28. Kopi dan Teh

12.9K 3.2K 734
                                    

Di sudut cafe, saya dan Andra memutuskan untuk duduk berdua. Dengan secangkir teh dan espresso, sebab tidak ada lagi yang bisa kami pesan selain itu. Bukan lantaran cafe yang hendak tutup, tapi kami sama-sama tahu bahwa kami mungkin tidak akan bisa bicara lebih jauh setelah minuman kami sama-sama habis. Yang artinya, waktu yang kami miliki terlalu singkat.

Sejak kami datang, yang Andra lakukan hanya menunduk tanpa mengatakan sepatah kata pun. Secangkir espressonya mungkin sudah dingin saat ini. Sementara teh dalam cangkir saya mulai tandas perlahan-lahan.

Semakin larut, lagu yang terdengar justru semakin sedih. Dan saya tidak punya pilihan lain selain menunggu. Sampai Andra punya keberanian untuk menatap saya dan mengatakan segala hal yang ingin dia katakan.

"Kamu pasti udah tahu semuanya." ucapnya, sembari menatap lalu-lalang kendaraan di luar cafe. Sesaat, saya melihat bibirnya mengulas senyum tipis.

"Tahu soal apa?"

"Masa lalu aku." akhirnya, setelah bermenit-menit lamanya ia menghindari saya, Andra memberanikan diri untuk menatap saya. "Naresh pasti udah cerita semuanya sama kamu."

Detik dimana Andra menenggak kopinya, saya bertanya-tanya dalam diam. Ketika seseorang menghancurkan hidupnya sendiri, seberapa parah dia akan hancur? Jika seseorang pernah berbuat salah di masa lalu dan dia butuh pertolongan di masa depan, adakah seseorang yang sudi untuk menolongnya?

"Kamu kenal sama dia?" tanya saya.

"Naresh? Jelas kenal. Dulu kami teman baik, tapi aku merusak pertemanan itu dengan tindakan bodoh aku di masa lalu. Dan kayaknya... kamu udah tahu juga soal itu."

"Kalau kalian teman baik, berarti kamu tahu kalau Naresh bukan nama asli dia?" saya kembali bertanya. Dengan suara yang terkesan tak menuntut. Kemudian perlahan, saya menemukan Andra mengangguk.

"Nama aslinya Oris. Dari dulu kami masuk, dia selalu bilang ke semua orang kalau dia lebih nyaman dipanggil Naresh. Jadi sampai sekarang, semua orang panggil dia dengan nama itu." sesaat, saya mendengar Andra berdeham. Dan ketika saya menatapnya, saya menemukan dirinya tersenyum nanar. Senyum yang akhirnya nampak begitu berbeda.

"Dari awal aku tahu kalau kamu mantan dia. Pernah terbesit juga di kepala aku buat menghancurkan dia lewat kamu. Tapi ternyata apa yang pernah dibilang sama Naresh bener... siapapun yang mencoba untuk jatuh cinta sama kamu, nggak akan pernah punya jalan keluar. Termasuk aku."

The Fantasia of Another Dimension. Denting piano yang terdengar provokatif itu tiba-tiba saja seperti tengah menyulut saya. Di dalam kepala saya, ada bayangan dimana saya bangkit dan menyiramkan sisa teh saya ke wajah Andra. Tapi melihat bagaimana ia terkekeh dan menunduk dalam-dalam saat ini, api yang membakar saya dari dalam tiba-tiba saja padam.

"Aku beneran jatuh cinta sama kamu."

Sesaat, saya tertawa. Lalu menyesap teh saya sebelum akhirnya memutar cangkirnya dengan gerak lambat.

"Harusnya kamu nggak perlu jatuh cinta sama aku." kata saya kepada Andra yang kini memilih untuk bungkam. "Harusnya kamu hancurkan aku seperti rencana awal kamu. Karena aku jadi penasaran, secepat apa dia bakalan datang buat menyelamatkan aku kalau memang yang dia katakan selama ini bukan bagian dari kebohongan?"

"Aku minta maaf..."

"Ndra.." kali ini saya duduk dengan punggung yang tegak. Hanya untuk menegaskan pada Andra bahwa apapun yang akan saya katakan adalah sesuatu yang serius. "Aku nggak punya hak untuk menghakimi masa lalu orang lain. Terlebih kamu. Selama kita sama-sama punya ingatan yang baik satu sama lain, aku rasa itu semua udah cukup. Seperti yang pernah aku bilang sama kamu waktu itu... aku menganggap kamu sebagai teman yang baik. Bahkan suatu saat nanti pun, aku berharap kamu bisa melihat aku dengan cara yang sama."

Oris Sigra [completed]✔Where stories live. Discover now