29. Aku yang Akan Mencari Kamu

9.5K 2.9K 452
                                    

Di bawah hujan lebat, saya mengemudikan mobil lebih cepat dari biasanya. Dengan air mata yang terus-menerus jatuh dan berlomba dengan waktu. Tak jarang saya harus menggebrak klakson seperti orang gila. Karena entah kenapa, jalanan malam ini terlihat begitu menyebalkan. Semakin lama, kendaraan justru semakin merapat. Semakin bergerak lambat dan memenuhi setiap ruas jalan. Padahal ini sudah mendekati jam 1 pagi. Bukankah seharusnya jalanan sudah lebih lengang?

Tak lama, saya melihat kekacauan terjadi dari arah jalan Tubagus Ismail. Ada banyak sekali motor yang hancur. Juga beberapa mobil yang ringsek di bahu jalan. Kaca-kaca pecahan bagian kendaraan nampak berkilau sepanjang jalan. Saking kacaunya, jalan sampai ditutup sementara untuk jalannya evakuasi. Malam dengan kemacetan yang parah. Bahkan sempat saya lihat, ada beberapa genangan darah di atas aspal. Sampai perut saya mual dan kepala saya pusing bukan main saat melihatnya.

"Ada apa sih emangnya?" saya mendengar seseorang berteriak dari kejauhan.

"Kecelakaan, Pak. Parah banget. 12 motor, 4 mobil, 1 bus sama ada tuh tadi orang yang lagi nongkrong depan situ."

"Korban selamat semua, Kang?"

"Ada yang meninggal ditempat 7, Pak. Yang paling parah yang di bus tuh, sama mobil pada ringsek."

Tahu apa? Untuk pertama kalinya, saya berharap dia tidak berada di kota ini malam ini. Tidak peduli seberapa jauh dia dari saya.

"Di semesta manapun, aku akan tetap mencari kamu. Membuka semua gerbang semesta kalau memang perlu. Melewati antara angka nol dan satu. Melewati dimensi dan waktu yang berhenti." saya menangis jauh lebih hebat saat mengingat bubble chat yang ia kirim.

"Tuhan, tolong... saya janji nggak akan menyia-nyiakan dia lagi. Tolong... saya nggak mau kehilangan dia lagi."

Malam ini, mungkin hujan turun untuk merayakan begitu banyaknya perpisahan. Hingga dengan tega, ia membuat udara menjadi begitu dingin. Beberapa orang yang masih terjaga, atau mungkin yang sudah terlelap pasti dibuatnya menggigil. Beruntung bagi siapa pun yang sudah meringkuk di balik selimut tebalnya malam ini. Mereka tidak perlu menangisi kekhawatiran apapun, di tengah keadaan yang mencekam ini.

Dari jauh di belakang, suara klakson mulai bersahutan. Di atur oleh si pemilik keras kepala dari balik kemudi. Memaki aparat untuk cepat-cepat diberi jalan. Sampai jalanan basah ini menjadi bising dan semakin terlihat menyebalkan.

Cukup lama sampai akhirnya satu per satu kendaraan diperbolehkan untuk berjalan dan caci-maki hingga klakson-klakson tidak sabaran itu tidak terdengar lagi. Untuk pertama kalinya, saya merasa sebuah perjalanan terasa begitu lama. Padahal jarak antara rumah saya dengan rumah sakit Dr.Hasan Sadikin tidak begitu jauh.

Sejak meninggalkan rumah, butuh setidaknya setengah jam untuk saya sampai di pelataran rumah sakit. Padahal saya tahu, di saat-saat seperti ini, biasanya kaki saya akan sakit bukan main. Tapi untuk pertama kalinya, saya bisa berlari kencang tanpa rasa sakit. Menerobos tangis pilu yang sudah saya dengar sejak di halaman depan rumah sakit.

Menyedihkan. Bagaimana tempat ini menjadi ramai pada jam 1 dini hari. Beberapa tenaga kesehatan dibuat kalang-kabut. Ada juga beberapa korban yang merintih, menangis, berteriak untuk segera diberi pertolongan. Dari depan pintu ruang gawat darurat yang dibiarkan terbuka lebar, saya melihat tirai-tirai pembatas saling berkelebar--ditabrak bahu-bahu yang sedang berkejaran dengan waktu. Dengan bercak merah di beberapa bagian. Mungkin sebagai tanda bahwa ruangan ini sedang sibuk.

"Oris.." saya mencari dari satu ranjang ke ranjang lainnya.

"Oris!" memanggil namanya berkali-kali.

"Oris?!" namun dia tidak ada.

Tidak ada yang bisa saya tanyai sebab orang-orang di ruangan ini terlalu sibuk. Sisanya disibukan pada keluhannya pada takdir--kenapa harus mereka yang menerima nasib malang ini?

Oris Sigra [completed]✔Where stories live. Discover now