1. Hujan di Malam Minggu

65.2K 6.7K 1.1K
                                    

26 Juni 2016,

Malam ini hujan dengan curah sedang mengguyur daerah Dago hampir 1 jam lamanya. Hujan di tengah musim kemarau. Sepanjang jalan menuju rumah, saya memilih tidak bersuara sama sekali. Sementara di balik kemudi, Naresh juga sepertinya terlalu malas berbicara dengan saya.

Kami sama-sama memilih diam. Tidak ada lagu-lagu yang biasa saya putar di tape mobilnya. Kami seolah-olah sepakat untuk membiarkan suara hujan yang turun malam ini mengendalikan kemarahan di antara kami. Lebih tepatnya, saya yang marah di sini. Saya tidak suka melihat Naresh terlihat kembali dekat dengan mantan pacarnya. Padahal hari ini seharusnya kami merayakan hari kelulusan SMA kami dengan suka cita. Tapi Naresh mematahkan semua harapan saya hanya karena sebuah foto yang saya temukan di taged akun instagram miliknya.

"Aku sengaja nggak bilang, soalnya aku tahu kamu pasti marah kayak sekarang." setelah sekian lama sama-sama mempertahankan keras kepala untuk diam, akhirnya Naresh menjadi orang pertama yang membuka suara.

6 bulan berpacaran dengan Naresh ternyata tidak semudah yang saya bayangkan. Dari awal anak ini sudah populer, jadi bukan sesuatu yang mengherankan jika dia dekat dengan banyak orang termasuk dengan mantan pacarnya yang kebetulan kakak kelas kami. Perempuan yang dekat dengan Naresh jelas bukan hanya saya, tidak satu atau dua orang, tapi banyak.

Awalnya saya kira saya akan baik-baik saja dengan cara bergaul Naresh yang terlampau luas. Tapi perlahan-lahan, saya menemukan banyak ketakutan yang akhirnya menghantui hubungan saya dan Naresh yang semula terbilang lancar.

Saya takut Naresh yang meski sudah jadi pacar saya tiba-tiba direbut kembali oleh mantan pacarnya atau orang lain yang jelas lebih cantik dari saya. Jujur saja, berpacaran dengan seorang Naresh tidak sekalipun memberikan saya ketenangan. Saya lebih banyak insecure dan terus-terusan membandingkan diri saya sendiri dengan perampuan-perempuan yang dekat dengan Naresh. Karena sejak berpacaran dengan Naresh di awal semester 2 di kelas 12, saya tahu bahwa saya bukanlah apa-apa.

Saya tidak cantik. Saya juga tidak pintar. Kadang di titik seperti sekarang, saya merasa begitu bodoh telah mengejar-ngejar Naresh seperti orang gila. Saya yang lebih dulu mendekati Naresh. Saya juga yang selalu membuntuti kemanapun dia pergi. Sampai akhirnya, saya juga yang menembak Naresh untuk menjadi pacar saya. Saya tidak memperdulikan masalah harga diri, ego, atau apapun itu namanya. Yang saya pikirkan hanya perasaan saya kepada Naresh terlalu besar untuk saya simpan seorang diri. Saya tidak sanggup untuk menyimpannya lebih lama lagi. Jadi sepulang sekolah di pertengahan bulan januari, di saat gerimis datang dengan gerak romantis, saya meminta Naresh untuk menjadi pacar saya tepat di depang gerbang.

"Tapi aku lebih marah dengan kamu menutup-nutupi kayak gini, Naresh!"

"Aku sama Eriska udah nggak ada hubungan apa-apa lagi, Sandra. Kami cuma sebatas teman nongkrong aja sekarang. Salah kalau aku datang ke pesta teman aku sendiri?"

"Yang salah itu bukan soal kamu datang ke pesta itu atau enggak, tapi masalah kamu yang nggak bilang sama aku kalau kamu mau kesana. Itu! Kamu yang bikin aku terus-terusan overthinking."

Saya bukannya ingin mengekang pergerakan Naresh dalam circle pertemanannya. Tapi dalam hal seperti ini, sebagai pacar, saya merasa sama sekali tidak di hargai. Hanya bilang lewat chat satu bubble saja apa salahnya?

"San! Nggak segala hal yang aku lakuin harus lapor ke kamu. Kamu ini pacar atau hansip komplek sih sebenernya? Lagian aku beneran nggak ngapa-ngapain di sana, cuma ngobrol-ngobrol aja. Yang datang ke pesta itu juga bukan cuma aku, ada banyak orang."

"Terserah!" akhirnya saya mengakhiri perdebatan itu dengan satu kalimat sakti yang selalu saya keluarkan di saat saya benar-benar lelah menghadapi Naresh.

Oris Sigra [completed]✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang