Siapa Lala?" Si tukang molor penasaran.

"Yang sama Rayden."

"Ohh, Mba Kuntai." Cakra manggut-manggut. "Gimana Lo tahu kalo namanya Nana?"

"Lala, Budek!" Daffin jengkel sendiri. Cakra cengar-cengir dengan wajah tak berdosa.

"Dia temen gue."

"Temen?" Daffin memastikan. "Giliran punya temen bening aja nggak mau ngenalin, Lo! Yang butek-butek baru Lo kenalin ke gue."

"Percuma juga, Goblok!" Cakra berdecak. "Masih aja nungguin Tini sih, Lo."

"Namanya Saffirny! Panggilannya Sasa bukan Tini! Apaan tuh Tininit, jelek banget!!" Cowok itu merebut minum Cakra, meneguknya hingga tandas. "Baru tiga tahun," ucapnya santai.

Sejak tiga tahun lalu, gadis itu meninggalkan Daffin ke negara orang. Daffin tidak meminta dia meninggalkan dengan sejuta harapan. Cukup dia baik-baik saja, dan mengenang Dafffin sebagaimana mestinya. Hanya itu yang dia minta.

Tapi Sasa menjanjikan kepulangan. Dia akan pulang, dia akan kembali. Entah kapan, dia pasti akan pulang. Tapi... mau sampai kapan?

Daffin sudah menunggu cukup lama layaknya orang bodoh. Sampai terlihat seperti perawan tua yang tak laku-laku. Meski dia sadar, bahwa apa yang diucapkan gadis itu lebih menyakitkan dari kepergiannya.

Bahkan kata pulang yang tidak menemukan datang lebih mengerikan dari selamat tinggal.

Zoe garuk-garuk kepala. "Baru, ya?"

"Belom sepuluh tahun."

"Tiga tahu mungkin dia udah gonta-ganti cowok. Sepuluh tahun mungkin dia udah bawa anak." Cakra memanas-manasi. "Lo, mati karatan nungguin dia."

Daffin mengeplak kepala Cakra. "Urusin Retta, tuh! Baru dah tuh ngurusin hidup gue."

"Kayaknya kita trio sad boy deh." Zoe menerawang.

Cakra mengangguk, lalu berucap, "Retta susah diajak balikan."

"Sasa nggak pulang-pulang," imbuh Daffin. "Udah kayak Bang Toyip aja."

"Dia nggak pernah peka," keluh Zoe.

"Hmm, menyedihkan," gumam ketiganya secara bersamaan. Raut wajahnya sudah seperti tiga anak kucing yang terlantar di jalanan.

Tanpa sadar, tidak mengerti dia siapa yang Zoe maksud.


***

Daripada menjelaskan segudang materi yang tidak Pelangi mengerti, Rayden lebih memilih menghabiskan banyak makanan yang sudah disediakan sambil sesekali bersendawa.

"Jorok banget, Lo," ucap Pelangi yang duduk di bawah sembari menatap cowok itu.

Rayden yang duduk di hadapan Pelangi— lebih tepatnya di atas sofa, menyahut santai, "Demen nih gue kalo banyak makanan gini."

Pelangi mencibir. Lalu berucap. "Udah mau pulang, Mbak?"

Rayden memandang gadis itu, lantas mengikuti arah pandang Pelangi. Pada perempuan yang masih muda. Mungkin usianya di atas kakak gadis itu.

"Iya," jawabnya. "Itu nanti makanannya tinggal dipanasin aja, ya." Dia melirik ke arah Rayden sekilas.

"Oke." Pelangi mengacungkan jempolnya. Selanjutnya, wanita itu kembali melangkah setelah pamitan.

"Siapa, Tung?" Rayden penasaran.

"Yang biasa beres-beres rumah, sama masak."

Meskipun Pelangi hanya tinggal dengan Ayah, namun seperti rumah Zoe. Sesekali akan ada seseorang yang bertugas membersihkan rumah dan memasak. Walaupun kadang Pelangi yang akan mengerjakannya, yang berujung mendapat wejangan dari wanita yang dipanggil Mbak tadi.

Katanya, dia yang dibayar. Jadi dia juga yang harusnya bekerja, bukan Pelangi.

"Sepi banget, emang pada kemana?" Cowok itu baru menyadarinya.

"Emang biasanya gini kali."

"Kemaren kan rame, Tung."

"Itu kemaren. Kebetulan Kakak gue lagi pulang aja."

"Nggak punya temen dong, Lo?" tanya Rayden sembari mengunyah.

"Ya gitu." Gadis itu menghela nafas. "Dari gue umur sepuluh tahun, kakak gue ikut Tante yang pengen punya anak cewek. Balik ke rumah bentar, tau-tau nikah. Terus pindah lagi deh sama suaminya."

"Nggak nanya."

Pelangi melotot. Refleks, melempar pulpennya ke arah Rayden. "Ngeselin Lo anak dakjal!" desisnya kemudian. Yang dibalas Rayden dengan kekehan.

"Ini gimana, woy!" Pelangi yang geregetan menunjuk-nunjuk bukunya. "Jangan makan aja Lo, ya!"

"Yaelah." Meski terlihat ogah-ogahan, Rayden berjalan mendekat sembari membawa pulpen yang tadi Pelangi lempar. Duduk di bawah tepat di sebelah Pelangi.

Cowok itu menarik buku Pelangi, lalu berucap, "Ini ngulang doang. Kelas sepuluh udah pernah."

"Gue lupa."

"Lupa apa nggak ngerti?"

"Dua-duanya." Pelangi malah sibuk memandang Rayden dari samping.

Rayden baru akan menjelaskan, namun ucapan Pelangi berhasil membuatnya bingung bukan main. "Muka Lo banyak tainya."

Cowok itu menoleh. "Tai apaan gila!" pekiknya. "Muka ganteng-ganteng gini masa belepotan sama tai!"

Pelangi menyentuh bawah bibir sebelah kiri, bisa dibilang terlalu berani. Padahal, tidak ada sejarahnya dia menyentuh cowok lebih dulu.

"Tahi lalat." Bertepatan dengan itu, Pelangi kembali menurunkan tangannya. Yang lalu segera diraih Rayden dengan cepat. Membuat Pelangi menatap cowok itu penuh tanya.

"Jangan sering-sering grepe-grepe muka gue deh, Lo."

"Kenapa?" Gadis itu masih saja bertanya.

"Entar Lo khilaf," sahut Rayden setelah melepaskan tangannya yang memegang tangan Pelangi.

"Idih, najis." Setelahnya, Pelangi memekik. Gadis itu segera merebut pulpennya dari tangan Rayden. "Jangan digigitin!"

"Jilat dikit doang," sahut Rayden. Terkesan sangat santai.

"Jorok!"

"Ya udah Lo aja sini yang gue gigit," tantangnya. "Biar lebih enak juga."

"Apaan!" Pelangi yang merasa kesal, meraih bungkus makanan yang kemudian ia jejalkan ke mulut Rayden saat dia tengah tertawa. Biar mampus sekalian!

"Nggak etis banget Lo, nyuapin masa bungkusnya. Makannya dong." Rayden melempar bungkus tersebut ke sembarang arah. "Untung nggak keselek, kan."

"Nyuapin dari mananya." Pelangi mengelus dada. "Ini mau mulai kapan, ya?" Pelangi yang seolah jengah, merebahkan kepalanya di atas meja. Tepat di atas lipatan tangan gadis itu.

"Ya udah ayo." Rayden mengambil puplen yang tadi sempat ia gigiti, merebutnya dari tangan Pelangi. "Sini deketan."

Pelangi menurut. Mengangkat kepalanya dan mendekat. Wajah mereka bersisian. Pandangan Pelangi fokus sepenuhnya ke arah buku yang ada di depan Rayden. Sementara Rayden, cowok itu yang justru tidak fokus di sini!

"Wangi banget," gumam Rayden.

Pelangi menoleh dengan kening berkerut. Ucapan Rayden seolah-olah menggambarkan jika cowok itu tidak wangi, atau lebih parahnya bau badan. Padahal setiap dalam jarak dekat— tidak sedekat ini sekalipun— Pelangi selalu mencium bau harum yang khas dari cowok itu.

Detik berikutnya, Pelangi terperangah kala cowok itu menariknya. Membawanya ke sebuah dekapan hangat yang Pelangi kira tidak akan ia dapatkan dari cowok itu.

"Rayden, perut Lo nanti ke teken." Dia berusaha melepaskan diri. Namun kungkungan tangan besar cowok itu terlalu kuat.

"Bentar aja," ucap cowok itu dengan suara lirih yang seakan menyiratkan kesedihan.

Ada apa dengan cowok ini?

"Den— ,"

"Gue kangen Papa, La."

Rayden tidak pernah memanggilnya begitu. Dia juga tidak pernah berbicara dengan suara seperti itu.

Tidak pernah sehari pun terlewatkan tanpa merindukan Ibu, mungkin Rayden juga merasakan hal yang sama. Karena Pelangi mengerti bagaimana rasanya, sebelah tangannya terangkat. Mengelus punggung sebelah kanan Rayden— yang meskipun punya luka, sebelah kanan tidak separah sebelah kiri yang lukanya bahkan memanjang.

"Doain dia." Karena biasanya, hal itu yang akan selalu Pelangi lakukan saat ia merindukan Ibu.

Kepergian Ibu mungkin sudah berdasarkan garis Tuhan. Berbeda dengan kepergian Ayah Rayden yang mungkin, bukan garis Tuhan. Dia membuat takdirnya sendiri dengan cara bunuh diri. Meski keduanya sama-sama tak terduga, Pelangi yakin posisi Rayden sekarang jauh lebih mengerikan dibandingkan dengan posisi Pelangi.

"Kasian Papa." Suara cowok itu hampir tercekat. "Dia udah nggak ada...."

Pelangi masih mengelus punggung Rayden.

"Tapi kenapa masih difitnah. Dia salah apa?"

Pelangi tidak mengerti apa yang dibicarakan Rayden, apa maksudnya. Dia tidak mengerti itu, namun menjadi pendengar saja lebih dibutuhkan sekarang.

Gadis itu hapal betul dengan banyak orang di luar saja, yang hanya mau didengar tanpa mau mendengar.

"Gue iri liat Lo, yang masih punya Papa," bisiknya. "Pasti seru, ya?"

"Salah kalo Lo iri sama gue, Den," sahut Pelangi lirih.

Tepat pada detik itu, semesta menyampaikan jika mereka sama-sama punya banyak rahasia. Yang tidak ada habisnya meski telah dimakan waktu, yang engan menghilang dari tumpukan kenangan, dan yang terselip dalam ribuan sesak penuh bayangan.



****

Selamat tahun baru, ya🙂

Gausah minta yang muluk-muluk kalau sederhana aja cukup.

Semoga tahun ini lebih baik dari tahun kemarin. Amin.

Betewe, ini kenapa pada sider ya.

Sedih banget😭😭


















01-01-2021.

Continue Reading

You'll Also Like

ALZELVIN By Diazepam

Teen Fiction

3.9M 228K 28
"Sekalipun hamil anak gue, lo pikir gue bakal peduli?" Ucapan terakhir sebelum cowok brengsek itu pergi. Gadis sebatang kara itu pun akhirnya berj...
6.2M 108K 25
"Mau nenen," pinta Atlas manja. "Aku bukan mama kamu!" "Tapi lo budak gue. Sini cepetan!" Tidak akan ada yang pernah menduga ketua geng ZEE, doyan ne...
MARSELANA By kiaa

Teen Fiction

484K 23K 48
Tinggal satu atap dengan anak tunggal dari majikan kedua orang tuanya membuat Alana seperti terbunuh setiap hari karena mulut pedas serta kelakuan ba...
ARSYAD DAYYAN By aLa

Teen Fiction

2.1M 113K 59
"Walaupun وَاَخْبَرُوا بِاسْنَيْنِ اَوْبِاَكْثَرَ عَنْ وَاحِدِ Ulama' nahwu mempperbolehkan mubtada' satu mempunyai dua khobar bahkan lebih, Tapi aku...