18. Kita yang Harus Bahagia

13.1K 3.6K 646
                                    

Pangalengan, 9 april 2016

"Selamat hari jadi ke100, San."

Saya tergelak saat Naresh tiba-tiba saja menyodorkan satu buket bunga hydrangea warna biru di hadapan saya. Dengan senyum lebar, ia berkata lagi, "Semoga betah ya sama aku."

Hari itu sekolah libur. Saya tidak begitu ingat alasannya, karena yang pasti, saat itu saya bahagia bukan main sebab Naresh mengajak saya untuk pergi cukup jauh dari Bandung kota. Ke sebuah tempat dimana saya bisa menghirup udara segar katanya. Dan benar saja, ia mengajak saya ke sebuah danau di daerah Pangalengan. Tanpa surat ijin mengemudi, ia mengendarai mobil ayahnya selama satu setengah jam. Dengan kesombongan tiada tara yang selalu ia pamerkan kepada saya.

"Emang ada perayaan kayak gitu?" tanya saya, menghirup wangi bunga yang ia berikan dalam-dalam. Bunga favorit kami.

"Ada." kemudian ia duduk di sebelah saya. Di dalam bagasi yang sengaja ia buka begitu kami sampai. "Nanti akan ada perayaan ke 200, 300, 400, 500, 600, 1000 sampai kita nggak sadar sudah berapa juta hari yang kita lewati sama-sama."

Bagi saya, mendapatkan seorang Gamaliel Naresh Danendra adalah sebuah keajaiban. Ia terlalu tinggi untuk saya gapai, terlalu jauh untuk bisa saya peluk. Namun hari itu, kami melewati hari untuk merayakan hari jadi kami yang ke100.

Saya masih ingat dengan jelas bagaimana tangannya yang hangat menggenggam saya. Lalu sepasang mata yang seperti hujan di bulan desembernya itu, menatap saya dengan teduh. Kepalanya ia sandarkan di bahu saya dengan posisi paling nyaman. Dan kami melewati detik demi detik dalam keheningan yang menenangkan.

"Resh..."

"Hmm?"

"Aku mau nanya serius deh."

"Sok atuh, tanya aja." jawabnya, yang hanya sara respon dengan gelak tawa.

"Kenapa kamu mau-mau aja waktu aku tembak kamu di depan gerbang?" didampingi embusan angin, saya membelai surainya. Hari ini ia sengaja mengubah warnanya menjadi biru setelah beberapa hari yang lalu ia masuk ruang BK sebab rambutnya yang berwarna pirang. Naresh memang tidak ada kapok-kapoknya.

"Aih, malu atuh, Sandra! Dilihatin banyak orang kan waktu itu? Ya udah, aku bilang iya biar cepet." ia berkata begitu enteng. Nyaris membuat saya melemparkannya ke dasar danau andai saya dia tidak tertawa setelahnya.

"Hahaha, becandaaaa... yakali aku nolak seseorang yang udah aku suka dari lama." Naresh bersuara lagi. Kali ini ia mengeratkan lengannya pada lengan saya. "Aku tuh udah suka kamu dari lamaaaa banget. Kamu aja yang nggak sadar."

"Kapan?"

"Pas MOS."

"Hah?" saya menoleh dengan sorot mata nyaris tidak percaya. Selama itu? "Bohong ih!"

"Dih! Beneraaan. Waktu itu lagi baris-berbaris, terus kamu makan eta kalung wortel. Aneh tahu nggak? Kalau laper mah makan nasi, maneh meni rakus pisan kalung wortel dimakan."

Mulanya saya hanya memandangi Naresh dengan tatapan tidak percaya, namun melihat betapa lucunya wajah itu sekarang, saya akhirnya tertawa terbahak-bahak. Tidak menyangka bahwa alasan Naresh mulai menyukai saya adalah dengan kejadian seperti itu.

Tapi saya mungkin sama tidak masuk akalnya dengan saya. Ketika dia menyukai saya hanya perkara makan kalung wortel, saya mulai menyukai dia yang sedang melompat pagar karena datang terlambat. Berlari dari kejaran Pak Sutanto yang tanpa sengaja mempergoki aksinya. Kami mungkin sama-sama gila. Sama-sama tidak masuk akal untuk saling jatuh cinta.

Naresh mungkin berandalan sekolah saat itu, namun yang menyukainya jelas bukan hanya saya. Dan meski ia berakhir menjadi kekasih saya, perjalanan masih tetap tidak mudah. Kami melewati banyak sekali tatapan benci, cacian-cacian yang menyakitkan, melewati banyak perdebatan, ketidak sepahaman, tetapi kami memutuskan untuk tetap bertahan. Untuk kemudian mencoba memahami satu sama lain.

Oris Sigra [completed]✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang