8. Seperti Pasta dan Kerupuk

17.8K 3.9K 1.1K
                                    

Saya baru saja selesai mandi tepat ketika Naresh meletakkan dua piring pasta di atas meja. Tidak ada rencana sama sekali untuk datang ke rumah Naresh sebenarnya. Hanya saja, saya terlalu takut untuk pulang dengan keadaan kacau balau. Alhasil Naresh berinisiatif mengajak saya pulang ke rumahnya dan meminjamkan beberapa pakaiannya. Meskipun ini bukan pertama kali saya berkunjung ke rumah Naresh dan memakai pakaiannya (bahkan menginap pun saya pernah), tetap saja rasanya agak aneh.

Sama seperti kunjungan-kunjungan saya sebelumnya, rumah ini selalu sepi. Selama hampir 2 tahun belakangan ini, dia mulai tinggal sendirian. Ayahnya hanya akan pulang dari pekerjaannya di Lampung beberapa bulan sekali. Hanya ada asisten rumah tangga yang akan datang setiap pagi dan pulang sebelum sore menjelang. Itulah sebabnya Naresh juga jarang tinggal di rumah. Mungkin tempat ini terlalu dingin untuk ia tinggali.

"Kamu tuh nggak bisa masak yang lain apa, Resh? Tiap aku kesini pasti kamu bikinnya pasta lagi, pasta lagi.."

"Masih untung dikasih makan. Protes mulu deh, heran." gerutunya, membuat saya tergelak sebab ekspresi kesalnya yang terlihat sangat lucu.

Tidak seperti malam biasanya, malam ini kami berada di meja makan yang sama dengan dua menu makanan dan dua gelas susu coklat yang sama. Biasanya saya benci sepi, tapi menikmati keheningan ini bersama Naresh membuat saya diam-diam merasa tenang. Harusnya ini terlalu canggung kan? Tapi anehnya rasanya sangat nyaman.

Ada satu pertanyaan menarik yang jawabannya masih belum saya temukan hingga hari ini. Kenapa hanya dengan melihat seseorang yang kita cintai makan di hadapan kita, kita bisa merasa sangat bahagia? Saking bahagianya, saya sampai lupa bahwa besok saya masih harus menghadapi kerasnya dunia.

Kami makan dalam tenang. Sesekali saling bersitatap dan tertawa untuk alasan yang sama sekali tidak jelas. Terkadang saya tidak mengerti, Naresh selalu bisa memahami saya meskipun saya jarang mengeluh kepadanya. Bukankah sedikit aneh jika seseorang sudah tahu tentang apa yang kira rasakan padahal kita tidak pernah mengatakan apa-apa? Tapi laki-laki di hadapan saya saat ini selalu melakukannya.

"Aku aja yang cuci piring." tawar saya begitu kami sama-sama sudah menghabiskan makanan kami.

Biasanya Naresh akan mencegah saya dan mengomel tidak jelas. Tapi secara tiba-tiba dia berkata, "Nih, sekalian belajar jadi istri." yang praktis membuat saya berhenti melangkah dan menatapnya dengan pandangan tidak mengerti.

"Apa?" ia menyambung dengan gelak tawa.

"Lulus aja belum sok-sokan mikirin istri."

"Tinggal sidang, diacc, terus wisuda. Tenang, San.. jangan sedih."

"Wisuda kalau belum dapat kerja ya sama aja dong, Naresh." kata saya yang mulai menyalakan keran. Agak heran dengan cara berpikirnya yang terlalu cepat.

"Udah dapat." katanya, hampir membuat saya membanting piring ke dalam wastafel. "San, itu piring aku belinya pakai uang loh."

"Becanda ya kamu?"

"Kapan aku pernah becanda soal masa depan?" lagak laki-laki itu membuat saya benar-benar ingin melemparinya dengan piring yang saat ini sedang saya bilas. "Kalau soal masa depan, aku ini impoten, San."

"Kompeten kali!"

"Iya, itu maksud aku. Kompeten, Aa Naresh sudah tidak bisa diragukan lagi kalau soal itu."

Saya tergelak melihat bagaimana Naresh menyombongkan dirinya saat ini. Sampai saya lupa, bahwa siang tadi saya sempat menangis berjam-jam di dalam toilet. Sampai saya lupa bahwa saya merasa sangat putus asa beberapa jam yang lalu. Seperti sebuah mantra, kehadiran Naresh selalu mampu menyembuhkan saya.

Oris Sigra [completed]✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang