4. Hujan di Simpang Dago

20.2K 4.8K 1.3K
                                    

Hujan turun sangat deras saat Naresh memutuskan untuk mengajak saya makan di McD simpang Dago. Laki-laki itu bilang kalau dia kelaparan sejak tadi siang. Selain berkutat dengan bab terakhir skripsinya, laki-laki itu disibukan dengan asistensi dan berbagai macam organisasi yang entah kenapa masih ia pedulikan sampai sekarang. Padahal hal semacam itu bukan lagi tanggung jawabnya.

"Pengurus yang sekarang bener-bener nggak bisa diandalin. Padahal dulu sebelum pelantikan mereka udah aku wanti-wanti, tapi apa hasilnya sekarang? Nggak ada yang bener." dia bahkan mengomel sambil menelan burgernya susah payah. Setelah gumpalan makanan itu berhasil ia telan, ia menyedot minumannya. Kemudian kembali menatap saya dengan sorot mata penuh dengan tekanan.

"Setiap dievaluasi mereka selalu alasan banyak tugas lah, apa lah, semua orang juga punya tugas. Tapi kalau kita udah niat, kalau kita punya management yang baik, semuanya bakalan fine-fine aja kok. Dasarnya emang udah tolol, sok-sokan ikut organisasi. Kegiatan yang harusnya berjalan baik malah bobrok soalnya yang mimpin nggak becus ngurusinnya. Kamu tahu nggak seharian ini aku berapa kali marah-marah? Enam kali, Sandra! Bayangin! Enam kali!"

"Tujuh." saya mengoreksi setelah menelan nasi yang saya makan.

"Hah?"

"Tujuh! Termasuk barusan ini, kamu udah tujuh kali marah-marah."

Mungkin sekarang Naresh sadar bahwa dia baru saja melampiaskan kekesalannya ke saya. Melihat raut wajah lelah dan kesalnya itu membuat perasaan carut-marut yang semula melingkupi saya perlahan-lahan menepi. Sebenarnya Naresh ini bukan tipikal orang yang mau peduli dengan orang lain. Tapi sekali dia peduli, dia akan seperti ini. Dengan dia marah-marah seperti ini, berarti dia peduli dengan organisasi yang dia bilang bobrok barusan.

"Maaf, aku cuma kesel aja." rintihnya, membuat saya tiba-tiba terkekeh begitu saja.

"Skripsi kamu gimana?" tanya saya. Berusaha mengalihkan kekesalannya.

"Dikit lagi beres. Kamu jangan hubungi aku dulu ya untuk sementara. Daripada pas kesel aku justru marah-marah sama kamu." dia berkata begitu setelah menjumput satu nasi yang menempel di sudut bibir saya. Gerakannya yang melahap butiran nasi itu tanpa jijik seketika membuat perasaan saya mencelos. Bisa-bisanya saya meragukan Naresh yang jelas-jelas masih peduli dengan saya.

Di saat hujan, lagu sedih selalu kedengaran cocok. Dan sore ini, lagu Fiersa Besari begitu tepat memenuhi setiap penjuru ruangan. Rintik di luar bangunan ini seperti menangisi setiap penggal lirik yang dinyanyikan. Di antara lagu ini, saya sibuk mengamati Naresh yang begitu khidmat menggigit sedikit demi sedikit makanannya. Sesekali dia akan menoleh ke luar, memandangi hujan yang bersiteru dengan angin--perkelahian yang membuat pohon-pohon yang ada di sepanjang jalan, turut bergoyang meramaikan.

Udara di ruangan ini begitu dingin, begitupun sorot mata Naresh. Tapi bagi saya, mata yang dingin itu selalu terlihat seperti keteduhan hujan di bulan desember. Saya selalu menyebutnya begitu sebab saya selalu menyukai bulan desember dan hal-hal yang berada di dalamnya. Pohon-pohon bunga flamboyan yang mekar, angin pergantian tahun yang sejuk, dan hujan-hujan yang selalu rebah dengan teduh. Tanah-tanah yang basah, daun-daun yang basah. Sama seperti halnya desember yang selalu memiliki tempat istimewa di hati saya, Naresh juga seperti itu.

"Resh?"

"Kenapa?"

Pada akhirnya saya terdiam setelah dengan lirih menyebut namanya. Kemudian mata-mata kami berpandangan. Dia menatap saya, menanti kata-kata yang akan saya ucapkan.

"Maaf.." lagi-lagi saya bersuara lirih. Sementara Naresh hanya diam mengamati. "Maaf kalau aku nggak bisa jadi seseorang yang bisa kamu banggain."

"Kamu lagi PMS ya?" tahu-tahu dia bertanya begitu. Setelah mengambil satu gigitan besar burgernya, Naresh kembali meletakkan makanan itu di atas nampan. Pandangannya nampak sukar, persis seperti suasana keruh di luar.

Oris Sigra [completed]✔Where stories live. Discover now